Beberapa Bulan Kemudian... Terlepas dari semua masalah pekerjaan yang selalu datang, Theodore yang semakin hari semakin aktif bertingkah ini dan itu layaknya anak seusianya, juga Aleena yang kini sudah mengandung ke sembilan bulan. Hari demi hari dihitung oleh Aleena. Wanita itu terus berdoa sepanjang hari menunggu hari kelahiran si kembar. Bahkan dokter sudah memberikan jadwal untuk Aleena melahirkan si kembar secara operasi yang kurang tiga hari lagi lantaran kondisi Aleena yang tidak memungkinkan. Namun, entah kenapa Aleena takut saat ia membayangkannya hingga tiga hari ini ia banyak diam dan termenung. Asher yang selalu menemaninya, ia paham dengan kekhawatiran yang dialami oleh sang istri. "Aleena..." Asher mendekatinya dan laki-laki itu meletakkan sebotol susu hangat di pipi Aleena. Wanita cantik yang tengah memandangi salju itu pun menoleh cepat. Aleena tersenyum tipis pada Asher. "Emm, kau ini mengejutkanku saja," ujar Aleena menepuk pelan lengan Asher. L
Keesokan harinya, Aleena dan Asher pagi ini bersiap pergi ke rumah sakit. Hari ini adalah hari yang ditentukan oleh dokter untuk jadwal operasi Aleena untuk melahirkan besok. Theo menatap Mamanya yang masuk ke dalam mobil bersama sang Papa. Sedangkan anak itu tampak lesu dan sedih karena ia harus sekolah, tidak bisa menemani sang Mama. "Theo berangkat dengan Paman Jordan ya, Sayang," ujar Aleena pada Theo yang sedang digendong oleh Jordan."Iya, Mama. Mama hati-hati, nanti pulang sekolah Theo jenguk Mama," jawab anak itu melambaikan tangannya. Aleena dan Asher tersenyum. "Iya, Sayang." Barulah Jordan membawa Theo masuk ke dalam mobil satunya dan bergegas berangkat ke sekolah. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan Theo mencebikkan bibirnya sebal dan tampak badmood. "Calon kakak tidak boleh cemberut terus, Boss..." Jordan menyenggol pelan lengan kecil Theo. Sejauh ini, Jordan dan Theo memang seperti musuh. Tapi hanya Jordan yang bisa memahami perasaan Theo, putra atasannya tersebu
Di rumah sakit, Aleena kini berada di dalam sebuah ruangan khusus setelah seharian penuh ia di dirawat di sana menjelang hari kelahiran si kembar. Aleena kini ditemani oleh Asher di dalam sebuah ruangan khusus sebelum masuk ke dalam ruangan operasi. Tampak Asher terus menggenggam erat tangan Aleena dan membisikkan kata-kata yang penuh dengan dukungan. "Jangan takut, Sayang. Semua pasti akan baik-baik saja, kau dan si kembar pasti akan sehat-sehat," ujar Asher berbisik di telinga Aleena dan mengecup pipi istrinya. Aleena membalas genggaman tangan Asher dan wanita cantik itu mengangguk kecil. "Jangan pergi-pergi ya, Asher. Di sini saja sampai operasinya selesai," pinta Aleena. "Iya. Aku akan menemanimu, Sayang." Dengan penuh rasa cemas yang tak terbendung, Asher memeluk istrinya. Bahkan sejak pagi, ia terus mengusap-usap perut Aleena yang besar dan terus berbisik pada anaknya yang berada di dalam perut untuk segera lahir dengan sehat. Tak berselang lama seorang dokter dan suster
Setelah Aleena dipindah ruangan usai operasi, masih belum diizinkan pihak keluarga untuk menjenguknya sementara waktu. Dan hanya Asher yang diizinkan untuk masuk, karena Aleena masih belum sadarkan diri. Tetapi, Asher dipanggil lagi oleh suster ke ruangan perawatan bayi. Kali ini, ia mengajak Theo bersamanya untuk melihat adik bayinya yang baru lahir. Theo begitu senang melihat dua wajah gemas adik bayinya yang kini berada di dalam ranjang bayi dari kaca di dalam ruangan rumah sakit. "Papa, adik Leo yang mana?" tanya Theo menatap dua bayi mungil di depannya. Asher tersenyum. "Adik Leo yang pakai selimut biru, Sayang. Yang pakai selimut merah muda, ini Adik Lea." Kedua mata Theo berbinar-binar menatap adiknya. "Wahhh ... lucunya, Theo mau gendong adik," seru anak itu. Asher langsung menarik tubuh Theo dan memeluknya. "Tidak boleh, Sayang. Adik kembar masih harus tidur." "Emmm, tidur terus. Mereka tidak mau menangis yang kencang ya, Pa?" tanya Theo cemberut. "Jangan dong, biark
Keesokan paginya... Theo berangkat ke sekolah bersama dengan Jordan seperti biasa. Anak laki-laki itu kini tampak sangat tampan dengan balutan mantel berwarna cokelat yang ia pakai dan syal berwarna hitamnya, juga topi beret berwarna merah muda di kepalanya. Theo yang baru saja turun dari dalam mobil, kini menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hemmm, Arabelle belum datang, ya?" gumamnya lirih. Jordan menaikkan salah satu alisnya. "Sepertinya pacarnya Bos Kecil tidak masuk sekolah." "Masuk, Paman! Theo sudah janjian dengan Arabelle!" seru Theo dengan bibir mencebik. "Arabelle dan Theo tidak satu kelas, jadi kalau main harus bersama bisa bertemu terus!" Mendengar seruan Theo yang 'sok dewasa' membuat Jordan tersenyum gemas. Jordan menekuk kedua lututnya di tepian jalan trotoar. Situasi sekolah Theo juga masih sepi, belum banyak anak-anak yang datang. Sedangkan Theo tampak menunggu-nunggu. Hal ini membuat Jordan penasaran, anak sekecil Theo, anak laki-laki, anak orang kaya, kenapa mau b
Di lain tempat, Aleena dan Asher kini masih di rumah sakit. Aleena sudah merasa baikan meskipun perutnya masih terasa sangat sakit di bagian luka operasinya. Pagi ini, Aleena diizinkan bertemu dengan kedua bayi kembarnya. Bayi-bayi manis itu dibawa ke kamar Aleena. Wajah Aleena berseri-seri bahagia melihat bayi kembarnya yang ternyata benar-benar sangat mirip dengan Asher. "Lihat, ya ampun Aleena ... Leo sangat-sangat mirip dengan Theo saat masih bayi, Nak!" seru Camelia tersenyum begitu bahagia menatap bayi yang ia gendong. "Iya, Ma. Lea juga sangat manis sekali," ujar Aleena menatap bayi dalam pelukannya. "Lea lebih mirip dengan Aleena menurut Papa," sahut Darren. "Iya. Mama pikir juga begitu, Pa...." Camelia menyahuti. Kedua orang itu sangat bahagia melihat cucu kembarnya. Sedangkan Asher merangkul Aleena dari samping sambil memperhatikan wajah menggemaskan putri kecilnya. Tentu saja Asher dan orang tuanya merasa begitu bahagia, mereka mempunyai keturunan anak perempuan. "
Hari sudah sore, Jordan pun mengajak Theo untuk pulang bersamanya. Anak itu terlalu asik bermain dengan adik kembarnya. Sampai diajak pulang pun Theo tampak hampir tidak mau pulang sekeras apapun Jordan membujuknya. "Ayo Bos Kecil, kita pulang dulu. Nanti malam ke sini lagi," bujuk Jordan pada Theo yang masih marah dan merajuk berdiri di ambang pintu. "Tidak mau! Theo mau di sini sama Adik!" pekik anak itu menolak. Jordan menyergah napasnya panjang, laki-laki itu berdiri di dekat pintu sambil menenteng tasnya. Ia menatap ke arah Theo yang masih marah-marah. Dan kini, Asher pun mendekati putra kecilnya. Anaknya yang sudah jelas terlihat menolak keras untuk pulang. "Sayang, Theo harus pulang. Ajak Paman Jordan bermain di game zone," ujar Asher. Theo merotasikan kedua bola matanya. "Tidak tertarik!" "Emmm ... bagaimana kalau ke kedai es krim?" "Sudah bosan, Papa..." Jordan yang menatapnya dengan mencari ide pun tiba-tiba laki-laki itu tersenyum lebar. "Bagaimana kalau kita men
Keesokan harinya, Aleena sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, juga anak kembarnya. Kepulangan Aleena disambut dengan sangat baik oleh Theo, Jordan, dan seorang anak perempuan yang bersama Theo. Tampak Aleena dan Asher sedikit terkejut melihat anak perempuan mungil berwajah cantik dan lucu berada di sana dengan pakaian yang rapi dan bagus. "Mama, Theo kangen," seru Theo mendekati Aleena dan memeluk sang Mama yang kini berdiri di samping Asher. Sedangkan bayi kembarnya sudah dibawa masuk oleh seorang pengasuh yang disewa oleh Asher dan Aleena, yaitu pengasuh Theo saat kecil dulu. Aleena tersenyum hangat melihat putranya yang begitu antusias. "Mama juga kangen sekali dengan Theo," ujar Aleena tersenyum manis mengelus pucuk kepala Theo. "Hmmm ... nanti malam bobo sama Mama dan adik, ya, Sayang..." "Iya, Mama. Siap!" Theo terlihat sangat berseri-seri bahagia. Asher yang bersama mereka, ia pun ikut tersenyum sambil merangkul pundak istrinya. "Theo tidak boleh nakal, ya, Sayang.
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang
Kedatangan Harvey di tempat kerja Arabelle membuat gadis itu kaget. Arabelle sendiri juga tidak tahu dari mana Harvey tahu Arabelle bekerja di sini. Harvey langsung melangkah mendekati Arabelle saat itu. Arabelle memperhatikan ke arah Erica yang kini menganggukkan kepala padanya memberikan izin pada Arabelle untuk berbincang dengan Harvey. "Kak Harvey kenapa ada di sini?" tanya Arabelle. "Aku ingin meminta maaf padamu," ucap Harvey menatap kasihan pada Arabelle. Apalagi saat ia menatap kedua mata Arabelle yang sembab. Arabelle menggeleng kecil. "Tidak apa-apa, Kak. Ini bukan salah Kakak." "Aku akan menemui Theo besok pagi. Aku tahu, pasti sangat berat bagimu bertengkar dengan Theo," ujar Harvey. Mendengar hal itu, Arabelle ingin menangis kembali. Namun, gadis itu berusaha untuk menguatkan dirinya dan tidak menangis lagi. Harvey yang dikenal buruk di mata Theo, namun dia tidak seburuk itu bagi Arabelle. Harvey sosok yang perhatian dan baik, tetapi entah apa yang membuat T
Arabelle sudah kembali bersekolah hari ini. Gadis itu pulang lebih awalkarena ujian di sekolahnya sudah selesai dan tinggal menunggu pengumuman kelulusannya. Pukul satu siang, Arabelle mendatangi sekolah Theo. Namun, ia tidak untuk menemui Theo, melainkan untuk mengembalikan Hoodie milik Harvey. Gadis berambut lurus berponi itu berdiri di depan gerbang utama. Ia memperhatikan ke arah lapangan basket, setahu Arabelle hari ini Theo tidak ada jadwal basket, kemungkinan besar Theo tidak ada di sekolahnya saat ini. Hingga Arabelle bisa datang dan menemui Harvey. "Mencari siapa?" tanya seorang murid perempuan yang mendekati Arabelle. "Kak Harvey, Kak," jawab Arabelle. "Emm, kau siapanya Harvey?" tanya gadis berambut cokelat sepundak itu, bersama dua temannya. Arabelle tampak ragu menatap mereka was-was, ia meremas Hoodie hitam di pelukannya. "A-aku hanya—""Arabelle...!" Suara bariton tegas itu terdengar memanggilnya. Arabelle menatap sosok Harvey yang kini berlari kecil ke arahnya.
