Bab 5
"Mami sampai belain kamu segitunya?" tanya Bastian sedikit terperangah. Lelaki menyimpan sendok di piring dan mengabaikan menu makan malamnya selama beberapa saat. Setengah jam lalu ia baru saja pulang.
Baru saja Aruna menceritakan apa yang terjadi di klinik kecantikan. Perempuan itu kentara merasa tak enak hati, karena sudah membuat Lusiana bersitegang dengan teman-temannya. Apalagi keluar ancaman kejam dari mulut mertuanya. Aruna gelisah. Bagaimana kalau perempuan-perempuan tadi yang bergerak lebih dulu menghancurkan Lusiana?
"Kamu mikirin apa lagi?" tanya Bastian.
"Em ... gimana kalau Mami kenapa-kenapa, Mas?"
Bastian tertawa saat itu juga. Entah tawa geli atau tawa mengejek. Aruna tak bisa menerkanya dengan pasti.
"Mami itu punya power. Gak mungkin Mami kalah sama orang seperti Tante Herma dan teman-temannya. Harusnya mereka yang khawatir."
"Apa Mami mau melakukan sesuatu, Mas?"
"Entahlah, kamu tanya aja langsung sama Mami. Omong-omong, saya peringatkan supaya kamu dan Fathan gak sering-sering keluar. Kalau soal pergi ke klinik buat perawatan, saya bisa bangunkan salon buat kamu di rumah ini."
Aruna terkesiap dengan peringatan sekaligus tawaran itu. Kepalanya menggeleng. "Rasanya berlebihan kalau sampai harus bangun salon, Mas."
"Gak ada yang berlebihan buat saya. Toh saya yakin, kamu juga butuh itu. Bukannya kamu punya tujuan khusus kenapa sampai mau menikah dengan saya?"
Kali ini Aruna tak terkesiap, melainkan sudah tertegun. Memang betul Aruna lelah menjadi perempuan miskin yang tak punya apa-apa, sehingga menawarkan pernikahan lebih dulu pada Bastian. Namun, ia juga tak terlalu mata duitan. Aruna sudah cukup dengan semua fasilitas yang ada di rumah besar ini.
"Balik lagi ke persoalan tadi." Bastian kembali bicara dengan nada sangat serius, memanfaatkan ketidakhadiran Fathan yang sudah tidur lebih awal karena kelelahan. "Tugas kamu di sini hanya untuk menjaga Fathan, bukan keluar-keluar dan bergabung dengan sosialita lainnya."
Telak, hati Aruna berdenyut nyeri. Perkataan Bastian membuatnya makin sadar diri. Aruna mengangguk saja, memilih mengiyakan alih-alih harus bersitegang karena jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia menilai Bastian ini cukup kejam!
"Kamu ini jangan baperan, Run. Kamu sama Mas Bastian menikah bukan karena cinta." Demi makin menyadarkan dirinya, Aruna terus mengucapkan kalimat itu, sampai makan malam selesai dan ia naik ke lantai dua untuk tidur.
Aruna masuk ke kamar utama, merebahkan tubuhnya di atas ranjang super empuk. Ia menghadap ke arah jendela besar yang tertutup gorden tebal. Aruna gelisah, mendadak penasaran apakah Bastian akan kembali menghindar seperti malam-malam sebelumnya?
Tepat tengah malam, pintu kamar terdengar terbuka. Kontan Aruna menutup mata dan berpura-pura tidur. Gerakan di sebelah tempat tidur membuatnya makin gelisah. Ia tahu itu Bastian, sebab wanginya yang khas tercium hidung.
Satu detik, dua detik, sampai beberapa menit berlalu, tak ada lagi pergerakan di sampingnya.
Malam itu, untuk pertama kalinya mereka tidur di atas ranjang yang sama. Namun, tentu saja tak ada sesuatu yang terjadi. Mustahil Bastian mau menyentuh perempuan yang menyerahkan hidupnya hanya demi uang, pikir Aruna mencoba tetap tenang.
***
"Aku gak suka putih telur, Ma. Boleh 'kan, kalau aku makan kuningnya aja?"
Pagi-pagi saat sarapan, Fathan sudah banyak protes. Tak mau putih telur, tak mau minum air hangat, dan tak mau sarapan sayur serta nasi. Aruna sungguh belajar untuk bersabar. Ia harus paham kalau Fathan memang sangat pemilih dalam hal makanan.
"Oke, tapi kamu harus pilih salah satu dari makanan ini. Mana yang sekiranya mau kamu singkirkan?" tanya Aruna menyimpan piring kecil di depan anak sambungnya.
"Mama, aku gak suka semuanya!" Fathan mulai merengek, kembali menyebut makanan apa saja tak tak akan pernah ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Kalau begitu, Mama singkirkan dulu brokolinya, terus Mama simpan putih telur satu suap. Coba dulu, ya?"
Fathan berdecak. Kalau sudah seperti ini, Aruna bisa melihat sifat Bastian yang menyebalkan dalam diri anak berumur tujuh tahun itu.
"Coba dulu, Sayang. Mau denger apa kata Mama gak?"
Di tempat tak jauh dari meja makan, Bastian yang tengah bicara pada kepala asisten rumah tangganya itu melihat lekat pada dua orang di sana. Ia ingin tahu, apalah Fathan akan mengikut permintaan Aruna atau tidak.
"Astaga …." gumamnya sungguh takjub, karena Fathan mau menyuapkan irisan putih telur ke dalam mulutnya. Kendati wajahnya menunjukkan ketidaksukaan, tetapi putra semata wayangnya itu tetap menelan habis.
Diam-diam Bastian merasa takjub dengan cara Aruna membujuk Fathan.
"Ada lagi tambahan, Pak?" tanya Marini.
"Itu saja. Saya minta Bi Mar dan yang lainnya bekerja sama. Laporkan pada saya, kalau Aruna keluar dari rumah ini tanpa alasan. Jangan sampai dia mengajak Fathan." Bastian mengulang titahnya yang tadi.
Marini mengangguk dan pamit undur diri. Sementara Bastian melanjutkan langkah ke luar dari rumah. Ia akan meminta para security untuk mengetatkan penjagaan.
Sementara di meja makan, Aruna sudah tertawa geli melihat wajah Fathan. Aruna menerka kalau Fathan ini ingin merengek, tetapi anak lelaki itu menahannya sekuat tenaga.
"Mama bangga sekali sama Fathan! Makasih udah mau nurut apa kata Mama." Aruna mengusap penuh kasih puncak kepala putranya.
Fathan pun akhirnya tersenyum. Segala hal yang membuat Aruna senang, pasti juga menular pada perasaannya.
Di tengah kehangatan meja makan itu, ponsel yang ditinggalkan Bastian berdering. Aruna menoleh ke arah tangga, tetapi Bastian sudah tak ada di sana. Aruna memiliki niat menyerahkan ponsel milik suaminya. Namun, tanpa diduga Fathan malah mematikan panggilan itu.
"Jangan dikasih sama Papa, Ma. Itu dari Tante Jahat!" ucap Fathan kembali duduk di tempat semula.
Mau tidak mau, Aruna memanjangkan leher demi melihat siapa penelepon tadi. Nama Sandra tertera di sana. Sudah pasti itu adalah nama perempuan, bukan? Namun, mengapa Fathan memberikan julukan Tante Jahat pada perempuan itu?
*******
Bab 6Bastian kembali ke meja makan usai menuntaskan urusannya. Baru duduk dan ingin menyendok nasi, tatap matanya malah tertuju pada ponsel. Jelas Bastian tahu, kalau letak ponselnya telah berubah dari yang terakhir kali diingatnya.Tanpa kata, lebih dulu Bastian mengambil benda pipih itu. Wajahnya semakin datar saat melihat nama siapa yang tertera di riwayat panggilan tak terjawab. Ia mengangkat kepala, lantas pandangannya jatuh pada Aruna yang tengah menatapnya."Kamu yang pegang hp saya?" tanya Bastian membuat Aruna terkesiap."Nggak, Mas!""Jangan bohong!" Mendadak Bastian tidak bisa mengontrol suara. Ia sampai lupa ada Fathan yang memperhatikan dengan lekat. "Jangan pernah lancang, Aruna! Hp ini barang pribadi saya! Kamu harus tau batas privasi!""Mas—""Saya gak mau dengar apa-apa!" potong Bastian begitu arogan. "Ini peringatan pertama dan terakhir dari saya!"Aruna sudah menyiapkan berbagai macam kalimat untuk membela diri. Namun, lagi-lagi Fathan bergerak lebih cepat. Anak le
Bab 7"Jangan pernah ganggu Aruna, Bas, atau kamu akan berhadapan sama Mami!"Bastian memukul setir kemudi. Masih teringat jelas peringatan keras yang diberikan oleh ibunya sendiri siang tadi. Lelaki yang tengah menempuh perjalanan menuju rumah itu tak bisa menahan umpatan di bibirnya."Sialan! Apa Aruna sengaja mau mengadu domba aku sama Mami? Kenapa dia cerita-cerita sama Mami segala?!"Setir kemudi kembali dipukul. Bastian tak peduli dengan rasa sakitnya, sebab ia perlu melampiaskan amarah ini, agar bisa terurai sedikit demi sedikit. Sejak awal Bastian pikir, kalau Aruna tidak akan pernah memiliki pengaruh sebesar ini setelah mereka menikah.Akan tetapi, apa faktanya? Aruna bisa sangat dekat dengan Fathan. Selain itu, Aruna juga mampu membuat Lusiana selalu berpihak padanya, sampai-sampai Lusiana berani menghadang teman-teman sosialitanya untuk membela si menantu, yang memang benar berasal dari keluarga miskin!Sampai di rumah, Bastian mencoba mengatur napas. Sekarang sudah pukul s
Bab 8Genap satu minggu Aruna tinggal di rumah Bastian. Berstatus sebagai istri dari lelaki kaya raya tentu membuat semua kebutuhannya tercukupi. Namun di sisi lain, Aruna merasa kebebasannya mulai terenggut. Ia masih bisa pergi ke luar rumah, entah untuk sekedar makan atau berbelanja makanan ringan di minimarket. Hanya saja, setiap gerak langkahnya selalu ditunggui oleh sopir, atau bahkan bodyguard yang sengaja ikut.Hari ini pun, Aruna hanya bisa melihat ke luar jendela. Untuk pertama kalinya, Aruna tak berselera menyantap semua makanan yang disiapkan di atas meja makan. Semuanya terasa hambar. Mendadak Aruna rindu pada kehidupannya sebelum menikah.Di tengah lamunan itu, ponselnya berdering. Aruna pun tersenyum karena sang ibu mertua yang menghubungi. Dua hari ini, Lusiana tengah bepergian bersama koleganya."Runa, Sayang ...." Di seberang sana, Lusiana memanggil hangat. "Besok kamu ikut ke rumah Om Liam, ya. Anaknya yang paling besar baru aja lulus jadi sarjana. Kita ke sana buat
Bab 9Aruna menjadi orang pertama yang sangat terkejut akan pengakuan Bastian. Kepalanya langsung menoleh. Aruna ingat sekali, sejak ia meminta maaf pada Bastian di malam itu, mereka hanya bicara sekedarnya saja. Keduanya akan tampak akur di depan Fathan, kemudian bersikap seolah tak saling kenal, jika bocah lelaki itu tak ada di rumah."Tapi, Mas, apa yang diomongin sama Arinda itu bener, kok! Aruna memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu!" Riani angkat bicara."Tuh, kan! Yang berpikir kayak gitu bukan cuma aku aja, Mas!"Bibir Bastian menipis. Selama beberapa saat ia tak mengatakan apa-apa, dan hanya fokus menatap semua orang yang ada di gazebo. Hal tersebut sukses membuat nyali para adik sepupunya perlahan menciut. Bagaimanapun juga, Bastian masih menegang tahta tertinggi sebagai cucu pertama, juga sebagai pemimpin perusahaan keluarga.Siapa pun yang berani menentangnya, sudah pasti akan didepak dan tak akan pernah mendapatkan posisi bagus nan terhormat di perusahaan milik
Bab 10Kekecewaan tampak jelas di raut Aruna. Perempuan itu menatap Marini, memohon agar diizinkan pergi ke luar. Namun, sayangnya Marini tetap menggelengkan kepala."Maaf, Bu," ucap Marini sekali lagi."Apa alasannya, Bi?" tanya Aruna penasaran. Disisi lain, ia juga merasa Bastian telah berlebihan. "Kayaknya Mas Bastian mau ngurung saya di rumah ini pake cara yang halus, ya?"Marini tidak berani menjawab. Sebagai kepala asisten rumah tangga yang sudah bekerja belasan tahun di rumah Bastian, tentunya ia harus selalu menuruti segala titah dari sang tuan."Saya mohon kerjasamanya, Bu," pinta Marini dengan sangat.Secepat mungkin Aruna memutar otak. Ia akan mencari jalan agar dirinya bisa keluar dari rumah, dan Marini tetap bisa patuh pada Bastian."Begini aja, Bi, gimana kalau Bibi Mar bohong sama Mas Bastian? Dia juga gak akan tau, kok, kalau kita kerja sama," bujuk Aruna.Hal pertama yang dilakukan oleh Marini adalah terkesiap. Kontan kepalanya menggeleng, sebagai bentuk penolakan ata
Bab 11Aruna berbalik. Pertama, ia mengerutkan kening karena sang suami sudah ada di rumah tepat pukul tiga sore. Kedua, napasnya sedikit tertahan saat sadar, mungkin saja Bastian akan marah mendapati lelaki asing berada di rumahnya. Apalagi lelaki itu melipat tangan di dada, sembari menghunuskan tatapan tajam penuh peringatan."Mas Bastian pasti belum tau siapa Chef Akbar ini," gumamnya dalam hati, bergegas meninggalkan area dapur demi menyusul sang suami yang masih berdiri dengan raut datar."Ini Chef Akbar, Mas. Beliau yang akan mengajari aku memasak," terang Aruna berusaha tak menanggapi tatap tajam dari Bastian."Kalian akan belajar di sini tiap hari?"Aruna mengangguk"Kamu ikut saya, kita bicara di atas!"Perasaan Aruna sudah sangat tak keruan saat mendapatkan titah seperti itu. Namun, tentu saja kedua kakinya tetap melangkah, mengekor langkah panjang Bastian yang sampai di kamar mereka lebih cepat. Dari belakang, Aruna sudah menebak bagaimana napas dari suaminya yang terkadang
Bab 12Permintaan Fathan tak akan pernah bisa ditolak, Bastian tahu itu. Ia terkesiap saat sang putra naik ke lantai atas. Bastian segera menyusul. Berbagai cara ia lakukan agar Fathan tak mengajak Aruna, tetapi putra semata wayangnya tak pernah mau mendengarkan.Fathan itu keras kepala, sama seperti Bastian."Fathan!" panggil Bastian terpaksa sedikit meninggikan suaranya.Kedua kaki mungil itu tetap melangkah menuju kamar utama. Fathan membuka pintu, tetapi kamar tersebut kosong. Tak ada Aruna di dalamnya."Mama mana, Pa?" tanya Fathan berbalik. Ia sudah memeriksa ke kamar mandi, wardrobe, sampai ke balkon kamar. Namun, lagi-lagi Aruna tak bisa ditemukan. "Tadi Mama naik ke atas, 'kan?""Mama ada di kamar yang lain," ucap Bastian terpaksa memberitahu. Di depan Fathan, ia tak bisa terlalu banyak berbohong. Bastian juga tahu, kalau putranya ini sangat cerdas. Jika Fathan mencium sesuatu yang mencurigakan, maka bocah lelaki itu tak akan berhenti mencecarnya dengan banyak pertanyaan."Lh
Bab 13"Yeee ... Mama mau nganter aku!" Fathan bersorak heboh saat Aruna turun dari lantai dua dan menghampirinya.Mereka pun berangkat bersama tanpa sopir pribadi, karena Bastian yang akan menyetir. Selama perjalanan itu, Fathan begitu ceria. Aruna juga tak kalah bersemangat menimpali setiap pertanyaan dari anak sambungnya.Hingga sampai di sekolah, Bastian dan Aruna keluar dari mobil, mengantar Fathan sampai ke lobby sekolah. Mereka melambaikan tangan. Satu-satunya kekompakan yang jelas terlihat, berasal dari bibir keduanya yang sama-sama tersenyum, saat melihat Fathan disambut hangat oleh para guru yang sengaja menunggu para murid tepat di depan pintu lobby."Setelah ini jangan pergi ke mana pun!"Aruna menoleh pada sang suami. Ia pikir Bastian sudah bertaubat, tapi lelaki itu tetap memberikan peringatan saat mereka sudah berada di dalam mobil, dan akan menempuh perjalanan menuju rumah."Itu artinya, aku gak bisa lagi nganter jemput Fathan, dan kamu gak bisa maksa aku!" balas Aruna
Bab 14Lelaki yang tengah menginap di hotel, usai menghadiri pertemuan antar pebisnis di seluruh ibu kota itu menggeram penuh amarah, setelah mendapatkan kabar dari kepala asisten rumah tangganya."Bu Aruna tidak ada di rumah, Pak. Dari tadi Den Fathan tidak mau berhenti menangis."Segera saja Bastian mengemas semua barangnya, dan ia pun memutuskan pulang detik itu juga. Sepanjang perjalanan, Bastian kerap melayangkan sumpah serapah. Sopir pribadi yang mengantarnya pun menjadi sangat gelisah. Lelaki paruh baya itu takut kalau ia kena getahnya.Akan tetapi, syukurlah kali ini tidak begitu. Bastian tergesa menghampiri Fathan, setelah mobil mewah yang ditumpanginya berhenti di sebuah halaman rumah yang luas dan asri.Semua pekerja terlihat was-was. Tak ada yang merasa tenang, saat Bastian pulang dengan wajah memerah seperti saat ini."Fathan?" panggil Bastian masuk ke dalam kamar sang putra."Papa!" Tangis Fathan makin pecah. Ia beranjak dan memeluk Bastian sembari tergugu. "Mama di mana
Bab 13"Yeee ... Mama mau nganter aku!" Fathan bersorak heboh saat Aruna turun dari lantai dua dan menghampirinya.Mereka pun berangkat bersama tanpa sopir pribadi, karena Bastian yang akan menyetir. Selama perjalanan itu, Fathan begitu ceria. Aruna juga tak kalah bersemangat menimpali setiap pertanyaan dari anak sambungnya.Hingga sampai di sekolah, Bastian dan Aruna keluar dari mobil, mengantar Fathan sampai ke lobby sekolah. Mereka melambaikan tangan. Satu-satunya kekompakan yang jelas terlihat, berasal dari bibir keduanya yang sama-sama tersenyum, saat melihat Fathan disambut hangat oleh para guru yang sengaja menunggu para murid tepat di depan pintu lobby."Setelah ini jangan pergi ke mana pun!"Aruna menoleh pada sang suami. Ia pikir Bastian sudah bertaubat, tapi lelaki itu tetap memberikan peringatan saat mereka sudah berada di dalam mobil, dan akan menempuh perjalanan menuju rumah."Itu artinya, aku gak bisa lagi nganter jemput Fathan, dan kamu gak bisa maksa aku!" balas Aruna
Bab 12Permintaan Fathan tak akan pernah bisa ditolak, Bastian tahu itu. Ia terkesiap saat sang putra naik ke lantai atas. Bastian segera menyusul. Berbagai cara ia lakukan agar Fathan tak mengajak Aruna, tetapi putra semata wayangnya tak pernah mau mendengarkan.Fathan itu keras kepala, sama seperti Bastian."Fathan!" panggil Bastian terpaksa sedikit meninggikan suaranya.Kedua kaki mungil itu tetap melangkah menuju kamar utama. Fathan membuka pintu, tetapi kamar tersebut kosong. Tak ada Aruna di dalamnya."Mama mana, Pa?" tanya Fathan berbalik. Ia sudah memeriksa ke kamar mandi, wardrobe, sampai ke balkon kamar. Namun, lagi-lagi Aruna tak bisa ditemukan. "Tadi Mama naik ke atas, 'kan?""Mama ada di kamar yang lain," ucap Bastian terpaksa memberitahu. Di depan Fathan, ia tak bisa terlalu banyak berbohong. Bastian juga tahu, kalau putranya ini sangat cerdas. Jika Fathan mencium sesuatu yang mencurigakan, maka bocah lelaki itu tak akan berhenti mencecarnya dengan banyak pertanyaan."Lh
Bab 11Aruna berbalik. Pertama, ia mengerutkan kening karena sang suami sudah ada di rumah tepat pukul tiga sore. Kedua, napasnya sedikit tertahan saat sadar, mungkin saja Bastian akan marah mendapati lelaki asing berada di rumahnya. Apalagi lelaki itu melipat tangan di dada, sembari menghunuskan tatapan tajam penuh peringatan."Mas Bastian pasti belum tau siapa Chef Akbar ini," gumamnya dalam hati, bergegas meninggalkan area dapur demi menyusul sang suami yang masih berdiri dengan raut datar."Ini Chef Akbar, Mas. Beliau yang akan mengajari aku memasak," terang Aruna berusaha tak menanggapi tatap tajam dari Bastian."Kalian akan belajar di sini tiap hari?"Aruna mengangguk"Kamu ikut saya, kita bicara di atas!"Perasaan Aruna sudah sangat tak keruan saat mendapatkan titah seperti itu. Namun, tentu saja kedua kakinya tetap melangkah, mengekor langkah panjang Bastian yang sampai di kamar mereka lebih cepat. Dari belakang, Aruna sudah menebak bagaimana napas dari suaminya yang terkadang
Bab 10Kekecewaan tampak jelas di raut Aruna. Perempuan itu menatap Marini, memohon agar diizinkan pergi ke luar. Namun, sayangnya Marini tetap menggelengkan kepala."Maaf, Bu," ucap Marini sekali lagi."Apa alasannya, Bi?" tanya Aruna penasaran. Disisi lain, ia juga merasa Bastian telah berlebihan. "Kayaknya Mas Bastian mau ngurung saya di rumah ini pake cara yang halus, ya?"Marini tidak berani menjawab. Sebagai kepala asisten rumah tangga yang sudah bekerja belasan tahun di rumah Bastian, tentunya ia harus selalu menuruti segala titah dari sang tuan."Saya mohon kerjasamanya, Bu," pinta Marini dengan sangat.Secepat mungkin Aruna memutar otak. Ia akan mencari jalan agar dirinya bisa keluar dari rumah, dan Marini tetap bisa patuh pada Bastian."Begini aja, Bi, gimana kalau Bibi Mar bohong sama Mas Bastian? Dia juga gak akan tau, kok, kalau kita kerja sama," bujuk Aruna.Hal pertama yang dilakukan oleh Marini adalah terkesiap. Kontan kepalanya menggeleng, sebagai bentuk penolakan ata
Bab 9Aruna menjadi orang pertama yang sangat terkejut akan pengakuan Bastian. Kepalanya langsung menoleh. Aruna ingat sekali, sejak ia meminta maaf pada Bastian di malam itu, mereka hanya bicara sekedarnya saja. Keduanya akan tampak akur di depan Fathan, kemudian bersikap seolah tak saling kenal, jika bocah lelaki itu tak ada di rumah."Tapi, Mas, apa yang diomongin sama Arinda itu bener, kok! Aruna memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu!" Riani angkat bicara."Tuh, kan! Yang berpikir kayak gitu bukan cuma aku aja, Mas!"Bibir Bastian menipis. Selama beberapa saat ia tak mengatakan apa-apa, dan hanya fokus menatap semua orang yang ada di gazebo. Hal tersebut sukses membuat nyali para adik sepupunya perlahan menciut. Bagaimanapun juga, Bastian masih menegang tahta tertinggi sebagai cucu pertama, juga sebagai pemimpin perusahaan keluarga.Siapa pun yang berani menentangnya, sudah pasti akan didepak dan tak akan pernah mendapatkan posisi bagus nan terhormat di perusahaan milik
Bab 8Genap satu minggu Aruna tinggal di rumah Bastian. Berstatus sebagai istri dari lelaki kaya raya tentu membuat semua kebutuhannya tercukupi. Namun di sisi lain, Aruna merasa kebebasannya mulai terenggut. Ia masih bisa pergi ke luar rumah, entah untuk sekedar makan atau berbelanja makanan ringan di minimarket. Hanya saja, setiap gerak langkahnya selalu ditunggui oleh sopir, atau bahkan bodyguard yang sengaja ikut.Hari ini pun, Aruna hanya bisa melihat ke luar jendela. Untuk pertama kalinya, Aruna tak berselera menyantap semua makanan yang disiapkan di atas meja makan. Semuanya terasa hambar. Mendadak Aruna rindu pada kehidupannya sebelum menikah.Di tengah lamunan itu, ponselnya berdering. Aruna pun tersenyum karena sang ibu mertua yang menghubungi. Dua hari ini, Lusiana tengah bepergian bersama koleganya."Runa, Sayang ...." Di seberang sana, Lusiana memanggil hangat. "Besok kamu ikut ke rumah Om Liam, ya. Anaknya yang paling besar baru aja lulus jadi sarjana. Kita ke sana buat
Bab 7"Jangan pernah ganggu Aruna, Bas, atau kamu akan berhadapan sama Mami!"Bastian memukul setir kemudi. Masih teringat jelas peringatan keras yang diberikan oleh ibunya sendiri siang tadi. Lelaki yang tengah menempuh perjalanan menuju rumah itu tak bisa menahan umpatan di bibirnya."Sialan! Apa Aruna sengaja mau mengadu domba aku sama Mami? Kenapa dia cerita-cerita sama Mami segala?!"Setir kemudi kembali dipukul. Bastian tak peduli dengan rasa sakitnya, sebab ia perlu melampiaskan amarah ini, agar bisa terurai sedikit demi sedikit. Sejak awal Bastian pikir, kalau Aruna tidak akan pernah memiliki pengaruh sebesar ini setelah mereka menikah.Akan tetapi, apa faktanya? Aruna bisa sangat dekat dengan Fathan. Selain itu, Aruna juga mampu membuat Lusiana selalu berpihak padanya, sampai-sampai Lusiana berani menghadang teman-teman sosialitanya untuk membela si menantu, yang memang benar berasal dari keluarga miskin!Sampai di rumah, Bastian mencoba mengatur napas. Sekarang sudah pukul s
Bab 6Bastian kembali ke meja makan usai menuntaskan urusannya. Baru duduk dan ingin menyendok nasi, tatap matanya malah tertuju pada ponsel. Jelas Bastian tahu, kalau letak ponselnya telah berubah dari yang terakhir kali diingatnya.Tanpa kata, lebih dulu Bastian mengambil benda pipih itu. Wajahnya semakin datar saat melihat nama siapa yang tertera di riwayat panggilan tak terjawab. Ia mengangkat kepala, lantas pandangannya jatuh pada Aruna yang tengah menatapnya."Kamu yang pegang hp saya?" tanya Bastian membuat Aruna terkesiap."Nggak, Mas!""Jangan bohong!" Mendadak Bastian tidak bisa mengontrol suara. Ia sampai lupa ada Fathan yang memperhatikan dengan lekat. "Jangan pernah lancang, Aruna! Hp ini barang pribadi saya! Kamu harus tau batas privasi!""Mas—""Saya gak mau dengar apa-apa!" potong Bastian begitu arogan. "Ini peringatan pertama dan terakhir dari saya!"Aruna sudah menyiapkan berbagai macam kalimat untuk membela diri. Namun, lagi-lagi Fathan bergerak lebih cepat. Anak le