Beberapa hari kemudian, Asher dan Aleena sudah berbaikan setelah perkara kemarin. Tetapi, rasanya masih tidak menyenangkan di hati Aleena mengingat amukan Asher karena hal yang sangat sepele. Pagi ini, Aleena duduk di ruang tamu menemani suaminya yang hendak berangkat bekerja satu jam lagi. Tampak Asher sibuk sekali dengan laptop yang kini tengah ia pangku. "Sayang, apa hari ini kau pulang lebih awal?" tanya Aleena. "Hari ini ada jadwal cek up ke rumah sakit. Katanya kau ingin melihat si kembar laki-laki atau perempuan." Asher menoleh dan tersenyum tipis, sebelum kembali menatap laptopnya. "Aku sibuk, Sayang. Ada banyak urusan penting hari ini. Memangnya jam berapa ke rumah sakit?" tanya Asher. "Jam satu siang," jawab Aleena sedikit kecewa. "Aku mungkin masih ada meeting di jam-jam itu," jawab Asher. Semuanya tidak harus dipaksakan. Aleena tahu itu, ia diam dan tidak mau memaksakan Asher untuk pergi menemaninya. Tetapi, sebagai seorang Istri, Aleena merasa sedikit kecewa. Bahk
Melihat Asher di rumah sakit dengan seorang perempuan, tentu saja hal itu membuat Aleena terkejut setelah mati. Aleena mengajak Theo untuk mendekati Asher yang kini berdiri di depan ruangan bersama seorang wanita yang tengah menangis. Theo, anak laki-laki yang melihat Papanya di sana pun ikut kaget. Karena tadi Aleena mengatakan pada Theo kalau Papanya sambat sibuk hingga mereka harus pergi berdua saja. "Ma ... itu Papa!" seru Theo menunjuk ke arah Asher. Di lorong itu, Asher menoleh saat mendengar suara Theo. Laki-laki itu terkejut melihat istri dan anaknya berada di sana. Aleena menatap Asher dengan tajam penuh sakit hati. Asher benar-benar sangat terkejut. "Aleena, Theo..." Asher begegas mendekati anak dan istrinya, namun Aleena lebih dulu menarik lengan Theo untuk menjauh. "Ayo Sayang, ayo kita pulang!" seru Aleena. Theo tidak melawan dan anak itu berlari kecil mengimbangi langkah Mamanya yang berusaha dilebarkan. "Aleena ... Sayang, tunggu!" pekik Asher mengejar mereka.
Setelah Aleena menangis ditemani Asher. Wanita itupun tertidur pulas dipeluk oleh Asher meskipun berulang kali menolak dan mendorongnya. Asher semakin sadar dengan sikapnya yang keterlaluan. Saat menatap wajah sembab Aleena, wanita yang tengah tertidur lelap itu, rasa bersalah semakin merayapi hati Asher saat ini. "Maafkan aku, Sayang," bisik Asher mengecup pipi dan kening Aleena. Setelah itu, Asher menyelimuti tubuh Aleena dan laki-laki itu melangkah keluar dari dalam kamar. Asher mencari Theo di kamarnya dan anaknya itu tidak ada. "Ke mana, Theo?" gumam Asher. Saat Asher melangkah turun lantai dua, ia mendengar suara Theo menangis di lantai satu.Anak itu tampak tengah bercerita sambil menangis pada seseorang. "Papa nakal, Oma, Opa. Papa tidak mau antarkan Mama ke rumah sakit, terus hiks ... terus Theo ke rumah sakit sama Mama. Papa sama Tante-tante di sana, Mama marah, Mama sedih, Oma. Kasihan Mamanya Theo hiks ... padahal Mama dan Theo mau kasih tahu Papa kalau adiknya Theo
Beberapa hari kemudian...Asher tidak pergi ke kantor lagi selama lima hari ini. Bahkan pagi ini laki-laki itu merawat Theo dan mengantarkan putranya ke kantor. Aleena yang berada di rumah, ia sengaja bersikap dingin pada Asher agar suaminya itu sadar. Bagaimana rasanya dicemburui, sebagaimana Asher selalu cemburu pada Aleena yang bahkan hanya sekedar berbicara dengan laki-laki lain. Pagi ini, Aleena tengah bersama Bibi Julien di ruang makan. Aleena berdiri sambil mengaduk segelas susu miliknya. "Nyonya, saya perhatian dua hari ini Nyonya makannya tidak banyak. Kenapa?" tanya Bibi Julien. "Jangan sampai menjelang melahirkan, berat badan Nyonya malah turun banyak." Aleena menoleh dan tersenyum pada wanita setengah baya yang tengah membersihkan meja ruang makan. "Tidak apa-apa, Bi. Hanya ada masalah kecil saja." "Dengan Tuan, ya?" tanya wanita itu. "Saya perhatikan, Nyonya dan Tuan tidak seperti biasanya." Mendengar hal itu, Aleena diam merenung. Bahkan diam dan acuhnya Aleena p