Di hari libur, Arabelle tetap bekerja di sore hari. Tetapi hari ini, gadis itu tidak ditemani oleh Theo karena laki-laki itu bilang kalau dia sangat lelah setelah menjaga adiknya di rumah sakit. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Arabelle baru saja pulang dari bekerja. Gadis cantik itu duduk di sebuah halte menunggu bus. Arabelle menggosok kedua telapak tangannya dan meniupnya dengan lembut. "Huhh ... dingin sekali malam ini," lirih gadis itu. Terdengar suara deringan ponsel di dalam tas slempang yang Arabelle bawa saat ini. Gadis itu segera mengambil ponselnya, di sana ia melihat nama sang Ayah. Dengan rasa ragu, Arabelle menjawab panggilan itu. "Halo, Ayah..." "Kau di mana, Nak? Ini sudah malam, Arabelle," ujar Jordan dengan nada panik. Jemari tangan Arabelle meremas ponsel yang ia bawa saat ini. "Arabelle masih di halte, Arabelle menunggu bus, Yah. Ayah jangan khawatir, sebentar lagi pasti busnya sampai." "Ayah jemput saja sekarang..." "Tidak, Ayah. Arabelle pula
Beberapa teman Theo sudah pulang. Tapi kini tersisa tiga orang saja di sana, Theo meminta Dylan, Jonath, dan Gery menemaninya di rumah sakit agar Theo tidak jenuh. Theo juga meminta Aleena untuk istirahat di ruangan sebelah, karena sudah ada Theo yang kini menjaga Lea dan mengajaknya bermain. "Ger, sepertinya kau cocok kalau punya adik," ujar Dylan memperhatikan Gery. Gery menoleh sambil terkekeh. "Mamaku sudah hipertensi memiliki satu anak sepertiku, apalagi kalau ditambah ... bisa kebakaran rumahku dan berujung aku dicoret dari kartu keluarga dan tidak dapat warisan!" serunya sebelum ia memperhatikan Lea dengan gemas. "Tapi, kalau adiknya seperti Lea, aku akan menuruti apapun keinginannya akan aku turuti. Emm ... atau bagaimana kalau aku menunggu Lea besar saja, nanti aku akan menikahi Lea, lalu menjadi adik ipar Theo, sepertinya seru!" "Modelan Kadal gurun sepertimu mau menjadi menantu Keluarga Benedict. Sok-sokan ingin mendekati Tuan Putri dari keluarga kaya raya..," sahut Dy
Pagi ini Theo mengantarkan Arabelle pulang. Setelah semalam Arabelle menemani Theo dan Aleena di rumah sakit. "Terima kasih semalam sudah mau menemani Mama dan Lea di rumah sakit," ucap Theo pada Arabelle. Gadis cantik itu tersenyum lembut. "Sama-sama, Kak Theo." Theo mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Arabelle. "Sudah sana masuk. Sarapan yang banyak, dan jangan lupa istirahat." "Oke, siap, Bos!" Gadis itu tersenyum lebar. Theo hanya terkekeh gemas dengan tingkah Arabelle. Gadis itu pun masuk ke dalam gerbang rumah sambil melambaikan tangannya pada Theo. Segera Theo bergegas pergi saat itu juga. Sepanjang perjalanan, Theo memiliki Leo yang sekarang bersama Opa dan Omanya. Opa dan Omanya sudah tua, sedangkan Leo anak yang sangat nakal. Theo takut kalau Leo meminta hal yang aneh-aneh dan banyak tingkah di sana. "Lebih baik aku jemput Leo saja," gumam Theo, ia langsung send kanan motornya menuju arah jalan ke rumah Opanya. Beberapa menit kemudian, motor hitam milik Theo
"Kak Arabelle pegang yang ini, Lea pegang boneka tikusnya!" Lea menyerahkan boneka kucing lucu pada Arabelle.Arabelle tersenyum gemas dan menganggukkan kepalanya antusias pada anak kecil di hadapannya ini."Oke. Kalau begitu, berarti kucingnya akan memakan anak tikus..!" seru Arabelle dengan wajah berbinar. Lea pun langsung tertawa gemas saat boneka kucing di tangan Arabelle menyergap boneka tikus di tangannya. Suara tawa kecil Lea terdengar begitu seru di dalam kamar rawat inap tersebut. Hanya karena mainan itu, Lea bisa tertawa sampai terpingkal-pingkal. Bahkan, anak itu mau disuapi sambil bermain. Hal ini cukup sangat melegakan. Aleena dan Theo duduk di sofa, mereka tersenyum lega melihat Lea bersemangat. "Kakak, sini..." Lea menoleh pada Theo dan melambaikan tangannya. Theo segera beranjak dari duduknya melangkah ke arah Lea. "Kenapa, Sayang?" "Kakak pegang yang ini. Ayo kita serang kucingnya bersama-sama!" seru anak itu dengan wajah antusias. "Mana, biar Kakak menjadi a
Beberapa hari berlalu, Arabelle masih melanjutkan pekerjaannya setelah pulang sekolah dan pulang pukul sembilan malam.Bahkan di hari minggu, gadis itu selalu berangkat pagi, pulang siang dan berangkat lagi. Malam ini cuaca sedang hujan. Cafe tampak sepi dan Erica juga sedang pergi dengan kekasihnya hingga hanya Arabelle dan Theo di cafe itu. Theo yang setiap hari datang ke sana menemani Arabelle. Arabelle memperhatikan Theo yang tampak sedih malam ini. Laki-laki itu diam dan menatap ke arah luar dengan pandangan sendu. "Kak Theo, aku buatkan cokelat hangat," ujar Arabelle meletakkan satu cup cokelat panas di atas meja di hadapan Theo. Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis pada Arabelle. Arabelle duduk di samping Theo dan memperhatikannya. "Kak Theo kenapa? Ada masalah, ya?" "Tidak ada," jawab Theo pelan. "Aku ... aku hanya merasa sedih. Lea kembali masuk rumah sakit pagi tadi, Leo dibawa Oma dan dirawat oleh Oma. Mama dan Papa di rumah sakit." "Lea drop lagi,"
Theo sampai di rumah pukul sepuluh lebih lima belas menit. Ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan-pelan karena ia sudah lelah diomeli oleh sang Papa. Saat langkah Theo sudah super pelan, tanpa sengaja ia menoleh ke arah dapur dan melihat musuh bebuyutannya ada di sana! "Kakak!" pekik Leo mendapati Theo. Wajah Theo langsung berubah menjadi sangat-sangat susah seketika. "Oh, oh, oh ... ini dia baru pulang!" pekik Leo. "Kakak dicari Papa dari tadi, mau dipukuli katanya karena pulang sekolah langsung pergi dan tidak pulang-pulang!" "Diam, Leo! Kakak capek!" seru Theo. Alih-alih mendengarkan sang Kakak, Leo justru berlari ke arah ruang kerja sang Papa. "Papa ... Kakak sudah pulang! Ayo dimarahi ramai-ramai, Pa!" teriak Leo menggema di dalam rumah. Theo mendengus pelan mengusap wajahnya yang menjadi sangat sebal setelah melihat Leo. "Punya adik seperti Leo sepuluh, sepertinya aku bisa mati muda..." Leo duduk di kursi ruang makan dengan ekspresi pasrah dalam rasa lela