Asher gemetar membaca surat yang Aleena tinggalkan untuknya. Hatinya merasa tersayat-sayat atas kepergian Aleena. "Aleena..." Asher meneteskan air matanya dan mengusap wajahnya kasar. Ia kembali menatap cek uang seratus juta. Cek itu tertulis pada sebuah Bank milik keluarga Benedict. Asher mengepalkan kedua tangannya dalam kemarahan yang membara. Ia melangkah keluar meninggalkan kamar inap Aleena. Di sana, Asher melihat bayinya yang masih rewel dalam gendongan seorang suster. "Bagaimana, Asher? Dia benar-benar tidak ada di kamarnya?" tanya Darren panik. Asher tidak menjawab, ia melewati Papanya dan memanggil ajudannya."Jordan!" pekik Asher. "Ya, Tuan?" Jordan mendekatinya. "Cepat jemput Bibi Julien, suruh dia datang ke sini untuk menggendong Theo," ujar Asher. "Aku akan mengurus berkas rumah sakit dan kepulangan Theo." Jordan tampak bingung, namun ia mengangguk setelah melihat kedua mata Asher memerah. Mendengar hal yang Asher perintahkan pada kedua ajudannya, Camelia dan D
Sementara di tempat lain...Aleena sudah pindah dan pergi meninggalkan Murniche bersama Papanya dan juga Samuel sejak semalam. Dan sore ini, Aleena sudah berada di rumah lamanya di Lamberg. Rumah kuno yang dulunya menjadi tempat Aleena dibesarkan bersama Mama dan Papanya, kini ia tempati lagi berdua dengan Papanya. Gadis itu tampak terus murung dan duduk di sebuah kursi kayu sambil menatap matahari terbenam, bahkan kini kondisi Aleena sedang demam tinggi. Sejak semalam Aleena tidak berhenti melamun dan terlihat jelas betapa ia terpukul berat atas kehilangan kepemilikan putranya yang masih berusia lima hari. Sebagai seorang Papa, Liam tidak tega melihat kondisi putri kesayangannya. "Nak, Aleena ... sekarang kita sudah ada di rumah milik Papa. Aleena ingin tinggal di sini, kan? Jangan sedih-sedih lagi," bujuk Liam sambil duduk menekuk kedua lututnya di hadapan Aleena. "Papa tidak tega melihatmu seperti ini, Aleena ... Papa merasa sangat bersalah, Nak." Liam tertunduk dan menangis t
Asher tidak berhenti untuk terus mencari Aleena. Bahkan hingga berhari-hari kepergiannya, Asher masih berharap istrinya berada di sekitar Murniche. Pagi ini, Asher meninggalkan bayinya bersama Bibi Julien dan juga pengasuhnya di rumah dengan keamanan yang ketat. Asher pergi ke Murniche untuk mencari informasi, ditemani oleh Jordan. "Apa Tuan ingin menemui seseorang?" tanya Jordan menatap Asher dari kaca kecil di atas bangku kemudi. "Ya," jawab Asher. "Aku akan menemui Samuel. Aku yakin, laki-laki itu pasti tahu di mana Aleena berada." Jordan mengangguk. "Kabarnya saat ini Samuel sudah tidak lagi menjadi guru dan dosen, Tuan. Joseph memberitahu saya kalau Samuel saat ini bekerja di perusahaan milik Papanya. Saya baru tahu dia anak pebisnis yang cukup besar di Murniche," ujar Jordan. Asher terdiam sejenak, ia pun bergumam pelan. Sungguh, Asher kadang merasa takut bila seseorang mengambil Aleena darinya. Tentu saja Asher tidak rela, ia tidak akan membiarkan seseorang dengan berani
Sudah lebih dari satu minggu Aleena tinggal di Lamberg bersama dengan Papanya. Gadis itu jatuh sakit sejak ia pertama kali datang, dan Papanya lah yang merawat Aleena setiap hari dengan penuh kasih sayang. Liam sengaja meminta Samuel untuk tidak datang agar ia tidak diikuti oleh orang-orang suruhan Asher, karena Liam menduga pasti Asher tetap mencari Aleena. Laki-laki tua itu kini duduk di sebuah kursi kayu, menatap Aleena yang tertidur dengan wajah pucat, demam Aleena belum juga turun."Cepat sembuh ya, Nak. Papa sangat sedih melihatmu seperti ini," ujar Liam mengusap kening Aleena. Tiada hari tanpa kesedihan yang Liam lewatkan beberapa hari ini. Melihat putri semata wayangnya selalu duduk diam, merenung, lupa jam makan dan tidur membuat Liam terpukul hebat. Liam tahu, bagaimana sedihnya Aleena kehilangan anaknya. Semua karena kekejaman Keluarga Benedict! "Papa akan mencari pekerjaan, Papa akan menuruti apapun yang kau inginkan bila kau inginkan. Kita akan makan enak dan pergi k
Keesokan harinya, Camelia mengunjungi kediaman Asher. Wanita itu tidak bisa lama-lama tidak bertemu dengan Cucunya. Ditemani oleh sang suami, kini Camelia duduk di ruang tamu sambil menggendong Theo yang sedang tertidur di dalam lain bedongan berwarna biru. Camelia tersenyum penuh haru menatap Asher. "Mama sangat senang, kau mengizinkan Mama bertemu dengan Theo," ujarnya. Asher masih diam dan tidak menjawabnya. Ia masih kesal pada sang Mama yang membuat Aleena pergi meninggalkannya. "Mama merasa senang, aku dan Theo merasa menderita, Ma," sahut Asher dengan wajah menahan marah. Darren mengulurkan tangannya menepuk pundak sang putra. "Asher, Papa tidak mau ada pro dan kontra bila kau melanjutkan hubunganmu dengan Aleena. Jadi—""Iya, karena Aleena sekarang tidak di sini kalian bisa berbicara seperti itu! Bilang saja kalau Mama dan Papa bahagia melihat Theo berpisah dengan Mama kandungnya!" seru Asher. "Papa seorang laki-laki, Papa juga sering menasehatiku untuk menjadi laki-laki
Sudah dua minggu berlalu, tak ada kabar apapun tentang Aleena. Bahkan upaya mengikuti Samuel pun sia-sia, laki-laki itu tidak menunjukkan bepergian ke mana-mana. Asher masih tetap terus mencari, mengerahkan beberapa orang untuk mencari ke pelosok negeri. Laki-laki itu kini tengah di rumahnya. Ia menjaga bayi mungilnya yang baru saja bangun dari tidurnya, anak manis itu juga baru saja dimandikan oleh Bibi Julien. "Theo sangat lucu saat memakai baju hangat yang Aleena buatkan, Bi," ujar Asher. "Iya, Tuan. Saya juga merasa begitu," jawab Bibi Julien tersenyum sambil menggendong Theo. "Saya juga merasa lega, Theo sudah tidak rewel lagi. Saya yakin, dia pasti akan menjadi anak yang pintar bila sudah besar nanti." Asher mengangguk. "Ya. Aku juga merasa begitu. Dia pasti memiliki kepribadian yang sama dengan Mamanya. Manja, dan gampang marah." Mendengar hal itu, Bibi Julien tersenyum dan mengangguk. Wanita itu pun juga merasa sedih saat Aleena pergi. Hingga kini ia meminta pada Asher u
Keesokan harinya...Hari sudah sore, Asher baru saja kembali dari kantornya setelah berangkat siang tadi saat Theo sedang tidur. Saat mobil hitam milik Asher memasuki pekarangan rumahnya, laki-laki itu melihat ada mobil putih milik Marsha di depan rumahnya. "Marsha," gumam Asher dengan kedua alis mengerut tajam. "Untuk apa wanita itu ke sini lagi?"Segera Asher melangkah masuk ke dalam rumah, laki-laki itu berjalan ke arah ruang keluarga dan mendengar suara Marsha yang seolah-olah sedang menghibur dengan suara kecil dan gemasnya. Asher mendekati ruang Keluarga, ia berdiri di dekat pintu dan melihat Marsha memangku Theo, di sampingnya berdiri Bibi Julien. "Anak manisnya Mama, sudah bangun, ya ... " Marsha memiringkan kepalanya dan menatap bayi mungil itu dengan lembut penuh kasih sayang. "Halo, Sayang ... Theo digendong Mama Marsha, sekarang ya?" Bayi itu mengangkat sudut bibirnya dengan kedua mata tertutup kembali. Marsha terkekeh dan menoleh cepat pada Bibi Julien. "Astaga! Y
Di Kota Lamberg..."Aku sangat mempercayakan padamu atas toko mainan milikku yang berada di kota, Liam. Kau juga bisa tinggal di sekitar kota, agar kau tidak berada di tempat terpencil dan rumah tua yang bisa roboh kapan saja ini." Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berbincang dengan Papa Aleena di ruang tamu. Dia adalah Paman Billy, sahabat baik Liam sejak masih muda. Juga menjadi orang yang sukses berkat bantuan Liam sebelum Liam pindah ke Murniche. "Tapi Bil, aku baru dua mingguan bekerja denganmu, tidak enak dengan yang lain bila kau sudah memberikan aku modal sebesar ini," ujar Liam. "Apalagi kau memberikan aku sebuah toko mainan, yang pastinya akan sangat ramai nantinya." Paman Billy menepuk pundak Liam dengan tegas. "Liam, dulu aku juga hidup susah seperti yang kau rasakan sekarang. Tapi apa ... kau memberikan aku banyak uang untuk modal, kau bahkan juga memberikanku tempat tinggal dan membantu keluargaku. Aku tidak enak bila kau selalu bersikap tidak enak hati
Situasi kembali tenang setelah beberapa jam lamanya mereka saling menunggu kondisi Theo. Aleena pikir, Asher akan bersama kedua orang tuanya. Tapi ternyata Aleena salah, Asher justru memilih bersamanya, duduk dengannya, dan merangkul Aleena yang hanya bisa diam tak berkata-kata. "Bagaimanapun juga ini salahku," ucap Aleena tiba-tiba seraya menatap ke arah langit-langit lorong rumah sakit. Asher langsung menatapnya saat mendengar apa yang Aleena katakan barusan. "Apa yang kau bicarakan, hm? Ini semua bukan salahmu, Sayang," bisik Asher dengan sangat lirih. Aleena mengusap air matanya dan menundukkan kepalanya. "Andai saja aku tidak pergi pasti ini semua tidak akan terjadi. Kenapa ... kenapa orang tuamu menyuruhku pergi kalau akhirnya menjadi begini?" "Sayang, tenang. Theo akan baik-baik saja, kita tunggu dia bangun," ujar Asher mengusap pundak Aleena. Gadis itu menatapnya. "Bagaimana kalau Mama dan Papamu melarangku masuk menemui Theo?" tanya Aleena. "Apah yang akan kau lakukan
Kondisi Theo cukup serius sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Terlebih lagi, anak itu sampai pingsan karena ketakutan dan juga rasa sakit akibat luka fisik yang Marsha sebabkan. Aleena terus menangis sejak tadi, ia juga tidak tanggung bahkan memaki Asher. Apalagi setelah perawatan membuka pakaian tang Theo pakai dan terlihat luka membiru di beberapa bagian paha Theo bekas cubitan Marsha. Bahkan hasil pemeriksaan mendalam yang dokter lakukan , membuktikan kalau ada beberapa bekas luka samar yang mungkin dilakukan sekitar beberapa waktu yang lalu. Bahkan ada luka-luka dalam yang Theo alami, sejak anak itu berusia dua tahunan, dan luka itu terbentuk karena kekerasan. Hal ini membuat Aleena marah hebat dan kesabarannya pada Asher, sirna seketika menjadi murka yang tak terkira. "Sejak kapan anakku diperlakukan seperti ini oleh Marsha, Asher?! Sejak kapan?!" teriak Aleena di lorong rumah sakit sambil menangis menghentakkan kakinya. Tentu, Asher juga ikut terluka dan sedih atas kon
Marsha membawa Theo ikut pulang bersamanya. Tak hanya itu, ia benar-benar memaksa Theo meskipun anak itu menolaknya dan menangis. Theo menjerit menolak ajakan Marsha. Wanita yang dipanggilnya Mama itu, terus menarik-narik lengan Theo dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk, jangan membuatku semakin marah padamu, Theo!" bentak Marsha. "Tidak mau! Theo tidak mau pulang ke sini lagi!" pekik Theo menyentak tangan Marsha. Anak itu lolos dari cekalan Marsha, namun saat Theo hendak berlari, Marsha kembali menyahut lengan Theo dan menarik lengan kecil anak itu dengan sekuat tenaga. Tangisan Theo menggema di seluruh penjuru rumah. Anak itu berteriak kesakitan dan meminta tolong pada siapapun."Mama, lepas. Huwaa ... Mama, tangan Theo sakit, lepas! Mama, ampun..." Tangisannya benar-benar pecah siang ini. "Mama bilang juga apa! Patuh sama Mama! Kenapa kau susah sekali dinasehati, hah?! Kau ini anak paling nakal yang pernah aku lihat!" teriak Marsha yang kini berhenti di pertengaha
Keesokan harinya, Theo sudah tampak lebih baik. Anak itu kembali ceria seperti biasa, bahkan hari ini Theo kembali masuk ke sekolah. Ditemani oleh Aleena yang hari ini juga kembali mengajar setelah berhari-hari lamanya ia libur karena sakit. Dan pagi ini, Asher menjemput mereka berdua untuk mengantarkan anak beserta istrinya ke sekolah tempat Aleena mengajar dan tempat Theo belajar. "Nanti siang aku akan menjemput kalian, kita pergi makan siang bersama," ujar Asher. "Theo mau makan sup labu, Pa," pinta Theo sambil duduk di pangkuan sang Mama. "Minum jus apel." Asher terkekeh menoleh pada si kecil sambil mengusap pucuk kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti siang, ya..." "Heem." Theo menganggukkan kepalanya antusias. Sedangkan Aleena, ia masih memeluk Theo dan terdiam berpikir. Ternyata Papa dan anak ini memang memiliki makanan favorit yang sama. Teringat dulu saat Aleena hamil, berapa sukanya ia dengan sup labu. Bahkan Aleena selalu meminta makan malam dengan menu itu dan selalu memb
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan