"Ya karena Dena boong tentang hubungan kami, kami gak pacaran. Dia udah ngejar saya dari dulu, tapi kami nggak mungkin bisa bersama karena selain sepupu. Saya sudah anggap dia sebagai adik saya sendiri, makanya kami nggak bisa menikah dengan kondisi kami masih saudara yang sangat dekat." Lela pun mengangguk, ia rasa sudah cukup ia mengetahui sampai di situ saja sebagai orang asing. Ia merasa tidak berhak bertanya banyak hal tentang masalah pribadi mereka. Jadi ia mengangguk dan memikirkan bagaimana agar ia bisa meminimalisir interaksi dengan Dena. "Em, baik Pak," jawabnya singkat. Lalu Bara teringat sesuatu, "Oh ya, untuk Bab terakhir silakan di selesaikan, jika ada pertanyaan bisa langsung kirim di email." "Baik Pak," jawab Lela. Lagi-lagi interaksi mereka sangat kering. Hal itu membuat Bara merasa semakin jauh darinya. Padahal ia ingin sekali bisa akrab dengan Lela, bicara santai dan saling tertawa tanpa ada tembok di antara mereka. Ia pun berangkat ke kantor seperti
Hendra menginap di mansion semalam, hingga paginya pulang ke Bogor karena ada rapat penting Sore harinya. Sosoknya juga sudah tidak sebugar dulu, ia butuh istirahat sebelum melakukan aktifitas ngantornya setelah perjalanan jauh. Meski sudah pergi, Hendra telah meninggalkan ganjalan dalam hati Bara tentang seseorang yang ia sukai. Di keluarga mereka, menikah tanpa cinta sudah biasa, tapi tidak dengan Bara yang menikah karena cinta. Sekarang pun ia tidak tau, apakah ia bisa keluar dari zona itu atau tidak. Apakah ia akan menerima perjodohan dari ayahnya dan melupakan perasaannya pada Lela? Saat ia memasuki kamar Baby Dam saat baru pulang kantor, ia melihat Lela sedang tertidur di sana. Namun posisinya terlihat tidak nyaman, sehingga ia berinisiatif untuk memindahkannya. Hingga saat ia menyentuh Lela, ia merasakan panas menjalar di tubuh lemah itu. "La! Bangun La!" Wajah Lela juga terlihat pucat, ia merasa panik sesaat dan membangunkan Lela. Namun, Lela hanya mengerang tanpa
Benar apa kata Radit, ini adalah ketakutan Bara karena tak bisa bersama Lela. Ia bahkan sekarang memilih lembur dan tak pulang selama dua hari. Jujur saja, tidak melihat Lela dan putra tercintanya membuat ia bad mood. Bahkan emosinya jadi mudah terpancing, sampai membuat Dika kualahan menghadapinya. Sudah dua orang yang kena semprot pagi ini gara-gara kesalahan kecilnya. Dika pun rasanya ingin menangis, ia dicurhati dua karyawan itu ingin resign gara-gara Bara. Paahal dua karyawan itu adalah karyawan lama yang sangat penting bagi perusahaan. "Permisi, Pak, ini kopinya," ujar Dika masuk membawa kopi. Bara hanya berdehem tak menoleh padanya seolah tak berminat. Namun, bukannya langsung pergi Dika malah berdiri di depan mejanya seolah ragu ingin mengatakan sesuatu. "Ada apa lagi?" "Anu Pak... kalau boleh tau apakah Bapak sudah makan?" tanyanya. Bara mengeryit heran, "Ngapain tanya? Kayak biasalah, kamu gak perlu nanya lagi makan siang saya, beliin aja." Tuh kan, ditan
"Banyak yang ngomongin ini loh, Pak." "Ngaco aja kamu! Dah sana pergi," usir Bara kesal. "Yeu... valid Pak, semua orang juga punya foto Lela yang gendong Dede Damien." Bara berpikir, semoga ini tak mengganggu Lela dan ia tak boleh tau. "Keep aja informasi ini buat kalian aja, jangan sampe Lela tau. Kalo sampe dia kepikiran, ini berpengaruh pada asi-nya." Dika tersenyum penuh arti, masih saja bosnya denial dengan perasaannya sendiri. Semua orang yang mengenal Bara dengan baik pasti tahu bahwa ia sedang jatuh cinta pada Lela. Dika yang secara tidak langsung ikut andil dalam rekrutmen Ibu susu waktu itu, tentu tahu perjalanan Lela untuk sampai diterima sebagai ibu Asi Baby Dam. Namun, ia sempat tidak tahu bagaimana perkembangan mereka berdua karena ia fokus di kantor. Akan tetapi fakta bahwa Bi Tati memberinya saran untuk mengirim Lela ke sana, akhirnya membuatnya tahu bahwa perkembangan hubungan mereka cukup baik. Meskipun dari sisi Lela ia terlihat pasif, sementara Bara ya
