Kondisi ayah Lintang sudah stabil, sudah menempati kamar rawat juga. Lintang dan Adjie berjalan menuju ke meja suster karena harus ada yang dibicarakan.
"Lo balik aja, Jie, ke resto, kasian Mami sama Papi lo pasti nyariin. Gue nggak apa-apa kok."
"Yaudah, nanti Mami juga mau ke sini katanya, sekalian bawain makanan buat lo sama Ibu."
"Ok. Hati-hati, ya." Lintang berdiri di depan meja suster. Adjie memeluk Lintang lalu berjalan menuju lift.
Lintang berdiri bersama suster yang menjelaskan beberapa hal, Lintang manggut-manggut mengerti. Hingga ia melakukan proses penandatanganan sebagai tanda ia setuju dengan prosedur yang akan dokter lakukan.
Ia menunduk, memegang pangkal hidungnya sambil berjalan pelan. Kembali, suara tangis Bre terdengar. Lintang berjalan kembali ke meja suster.
"Sus, apa dilantai ini ada pasien anak-anak juga?" tanya Lintang
"Ada, Bu. Di bangsal sebelah kiri, pintu kaca itu," tunjuk suster.
"Apa ada pasien anak atas nama Breyana?" tanya Lintang lagi. Suster mengangguk.
"Baru masuk ya, Bu, dikamar V.113."
"Ok. Saya ke sana ya."
"Silakan, Bu, kebetulan hanya bersama Ayahnya aja di kamar rawat."
"Iya, makasih ya, Sus," ucap Lintang. Lintang berjalan ke arah kamar V.113 itu, ia membuka pelan pintu. Terlihat Bre yang menangis karena infus di tangannya dan Galaksi yang coba menenangkan sambil membuatkan susu untuk Bre.
"Hai cantiknya Tante Lintanggg…." Raut wajah ceria Lintang langsung disambut tangisan kencang oleh Breyana. Tangannya terangkat ke atas. Lintang yang masih menggunakan seragam kerjanya melepas blazer dan menggulung lengan kemeja sampai ke siku lalu menggendong Bre.
"Sayang …." Lintang memejamkan mata sambil menggendong dan memeluk anak kecil itu. Breyana sesenggukan. Lintang menepuk-nepuk punggung Breyana pelan.
"Buruan susunya Papah, lama yaaa …," ucap Lintang penuh penekanannya sambil melotot. Galaksi terkekeh. Ia lalu berjalan sambil mengocok botol susu dan diberikan ke Lintang.
"Nih, Bre, pelan-pelan ya minumnya, sini Tante Lintang pangku." Lintang duduk di tepi tempat tidur dan memangku Bre yang tenang meminum susunya.
Galaksi duduk di sofa yang ada di kamar rawat itu sambil mengusap kasar wajahnya.
"Biasa aja kali, Lak. Anak kecil sakit gini kan emang wajar, udah ditangani dokter ini. Hasil lab udah keluar belum?" tanya Lintang sambil menepuk-nepuk bokong Breyana pelan.
"Belum, sejam lagi katanya. Lo kok bisa kesini, Ayah sama Ibu lo nggak ada yang temenin."
"Gue denger suara Bre nangis, gue tanya suster trus langsung ke sini."
"Oh."
Lalu pintu kamar rawat terbuka. Tampak kedua orang tua Galaksi yang datang dan terlihat khawatir.
"Bre—yana," ucap ibu Galaksi yang nampak terkejut karena melihat Breyana yang sedang dipangku Lintang. Lintang perlahan bangun dan menyapa kedua orang tua Galaksi.
"Saya Lintang, Tante, Om, temennya Galaksi," sapa Lintang sopan.
"Lintang? Kok kayak nggak asing?" ucap ibunda Galaksi yang langsung disenggol suaminya.
"Mantan gebetannya Galaksi yang pas kuliah dulu, Mah, masa lupa," bisik ayah Galaksi. Ibunda Galaksi menutup mulutnya dengan tangan.
"Ya ampunnnnn, jadi kamu Lintang-Lintang itu?!"
"Ehhh?" Lintang menatap galaksi bingung.
"Lintang, tante minta maaf yaaaa, coba kalo wak—"
"Mah. Udah. Nggak usah dibahas," tegur Galaksi sambil beranjak dan berjalan ke arah kedua orang tuanya.
Ibundanya mengangguk. Tapi menunjukan wajah tak enak hati dengan Lintang.
"Cucu oma kenapaaaa, sini sayanggg." Bre mengangkat kedua tangannya, minta digendong ibunda Galaksi. Lintang menghampiri ayah Galaksi dan mencium punggung tangannya.
"Kalau gitu saya permisi, mau ke kamar Ayah saya, permisi Om, Tante, Galak—si." Lintang berjalan pelan. Lalu suara teriakan terdengar.
"MAH!!"
Keempat pasang mata orang dewasa itu menoleh bersamaan dan menatap Breyana yang mulai menunjukan raut wajah sedih saat melihat lintang hendak keluar kamar.
***
2 hari selanjutnya.
"Nggak bisa, Bu, Ayah saya nggak ada yang jagain dan rawat, Ibu saya nggak kuat kalau sendirian, apa nggak ada jatah cuti saya Bu? Saya kan jarang izin-izin atau cuti, kecuali waktu suami saya meninggal," ujar Lintang yang sedang bicara ditelepon. Ia mondar mandir di dekat lift sambil menelpon bossnya.
"Maaf, Tang, udah kebijakan dari atas, saya bisa apa. Ini sudah dua hari kamu nggak masuk kan, yang kemarin izin, sekarang mau nggak mau potong gaji."
"Ya ampun, Bu. Saya nggak mungkin ninggalin Ayah saya, masih banyak yang harus saya pantau." Lintang duduk dan menunduk. Ia dan bossnya sama-sama diam.
"Gini deh, Bu. Kalau memang tidak ada kebijakan dari perusahaan, saya resign, kesehatan Ayah saya yang utama, saya anak satu-satunya, Bu, nggak mungkin saya repotin keluarga lainnya yang diluar kota, saudara saya disini juga sibuk. Ini tanggung jawab saya. Surat resign saya, saya siapin siang ini juga, Bu," ucap Lintang sambil terus menunduk.
"Tapi kamu nggak dapet apa-apa, Tang, karena baru tiga tahun itu juga masih kontrak."
"Yang saya dapat apa, Bu?"
"Gaji bulan ini aja."
Lintang diam, tapi niatnya sudah bulat. Ia tidak mau mementingkan pekerjaan daripada kesehatan ayahnya yang butuh perhatian ekstra.
"Baik, Bu. Nggak apa-apa, besok pagi saya antar surat resign saya ya, Bu, terima kasih."
"Maafkan saya ya, Lintang."
"Iya, Bu, nggak apa-apa."
Lalu telfon terputus. Lintang mengetuk-ngetuk kening dengan ponselnya berulang kali. Ia kesal dengan tempat ia bekerja, tetapi ia tidak mau membiarkan ibunya seorang diri merawat ayahnya yang sakit.
"Keluarga pasien Bapak Dahlan," panggil suster. Lintang beranjak.
"Ya saya, Sus."
"Ke meja saya sebentar yuk, Bu," ucap suster. Lintang mengangguk.
Lintang kembali dijelaskan suster perihal pengobatan ayahnya. Lintang mengangguk dan menyanggupi. Setelah kembali menandatangani persetujuan, ia melihat Galaksi yang baru datang dari kantor, karena Galaksi masih mengenakan kemeja kerjanya.
"Lho, kok lo baru kesini, Bre sama siapa lak?" tanya Lintang.
"Mama dan Papa, ini mau gantian, gue setengah hari kerjanya."
"Semalam yang nginep disini Mama sama Papa?" tanya Lintang lagi. Galaksi mengangguk.
"Ya ampun, kasian Om sama Tante."
"Ayah gimana, Tang?"
Galaksi balik bertanya.
"Much better, ni mau dikasih obat lainnya, tunggu visit dokter sekalian."
"Syukurlah kalo gitu. Terus, lo nggak kerja? Cuti?" lanjut Galaksi. Lintang mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Ok, gue ke kamar, Bre, ya, Mama sama Papa mau pulang."
"Oke, bye."
Lintang berjalan menuju ke kamar ayahnya. Saat ia membuka pintu kamar, terlihat ibunya yang tertidur di sofa. Ia tidak tega. Ayahnya juga sedang tertidur. Lintang menyelimuti tubuh ibunya lalu ia berjalan keluar kamar menuju ke kamar Bre. Ia sudah berganti baju, semalam Adjie yang membawa pakaian gantinya.
"Permisi," ucap Lintang saat masuk ke kamar Bre. Semua tampak sibuk saat Bre kembali buang-buang air. Galaksi mengambil pampers, kedua orang tua Galaksi sibuk menenangkan Bre. Perutnya masih suka sakit, membuat Bre tidak nyaman.
"Breeee …" sapa Lintang. Ketiganya sontak menoleh ke Lintang.
"Tante, sini saya bantu gantiin pampers Bre." Lintang menawarkan dirinya mebmantu. Ibunda Galaksi terlihat lega. Sudah bukan usianya lagi memang untuk mengurus bre. Galaksi kekeh tidak mau pakai baby sitter karena takut anaknya di apa-apakan.
"Kenapa Bre, sakit perutnya ya. Kita ke kamar mandi yok, pake air anget bersih-bersihnya, yok Tante gendong." Lintang menggendong Bre dan membawa pampers di tangannya. Galaksi mencopot infus dari tiang lalu ikut berjalan ke dalam kamar mandi.
Tidak lama terdengar suara Bre tertawa karena Lintang memandikan dengan air hangat dan sambil bercanda.
"Pa, apa kita nikahin aja mereka, ya? Galaksi masih sayang sama Lintang kayaknya. Mamah mau nebus kesalahan mamah beberapa tahun lalu?" Ibunda Galaksi menatap ke suaminya.
"Tanya Galaksi dan Lintang, jangan kita yang atur lagi, mereka sudah dewasa, Ma." Papanya merangkul bahu istrinya sambil duduk di sofa. Mereka tampak lelah.
"Iya, ya, Pa."
Sebulan berlalu. Lintang sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Ia menyiapkan sarapan dan obat untuk ayahnya. Rutinitas yang ia jalankan sejak ayahnya pulang dari rumah sakit.Ia duduk di depan meja komputer yang ada di rumah kedua orang tuanya. Berselancar untuk mencari lowongan pekerjaan baru untuknya.'Asisten pribadi? Boleh juga.' Pikir Lintang sambil mencatat email perusahaan tempat ia akan melamar pekerjaan. Beberapa perusahaan sudah ia catat. Tidak ada lowongan aspri, tetapi lowongan customer service,marketing, hingga posisi secretaris."Mudah-mudahan cepet dapet kerjaan baru ya, Tang," ujar ibunya seraya meletakan pisang goreng di dekat Lintang."Makasih, Bu," jawab Lintang sambil tersenyum. Dengan santai ia mulai memakan pisang goreng dengan kaki diangkat satu.Ponselnya berbunyi, nama Adjie muncul."What's up broooo …." Jawab Lintang seraya menempelkan ponsel ke telinganya."Dipanggil Mami, Tang, suruh ke resto.""Resto yang mana?""Pusat.""Suruh ngapain?""Ngelapin kac
Galaksi menatap foto putri kecilnya yang dijadikan wallpaper ponselnya. Ia tersenyum. Galaksi mendapat kekuatan setiap harinya hanya dengan memikirkan kebahagiaan putri kecilnya. Betapa lucunya Breyana walau diusianya saat ini belum bisa berjalan lancar. Masih terjatuh-jatuh. Efek terlalu sering digendong kemana-mana, jadi motorik Bre juga lambat.Mobil Galaksi mengarah ke restaurant, sesuai janji Lintang waktu itu, kalau ia mau sesekali menemui Bre. Ia juga paham anak Galaksi itu mudah ceria jika bersamanya."Hai calon Mamanya Bre, gimana kerjanya?" Galaksi sudah berdiri di samping mobilnya sambil bersedekap. Kemeja kerjanya, seperti biasa, sudah tidak rapi jika pulang kantor. Ia cengengesan sendiri."Masih halu banget sumpah." Jawab Lintang sewot. Adjie yang baru datang dengan motornya dari kampus menatap heran sambil meletakan helm di motornya."Mau kemana?" Adjie menunjuk ke Lintang dan Galaksi."KUA!" jawab Galaksi asal. Ia mendapat pukulan di bahunya dari Lintang."Enak aja, ma
Playground yang dipilih Lintang tak begitu ramai, mungkin karena malam hari juga dan hanya Breyana juga dua anak kecil lainnya yang bermain. Lintang duduk di atas matras yang memang dijadikan alas supaya anak-anak tidak terasa dingin jika bersentuhan dengan lantai dan lebih aman.“Breyana umurnya berapa, sih, udah dua tahun atau belum?” Lintang bersuara tapi kepalanya terus menuju ke arah Breyana yang merangkak mengejar mainan.“Pas dua tahun, tiga bulan lalu,” jawab Galaksi yang duduk bersila disebelah Lintang. Kedua masih memakai pakaian kerja, Galaksi sesekali mengulum senyum saat menatap Lintang. “Kenapa nanyain? Mau beli kado? Beli, dong, buat calon anak sambung,” celetuk lelaki berperawakan tinggi dengan rambut cepak.“Iya lah, gue mau beli kado. Sebagai Tantenya,” tegas Lintang.“Calon Mama,” sanggah Galaksi.“Dih! PD banget lo. Udeh, Lak … jangan mancing gue ngamuk!” ancan juga pelotot Lintang. Ia lalu beranjak, ingin menghampiri Breyana namun sebelumnya Lintang menguncir ting
Ulah Galaksi ada-ada aja, hari itu ia sengaja datang ke rumah orang tua Lintang sejak pukul setengah empat pagi, bahkan marbot masjid saja belum ancang-ancang hendak pergi ke masjid terdekat. Galaksi membuat ayah Lintang terpaksa bangun lalu membuka pagar.“Lho, ada apa, Galaksi?” tanya ayah sembari membuka pagar.“Maaf, Om, datang jam segini. Tadinya mau dari tengah malam, tapi nanti disangka maling.” Galaksi berjalan dibelakang ayah yang sudah kembali menutup pagar.“Kamu memang maling?” celoteh ayah.“Nggak, Om, saya bukan maling. Berani sumpah, saya, Om.”Ayah Lintang menoleh setelah menghentikan langkah kakinya. Menatap lekat Galaksi.“Maling hati anak saya, ‘kan,” ujarnya lalu kembali berjalan. Galaksi menahan tawa. Bisa aja calon mertua. Padahal boro-boro Lintang memberi respon OK. Galaksi duduk di ruang tamu, sendirian, yaiyalah, ngapain juga ayah Lintang temani lelaki yang niatnya tak jelas datang jam segitu. Lintang keluar kamar, dengan wajah bantal, ia duduk di sofa berjara
Galaksi dan Lintang selesai jogging, mereka kini berjalan kaki mengarah pada area tempat acara kampus diadakan. Lintang sengaja menolak terlalu dekat lokasi, ia tak ingin bertemu tatap dengan beberapa dosennya dahulu. Rasanya malas disaat ia bertemu mereka tapi sedang bersama Galaksi.“Gue tunggu di sana,” tunjuk Lintang pada stand kecil penjual minuman dingin.“Kenapa nggak mau ke sana?” Galaksi berkacak pinggang, napasnya terengah karena lelah setelah jogging tadi.“Nggak papa. Lo aja sana,” usir Lintang.“Oke.” Galaksi pergi ke arah kerumuman para mahasiswa, dosen dan ada juga beberapa teman yang datang. Lintang beranjak, ia takut Galaksi mendadak memanggil lalu memaksanya ke sana. Ia berjalan menjauh, memilih duduk bersembunyi di stan penjual burger. Lintang hanya memantau dari kejauhan.“Beef burger dan salad sayurnya satu, ya,” pesan Lintang.“Oke, ditunggu, ya,” kata penjual. Lintang masih terus menatap, lalu menghela napas panjang karena Galaksi tampak celingukan mencarinya. I
Mall terlihat tidak begitu ramai, mungkin karena masih tanggal tua,tapi justru membuat Lintang nyaman. Ia dengan telaten mengajarkan Bre memakan makanannya sendiri. Finger food istilahnya. Biar Bre belajar mandiri dan tahu apa yang bisa ia lakukan supaya motoriknya terasah. Tidak melulu disuapin atau apa-apa dibantu orang lain. Sejak sedini mungkin seorang anak juga harus mulai diajarkan untuk mandiri supaya tidak malas."Bre, ini ayam, ini wortel, ini buncis, ini kentang." Lintang menunjuk ke potongan-potongan kecil bagian dari menu steak ayam yang ia pesan untuk Breyana. Ia meletakan di piring kecil. Bre menatap ke Lintang. “Nih, lihat Tnte Lintang makan, ya."Lintang memasukan makanan ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya. Bre mulai memegang walau awalnya tampak risih dan takut, tapi Lintang terus menyemangati. Hingga beberapa menit berlalu, Bre mulai memakan makanannya sendiri."Enakkk?" tanya Lintang. Bre terus makan dan manggut-manggut. Galaksi sibuk memideokan Bre dan dikirim ke
Suara para karyawan bagian dapur restoran tempat Lintang bekerja terdengar riuh, jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Saatnya restaurant bersih-bersih karena sudah waktunya tutup.Lintang membantu merapikan kimchi yang akan disediakan untuk para pelanggan esok hari ke dalam kulkas. Bima yang sudah memakai pakaian koki berwarna putih sibuk memisahkan bahan makanan untuk besok ke dalam ruangan pendingin khusus."Tang, balik bareng?" tanya Bima. "Adjie, ‘kan nggak ke sini hari ini," lanjutnya. "Tenang, ada ojol. Lo kejauhan kalo anterin gue, Bim.""Nggak kok. Eh lagian kita ‘kan mau ke tempat Bang Igo dulu. Lo nggak baca grup keluarga ya?"Lintang mengernyitkan keningnya. Ia lalu membuka ponsel dan membaca chat yang sudah banyak."Ehhh, kumpul semua?""Harus dateng pokoknya. Meta sama Aldo aja dateng. Udah sampe malah. Kapanlagi sepupu-sepupu kumpul.” Bima menepuk bahu Lintang."Oke deh, gue telepon Ayah dulu, kasih tau anaknya pulang telat.""Yaudah. Gue ganti baju, gue tunggu di
Semenjak kejadian mentraktir sepupu Lintang malam itu, Galaksi semakin yakin dan pantang mundur untuk mendapatkan wanita pujaannya. Walau ia belum tahu perasaan Lintang seperti apa kepadanya karena Lintang tidak pernah memperlihatkan dan mengutarakan.Lintang bekerja sebagai manager restaurant. Tidak lagi dipembukuan karena om Kim lebih melihat Lintang cocok dalam menyambut tamu dan mengatur karyawan yang bekerja. Walau Lintang ngotot kalau mau membantu apa saja. Ia tidak bisa diam memang, jadi omnya pun menyetujui."Lintang, sini sebentar," panggil om Kim."Ne samchon" (ya paman), jawab Lintang dengan bahasa korea yang malah direspon kekehan dari omnya yang asli orang korea tapi sudah menjadi WNI itu."Lintang, i need your help.""Ne," jawab Lintang sambil terkekeh juga."Gini, Tang, besok itu katanya ada yang mau booking untuk dua puluh orang dari perusahaan apa gitu ya, Om, lupa. Tolong konfirmasi ke sekretarisnya. Namanya Jingga, ini nomor kontaknya. Buat mastiin aja jadi kita jug
Menjadi seorang ibu, bagi Lintang satu kebanggaan juga kebahagiaan. Memiliki anak bukan satu kerepotan, apalagi jika benih yang tumbuh dirahimnya dari orang yang ia cintai dengan tulus. Selain itu, anak juga rezeki dari pencipta, semua sudah diatur oleh-NYA. Terkadang, manusianya saja yang suka berpikir seenaknya, lupa jika dia dulunya juga seorang anak. Tangannya menggandeny Breyana, mereka sedang di mal untuk membeli sepatu baru karena Breyana akan mengikuti turnamen basket wanita usia 16. Iya, Breyana sudah remaja. Ia tumbuh cantik dan lebih mirip Lintang--ibu sambungnya--dari pada Karmen. "Ma, jangan yang mahal-mahal, Bre nggak mau, yang penting nyaman," pintanya saat mereka masuk ke toko sepatu olahraga. "Oke, Kakak," jawab Lintang sembari melihat ke jajaran sepatu yang tertata apik di rak. "Bre," panggil Lintang. "Apa, Ma?" Breyana memegang sepatu basket dengan corak pink orange. Warna yang mencolok dan itu limited edition, tertulis dirak. Saat melihat harganya, Breyana ke
Galaksi sudah selesai mandi, segera ia duduk anteng di sebelah Lintang. Ia memperhatikan istrinya melayani dirinya makan. Padahal perutnya sudah semakin membesar. Dasar Galaksi, tetap saja ia iseng dengan mencolek-colek lengan istrinya yang semakin berisi. Bukan gendut, ya, Lintang bisa sewot kalau dibilang begitu. “Jadi, katakan Adinda, ada ghibahan apa? Supaya Kakandamu itu, tidak ketinggalan informasi hangat,” kata Galaksi. Lintang menjewer pelan telinga suaminya, “Nggak usah lebay gitu bisa, nggak sih, Lak … ya ampun …,” kesal Lintang dengan menyipitkan mata menatap Galaksi yang mengusap telinganya setelah jemari Lintang menjauh. “Sebel aku,” gerendeng Lintang. “Jangan sebel-sebel, nanti anaknya mirip aku, lho,” lanjut Galaksi kemudian meneguk air putih di gelas. “Ya pasti mirip, Galak… ini anakmu, kamu yang tanam bibitnya, aku potnya, pasti mirip kamu, masa mirip Goong Yoo!” “Hah! Siapa oyong!” Galaksi terbelalak. “Kok oyong …, hih! Goong Yoo! Nih, ya, bentar aku lihat
"Saya tau kamu ibu kandung Breyana, tapi saya minta kamu untuk jujur, Karmen, sekali lagi saya mau tanya sama kamu. Apa... kamu berniat bawa Breyana tinggal dan menetap sama kamu?"Pertanyaan itu terlontar begitu lancar dengan nada bicara santai namun penuh penekanan. Lintang akan benar-benar menahan emosi dan egonya kali ini. Ia tam mau meledak-ledak apalagi gegabah. Hati Breyana yang ia harus jaga.Karmen menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Iya, Lintang, aku memang... suatu hari nanti berniat bawa Bre tinggal dan kembali ke aku, seenggaknya satu tahun ke depan."Lintang sudah menduga hal itu, lambat laun pasti akan begitu. Ia menunduk, mengangguk pelan. Hatinya sakit juga sedih, bagaimana ia suatu hari memang akan berpisah dengan Breyana."Aku minta maaf sama kamu Lintang, aku begitu naif beberapa tahun lalu, nggak mau bawa Bre untuk hidup sama aku karena menurutku, fokus saat itu ke suamiku sekarang. Aku mau memperbaiki hubunganku sama dia, di mana emang aku cintan
