Asher dan Aleena bermalam di Lamberg. Mereka tidur bersama Theo juga di ranjang kamar Aleena. Tampak Asher yang kini tidur di tengah antara anak dan istrinya. Ia tidak mau sampai Theo tidur menendang perut sang Mama. Asher merasakan kebas di kedua lengannya, lengan kanannya dijadikan bantal oleh Aleena, sedangkan lengan kirinya dijadikan bantal oleh Theo. "Agghh," lirih Asher mengetatkan rahangnya pelan. Perlahan, kedua lengannya tidak lagi dijadikan lagi bantal oleh anak dan istrinya, tetapi kini Aleena meringkuk ke arahnya dan memeluk tubuh Asher. Sedangkan Theo membelakangi Asher dengan satu kakinya di atas perut sang Papa. Asher menoleh pada Aleena yang kini mendongakkan wajahnya dengan kedua mata terpejam. Asher menunduk dan mengecup kening sang istri. "Sayang, kau tidak bangun?" bisik Asher. "Aku masih mengantuk," jawab Aleena melingkarkan kedua tangannya memeluk Asher lagi. Asher menoleh pada Theo, ia mengulurkan tangannya mengusap kening sang putra dan panas Theo sudah
Setelah kondisi Theo membaik, Asher dan Aleena pun berpamitan kembali pulang ke Murniche lagi. Tepat hari ini sekolah Theo mengadakan pariwisata dan Theo sudah tidak tertarik lagi. Anak itu lebih memilih di rumah menonton kartun kesukaannya setelah dia mengatakan takut pusing dan sakit kembali. Sedangkan Aleena duduk diam di samping Theo, menemani putra kecilnya. "Sambil makan ya, Sayang," bujuk Aleena. "Theo susah sekali makannya, nanti kalau perutnya sakit, bagaimana?" Anak itu menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup mulutnya. "Theo masih tidak lapar, Ma." Aleena menyergah napasnya panjang. "Ya ampun, Sayang. Mama sudah masak kesukaan Theo padahal..." Tetap saja, Theo menolaknya dan anak itu memilih diam bermain. Terkadang Aleena merasa jenuh dengan kesehariannya. Ia ingin pergi jalan-jalan bersama Asher seperti pasangan-pasangan lainnya. Tetapi Asher sangat sibuk hingga Aleena mengalah demi kesibukan suaminya. Saat Aleena sedang melamun sedih, tiba-tiba saja terdengar su
Beberapa Bulan Kemudian...Hari demi hari terus silih berganti. Waktu berjalan cepat, sering berjalannya waktu sudah tiga bulan berlalu. Waktu yang cepat itu dirasakan oleh Aleena dan Asher. Termasuk Aleena yang sedang hamil dan kini sudah memasuki bulan ke lima, ditemani oleh suaminya yang selalu ada di sampingnya, tapi tidak dengan beberapa hari ke depan ini. Malam ini, Aleena tampak mendengar perbincangan suaminya dengan rekannya yang mengatakan kalau mereka akan pergi dalam waktu cepat. "Aku akan mengurus tiket pesawatnya segera. Kemungkinan besar, aku juga tidak bisa terlalu lama di sana. Istriku sedang hamil, kasihan istriku bila aku meninggalkannya terlalu lama." Suara Asher terdengar jelas. Aleena diam di dekat pintu menatap ke dalam di mana sang suami kini menatapnya. Laki-laki itu menggeram ponsel di telinganya. "Baiklah, Graham. Nanti aku kabari lagi saat aku akan berangkat. Oke, sampai bertemu." Asher menutup panggilannya dan laki-laki itu meletakkan ponselnya. Kini,
"Ma, kita mau ke mana? Kenapa kita bawa tas berisi baju-baju?" Theo mendongakkan kepalanya menatap Aleena, anak itu duduk di samping sang Mama di dalam mobil. Aleena menatap Theo dan tersenyum lembut. "Kita akan tinggal di tempat Oma dan Opa selama beberapa hari, Sayang. Papa akan ke luar negeri, jadi kita tunggu sampai Papa pulang, baru kita kembali lagi ke rumah." Mendengar penjelasan sang Mama, lantas wajah Theo menjadi muram dan sedih. "Yahh ... tapi kan sebenarnya kita bisa di rumah saja, Ma," ujar anak itu cemberut. "Di rumah sama siapa? Bibi Julien akan pulang ke luar kota beberapa hari, Theo. Kalau Mamamu merawat Theo seorang diri, pasti kewalahan. Theo sudah besar dan banyak maunya. Kasihan Mama," ujar Asher. Anak itu cemberut mendengar apa yang Papanya katakan barusan. Theo tidak suka tinggal di tempat Oma dan Opanya, anak itu tidak betah di sana, entah kenapa. "Papa tidak boleh pergi lama-lama, harus cepat pulang," ujar Theo. "Hanya satu minggu saja, Nak ... kau in
Satu hari tinggal bersama Mama dan Papa mertuanya, ternyata tidak seburuk seperti yang Aleena bayangkan. Camelia dan Darren begitu perhatian padanya. Bahkan Camelia tahu kalau Aleena setiap tengah malam selalu makan, hingga wanita itu menemaninya di dapur seperti malam ini. Aleena tampak membuka lemari es, dan Camelia tengah membuat teh dan segelas susu untuk Aleena. "Ingin makan dengan apa, Aleena? Biar Mama masakkan," ujar Camelia. Aleena menoleh dan menggelengkan kepalanya, tentu saja ia merasa tidak enak hati. "Tidak perlu, Ma. Aleena hanya ingin makan roti selai saja," jawab Aleena tersenyum tipis. "Ya sudah, bawa kemari, biar Mama hangatkan rotinya," pinta Camelia mengulurkan tangannya pada Aleena. Aleena pun mendekat, ia memberikan roti lapis itu pada Mama mertuanya. "Selainya ada di lemari kaca sebelah lemari piring, Nak," ujar Camelia. "Baik, Ma." Setelah itu, Aleena mengambil selai stroberi dan ia meletakkannya di atas meja pantry dapur. Camelia juga ikut duduk be
Asher telah sampai di Lotster pada pukul dua dini hari. Dan pagi ini, sebelum meeting dimulai, Asher menyempatkan menghubungi Aleena karena semalam pesan yang ia kirimkan pada sang istri belum juga dibalas. Kini, Asher berdiri di lorong sebuah lantai dua puluh di dalam perusahaan besar milik rekannya. Asher berdiri menatap dinding kaca dengan ponsel yang masih setia ia letakkan di dekat telinganya. "Ke mana Aleena?" gumam Asher. "Kenapa belum juga menjawab panggilan dariku?" Asher menyergah napasnya panjang, satu, dua, panggilannya tidak dijawab oleh Aleena. Asher pun kembali menghubunginya, ia tidak pantang menyerah begitu saja. Sampai akhirnya panggilannya pun dijawab oleh sang istri di seberang sana. "Halo, Sayang..." "Asher, maaf baru menjawab panggilanmu, aku baru saja ikut Mama berbelanja di mall," ujar Aleena, suaranya tampak sangat ceria. "Sepagi ini?!" seru Asher. "Ya. Mama mengajakku ke taman, ke mall, dan kami berbelanja." Asher mengusap keningnya.
Sudah tiga hari lamanya Asher disibukkan dengan pekerjaan yang sangat banyak di negeri seberang. Bahkan saat ini, pukul delapan malam ia masih berada di kantor milik rekannya. Di dalam ruangan luas dan praktis itu, terdapat empat orang di dalam sana, termasuk Asher dan Jordan. "Sudah pukul delapan, Asher. Sisanya biar asistenku yang mengerjakan beberapa berkas yang harus diketik ulang," ujar Graham. "Aku pastikan besok pagi selesai." Ungkapan rekannya itu membuat Asher dan Jordan menoleh cepat ke arah seorang wanita cantik berambut panjang lurus sepinggang yang pendiam dan lugu. Asisten Graham itu pun tertunduk. Dan dia tidak menjawab apapun. "Bukannya ini sudah malam? Dia mau pulang jam berapa kalau kau menyerahkan pekerjaan sebanyak ini padanya?" sahut Asher. Rekannya itu menarik napas panjang dan melirik ke arah asistennya yang tampak diam tertekan. "Emmm ... bahkan dia bersedia meskipun dari pagi hingga pagi lagi di sini, bukan begitu, Gissela?" sahut Graham.
"Aleena, hari ini teman-teman Mama arisan Mama akan datang ke sini. Nanti, kau ikut Mama menyambut kedatangan mereka, ya..." Camelia mendekati Aleena yang tengah bersama Theo di taman rumahnya. Menantunya itu tampak kikuk, Aleena kemarin bertemu dengan beberapa teman Camellia dan ia hanya bisa diam karena Aleena belum terbiasa. "Tapi Ma, Aleena tidak tahu harus berbicara apa saat bersama mereka. Seperti yang kemarin-kemarin, nanti Mama malu kalau Aleena hanya diam saja," ujar Aleena ragu. Camelia tersenyum, wanita itu mengusap pundak Aleena dengan lembut. "Jangan khawatir, mereka tidak akan berbicara atau berpikir yang tidak-tidak padamu, Nak." "Hm. Baiklah kalau begitu, Ma," jawab Aleena sambil tersenyum. "Ayo, bantu Mama di rumah. Biar Theo diawasi Zayn," ujar Camelia. Aleena kembali menoleh pada si kecil yang tampak bermain dengan kelinci peliharaan barunya yang dibelikan oleh Opanya. "Sayang, Mama masuk ke dalam dengan Oma, ya ... Theo di sini sama Paman Zayn," ujar Aleen
Malam ini Arabelle belajar di dalam kamarnya. Gadis cantik itu mengerjakan beberapa tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Gadis cantik meraih ponselnya yang tiba-tiba menyala. Arabelle membaca pesan masuk dari Theo yang bertanya apakah Arabelle sibuk atau tidak. Arabelle pun segera membalasnya dan tak berselang lama, Theo langsung menghubunginya. "Halo..." Arabelle tersenyum tipis menjawab panggilan itu. "Halo, sedang apa?" tanya Theo dibalik panggilan itu. "Sedang mencatat latihan soal, Kak. Kak Theo sedang apa?" "Sedang menjaga Lea. Dia baru saja ribut dengan Leo," jawab Theo. Arabelle menoleh saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Tampak sang Ayah masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekatinya. Jordan meraih ponsel di tangan Arabelle. "Ehh ... Ayah!" Jordan menatap layar ponsel Arabelle di mana nama Theo terpampang jelas di sana. "Jangan menghubungi Arabelle dulu, atau besok paman adukan kau pada Papamu! Paham, Theo!" seru Jordan.Panggilan itu pun langsung
"Kebiasaan! Sudah berapa kali Ara bilang jangan berantem terus! Lihat kalau sudah seperti ini!" "A-akk ... Aduh! Sakit, Arabelle!" pekik Theo saat Arabelle menekan bola kapas dengan obat gadis itu bawa, pada sudut bibir Theo yang membiru dan lebam. Arabelle memasang wajah sebal dan bibir tipisnya cemberut saat menatap Theo. Beberapa menit yang lalu, saat Ayahnya sudah pulang, Vivian dan Diego memanggil Arabelle yang sedang di perpustakaan. Mereka bilang kalau Theo bertengkar dengan kakak kelas. Arabelle yang panik, dia langsung berlari mencari Theo. Bahkan kini, berada di ruang kesehatan pun Arabelle yang harus memaksa Theo untuk segera mengobati luka laki-laki itu. "Aku tidak mau berteman dengan Kak Theo lagi kalau Kak Theo terus menerus bertengkar seperti ini," omel Arabelle mengambil plaster di dalam kotak obat. "Dia duluan yang meledekku..." "Ya jangan ditanggapi, Kak!" "Tidak bisa! Ucapan mereka tidak enak didengar, ya sudah hantam saja!""Begini...!" "Akhhhh! Sakit, Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah bersama dengan sang Ayah. Saat Jordan ikut keluar dari dalam mobil, semua anak-anak di sana menatapnya dengan tatapan terkejut. Jelas saja, sejak dulu Arabelle sering dipanggil anak pungut, karena saat masih sekolah dasar, Arabelle dengan bangga bercerita kalau dia diangkat anak oleh Ayahnya