Lintang mendorong trolley belanjaan disalah satu supermarket besar seorang diri, ia sibuk memilih barang-barang belanjaan yang sudah ia catat di rumah. CATAT? iya, tapi pada akhirnya yang dibelanjakan akan beranak pinak dan jadi penuh dengan belanjaan unfaedah karena ke kalapan lintang.
"Makanan kucing mana sih, ya?" Lintang gerendeng sendiri. Saat ia menemukan letak rak tujuannya dan melihat produk makanan kucing yang ia biasa beli sedang ada diskon, ia langsung mendorong trolley dengan cepat.
"Orang baik, rezekinya juga baik, saikkk …," ucapnya terkekeh sendiri sambil memasukan satu kantung besar makanan kucing ke dalam trolley.
Ia memutar lagi area jajahannya, hingga ke bagian persabunan. Memasukan sabun mandi sesuai kesukaannya,pasta gigi dan printilan kamar mandi lainnya. Matanya menjelajah ke label diskon. Mau apapun asal ada label diskon, ia akan mampir dan memastikan akan beli atau tidak.
Suara tangis seorang anak terdengar sangat nyaring. Anak tersebut rewel. Lintang berbelok ke bagian area wanita. Stok pembalutnya habis.
"Iya sayang, sebentar, Papa bingung ini ditaruh di mana, salah ambil tadi kan," sosok pria yang repot menggendong anak balita berusia satu tahunan itu membuat kedua mata Lintang menyipit. Pria itu berbalik, mereka saling diam dan menatap. Sedangkan sang anak rewel hingga memukul-mukul pria tersebut.
"LINTANG?!!" sang pria terkejut.
"GALAKSI?!" Lintang pun terkejut. Mereka berdua saling menatap. Ditambah saat Lintang melihat Galaksi sedang memegang pembalut wanita.
"Itu, itu anak lo kasian, aduh…," Lintang reflek berjalan dan mengambil alih gendongan anak balita itu ke gendongannya.
"Lo belanja berdua doang? Istri lo mana!" Lintang memeluk dan menenangkan balita itu dengan menepuk-nepuk punggungnya.
"Cep..cep..cep.. Papanya gila ya, Nak, kamu nangis terus jadinya, emang gitu tuh Papa kamu, cep..." lirik Lintang ke Galaksi yang berekspresi datar.
BLUG.
Kepala Lintang di lempar pembalut wanita yang tepat sasaran.
"Nggak kebalik?!" ucap Galaksi, ia lalu mengambil alih gendongan anaknya dan meletakkan di dudukan khusus anak kecil di trolley.
"Yeeee! Bukannya makasih udah ditolongin. Gila!" Teriak Lintang. Galaksi terus mendorong trolley tidak menggubris.
Tapi saat ia sudah berbelok. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke Lintang yang masih memilih pembalut wanita.
Galaksi tersenyum. Ia lalu menatap putri kecilnya.
"Dia masih sama, Nak, setelah sekian tahun nggak ketemu." Galaksi melanjutkan mendorong trolley dengan perasaan dan pikiran yang tiba-tiba teringat saat masa kuliah dulu.
***
Meja kasir tampak penuh, Lintang mengantri sambil membalas pesan singkat dari teman kantornya.
"Maju Mbak, antrian panjang nih!"
Lintang menoleh, ia bersingut kesal.
"Iya Om, sabar dong," sahut Lintang ketus. Galaksi cuma diam menatap Lintang dari belakang.
Saat Lintang menaruh belanjaannya di meja kasir, ia sesekali mendengar percakapan Galaksi dengan putri kecilnya dan sesekali tertawa karena tingkah gemas putrinya itu. Setelah Lintang selesai melakukan pembayaran. Ia segera pergi sambil mendorong trolley.
"DULUAN, YA, GALAK!!!" teriak Lintang. Galaksi menoleh. Lintang masih memanggilnya dengan panggilan itu.
"BYE, LILIN!!" balas Galaksi.
Sudut bibir Lintang sedikit terangkat. Galaksi masih memanggilnya dengan panggilan aneh itu. Lilin.
***
Lintang lama menunggu taksi datang. Ia takut jika naik taksi yang dipesan melalui aplikasi. Ia memilih taksi resmi dari burung biru sebagai kendaraan untuk pulang.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di hadapannya. Kaca mobil turun perlahan. Lintang tidak tahu, jadi ia membuang muka.
"Lin! Balik?" Lintang menoleh saat mendengar suara Galaksi. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Enggak. Mau nonton bola." jawab Lintang diakhiri senyuman lalu kembali datar.
"Gue anter yok. Masih rumah lama, kan?" tanya Galaksi.
"Makasih. Tuh, taksi gue udah dateng, bye Galak." Lintang mendorong trolley dan menghentikan taksi. Lalu sang supir turun dan membantu memasukan belanjaan Lintang kedalam bagasi taksi. Mobil hitam itu pergi meninggalkan Lintang. Mereka kembali berpisah.
Di dalam taksi, Lintang diam sesaat sebelum menggeleng kepala pelan. Merasa lucu bertemu kembali dengan Galaksi yang menyebalkan, menjengkelkan, juga memalukan. Namun, lelaki itu kini sudah memiliki anak, tapi ke mana istrinya?
***
"Gue baru sampai rumah, kenapa telponin terus?" Lintang menjawab telepon teman kerjanya, Vanka, yang hobi curhat tentang pacar bahkan mantan pacar yang tidak penting juga jika Lintang tau.
"Lo nggak bestie banget, Tang. Sebel gue," dumal Vanka.
"Gue baru balik belanja bulanan. Masih beberes, kalau mau curhat soal ini, nanti dulu. Lo kayak nggak kenal gue," bela Lintang untuk dirinya.
"Kayaknya gue kapok jadian sama yang lebih tua, kelakuannya nggak sesuai umur, nyebelin."
"Yaudah, jangan pikirin cowok dulu. Lainnya aja, pikirin test buat naik jabatan, masa selamanya lo mau jadi teller bank, lo pintar, Van, nggak kayak gue yang mageran."
Lintang merapikan camilan miliknya ke dalam kabinet meja dapur, lalu beralih menuangkan makanan timmy, kucing kesayangannya.
"Cariin gue jodoh brondong, deh."
"Idih! Nggak salah lo minta ke gue?!" sewot Lintang.
"Oh iya lupa, lo aja ngenes, ya, gue lupa hahaha."
"Van, gue tadi--" Lintang diam. "Nggak jadi, deh."
"Apaan?! Lo main rahasia-rahasiaan sama gue?" cecar Vanka. Lintang diam, ia lalu beralasan mau ke kamar mandi, padahal malas saja membahas, biarkan itu jadi konsumsi dirinya sendiri.
"Antrian loket dua customer service,nomor antrian dua puluh satu," suara mesin panggilan antrian terdengar. Lintang dengan senyum ramahnya menyambut nasabah yang duduk dihadapannya."Nggak usah senyum-senyum tang, tolongin gue, kartu ATM gue ketelen," ucap seorang dihadapannya."Gue mau dapet point, jadi harus senyum dong," ucapan Lintang tertahan karena ia berbicara sambil tersenyum."KTP lo Edo ...." ia masih dengan ekspresi yang sama. Edo, tetangga sekaligus sepupu kandungnya nyengir sambil memberikan kartu tanda penduduk miliknya. Lintang lalu memprosesnya."Tang,""Ya, Bapak Edo.""Boss gue yang baru, si Galaksi," ucapan Edo membuat senyuman Lintang memudar dari wajahnya."Apa hubungannya sama gue?""Ada, lah. Banget malah.""Kemaren gue ketemu dia di supermarket, sama anaknya." Lintang sedikit memberikan informasi."Iya, sudah satu anaknya. Cewek, di bawa masa, ke kantor kemarin," sambung Edo."Ok. Ada lagi yang bisa dibantu bapak Edo ...." senyum palsu kembali diperlihatkan Lin
"Heh! Harus banget gue dateng ke acara itu. Malas tau nggak sih, itu para orang tua getol banget jodoh-jodohin gue sama anaknya Om Arya. Mentang-mentang gue janda. Nggak deh, gue absen kali ini." Lintang nesu-nesu saat berbicara dengan sepupunya—Meta, melalui sambungan telepon."Tang, lo pasti kalau nggak datang, bakal jadi sasaran empuk di pertemuan selanjutnya. Lo mau dua kali lipat jadi bahan gunjingan mereka?" Meta tetap berusaha membujuk Lintang supaya hadir di acara pertemuan keluarga besar ayahnya yang diadakan dua bulan sekali."Met, lo nggak inget terakhir kalo gue dateng, apa yang kejadian? Gue dijodoh-jodohin terus, mending kalo yang dijodohin worth it, ini, ah, gitu, deh.""Namanya orang tua, Tang, nggak baik kalau seorang janda lama-lama sendiri. Bisa jadi fitnah nanti.""Gue juga tahu, Met, tapi kan gila kali, gue baru beberapa bulan ditinggal meninggalkan, udah aja gitu-gituin.""Ehm, apa lo bawa cowok aja, Tang, pura-pura jadi pacar lo, biar mereka diem.""Siapa yang m
Adjie menghisap rokok elektriknya dan membuang asap yang cukup tebal dari bibir merahnya. Lintang lahap memakan mie ayam pangsit yang sudah kedua kalinya. "Gila lo, Tang. Nggak begah?" Adjie menatap takjub. Lintang menggeleng."Work out gue nanti sore," jawab Lintang santai.Adjie mengusap kepala Lintang. "Kakak perempuan gue yang paling bar-bar.""Ya… ya… ya…, terserah lo," jawab Lintang santai."Salam buat Vanka dari gue, ya, Tang.” kata Adjie yang membuat Lintang sontak menoleh."Serius lo?" sumpit yang ditangan Lintang menunjuk ke kedua mata Adjie."Iya. Lucu temen lo dilihat-lihat, mirip cewek-cewek gemes korea." lanjutnya."Najong," komen Lintang sambil kembali memakan mie ayam pangsitnya."Lo yang bayar ya, Tang, Mami belum kasih gue duit jajan tambahan, nih, habis bayar semesteran kemarin lusa," bisik Adjie. Lintang melirik sinis."Ada jasanya tapi," oceh Lintang."Pa-an?" jawab Adjie sambil kembali mengepulkan asap dari bibirnya."Seminggu jadi tukang ojek gue. Senin sampai j