Lintang ingin sekali bisa beraktifitas normal, namun kehamilannya membuatnya harus bersabar dan mengalah kepada Karmen yang kini, mengantar jemput Breyana sekolah. Lintang selalu diingatkan Galaksi untuk sabar dan mengerti, kasihan Breyana juga nantinya.Siang itu, Lintang sedang membeli buah-buahan di supermarket buah, diantar Adjie yang sedang memiliki waktu luang, sementara Galaksi sibuk bekerja. Ia paham posisi dan kondisi suaminya itu, dan Adjie lah yang menjadi orang yang dihubungi saat darurat."Tang, enak kayaknya nih, pir, beliin gue ya, buat di rumah." Palak Adjie."Kebangetan. Udah kaya, masih malah gue." ketus Lintang. "Ambil!" lanjutnya. Lintang tak akan tega pada akhirnya."Eh iya, Bang Igo tanya, Breys cabang Jakarta, gimana prosesnya?" tanya Adjie."Aman, Kak Dita kan yang ngurusin. Gue udah nggak boleh mondar mandir ke sana, Jie, bawel banget Kak Dita, takut gue kenapa-kenapa." Lintang mendorong troli lagi, Berkeliling mencari buah dan camilan lainnya, Adjie mengekor,
Lintang dikejutkan dengan Breyana yang tiba-tiba demam tinggi, Sari membangunkannya tengah malam, Galak juga ikut terbangun. Breyana, kemarin saat di sekolah memang ikut ekskul renang, Sari sudah melarang karena Breyana tampak tak enak badan, namanya anak kecil, dilarang malah menangis. Sari jadi merasa bersalah, tapi Lintang dan Galaksi tak masalah, sudah saatnya sakit ya sakit saja, pikirnya. Karena ia tau Sari menjaga Breyana begitu penuh perhatian juga sayang.IGD menjadi saksi tangis Lintang saat dokter memberitahu jika Breyana tipes sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit. Sari juga ikut menangis, bahkan meminta maaf kepada Lintang dan Galaksi."Kamu nggak salah Sari, saya cuma sedih lihat anak saya dipasang infusan sampai Breyana nangis jerit-jerit. Ibu mana yang nggak sedih, udah, kamu jangan sedih juga." Lintang mengusap lengan Sari. Ketiganya m
Rencana cuma dibuat manusia, tapi penciptalah yang menentukan hasil akhirnya. Galaksi cuti mendadak selama dua hari, ia menepati janji mengajak Lintang ke mall setelah pulang dari pantai. Breyana duduk di baby stroller yang masih bisa digunakan sampai Bre lima tahunan, cukup berfungsi baik, karena model baby stroller itu yang bisa dijadikan seperti kursi dorong.“Bu, ini bagus modelnya, bisa sampai Sembilan bulan Ibu pakai,” ujar Sari.“Iya bener, Sar, yaudah boleh tuh, motifnya lucu, bunga-bunga. Bunga Lily kayaknya ya,” ucap Lintang. Galaksi bersama Breyana ke bagian pria, toko pakaian merek Z itu begitu menggoda Galaksi juga untuk berbelanja, lain emang bapak-bapak satu ini, nggak mau kalah sama bininya, padahal, dari jauh Lintang sudah melotot ke arah Galaksi saat ia memegang sepatu dan beberapa kaos santai.Dengan kode tangan yang diberikan Lintang, akhirnya Galaksi menaruh kaos kembali ke gantungan dan meminta izin membeli sepatu santai. Lintang mengangguk.“Bre, besok-sesok, Pa
Galaksi menatap istrinya yang sudah menghabiskan dua kelapa muda langsung dari kelapanya, alias masih murni tanpa tambahan gula. Mereka duduk di warung kelapa muda yang ada di dekat pantai di daerah Anyer, Banten. Ngidamnya Lintang kali ini kelewatan, sebelum subuh, Galaksi dibangunkan Lintang yang langsung bikin panik karena dengan mengguncang-guncangkan tubuh suaminya itu yang sedang menikmati mimpi indah.“Ke Anyer, ayok. Aku mau minum air kelapa muda di sana. Cepeettt...,” rengekan itu jelas pemaksaan. Galaksi mau menolak tak mungkin, akhirnya sembari berjalan dengan muka bantal dan mata masih semi melek, ia berjalan ke kamar mandi, sementara Lintang membangunkan Breyana dan pengasuhnya. Lintang sendiri sudah siap dengan training satu stel warna abu-abu terang.Dan disinilah mereka, duduk di tepi pantai, pukul tujuh pagi, dengan Galaksi yang harus memaksa pemilik warung membuka kiosnya karena Lintang yang udah kepingin banget minum air kelapa muda itu. Kedua mata Galaksi menatap i
Lintang uring-uringan setelah kehadiran Karmen ke rumahnya untuk meminta izin bertemu Breyana. Ia tak rela, apalagi saat tau jika Karmen akan mengajak Bre bermain dan makan bersama. Ketakutan Lintang akan Bre yang termakan bujuk rayu wanita yang melahirkannya begitu besar. Adjie yang masih setia duduk di sofa rumah Lintang dan Galaksi, mencoba untuk menenangkan emosi wanita hamil muda itu yang seperti sudah mengeluarkan tanduknya dan siap menyeruduk."Gimana juga, Karmen ibu kandungnya Breyana, Tang, lo bakal salah kalau larang apalagi usir kayak tadi," celoteh Adjie. Lintang menoleh, menatap menusuk ke kedua bola mata Adjie yang langsung mengunci mulutnya."Diem. Lo nggak akan tau rasanya jadi gue. Gue perempuan, Karmen juga, harusnya dia mikir panjang, setelah sekian tahun baru cari Bre dan minta ketemu. Nggak sudi gue, bodoh amat mau gue dibilang jahat, kasar, atau apalah. Gue punya alasan kuat ya, buat pertahanin Breyana. Lo kan orang hukum, tau dong, harusnya!" omel Lintang. Adji
Lintang terserang morning sick, wajar bagi ibu hamil apalagi masih di trimester pertama. Galaksi yang selalu menjadi pelampiasan Lintang, baik saat kesal karena baru mau makan udah mual muntah, atau saat merasa lemas akhirnya Galaksi memapah Lintang. Hamil payah kalau kata orang-orang. Galaksi menatap wajah Lintang yang tampak tirus, sudah seminggu setelah Karmen memberi kabar jika ia ingin menemui Breya, bersamaan dengan waktu Lintang periksa ke dokter. Semua mulai Lintang rasakan, ia juga tak bisa bekerja, apa jadi masalah dengan Lintang di pecat? Ya tidak, justru Om Kim dan keluarganya menyambut heboh karena Lintang hamil. Tak masalah jika Lintang tak masuk kerja atau mau berhenti."Resign aja kamu, ya, kerja lagi nanti kalau udah lahiran," pinta Galaksi sambil merapikan surai rambut Lintang yang menutupi wajah cantiknya. Lintang duduk bersandar lemas di sofa ruang TV, Breyana sudah bersiap sekolah, aka