Bara memutuskan untuk tidak menghindari Lela lagi, ia butuh istirahat juga. Ia tak ingin gila duluan sementara anaknya masih bayi. Ia pulang jam 17.00 WIB di hari ke-3 setelah Lela mengantarkan makan siang untuknya, tetapi setelah itu ia akan pergi ke Jerman untuk perjalanan bisnis.Ia sudah bicara pada Bi Hera untuk menyiapkan keperluannya untuk keberangkatannya besok.Ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah, ia agak bingung karena merasakan kehadiran orang yang memperhatikannya. Hingga sebuah suara mengejutkannya. "Bara!" panggil seseorang. Ia menoleh dan mendapati Neneknya dari pihak ayahnya--Hendra. Ia terkejut, bagaimana neneknya ada di sana. "Nenek?" tanyanya. Wanita tua itu masih terlihat bugar, ia memiliki jarak usia sekitar 13 tahun dengan almarhum suaminya tetapi ia adalah istri keduanya. Ingat kan, bahwa nenek dan kakek kandungnya, dari pihak ibu atau ayahnya sama-sama bercerai dan menikah lagi? Intinya Nenek yang sekarang ada di hadapannya adalah nenek tirinya. Sa
Mereka pindah ke ruang keluarga, santai mengobrol ringan sebelum masuk ke pembicaraan utama. "Kamu gak penasaran kenapa kami ke sini?" tanya Yuni dengan nada sok asik. Bara tersenyum santai, "yang pasti gak lagi gabut kan, Nek?" tanyanya. "Haha! Kamu bisa aja," ujar Yuni tertawa garing. Eva hanya tersenyum saja melihat interaksi mereka yang mulutnya manis tapi ekspresinya jelas saling tidak suka. Bagaimana tidak, Bara adalah pewaris utama keluarga Crazy Rich Raniero, sementara anak kandung Yuni hanya diberi bisnis yang nilainya tidak ada seperempat dari bisnis utama keluarga Raniero. "Tentu saja kami ke sini karena Papi kamu cerita tentang calon istrimu, jadi kami penasaran ingin melihat." Bara menghela napas, sudah ia duga pasti akan dicepuin ayahnya sendiri. "So?" "Kami ingin kamu pikir-pikir lagi. Kamu adalah pewaris keluarga terpandang, setidaknya kamu harus memilih seseorang yang bisa membantumu meluaskan bisnis." Mendengar itu berkali-kali membuat Bara muak, entah ayah
Sepeninggalan Bara, Lela melakukan aktivitasnya seperti biasa. Akan tetapi di siang harinya, saat ia akan pergi karena sudah izin ingin menemui temannya terkait diskusi Skripsi, Yuni menghentikannya. "Kamu kira dengan Bara memanjakan kamu, sekarang kamu aman sama saya?" tanyanya menyeringai. Ia duduk di kursi meja makan usai makan siang. "Maaf Nyonya Besar, saya sudah izin Pak Bara sebelum beliau pergi," balas Lela sopan. "Itu Bara, tidak dengan saya. Sekarang karena tidak ada Bara, yang harus kamu patuhi adalah saya. Ingat itu!" Lela hanya bisa mengangguk dan setuju dengan apapun yang diperintahkan Yuni. Wanita berusia 60 tahun itu yang masih terlihat cantik itu, menyuruhnya melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak ia kerjakan. Bahkan ia sampai membuat Baby Dam tantrum karena ia lama datang, sebab disuruh keluar beli sate. Tiada yang berani mengadu termasuk Bi Tati dan Eva, mereka hanya bisa menonton acara pembullyan itu. Saat Lela sedang menyusui Baby Dam, Bara men
"Dia bukan siapa-siapa, hanya Ibu Asi untuk anakku," balas Bara seolah sedih dengan kenyataan itu. Akan tetapi Bella dan Aaric tau bahwa Bara merasa berat mengatakannya, artinya apa yang ia katakan tidak dari kejujuran. Bara memang pebisnis, pandai berakting dan bisa menguasai ekspresinya saat bertemu klien, tapi tidak jika ada di depan ibunya, ia akan menjadi Bara yang murni. Bella pun menggenggam tangan Bara, menatapnya penuh simpati. "Sayang, aku tau betapa beratnya ada di posisi kamu. Andai Mami bisa, ingin rasanya Mami membiarkanmu hidup dalam pelukan Mami. Namun fakta bahwa kamu pewaris tahta keluarga Raniero membuat Mami gak bisa berbuat apa-apa untukmu, bahkan terhadap orang yang kamu cintai." Bara mencoba menahan air matanya, ia mengangguk seraya berkata. "Aku paham itu, Mi. Mami gak perlu lakuin apapun, cukup biarkan aku cerita pas aku pingin didengar." "Tentu saja Sayang, apapun buat anak Mami," balas Bella tersenyum. Mereka pun lanjut makan, terakhir makan