dari panti asuhan. Tapi ternyata, teman-temannya memandang Arabelle dari sisi yang buruk. "Ayah ... Ayah tidak usah mengantar Ara sampai ke dalam sana," ujar Arabelle menatap sang Ayah yang menjadi bahan tatapan semua temannya. "Kenapa? Malu diantarkan Ayah?" tanya Jordan sambil melepaskan kacamata hitamnya dan merapikan tuxedo hitam yang dia pakai. "Tidak. Arabelle tidak malu, Arabelle justru senang sekali Ayah mengantarkan Arabelle. Tapi..." Gadis itu mengecilkan suaranya dan ia memperhatikan sekitar. Jordan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Arabelle. Sejak kecil, Arabelle selalu pergi bersekolah dengan bus sekolah. Lalu saat naik kelas menengah pe
Arabelle membuat semua orang panik di rumahnya. Gadis itu pergi bersama Theo tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga malam ini Jordan sangat panik setelah ia pulang dan mendapati anaknya tidak ada di rumah. Sejak tadi, Jordan mondar-mandir di teras rumahnya. "Tidak mungkin Arabelle pergi ke mana-mana tanpa berpamitan!" seru Jordan kini berusaha menghubungi ponsel Arabelle. "Tapi Arabelle memang tidak bilang apa-apa pada Mama dan Papa, Jordan. Tadi setelah makan malam Mama memintanya untuk ke kamar," ujar Hani cemas. Jordan diam, tidak biasanya Arabelle seperti ini. Bahkan bila ia pergi, Arabelle pasti akan mengirimkan pesan pada Jordan dan menyertakan alamatnya juga. "Ke mana kau, Nak?" gerutu Jordan. Bagaimana ia tidak panik, kini sudah pukul dua belas malam. "Mungkin anak itu pergi bersenang-senang, Kak. Anakmu itu sudah dikasih hati malah tidak tahu diri!" sahut Janice. "Heem, benar. Masih untung ada yang kasihan padanya. Tapi Arabelle tidak punya terima kasih sama sekali! Mir
Arabelle keluar dari dalam rumah malam ini tanpa ada yang tahu. Arabelle berlari keluar gerbang sembari memeluk jaketnya dan gadis itu menunggu Theo sambil duduk di sebuah tepian trotoar di jalan perumahan. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menangis mengingat ucapan Tantenya yang begitu menyakitinya. Arabelle selama ini tidak pernah bercerita pada Ayahnya perkara ini, bahkan Nenek dan Kakeknya juga bungkam pada sang Ayah karena tidak mau keluarga pecah dan terjadi keributan pada anak-anaknya. "Mungkin Tante Kaila benar, aku harus hidup mandiri," gumam Arabelle di sela tangisannya. "Tapi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah yang sayang padaku." Arabelle mengusap air matanya dan ia teringat masa-masa kecilnya di panti asuhan pun juga sangat tidak mudah. Semakin sedih, Arabelle semakin larut kesedihannya. Hingga tak lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan Arabelle. Tentu saja, dia adalah Theo. Theo melepaskan helm yang ia pakai dan bergegas turun dari atas
Hari sudah hampir gelap, Theo baru saja sampai di rumahnya. Kepulangannya disambut oleh kedua adiknya yang sedang menunggu di teras depan rumah. "Kak! Kak Theo, kenapa baru pulang? Katanya mau ngajarin Leo main basket!" pekik Leo cemberut. Theo terkekeh menatapnya. "Kakak harus mengantarkan teman Kakak dulu, Leo. Nanti malam saja, oke?" "Kak Arabelle mana?" tanya Lea mendongak menatap sang Kakak sambil memegang sebungkus roti di tangannya. Theo memeluk kedua lututnya di hadapan Lea. Ia tersenyum lembut pada adik kecilnya. "Kakak tidak mengantarkan Kak Arabelle, Cantik..." "Terus, siapa? Kakak tidak berteman lagi sama Kak Arabelle?" tanya Lea terus menerus. Theo menarik napasnya pelan. Ia tahu kalau Lea sangat menyukai Arabelle karena hanya dengan Arabelle bisa diajak bermain ini dan itu. "Jangan khawatir, nanti malam Kakak akan jemput Kak Arabelle." Theo mengelus pucuk kepala Lea. "Janji, Kak?" Anak perempuan itu mengacungkan kelingkingnya. "Janji, Sayang..." Barulah Lea be
Hari pertama masuk sekolah kali ini sangat seru meskipun Arabelle sempat sakit. Bahkan saat Arabelle ditunjuk untuk melakukan tugas ini dan itu, Theo selalu melarang rekan-rekannya. Theo menjaga Hauri dengan baik. Sampai kini pukul tiga sore, sekolah pun sudah bubar, anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. "Kau pulang dengan siapa?" tanya Theo berjalan di belakang Arabelle. "Sendiri, Kak. Aku bisa naik bus," jawab gadis itu membalikkan badannya menatap Theo. "Pulang bersamaku saja," ujarnya. Arabelle mengangguk patuh. Mereka berdua berjalan ke arah parkiran depan. Di sana, berdiri seorang gadis cantik yang tampak tersenyum pada Theo. "Jadi pulang denganku, kan?" tanya Velicia—teman sekelas Theo. Theo menoleh pada Arabelle. "Aku harus mengantarkan adikku pulang," ujar Theo. "Dia tidak enak badan." Arabelle mengerjapkan kedua matanya ditatap oleh Velicia. Sebelum gadis itu cemberut kesal padanya. "Padahal kita sudah membuat rencana untuk pulang bersama. Tapi kau
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle menginjakkan kakinya di sekolah menengah atas. Sudah satu bulan hubungannya dan Theo kacau. Theo bahkan tidak pernah mengirimkan pesan, mengunjungi, ataupun berbicara dengan Arabelle lagi. Awalnya Arabelle merasa sangat sedih, namun seiring berjalannya waktu, Ayahnya meminta Arabelle untuk fokus pada sekolahnya saja. Seperti pagi ini, Arabelle sudah berada di sekolah barunya bersama dua sahabat setianya. "Akhirnya, kita bisa bersama lagi di sini sekarang!" pekik Vivian memeluk Arabelle dan Diego. "Heem. Meskipun kita tidak satu kelas," sahut Diego. "Yang tidak satu kelas itu hanya kau! Kita berdua mengambil kelas yang sama," sahut Vivian merangkul Arabelle. "Sudah, tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kita masih bersama-sama di satu sekolah," sahut Arabelle. "Iya, betul! Ayo kita sekarang harus mencari kelas baru kita," ujar Vivian menarik lengan Arabelle. Mereka bertiga berpencar, Diego mencari kelasnya di lorong kedua, sedangkan Ar
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Di kelas sembilan sangat heboh pagi ini dengan pengumuman kelulusan. Arabelle bersama dengan Vivian, mereka berdua bergegas menuju ke papan mading yang terpasang di depan. Kedua gadis itu buru-buru melihat pengumuman kelulusan tersebut. "Arabelle ... aku tidak sabar! Aaaa ... kalau aku tidak lulus, bisa-bisa dimarahi habis-habisan aku oleh Daddy!" seru Vivian. "Kau pasti lulus, Vian. Kita kan sudah berjanji untuk melanjutkan si sekolah yang sama," ujar Arabelle pada sahabatnya itu. Vivian mengangguk antusias. "Ya! Ayo, cepat kita lihat!" Di depan papan mading kini dibanjiri anak kelas sembilan dari beberapa kelas. Arabelle dan Vivian kesulitan melihatnya. Namun, Vivian yang tingginya melebihi Arabelle dia bisa melihat ada namanya di sana hingga gadis itu tiba-tiba menjerit kehebohan. "Aaaaa....! Arabelle! Aku lulus, namaku ada di nomor dua belas, nomor sembilan ada Diego, wahh ... Keren!" Ya Tuhan ... aaaa senang