Meja kerja Lintang sudah rapi, jam empat sore bank tempat kerjanya sudah tutup. Pekerja tinggal merapikan laporan harian sebelum pulang. Lintang menatap Vanka dimeja kerja seberang, tersenyum sambil menatap layar ponsel. Vanka yang sadar sedang ditatap Lintang kembali tersenyum dan menunjukan ponselnya."Iya iya, nanti dia jemput gue kok, Van, lo bisa ketemu Adjie," ucap Lintang sambil beranjak."Iyes, udah di depan orangnya," jawab Vanka sembari menahan senyum. Lintang melotot. Berjalan sambil berdecak heran menuju ke Vanka."Semoga berhasil sampai seterusnya ya, Van, lo nggak tau kan, Maminya Adjie gualaakkk banget, gue sebagai keponakannya aja jiper kalo di deket dia, nggak kebayang gue kalo Adjie bawa lo ke Maminya, wah wah wah," bisik Lintang menakut-nakuti Vanka. Vanka menelan ludah cepat."Tapi, jadian aja belum, Tang, baru dekat, masa udah begitu sikap Maminya?""Wah, lo nggak tau Adjie, sepupu gue itu, wah... udah lah, nanti lo juga tau, gue mau ke atas nyerahin ini, bye," tu
Kondisi ayah Lintang sudah stabil, sudah menempati kamar rawat juga. Lintang dan Adjie berjalan menuju ke meja suster karena harus ada yang dibicarakan."Lo balik aja, Jie, ke resto, kasian Mami sama Papi lo pasti nyariin. Gue nggak apa-apa kok.""Yaudah, nanti Mami juga mau ke sini katanya, sekalian bawain makanan buat lo sama Ibu.""Ok. Hati-hati, ya." Lintang berdiri di depan meja suster. Adjie memeluk Lintang lalu berjalan menuju lift.Lintang berdiri bersama suster yang menjelaskan beberapa hal, Lintang manggut-manggut mengerti. Hingga ia melakukan proses penandatanganan sebagai tanda ia setuju dengan prosedur yang akan dokter lakukan.Ia menunduk, memegang pangkal hidungnya sambil berjalan pelan. Kembali, suara tangis Bre terdengar. Lintang berjalan kembali ke meja suster."Sus, apa dilantai ini ada pasien anak-anak juga?" tanya Lintang"Ada, Bu. Di bangsal sebelah kiri, pintu kaca itu," tunjuk suster."Apa ada pasien anak atas nama Breyana?" tanya Lintang lagi. Suster menganggu
Sebulan berlalu. Lintang sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Ia menyiapkan sarapan dan obat untuk ayahnya. Rutinitas yang ia jalankan sejak ayahnya pulang dari rumah sakit.Ia duduk di depan meja komputer yang ada di rumah kedua orang tuanya. Berselancar untuk mencari lowongan pekerjaan baru untuknya.'Asisten pribadi? Boleh juga.' Pikir Lintang sambil mencatat email perusahaan tempat ia akan melamar pekerjaan. Beberapa perusahaan sudah ia catat. Tidak ada lowongan aspri, tetapi lowongan customer service,marketing, hingga posisi secretaris."Mudah-mudahan cepet dapet kerjaan baru ya, Tang," ujar ibunya seraya meletakan pisang goreng di dekat Lintang."Makasih, Bu," jawab Lintang sambil tersenyum. Dengan santai ia mulai memakan pisang goreng dengan kaki diangkat satu.Ponselnya berbunyi, nama Adjie muncul."What's up broooo …." Jawab Lintang seraya menempelkan ponsel ke telinganya."Dipanggil Mami, Tang, suruh ke resto.""Resto yang mana?""Pusat.""Suruh ngapain?""Ngelapin kac
Galaksi menatap foto putri kecilnya yang dijadikan wallpaper ponselnya. Ia tersenyum. Galaksi mendapat kekuatan setiap harinya hanya dengan memikirkan kebahagiaan putri kecilnya. Betapa lucunya Breyana walau diusianya saat ini belum bisa berjalan lancar. Masih terjatuh-jatuh. Efek terlalu sering digendong kemana-mana, jadi motorik Bre juga lambat.Mobil Galaksi mengarah ke restaurant, sesuai janji Lintang waktu itu, kalau ia mau sesekali menemui Bre. Ia juga paham anak Galaksi itu mudah ceria jika bersamanya."Hai calon Mamanya Bre, gimana kerjanya?" Galaksi sudah berdiri di samping mobilnya sambil bersedekap. Kemeja kerjanya, seperti biasa, sudah tidak rapi jika pulang kantor. Ia cengengesan sendiri."Masih halu banget sumpah." Jawab Lintang sewot. Adjie yang baru datang dengan motornya dari kampus menatap heran sambil meletakan helm di motornya."Mau kemana?" Adjie menunjuk ke Lintang dan Galaksi."KUA!" jawab Galaksi asal. Ia mendapat pukulan di bahunya dari Lintang."Enak aja, ma
Playground yang dipilih Lintang tak begitu ramai, mungkin karena malam hari juga dan hanya Breyana juga dua anak kecil lainnya yang bermain. Lintang duduk di atas matras yang memang dijadikan alas supaya anak-anak tidak terasa dingin jika bersentuhan dengan lantai dan lebih aman.“Breyana umurnya berapa, sih, udah dua tahun atau belum?” Lintang bersuara tapi kepalanya terus menuju ke arah Breyana yang merangkak mengejar mainan.“Pas dua tahun, tiga bulan lalu,” jawab Galaksi yang duduk bersila disebelah Lintang. Kedua masih memakai pakaian kerja, Galaksi sesekali mengulum senyum saat menatap Lintang. “Kenapa nanyain? Mau beli kado? Beli, dong, buat calon anak sambung,” celetuk lelaki berperawakan tinggi dengan rambut cepak.“Iya lah, gue mau beli kado. Sebagai Tantenya,” tegas Lintang.“Calon Mama,” sanggah Galaksi.“Dih! PD banget lo. Udeh, Lak … jangan mancing gue ngamuk!” ancan juga pelotot Lintang. Ia lalu beranjak, ingin menghampiri Breyana namun sebelumnya Lintang menguncir ting
Menjadi seorang ibu, bagi Lintang satu kebanggaan juga kebahagiaan. Memiliki anak bukan satu kerepotan, apalagi jika benih yang tumbuh dirahimnya dari orang yang ia cintai dengan tulus. Selain itu, anak juga rezeki dari pencipta, semua sudah diatur oleh-NYA. Terkadang, manusianya saja yang suka berpikir seenaknya, lupa jika dia dulunya juga seorang anak. Tangannya menggandeny Breyana, mereka sedang di mal untuk membeli sepatu baru karena Breyana akan mengikuti turnamen basket wanita usia 16. Iya, Breyana sudah remaja. Ia tumbuh cantik dan lebih mirip Lintang--ibu sambungnya--dari pada Karmen. "Ma, jangan yang mahal-mahal, Bre nggak mau, yang penting nyaman," pintanya saat mereka masuk ke toko sepatu olahraga. "Oke, Kakak," jawab Lintang sembari melihat ke jajaran sepatu yang tertata apik di rak. "Bre," panggil Lintang. "Apa, Ma?" Breyana memegang sepatu basket dengan corak pink orange. Warna yang mencolok dan itu limited edition, tertulis dirak. Saat melihat harganya, Breyana ke
Galaksi sudah selesai mandi, segera ia duduk anteng di sebelah Lintang. Ia memperhatikan istrinya melayani dirinya makan. Padahal perutnya sudah semakin membesar. Dasar Galaksi, tetap saja ia iseng dengan mencolek-colek lengan istrinya yang semakin berisi. Bukan gendut, ya, Lintang bisa sewot kalau dibilang begitu. “Jadi, katakan Adinda, ada ghibahan apa? Supaya Kakandamu itu, tidak ketinggalan informasi hangat,” kata Galaksi. Lintang menjewer pelan telinga suaminya, “Nggak usah lebay gitu bisa, nggak sih, Lak … ya ampun …,” kesal Lintang dengan menyipitkan mata menatap Galaksi yang mengusap telinganya setelah jemari Lintang menjauh. “Sebel aku,” gerendeng Lintang. “Jangan sebel-sebel, nanti anaknya mirip aku, lho,” lanjut Galaksi kemudian meneguk air putih di gelas. “Ya pasti mirip, Galak… ini anakmu, kamu yang tanam bibitnya, aku potnya, pasti mirip kamu, masa mirip Goong Yoo!” “Hah! Siapa oyong!” Galaksi terbelalak. “Kok oyong …, hih! Goong Yoo! Nih, ya, bentar aku lihat
"Saya tau kamu ibu kandung Breyana, tapi saya minta kamu untuk jujur, Karmen, sekali lagi saya mau tanya sama kamu. Apa... kamu berniat bawa Breyana tinggal dan menetap sama kamu?"Pertanyaan itu terlontar begitu lancar dengan nada bicara santai namun penuh penekanan. Lintang akan benar-benar menahan emosi dan egonya kali ini. Ia tam mau meledak-ledak apalagi gegabah. Hati Breyana yang ia harus jaga.Karmen menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Iya, Lintang, aku memang... suatu hari nanti berniat bawa Bre tinggal dan kembali ke aku, seenggaknya satu tahun ke depan."Lintang sudah menduga hal itu, lambat laun pasti akan begitu. Ia menunduk, mengangguk pelan. Hatinya sakit juga sedih, bagaimana ia suatu hari memang akan berpisah dengan Breyana."Aku minta maaf sama kamu Lintang, aku begitu naif beberapa tahun lalu, nggak mau bawa Bre untuk hidup sama aku karena menurutku, fokus saat itu ke suamiku sekarang. Aku mau memperbaiki hubunganku sama dia, di mana emang aku cintan
Lintang ingin sekali bisa beraktifitas normal, namun kehamilannya membuatnya harus bersabar dan mengalah kepada Karmen yang kini, mengantar jemput Breyana sekolah. Lintang selalu diingatkan Galaksi untuk sabar dan mengerti, kasihan Breyana juga nantinya.Siang itu, Lintang sedang membeli buah-buahan di supermarket buah, diantar Adjie yang sedang memiliki waktu luang, sementara Galaksi sibuk bekerja. Ia paham posisi dan kondisi suaminya itu, dan Adjie lah yang menjadi orang yang dihubungi saat darurat."Tang, enak kayaknya nih, pir, beliin gue ya, buat di rumah." Palak Adjie."Kebangetan. Udah kaya, masih malah gue." ketus Lintang. "Ambil!" lanjutnya. Lintang tak akan tega pada akhirnya."Eh iya, Bang Igo tanya, Breys cabang Jakarta, gimana prosesnya?" tanya Adjie."Aman, Kak Dita kan yang ngurusin. Gue udah nggak boleh mondar mandir ke sana, Jie, bawel banget Kak Dita, takut gue kenapa-kenapa." Lintang mendorong troli lagi, Berkeliling mencari buah dan camilan lainnya, Adjie mengekor,
Lintang dikejutkan dengan Breyana yang tiba-tiba demam tinggi, Sari membangunkannya tengah malam, Galak juga ikut terbangun. Breyana, kemarin saat di sekolah memang ikut ekskul renang, Sari sudah melarang karena Breyana tampak tak enak badan, namanya anak kecil, dilarang malah menangis. Sari jadi merasa bersalah, tapi Lintang dan Galaksi tak masalah, sudah saatnya sakit ya sakit saja, pikirnya. Karena ia tau Sari menjaga Breyana begitu penuh perhatian juga sayang.IGD menjadi saksi tangis Lintang saat dokter memberitahu jika Breyana tipes sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit. Sari juga ikut menangis, bahkan meminta maaf kepada Lintang dan Galaksi."Kamu nggak salah Sari, saya cuma sedih lihat anak saya dipasang infusan sampai Breyana nangis jerit-jerit. Ibu mana yang nggak sedih, udah, kamu jangan sedih juga." Lintang mengusap lengan Sari. Ketiganya m
Rencana cuma dibuat manusia, tapi penciptalah yang menentukan hasil akhirnya. Galaksi cuti mendadak selama dua hari, ia menepati janji mengajak Lintang ke mall setelah pulang dari pantai. Breyana duduk di baby stroller yang masih bisa digunakan sampai Bre lima tahunan, cukup berfungsi baik, karena model baby stroller itu yang bisa dijadikan seperti kursi dorong.“Bu, ini bagus modelnya, bisa sampai Sembilan bulan Ibu pakai,” ujar Sari.“Iya bener, Sar, yaudah boleh tuh, motifnya lucu, bunga-bunga. Bunga Lily kayaknya ya,” ucap Lintang. Galaksi bersama Breyana ke bagian pria, toko pakaian merek Z itu begitu menggoda Galaksi juga untuk berbelanja, lain emang bapak-bapak satu ini, nggak mau kalah sama bininya, padahal, dari jauh Lintang sudah melotot ke arah Galaksi saat ia memegang sepatu dan beberapa kaos santai.Dengan kode tangan yang diberikan Lintang, akhirnya Galaksi menaruh kaos kembali ke gantungan dan meminta izin membeli sepatu santai. Lintang mengangguk.“Bre, besok-sesok, Pa
Galaksi menatap istrinya yang sudah menghabiskan dua kelapa muda langsung dari kelapanya, alias masih murni tanpa tambahan gula. Mereka duduk di warung kelapa muda yang ada di dekat pantai di daerah Anyer, Banten. Ngidamnya Lintang kali ini kelewatan, sebelum subuh, Galaksi dibangunkan Lintang yang langsung bikin panik karena dengan mengguncang-guncangkan tubuh suaminya itu yang sedang menikmati mimpi indah.“Ke Anyer, ayok. Aku mau minum air kelapa muda di sana. Cepeettt...,” rengekan itu jelas pemaksaan. Galaksi mau menolak tak mungkin, akhirnya sembari berjalan dengan muka bantal dan mata masih semi melek, ia berjalan ke kamar mandi, sementara Lintang membangunkan Breyana dan pengasuhnya. Lintang sendiri sudah siap dengan training satu stel warna abu-abu terang.Dan disinilah mereka, duduk di tepi pantai, pukul tujuh pagi, dengan Galaksi yang harus memaksa pemilik warung membuka kiosnya karena Lintang yang udah kepingin banget minum air kelapa muda itu. Kedua mata Galaksi menatap i
Lintang uring-uringan setelah kehadiran Karmen ke rumahnya untuk meminta izin bertemu Breyana. Ia tak rela, apalagi saat tau jika Karmen akan mengajak Bre bermain dan makan bersama. Ketakutan Lintang akan Bre yang termakan bujuk rayu wanita yang melahirkannya begitu besar. Adjie yang masih setia duduk di sofa rumah Lintang dan Galaksi, mencoba untuk menenangkan emosi wanita hamil muda itu yang seperti sudah mengeluarkan tanduknya dan siap menyeruduk."Gimana juga, Karmen ibu kandungnya Breyana, Tang, lo bakal salah kalau larang apalagi usir kayak tadi," celoteh Adjie. Lintang menoleh, menatap menusuk ke kedua bola mata Adjie yang langsung mengunci mulutnya."Diem. Lo nggak akan tau rasanya jadi gue. Gue perempuan, Karmen juga, harusnya dia mikir panjang, setelah sekian tahun baru cari Bre dan minta ketemu. Nggak sudi gue, bodoh amat mau gue dibilang jahat, kasar, atau apalah. Gue punya alasan kuat ya, buat pertahanin Breyana. Lo kan orang hukum, tau dong, harusnya!" omel Lintang. Adji
Lintang terserang morning sick, wajar bagi ibu hamil apalagi masih di trimester pertama. Galaksi yang selalu menjadi pelampiasan Lintang, baik saat kesal karena baru mau makan udah mual muntah, atau saat merasa lemas akhirnya Galaksi memapah Lintang. Hamil payah kalau kata orang-orang. Galaksi menatap wajah Lintang yang tampak tirus, sudah seminggu setelah Karmen memberi kabar jika ia ingin menemui Breya, bersamaan dengan waktu Lintang periksa ke dokter. Semua mulai Lintang rasakan, ia juga tak bisa bekerja, apa jadi masalah dengan Lintang di pecat? Ya tidak, justru Om Kim dan keluarganya menyambut heboh karena Lintang hamil. Tak masalah jika Lintang tak masuk kerja atau mau berhenti."Resign aja kamu, ya, kerja lagi nanti kalau udah lahiran," pinta Galaksi sambil merapikan surai rambut Lintang yang menutupi wajah cantiknya. Lintang duduk bersandar lemas di sofa ruang TV, Breyana sudah bersiap sekolah, aka