"Aleena, ada apa, Sayang?!"Asher bergegas masuk ke dalam rumah dan mendekati Aleena dengan ekspresinya yang amat terkejut, pasalnya Asher tidak pernah melihat Aleena semarah ini. Pandangan Asher teralih pada Levi yang diam memegang pipinya yang tampak memerah. "Wanita ini ... wanita ini sudah kurang ajar!" pekik Aleena berkaca-kaca. "Wanita ini adalah sahabatnya Marsha, Asher! Dia ... dia tidak tahu apapun tentang kita, tapi seolah-olah dia tahu semuanya!" Asher menatap tajam pada Levi. "Apa yang kau katakan, heh?!""Tidak, Pak. Sepertinya Nyonya Aleena salah paham. Saya tidak berkata apapun. Nyonya Aleena—""Dia juga bilang kalau ke rumah sakit kemarin kau yang menawarkan tawaran itu padanya! Bukan dia yang mengajakmu?! Yang mana yang benar, Asher?!" pekik Aleena mencekal erat lengan suaminya dan menatapnya tajam-tajam. Aleena menggelengkan kepalanya. "Kau tahu kan, Asher ... aku tidak mau dan aku suka cara seperti ini!" Asher merangkul Aleena dan memeluk istrinya. Laki-laki itu
Usai keributan Aleena beberapa hari yang lalu dengan Levi, sekarang Aleena jatuh sakit dan tidak memungkinkan bagi Asher untuk pergi ke kantor. Karena kondisi inilah, Camelia dan Darren pun sampai datang berkunjung dengan sangat cemas melihat menantunya sakit dalam keadaan hamil yang ke tujuh bulan."Bagaimana Aleena bisa sakit, Asher? Sejak kapan Aleena sakit? Kenapa tidak menghubungi Mama dan Papa?" Camelia menatap putranya sambil duduk di tepi ranjang dan mengusap-usap lengan Aleena yang tengah berbaring. "Sejak tiga hari yang lalu, Ma. Tapi demamnya sejak semalam, panasnya juga sudah turun," ujar Asher. "Sudah turun apanya, masih panas begini kau bilang masih turun," omel Camelia. Wanita itu meraih handuk kecil basah dan ia mengompres lengan kiri Aleena yang benar-benar terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak ... cepat sembuh, Aleena," bisik Cemelia lirih. "Perutmu sudah sebesar ini, Aleena. Mama tidak tega melihatnya." Aleena merasa pusing, ia tidak membuka mata dan masih tertid
Beberapa Bulan Kemudian... Terlepas dari semua masalah pekerjaan yang selalu datang, Theodore yang semakin hari semakin aktif bertingkah ini dan itu layaknya anak seusianya, juga Aleena yang kini sudah mengandung ke sembilan bulan. Hari demi hari dihitung oleh Aleena. Wanita itu terus berdoa sepanjang hari menunggu hari kelahiran si kembar. Bahkan dokter sudah memberikan jadwal untuk Aleena melahirkan si kembar secara operasi yang kurang tiga hari lagi lantaran kondisi Aleena yang tidak memungkinkan. Namun, entah kenapa Aleena takut saat ia membayangkannya hingga tiga hari ini ia banyak diam dan termenung. Asher yang selalu menemaninya, ia paham dengan kekhawatiran yang dialami oleh sang istri. "Aleena..." Asher mendekatinya dan laki-laki itu meletakkan sebotol susu hangat di pipi Aleena. Wanita cantik yang tengah memandangi salju itu pun menoleh cepat. Aleena tersenyum tipis pada Asher. "Emm, kau ini mengejutkanku saja," ujar Aleena menepuk pelan lengan Asher. L
Keesokan harinya, Aleena dan Asher pagi ini bersiap pergi ke rumah sakit. Hari ini adalah hari yang ditentukan oleh dokter untuk jadwal operasi Aleena untuk melahirkan besok. Theo menatap Mamanya yang masuk ke dalam mobil bersama sang Papa. Sedangkan anak itu tampak lesu dan sedih karena ia harus sekolah, tidak bisa menemani sang Mama. "Theo berangkat dengan Paman Jordan ya, Sayang," ujar Aleena pada Theo yang sedang digendong oleh Jordan."Iya, Mama. Mama hati-hati, nanti pulang sekolah Theo jenguk Mama," jawab anak itu melambaikan tangannya. Aleena dan Asher tersenyum. "Iya, Sayang." Barulah Jordan membawa Theo masuk ke dalam mobil satunya dan bergegas berangkat ke sekolah. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan Theo mencebikkan bibirnya sebal dan tampak badmood. "Calon kakak tidak boleh cemberut terus, Boss..." Jordan menyenggol pelan lengan kecil Theo. Sejauh ini, Jordan dan Theo memang seperti musuh. Tapi hanya Jordan yang bisa memahami perasaan Theo, putra atasannya tersebu
Di rumah sakit, Aleena kini berada di dalam sebuah ruangan khusus setelah seharian penuh ia di dirawat di sana menjelang hari kelahiran si kembar. Aleena kini ditemani oleh Asher di dalam sebuah ruangan khusus sebelum masuk ke dalam ruangan operasi. Tampak Asher terus menggenggam erat tangan Aleena dan membisikkan kata-kata yang penuh dengan dukungan. "Jangan takut, Sayang. Semua pasti akan baik-baik saja, kau dan si kembar pasti akan sehat-sehat," ujar Asher berbisik di telinga Aleena dan mengecup pipi istrinya. Aleena membalas genggaman tangan Asher dan wanita cantik itu mengangguk kecil. "Jangan pergi-pergi ya, Asher. Di sini saja sampai operasinya selesai," pinta Aleena. "Iya. Aku akan menemanimu, Sayang." Dengan penuh rasa cemas yang tak terbendung, Asher memeluk istrinya. Bahkan sejak pagi, ia terus mengusap-usap perut Aleena yang besar dan terus berbisik pada anaknya yang berada di dalam perut untuk segera lahir dengan sehat. Tak berselang lama seorang dokter dan suster
Setelah Aleena dipindah ruangan usai operasi, masih belum diizinkan pihak keluarga untuk menjenguknya sementara waktu. Dan hanya Asher yang diizinkan untuk masuk, karena Aleena masih belum sadarkan diri. Tetapi, Asher dipanggil lagi oleh suster ke ruangan perawatan bayi. Kali ini, ia mengajak Theo bersamanya untuk melihat adik bayinya yang baru lahir. Theo begitu senang melihat dua wajah gemas adik bayinya yang kini berada di dalam ranjang bayi dari kaca di dalam ruangan rumah sakit. "Papa, adik Leo yang mana?" tanya Theo menatap dua bayi mungil di depannya. Asher tersenyum. "Adik Leo yang pakai selimut biru, Sayang. Yang pakai selimut merah muda, ini Adik Lea." Kedua mata Theo berbinar-binar menatap adiknya. "Wahhh ... lucunya, Theo mau gendong adik," seru anak itu. Asher langsung menarik tubuh Theo dan memeluknya. "Tidak boleh, Sayang. Adik kembar masih harus tidur." "Emmm, tidur terus. Mereka tidak mau menangis yang kencang ya, Pa?" tanya Theo cemberut. "Jangan dong, biark
Keesokan paginya... Theo berangkat ke sekolah bersama dengan Jordan seperti biasa. Anak laki-laki itu kini tampak sangat tampan dengan balutan mantel berwarna cokelat yang ia pakai dan syal berwarna hitamnya, juga topi beret berwarna merah muda di kepalanya. Theo yang baru saja turun dari dalam mobil, kini menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hemmm, Arabelle belum datang, ya?" gumamnya lirih. Jordan menaikkan salah satu alisnya. "Sepertinya pacarnya Bos Kecil tidak masuk sekolah." "Masuk, Paman! Theo sudah janjian dengan Arabelle!" seru Theo dengan bibir mencebik. "Arabelle dan Theo tidak satu kelas, jadi kalau main harus bersama bisa bertemu terus!" Mendengar seruan Theo yang 'sok dewasa' membuat Jordan tersenyum gemas. Jordan menekuk kedua lututnya di tepian jalan trotoar. Situasi sekolah Theo juga masih sepi, belum banyak anak-anak yang datang. Sedangkan Theo tampak menunggu-nunggu. Hal ini membuat Jordan penasaran, anak sekecil Theo, anak laki-laki, anak orang kaya, kenapa mau b
Di lain tempat, Aleena dan Asher kini masih di rumah sakit. Aleena sudah merasa baikan meskipun perutnya masih terasa sangat sakit di bagian luka operasinya. Pagi ini, Aleena diizinkan bertemu dengan kedua bayi kembarnya. Bayi-bayi manis itu dibawa ke kamar Aleena. Wajah Aleena berseri-seri bahagia melihat bayi kembarnya yang ternyata benar-benar sangat mirip dengan Asher. "Lihat, ya ampun Aleena ... Leo sangat-sangat mirip dengan Theo saat masih bayi, Nak!" seru Camelia tersenyum begitu bahagia menatap bayi yang ia gendong. "Iya, Ma. Lea juga sangat manis sekali," ujar Aleena menatap bayi dalam pelukannya. "Lea lebih mirip dengan Aleena menurut Papa," sahut Darren. "Iya. Mama pikir juga begitu, Pa...." Camelia menyahuti. Kedua orang itu sangat bahagia melihat cucu kembarnya. Sedangkan Asher merangkul Aleena dari samping sambil memperhatikan wajah menggemaskan putri kecilnya. Tentu saja Asher dan orang tuanya merasa begitu bahagia, mereka mempunyai keturunan anak perempuan. "
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang
Kedatangan Harvey di tempat kerja Arabelle membuat gadis itu kaget. Arabelle sendiri juga tidak tahu dari mana Harvey tahu Arabelle bekerja di sini. Harvey langsung melangkah mendekati Arabelle saat itu. Arabelle memperhatikan ke arah Erica yang kini menganggukkan kepala padanya memberikan izin pada Arabelle untuk berbincang dengan Harvey. "Kak Harvey kenapa ada di sini?" tanya Arabelle. "Aku ingin meminta maaf padamu," ucap Harvey menatap kasihan pada Arabelle. Apalagi saat ia menatap kedua mata Arabelle yang sembab. Arabelle menggeleng kecil. "Tidak apa-apa, Kak. Ini bukan salah Kakak." "Aku akan menemui Theo besok pagi. Aku tahu, pasti sangat berat bagimu bertengkar dengan Theo," ujar Harvey. Mendengar hal itu, Arabelle ingin menangis kembali. Namun, gadis itu berusaha untuk menguatkan dirinya dan tidak menangis lagi. Harvey yang dikenal buruk di mata Theo, namun dia tidak seburuk itu bagi Arabelle. Harvey sosok yang perhatian dan baik, tetapi entah apa yang membuat T
Arabelle sudah kembali bersekolah hari ini. Gadis itu pulang lebih awalkarena ujian di sekolahnya sudah selesai dan tinggal menunggu pengumuman kelulusannya. Pukul satu siang, Arabelle mendatangi sekolah Theo. Namun, ia tidak untuk menemui Theo, melainkan untuk mengembalikan Hoodie milik Harvey. Gadis berambut lurus berponi itu berdiri di depan gerbang utama. Ia memperhatikan ke arah lapangan basket, setahu Arabelle hari ini Theo tidak ada jadwal basket, kemungkinan besar Theo tidak ada di sekolahnya saat ini. Hingga Arabelle bisa datang dan menemui Harvey. "Mencari siapa?" tanya seorang murid perempuan yang mendekati Arabelle. "Kak Harvey, Kak," jawab Arabelle. "Emm, kau siapanya Harvey?" tanya gadis berambut cokelat sepundak itu, bersama dua temannya. Arabelle tampak ragu menatap mereka was-was, ia meremas Hoodie hitam di pelukannya. "A-aku hanya—""Arabelle...!" Suara bariton tegas itu terdengar memanggilnya. Arabelle menatap sosok Harvey yang kini berlari kecil ke arahnya.
Di hari libur, Arabelle tetap bekerja di sore hari. Tetapi hari ini, gadis itu tidak ditemani oleh Theo karena laki-laki itu bilang kalau dia sangat lelah setelah menjaga adiknya di rumah sakit. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Arabelle baru saja pulang dari bekerja. Gadis cantik itu duduk di sebuah halte menunggu bus. Arabelle menggosok kedua telapak tangannya dan meniupnya dengan lembut. "Huhh ... dingin sekali malam ini," lirih gadis itu. Terdengar suara deringan ponsel di dalam tas slempang yang Arabelle bawa saat ini. Gadis itu segera mengambil ponselnya, di sana ia melihat nama sang Ayah. Dengan rasa ragu, Arabelle menjawab panggilan itu. "Halo, Ayah..." "Kau di mana, Nak? Ini sudah malam, Arabelle," ujar Jordan dengan nada panik. Jemari tangan Arabelle meremas ponsel yang ia bawa saat ini. "Arabelle masih di halte, Arabelle menunggu bus, Yah. Ayah jangan khawatir, sebentar lagi pasti busnya sampai." "Ayah jemput saja sekarang..." "Tidak, Ayah. Arabelle pula