"Aleena, ada apa, Sayang?!"Asher bergegas masuk ke dalam rumah dan mendekati Aleena dengan ekspresinya yang amat terkejut, pasalnya Asher tidak pernah melihat Aleena semarah ini. Pandangan Asher teralih pada Levi yang diam memegang pipinya yang tampak memerah. "Wanita ini ... wanita ini sudah kurang ajar!" pekik Aleena berkaca-kaca. "Wanita ini adalah sahabatnya Marsha, Asher! Dia ... dia tidak tahu apapun tentang kita, tapi seolah-olah dia tahu semuanya!" Asher menatap tajam pada Levi. "Apa yang kau katakan, heh?!""Tidak, Pak. Sepertinya Nyonya Aleena salah paham. Saya tidak berkata apapun. Nyonya Aleena—""Dia juga bilang kalau ke rumah sakit kemarin kau yang menawarkan tawaran itu padanya! Bukan dia yang mengajakmu?! Yang mana yang benar, Asher?!" pekik Aleena mencekal erat lengan suaminya dan menatapnya tajam-tajam. Aleena menggelengkan kepalanya. "Kau tahu kan, Asher ... aku tidak mau dan aku suka cara seperti ini!" Asher merangkul Aleena dan memeluk istrinya. Laki-laki itu
Usai keributan Aleena beberapa hari yang lalu dengan Levi, sekarang Aleena jatuh sakit dan tidak memungkinkan bagi Asher untuk pergi ke kantor. Karena kondisi inilah, Camelia dan Darren pun sampai datang berkunjung dengan sangat cemas melihat menantunya sakit dalam keadaan hamil yang ke tujuh bulan."Bagaimana Aleena bisa sakit, Asher? Sejak kapan Aleena sakit? Kenapa tidak menghubungi Mama dan Papa?" Camelia menatap putranya sambil duduk di tepi ranjang dan mengusap-usap lengan Aleena yang tengah berbaring. "Sejak tiga hari yang lalu, Ma. Tapi demamnya sejak semalam, panasnya juga sudah turun," ujar Asher. "Sudah turun apanya, masih panas begini kau bilang masih turun," omel Camelia. Wanita itu meraih handuk kecil basah dan ia mengompres lengan kiri Aleena yang benar-benar terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak ... cepat sembuh, Aleena," bisik Cemelia lirih. "Perutmu sudah sebesar ini, Aleena. Mama tidak tega melihatnya." Aleena merasa pusing, ia tidak membuka mata dan masih tertid
Beberapa Bulan Kemudian... Terlepas dari semua masalah pekerjaan yang selalu datang, Theodore yang semakin hari semakin aktif bertingkah ini dan itu layaknya anak seusianya, juga Aleena yang kini sudah mengandung ke sembilan bulan. Hari demi hari dihitung oleh Aleena. Wanita itu terus berdoa sepanjang hari menunggu hari kelahiran si kembar. Bahkan dokter sudah memberikan jadwal untuk Aleena melahirkan si kembar secara operasi yang kurang tiga hari lagi lantaran kondisi Aleena yang tidak memungkinkan. Namun, entah kenapa Aleena takut saat ia membayangkannya hingga tiga hari ini ia banyak diam dan termenung. Asher yang selalu menemaninya, ia paham dengan kekhawatiran yang dialami oleh sang istri. "Aleena..." Asher mendekatinya dan laki-laki itu meletakkan sebotol susu hangat di pipi Aleena. Wanita cantik yang tengah memandangi salju itu pun menoleh cepat. Aleena tersenyum tipis pada Asher. "Emm, kau ini mengejutkanku saja," ujar Aleena menepuk pelan lengan Asher. L
