Bab 6
Bastian kembali ke meja makan usai menuntaskan urusannya. Baru duduk dan ingin menyendok nasi, tatap matanya malah tertuju pada ponsel. Jelas Bastian tahu, kalau letak ponselnya telah berubah dari yang terakhir kali diingatnya.
Tanpa kata, lebih dulu Bastian mengambil benda pipih itu. Wajahnya semakin datar saat melihat nama siapa yang tertera di riwayat panggilan tak terjawab. Ia mengangkat kepala, lantas pandangannya jatuh pada Aruna yang tengah menatapnya.
"Kamu yang pegang hp saya?" tanya Bastian membuat Aruna terkesiap.
"Nggak, Mas!"
"Jangan bohong!" Mendadak Bastian tidak bisa mengontrol suara. Ia sampai lupa ada Fathan yang memperhatikan dengan lekat. "Jangan pernah lancang, Aruna! Hp ini barang pribadi saya! Kamu harus tau batas privasi!"
"Mas—"
"Saya gak mau dengar apa-apa!" potong Bastian begitu arogan. "Ini peringatan pertama dan terakhir dari saya!"
Aruna sudah menyiapkan berbagai macam kalimat untuk membela diri. Namun, lagi-lagi Fathan bergerak lebih cepat. Anak lelaki itu meniru Bastian, yakni menatap lebih dulu lawan yang hendak diajak bicara.
"Bukan Mama yang pegang-pegang hp Papa, tapi aku!" Fathan mengaku, sampai Bastian batal mengangkat sendok.
"Jangan—"
"Papa bisa cek cctv!"
Satu hal yang dilakukan oleh Aruna saat ini adalah menelan ludah. Rasanya sulit sekali untuk percaya, jika anak berusia tujuh tahun bisa berkata seperti itu. Aruna ingin mencoba maklum. Sebab bagaimanapun juga, pastilah Fathan meniru sikap dan cara bicara ayahnya sendiri.
Sementara Bastian pun berdecak pelan, tetapi berusaha tak terlihat marah seperti tadi. Fathan adalah harta paling berharga yang akan selalu ia jaga. Jangan sampai ia membentak Fathan.
"Aku gak suka sama Tante Jahat, Pa! Dia gak boleh datang lagi ke sini! Aku gak mau ketemu sama Tante Jahat!" Fathan tidak lagi merengek, melainkan berkata cukup tegas untuk anak seusianya.
"Sayang," panggil Aruna hendak membujuk Fathan.
Belum sempat mengucapkan sesuatu, Fathan turun dari kursi makan dan berlari ke lantai dua. Pengasuh Fathan gegas menyusul. Suasana di meja makan pun semakin canggung.
Kali ini Bastian berdecak keras. Ia meneguk air putih sampai tandas tak tersisa. Pagi ini emosinya terasa diaduk, karena lagi-lagi Fathan selalu berpihak pada Aruna. Ingin sekali Bastian mengembalikan keadaan seperti dulu, yakni membuat Fathan selalu menurut padanya.
"Apa kamu gak bisa melarang Fathan supaya gak pegang hp saya?" tanya Bastian, berhasil menahan langkah Aruna yang hendak meninggalkan ruang makan.
"Maaf, Mas," gumam Aruna merasa bersalah. "Kalau aku boleh tau, siapa Sandra itu, Mas? Kenapa Fathan gak mau dia datang ke sini?"
Sendok di tangan Bastian telah dibanting sekuat tenaga, menciptakan bunyi yang sangat tak nyaman di telinga. Lekat sekali lelaki itu menatap istrinya sendiri. Aruna sadar, kalau ia telah membuat Bastian semakin murka.
"Jangan banyak tanya, Aruna!" ucap Bastian dengan nada kasar. "Kita memang menikah. Tapi kamu harus ingat, posisi kamu di rumah ini tidak lebih dari seorang pengasuh untuk Fathan! Usahakan kamu tidak berlebihan, karena saya bisa saja mengeluarkan kamu dari rumah ini, dan membuat hidup kamu kembali miskin seperti sebelumnya!"
Pada akhirnya, kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Bastian. Aruna seperti orang bodoh yang hanya bisa menatap, tanpa pernah mengeluarkan sepatah kata pun untuk membela diri.
***
Tepat jam sebelas siang, Lusiana datang ke rumah putranya. Ia punya maksud, yakni ingin menghibur Aruna yang pasti merasa sedih karena kejadian kemarin di klinik.
"Sebetulnya, aku sangat mampu bikin hidup si Herma itu hancur berantakan! Tapi aku gak boleh gegabah. Aku harus lihat dulu gimana kondisi menantuku. Kalau sampai Aruna gak mau keluar rumah karena malu, aku gak sudi menahan diri!"
Perempuan paruh baya itu mengangguk. Janji yang ia sebutkan, akan selalu dilaksanakan tepat waktu. Masuklah Lusiana ke dalam lift menuju lantai dua. Sebelumnya ia sudah diberi tahu oleh para pekerja, jika Aruna ada di kamar utama dan tak keluar lagi usai sarapan bersama anak dan suaminya.
"Aruna? Ini Mami, Nak," panggilnya seraya mengetuk pintu kamar.
Di dalam sana, Aruna langsung terduduk. Sejak tadi ia berbaring di atas tempat tidur, menatap jendela kamar yang terbuka. Aruna sedang menetralkan sakit hatinya atas perkataan Bastian tadi pagi.
"Kamu tidur ya, Run?" tanya Lusiana lebih pelan daripada sebelumnya.
Bergegas Aruna membuka pintu. Satu hal yang ia lakukan adalah menyuguhkan senyum hangat. Kendati begitu, Lusiana yang sangat cerdas bisa menerka ada sesuatu dari ekspresi menantunya.
"Kamu masih sedih soal yang kemarin, ya?" Lusiana berbalik, memilih duduk di sofa balkon.
"Nggak, Ma. Aku baik-baik aja, kok."
Ya, perkataan serupa hinaan dari teman-teman sosialita Lusiana, jelas tak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan kalimat tajam yang dikatakan Bastian. Sudah pasti rasa sakitnya timbul berkali-kali lipat karena itu.
"Terus kenapa muka kamu murung begitu?" Lusiana tak lelah bertanya.
Aruna pun menunduk. Sepertinya, ia memang harus lebih terbuka pada Lusiana. Bukannya apa, Aruna butuh masukan agar bisa bersikap lebih baik di depan Bastian.
Tertuturlah kejadian tadi pagi, sehingga Lusiana langsung bereaksi di luar dugaan. Perempuan paruh baya itu berdiri setelah merogoh ponsel di dalam tas, kemudian menempelkan alat komunikasi itu di telinga kirinya.
"Bastian!" serunya dengan satu tangan berkacak pinggang. "Jangan pernah sekalipun kamu bikin Aruna gak nyaman tinggal di rumah kalian! Kalau sampai itu terjadi, Mami gak akan pernah tinggal diam!"
Aruna kontan berdiri, berniat menenangkan Lusiana agar tak memaki Bastian. Namun, Lusiana kadung marah. Ia jelas tak terima, jika menantu semata wayangnya ini mendapatkan perlakuan buruk dari Bastian, padahal Aruna sudah sangat berjasa mengembalikan keceriaan Fathan!
********
Bab 7"Jangan pernah ganggu Aruna, Bas, atau kamu akan berhadapan sama Mami!"Bastian memukul setir kemudi. Masih teringat jelas peringatan keras yang diberikan oleh ibunya sendiri siang tadi. Lelaki yang tengah menempuh perjalanan menuju rumah itu tak bisa menahan umpatan di bibirnya."Sialan! Apa Aruna sengaja mau mengadu domba aku sama Mami? Kenapa dia cerita-cerita sama Mami segala?!"Setir kemudi kembali dipukul. Bastian tak peduli dengan rasa sakitnya, sebab ia perlu melampiaskan amarah ini, agar bisa terurai sedikit demi sedikit. Sejak awal Bastian pikir, kalau Aruna tidak akan pernah memiliki pengaruh sebesar ini setelah mereka menikah.Akan tetapi, apa faktanya? Aruna bisa sangat dekat dengan Fathan. Selain itu, Aruna juga mampu membuat Lusiana selalu berpihak padanya, sampai-sampai Lusiana berani menghadang teman-teman sosialitanya untuk membela si menantu, yang memang benar berasal dari keluarga miskin!Sampai di rumah, Bastian mencoba mengatur napas. Sekarang sudah pukul s
Bab 8Genap satu minggu Aruna tinggal di rumah Bastian. Berstatus sebagai istri dari lelaki kaya raya tentu membuat semua kebutuhannya tercukupi. Namun di sisi lain, Aruna merasa kebebasannya mulai terenggut. Ia masih bisa pergi ke luar rumah, entah untuk sekedar makan atau berbelanja makanan ringan di minimarket. Hanya saja, setiap gerak langkahnya selalu ditunggui oleh sopir, atau bahkan bodyguard yang sengaja ikut.Hari ini pun, Aruna hanya bisa melihat ke luar jendela. Untuk pertama kalinya, Aruna tak berselera menyantap semua makanan yang disiapkan di atas meja makan. Semuanya terasa hambar. Mendadak Aruna rindu pada kehidupannya sebelum menikah.Di tengah lamunan itu, ponselnya berdering. Aruna pun tersenyum karena sang ibu mertua yang menghubungi. Dua hari ini, Lusiana tengah bepergian bersama koleganya."Runa, Sayang ...." Di seberang sana, Lusiana memanggil hangat. "Besok kamu ikut ke rumah Om Liam, ya. Anaknya yang paling besar baru aja lulus jadi sarjana. Kita ke sana buat
Bab 9Aruna menjadi orang pertama yang sangat terkejut akan pengakuan Bastian. Kepalanya langsung menoleh. Aruna ingat sekali, sejak ia meminta maaf pada Bastian di malam itu, mereka hanya bicara sekedarnya saja. Keduanya akan tampak akur di depan Fathan, kemudian bersikap seolah tak saling kenal, jika bocah lelaki itu tak ada di rumah."Tapi, Mas, apa yang diomongin sama Arinda itu bener, kok! Aruna memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu!" Riani angkat bicara."Tuh, kan! Yang berpikir kayak gitu bukan cuma aku aja, Mas!"Bibir Bastian menipis. Selama beberapa saat ia tak mengatakan apa-apa, dan hanya fokus menatap semua orang yang ada di gazebo. Hal tersebut sukses membuat nyali para adik sepupunya perlahan menciut. Bagaimanapun juga, Bastian masih menegang tahta tertinggi sebagai cucu pertama, juga sebagai pemimpin perusahaan keluarga.Siapa pun yang berani menentangnya, sudah pasti akan didepak dan tak akan pernah mendapatkan posisi bagus nan terhormat di perusahaan milik
Bab 10Kekecewaan tampak jelas di raut Aruna. Perempuan itu menatap Marini, memohon agar diizinkan pergi ke luar. Namun, sayangnya Marini tetap menggelengkan kepala."Maaf, Bu," ucap Marini sekali lagi."Apa alasannya, Bi?" tanya Aruna penasaran. Disisi lain, ia juga merasa Bastian telah berlebihan. "Kayaknya Mas Bastian mau ngurung saya di rumah ini pake cara yang halus, ya?"Marini tidak berani menjawab. Sebagai kepala asisten rumah tangga yang sudah bekerja belasan tahun di rumah Bastian, tentunya ia harus selalu menuruti segala titah dari sang tuan."Saya mohon kerjasamanya, Bu," pinta Marini dengan sangat.Secepat mungkin Aruna memutar otak. Ia akan mencari jalan agar dirinya bisa keluar dari rumah, dan Marini tetap bisa patuh pada Bastian."Begini aja, Bi, gimana kalau Bibi Mar bohong sama Mas Bastian? Dia juga gak akan tau, kok, kalau kita kerja sama," bujuk Aruna.Hal pertama yang dilakukan oleh Marini adalah terkesiap. Kontan kepalanya menggeleng, sebagai bentuk penolakan ata
Bab 11Aruna berbalik. Pertama, ia mengerutkan kening karena sang suami sudah ada di rumah tepat pukul tiga sore. Kedua, napasnya sedikit tertahan saat sadar, mungkin saja Bastian akan marah mendapati lelaki asing berada di rumahnya. Apalagi lelaki itu melipat tangan di dada, sembari menghunuskan tatapan tajam penuh peringatan."Mas Bastian pasti belum tau siapa Chef Akbar ini," gumamnya dalam hati, bergegas meninggalkan area dapur demi menyusul sang suami yang masih berdiri dengan raut datar."Ini Chef Akbar, Mas. Beliau yang akan mengajari aku memasak," terang Aruna berusaha tak menanggapi tatap tajam dari Bastian."Kalian akan belajar di sini tiap hari?"Aruna mengangguk"Kamu ikut saya, kita bicara di atas!"Perasaan Aruna sudah sangat tak keruan saat mendapatkan titah seperti itu. Namun, tentu saja kedua kakinya tetap melangkah, mengekor langkah panjang Bastian yang sampai di kamar mereka lebih cepat. Dari belakang, Aruna sudah menebak bagaimana napas dari suaminya yang terkadang
Bab 12Permintaan Fathan tak akan pernah bisa ditolak, Bastian tahu itu. Ia terkesiap saat sang putra naik ke lantai atas. Bastian segera menyusul. Berbagai cara ia lakukan agar Fathan tak mengajak Aruna, tetapi putra semata wayangnya tak pernah mau mendengarkan.Fathan itu keras kepala, sama seperti Bastian."Fathan!" panggil Bastian terpaksa sedikit meninggikan suaranya.Kedua kaki mungil itu tetap melangkah menuju kamar utama. Fathan membuka pintu, tetapi kamar tersebut kosong. Tak ada Aruna di dalamnya."Mama mana, Pa?" tanya Fathan berbalik. Ia sudah memeriksa ke kamar mandi, wardrobe, sampai ke balkon kamar. Namun, lagi-lagi Aruna tak bisa ditemukan. "Tadi Mama naik ke atas, 'kan?""Mama ada di kamar yang lain," ucap Bastian terpaksa memberitahu. Di depan Fathan, ia tak bisa terlalu banyak berbohong. Bastian juga tahu, kalau putranya ini sangat cerdas. Jika Fathan mencium sesuatu yang mencurigakan, maka bocah lelaki itu tak akan berhenti mencecarnya dengan banyak pertanyaan."Lh
Bab 13"Yeee ... Mama mau nganter aku!" Fathan bersorak heboh saat Aruna turun dari lantai dua dan menghampirinya.Mereka pun berangkat bersama tanpa sopir pribadi, karena Bastian yang akan menyetir. Selama perjalanan itu, Fathan begitu ceria. Aruna juga tak kalah bersemangat menimpali setiap pertanyaan dari anak sambungnya.Hingga sampai di sekolah, Bastian dan Aruna keluar dari mobil, mengantar Fathan sampai ke lobby sekolah. Mereka melambaikan tangan. Satu-satunya kekompakan yang jelas terlihat, berasal dari bibir keduanya yang sama-sama tersenyum, saat melihat Fathan disambut hangat oleh para guru yang sengaja menunggu para murid tepat di depan pintu lobby."Setelah ini jangan pergi ke mana pun!"Aruna menoleh pada sang suami. Ia pikir Bastian sudah bertaubat, tapi lelaki itu tetap memberikan peringatan saat mereka sudah berada di dalam mobil, dan akan menempuh perjalanan menuju rumah."Itu artinya, aku gak bisa lagi nganter jemput Fathan, dan kamu gak bisa maksa aku!" balas Aruna
Bab 14Lelaki yang tengah menginap di hotel, usai menghadiri pertemuan antar pebisnis di seluruh ibu kota itu menggeram penuh amarah, setelah mendapatkan kabar dari kepala asisten rumah tangganya."Bu Aruna tidak ada di rumah, Pak. Dari tadi Den Fathan tidak mau berhenti menangis."Segera saja Bastian mengemas semua barangnya, dan ia pun memutuskan pulang detik itu juga. Sepanjang perjalanan, Bastian kerap melayangkan sumpah serapah. Sopir pribadi yang mengantarnya pun menjadi sangat gelisah. Lelaki paruh baya itu takut kalau ia kena getahnya.Akan tetapi, syukurlah kali ini tidak begitu. Bastian tergesa menghampiri Fathan, setelah mobil mewah yang ditumpanginya berhenti di sebuah halaman rumah yang luas dan asri.Semua pekerja terlihat was-was. Tak ada yang merasa tenang, saat Bastian pulang dengan wajah memerah seperti saat ini."Fathan?" panggil Bastian masuk ke dalam kamar sang putra."Papa!" Tangis Fathan makin pecah. Ia beranjak dan memeluk Bastian sembari tergugu. "Mama di mana
Bab 47 Ketegasan Aruna"Oke, San, aku atur waktunya dulu," kata Bastian, kemudian memutuskan sambungan telepon.Lelaki itu duduk di meja makan lebih dulu. Hari ini, adalah hari pertama Fathan mengikuti les berenang. Tentunya ia harus mengantarkan sang putra. Biarlah soal Sandra, akan ia urus nanti."Sayang, ayo kita sarapan!" ajak Bastian.Fathan dan Aruna menghampiri, ikut bergabung dengannya di meja makan. Keluarga kecil itu tampak harmonis dengan berbagai macam obrolan ringan di pagi hari."Nanti Papa temenin aku sampai lesnya beres, ya?" pinta Fathan.Menyadari sesuatu, Aruna menatap Bastian karena suaminya tidak langsung mengangguk. Biasanya, Bastian akan selalu mengiyakan apa pun keinginan Fathan tanpa perlu berpikir seperti saat ini."Kok diem, Pa? Papa ada urusan?" tanya Fathan yang juga ikut menyadari sesuatu."Gak ada, Sayang. Papa bisa temani kamu sampai lesnya selesai," jawab Bastian seraya mengulas senyum.Fathan makin senang. Ia bersemangat menyelesaikan sarapan, lantas
Bab 46 Tipu Muslihat"Bibi!"Pagi-pagi sekali, suara Fathan sudah menggema di rumah besar itu. Semua orang yang tengah berkutat dengan tugas masing-masing kontan menoleh, pada si tuan muda yang tergesa menuruni undakan tangga. Di belakangnya, ada Wulan yang kesulitan menyamakan langkah dengan Fathan."Bi Mar!" panggil Fathan telah duduk di atas kursi bar."Ada apa, Den Fathan?" Marini berbalik, melupakan sejenak pekerjaannya di dapur."Tau gak, Bi, kemarin malam aku tidur sama Mama dan Papa!" Fathan sangat bersemangat kala mengatakan itu.Pertama-tama, Marini mengerutkan kening lantas menatap Wulan, dengan isyarat tanya di kedua matanya. Tanpa kata, Wulan pun mengangguk. Sebelum berkata heboh pada semua orang seperti saat ini, Fathan lebih dulu menyampaikan hal tersebut padanya. "Kamu seneng, ya?" tanya Marini ikut tersenyum lebar. Apapun yang membuat senang si tuan muda, pasti akan menular pada semua orang yang ada di rumah ini. "Senang banget, Bi!" jawab Fathan seraya tertawa.Sem
Bab 45 Mulai AkurBerbagai macam menu telah tersaji di atas meja. Bastian menikmati makanan di piringnya dengan lahap, sementara Aruna hanya memakan seadanya saja."Menunya gak cocok di kamu?" tanya Bastian karena Aruna masih berkutat dengan makanan pembuka."Cocok," jawab Aruna dengan suara sangat pelan."Makan kalau gitu. Saya gak perlu nyuruh staf restoran buat nyuapin kamu, kan?"Barulah bibir Aruna mencebik, tapi anehnya Bastian malah tertawa geli."Nanti malem saya sama Fathan mau nonton bola. Klub favorit kami main jam satu pagi.""Itu malem banget, gak baik kalau Fathan tidur jam segitu!" protes Aruna mendadak tegas."Besok Fathan libur sekolah. Nonton bola juga gak setiap hari, bahkan sebulan sekali juga nggak.""Kenapa nggak nonton siaran ulangnya aja?" tanya Aruna."Kamu ini gak ngerti bola. Antara live sama siaran ulang, jelas euforianya beda.""Kalau aku bilang Fathan gak boleh nonton gimana?" Aruna menatap suaminya yang batal melahap tuna bercampur racikan saus ke dalam
Bab 44 Tidak MenolakAruna ingat betul, bagaimana reaksi Lusiana saat Sandra mengatakan kalimat seperti itu di depan rumah Bastian kemarin sore. Ibu mertuanya sangat murka, ia hendak turun di depan gerbang, tapi kala itu Fathan yang melarang."Oma jangan ketemu lagi sama Tante Jahat."Hanya dengan satu kalimat, Lusiana berhasil ditahan. Sehingga ia tetap melajukan kendaraan roda empatnya. Kemarin pun, Lusiana pulang ke rumahnya tepat pada pukul delapan malam, karena ia tak mau berpapasan dengan Sandra yang katanya tetap bertahan di depan gerbang sampai pukul enam sore.Hari ini, Aruna mencoba tak memikirkan soal kejadian kemarin. Seperti kata Lusiana di telepon, ia harus segera bersiap-siap untuk makan siang bersama dengan Bastian. Private room di sebuah restoran milik teman Lusiana telah direservasi, Aruna tinggal datang saja ke sana, tentunya setelah memilih pakaian rapi dan berdandan cantik."Aku salah gak, ya? Gimana kalau Mas Bastian marah dan hubungan kami renggang lagi?" tanya
Bab 43 Level Rendah"Kamu keterlaluan, Bas! Demi perempuan baru itu, kamu tega merendahkanku kayak gini!" Sandra tak henti merutuk. Harga dirinya seakan jatuh, kemudian diinjak-injak oleh Bastian yang tega mengerahkan anak buahnya. Sandra yakin, kalau Bastian melakukan itu semua, demi Aruna alias si istri baru."Awas aja kamu, Bas, aku gak akan tinggal diam! Kamu gak boleh hidup bahagia selain sama aku!" cetusnya penuh tekad.Tanpa sadar air matanya luruh begitu saja, sampai Sandra harus menyeka kedua mata berulang kali, lantaran saat ini ia masih menyetir. Selama beberapa saat Sandra bingung harus pergi ke mana."Aku gak bisa tinggal di rumah lamaku," ucapnya mengingat jarak antara rumah lamanya dengan Bastian cukup jauh. Untuk mengambil mobil yang tengah dikendarainya saja, ia harus membuang waktu selama hampir satu jam."Kalau aku tinggal di sana, aku gak bisa memantau Bastian sama istrinya!"Di tengah rasa penuh dendam itu, Sandra teringat akan keluarga Liam. Ia pun memutuskan per
Bab 42 Pengusiran"Lho, ngapain perempuan itu ada di sini?!"Aruna terperanjat, karena rupanya Lusiana melihat pemandangan yang sama. Ia menahan tangan ibu mertuanya yang hendak turun dari mobil."Mam, kita masuk aja," ucap Aruna tak mau ada keributan apa pun di sekolah Fathan.Mengerjap, Lusiana baru sadar, jika Aruna melihat Sandra lebih dulu di depan gerbang. "Kamu tau siapa dia?" tanyanya."Iya, Mam, kemarin dia datang ke rumah."Kontan saja Lusiana berdecak. Amarahnya melesat naik, sehingga ia bersikeras ingin menegur Sandra dan meminta perempuan itu tak mengusik kehidupan rumah tangga anak dan menantunya. Namun, lagi-lagi Aruna menahan."Jangan, Mam. Kasian Fathan kalau tau ada Sandra di sekolahnya. Dia gak mau liat Sandra, kan?""Tapi Mami gak bisa membiarkan perempuan busuk itu berkeliaran di sini! Mami harus kasih dia pelajaran! Kamu jangan menghalangi Mami, Run! Kalau bukan Mami yang bergerak, lalu siapa lagi? Bastian pasti melindungi mantan kurang ajarnya itu!""Nggak sama
Bab 41 Mertua Yang Baik"Mami jangan aneh-aneh," pungkas Bastian tak setuju."Letak anehnya di mana, Bas? Makan malam sama istri sendiri kok dibilang aneh!" Lusiana masih giat menimpali, juga tak lupa mendelik sebal. "Kamu mau 'kan, Run?" tanyanya setelah beralih pada sang menantu.Aruna diam saja. Ia sempat melirik Bastian, dan sepertinya lelaki itu tak membutuhkan acara makan malam romantis. Jelas tidak penting bagi Bastian, lantaran hubungan di antara mereka berdua memang tidak sejauh itu."Eh ... kok malah diem?" Lusiana menegur."Pikiran Mami ini terlalu jauh," kata Bastian menjauhkan piring di depannya. Disekanya mulut menggunakan tissue kering, kemudian lelaki yang satu itu beranjak.Bastian berlalu begitu saja meninggalkan makanan yang belum habis, sehingga Aruna merasa sangat kecewa, lantaran baru kali ini mereka bisa bicara tanpa perlu meninggikan suara. Sementara di sisi lain, Lusiana melihat tatapan sang menantu yang terus tertuju pada punggung Bastian. Ia sadar, jika diri
Bab 40 Bukan RayuanPemandangan langka bagi Marini dan pekerja rumah yang lain, melihat Bastian dan Aruna duduk berdua di meja makan. Tak ada obrolan menegangkan. Semuanya terlihat sangat damai, sehingga Marini tak bisa berhenti tersenyum."Udah, Bi, jangan diliatin terus, namanya juga pengantin baru!" celetuk Sarti sambil berbisik, usai menata lauk-pauk tambahan di meja makan.Bukannya berhenti, Marini malah terkikik. Ia mengangguk, lantas mengajak semua pekerja masuk ke area belakang. Marini pikir, makan siang antara tuan dan nyonya rumah ini adalah langkah awal yang sangat bagus, untuk memperbaiki hubungan mereka.Sungguh, ia berharap Bastian bisa membuka hati dan menyambut Aruna, layaknya seorang perempuan yang pantas dicintai dan diperlakukan dengan baik."Sandra masih ada di hotel."Aruna menatap Bastian. Mulutnya masih mengunyah pelan, sehingga ia tak bisa langsung menanyakan apa pun."Saya harap kamu bisa maklum dengan sikap Sandra kemarin," imbuh Bastian, tak menunjukkan sika
Bab 39 Mulai Mencair?"Mama itu baik!"Perkataan Fathan beberapa jam lalu, berhasil mempengaruhi aktivitas Bastian hari ini. Ia jadi tak fokus saat bekerja, lantaran mendadak penasaran bagaimana sikap Aruna pada Fathan saat di belakangnya."Tiap hari aku cek cctv," gumamnya mengusap-usap dagu. "Dia memang baik," imbuhnya.Bastian berdecak pelan. Padahal ia sudah berusaha tak memikirkan Aruna, tapi kepala ini tak bisa diajak bekerja sama. Bastian sungguh kesal pada dirinya sendiri."Wajar kalau dia baik sama anakku, karena aku bayar dia dengan harga tinggi! Aku memberi perempuan itu kehidupan yang layak! Jadi, dia memang harus berterima kasih dengan menyayangi Fathan," tuturnya.Kembali pada pekerjaannya, tiba-tiba saja Bastian menutup laptop saat jam makan siang telah tiba. Entah desakan dari mana, ia memutuskan untuk pulang."Saya mau pulang sebentar," kata Bastian pada Angga yang hendak masuk ke dalam ruangannya."Perlu saya antar, Pak?""Gak usah, saya gak akan lama."Angga pun men