Keesokan harinya, Aleena dan Asher pagi ini bersiap pergi ke rumah sakit. Hari ini adalah hari yang ditentukan oleh dokter untuk jadwal operasi Aleena untuk melahirkan besok. Theo menatap Mamanya yang masuk ke dalam mobil bersama sang Papa. Sedangkan anak itu tampak lesu dan sedih karena ia harus sekolah, tidak bisa menemani sang Mama. "Theo berangkat dengan Paman Jordan ya, Sayang," ujar Aleena pada Theo yang sedang digendong oleh Jordan."Iya, Mama. Mama hati-hati, nanti pulang sekolah Theo jenguk Mama," jawab anak itu melambaikan tangannya. Aleena dan Asher tersenyum. "Iya, Sayang." Barulah Jordan membawa Theo masuk ke dalam mobil satunya dan bergegas berangkat ke sekolah. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan Theo mencebikkan bibirnya sebal dan tampak badmood. "Calon kakak tidak boleh cemberut terus, Boss..." Jordan menyenggol pelan lengan kecil Theo. Sejauh ini, Jordan dan Theo memang seperti musuh. Tapi hanya Jordan yang bisa memahami perasaan Theo, putra atasannya tersebu
Malam ini Arabelle belajar di dalam kamarnya. Gadis cantik itu mengerjakan beberapa tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Gadis cantik meraih ponselnya yang tiba-tiba menyala. Arabelle membaca pesan masuk dari Theo yang bertanya apakah Arabelle sibuk atau tidak. Arabelle pun segera membalasnya dan tak berselang lama, Theo langsung menghubunginya. "Halo..." Arabelle tersenyum tipis menjawab panggilan itu. "Halo, sedang apa?" tanya Theo dibalik panggilan itu. "Sedang mencatat latihan soal, Kak. Kak Theo sedang apa?" "Sedang menjaga Lea. Dia baru saja ribut dengan Leo," jawab Theo. Arabelle menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekatinya. Jordan meraih ponsel di tangan Arabelle. "Ehh ... Ayah!" Jordan menatap layar ponsel Arabelle di mana nama Theo terpampang jelas di sana. "Jangan menghubungi Arabelle dulu, atau besok paman adukan kau pada Papamu! Paham, Theo!" seru Jordan.Panggilan itu pun langsung
"Kebiasaan! Sudah berapa kali Ara bilang jangan berantem terus! Lihat kalau sudah seperti ini!" "A-akk ... Aduh! Sakit, Arabelle!" pekik Theo saat Arabelle menekan bola kapas dengan obat gadis itu bawa, pada sudut bibir Theo yang membiru dan lebam. Arabelle memasang wajah sebal dan bibir tipisnya cemberut saat menatap Theo. Beberapa menit yang lalu, saat Ayahnya sudah pulang, Vivian dan Diego memanggil Arabelle yang sedang di perpustakaan. Mereka bilang kalau Theo bertengkar dengan kakak kelas. Arabelle yang panik, dia langsung berlari mencari Theo. Bahkan kini, berada di ruang kesehatan pun Arabelle yang harus memaksa Theo untuk segera mengobati luka laki-laki itu. "Aku tidak mau berteman dengan Kak Theo lagi kalau Kak Theo terus menerus bertengkar seperti ini," omel Arabelle mengambil plaster di dalam kotak obat. "Dia duluan yang meledekku..." "Ya jangan ditanggapi, Kak!" "Tidak bisa! Ucapan mereka tidak enak didengar, ya sudah hantam saja!""Begini...!" "Akhhhh! Sakit, Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah bersama dengan sang Ayah. Saat Jordan ikut keluar dari dalam mobil, semua anak-anak di sana menatapnya dengan tatapan terkejut. Jelas saja, sejak dulu Arabelle sering dipanggil anak pungut, karena saat masih sekolah dasar, Arabelle dengan bangga bercerita kalau dia diangkat anak oleh Ayahnya dari panti asuhan. Tapi ternyata, teman-temannya memandang Arabelle dari sisi yang buruk. "Ayah ... Ayah tidak usah mengantar Ara sampai ke dalam sana," ujar Arabelle menatap sang Ayah yang menjadi bahan tatapan semua temannya. "Kenapa? Malu diantarkan Ayah?" tanya Jordan sambil melepaskan kacamata hitamnya dan merapikan tuxedo hitam yang dia pakai. "Tidak. Arabelle tidak malu, Arabelle justru senang sekali Ayah mengantarkan Arabelle. Tapi..." Gadis itu mengecilkan suaranya dan ia memperhatikan sekitar. Jordan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Arabelle. Sejak kecil, Arabelle selalu pergi bersekolah dengan bus sekolah. Lalu saat naik kelas menengah pe
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang