Sudah dua minggu berlalu, tak ada kabar apapun tentang Aleena. Bahkan upaya mengikuti Samuel pun sia-sia, laki-laki itu tidak menunjukkan bepergian ke mana-mana. Asher masih tetap terus mencari, mengerahkan beberapa orang untuk mencari ke pelosok negeri. Laki-laki itu kini tengah di rumahnya. Ia menjaga bayi mungilnya yang baru saja bangun dari tidurnya, anak manis itu juga baru saja dimandikan oleh Bibi Julien. "Theo sangat lucu saat memakai baju hangat yang Aleena buatkan, Bi," ujar Asher. "Iya, Tuan. Saya juga merasa begitu," jawab Bibi Julien tersenyum sambil menggendong Theo. "Saya juga merasa lega, Theo sudah tidak rewel lagi. Saya yakin, dia pasti akan menjadi anak yang pintar bila sudah besar nanti." Asher mengangguk. "Ya. Aku juga merasa begitu. Dia pasti memiliki kepribadian yang sama dengan Mamanya. Manja, dan gampang marah." Mendengar hal itu, Bibi Julien tersenyum dan mengangguk. Wanita itu pun juga merasa sedih saat Aleena pergi. Hingga kini ia meminta pada Asher u
Keesokan harinya...Hari sudah sore, Asher baru saja kembali dari kantornya setelah berangkat siang tadi saat Theo sedang tidur. Saat mobil hitam milik Asher memasuki pekarangan rumahnya, laki-laki itu melihat ada mobil putih milik Marsha di depan rumahnya. "Marsha," gumam Asher dengan kedua alis mengerut tajam. "Untuk apa wanita itu ke sini lagi?"Segera Asher melangkah masuk ke dalam rumah, laki-laki itu berjalan ke arah ruang keluarga dan mendengar suara Marsha yang seolah-olah sedang menghibur dengan suara kecil dan gemasnya. Asher mendekati ruang Keluarga, ia berdiri di dekat pintu dan melihat Marsha memangku Theo, di sampingnya berdiri Bibi Julien. "Anak manisnya Mama, sudah bangun, ya ... " Marsha memiringkan kepalanya dan menatap bayi mungil itu dengan lembut penuh kasih sayang. "Halo, Sayang ... Theo digendong Mama Marsha, sekarang ya?" Bayi itu mengangkat sudut bibirnya dengan kedua mata tertutup kembali. Marsha terkekeh dan menoleh cepat pada Bibi Julien. "Astaga! Y
Di Kota Lamberg..."Aku sangat mempercayakan padamu atas toko mainan milikku yang berada di kota, Liam. Kau juga bisa tinggal di sekitar kota, agar kau tidak berada di tempat terpencil dan rumah tua yang bisa roboh kapan saja ini." Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berbincang dengan Papa Aleena di ruang tamu. Dia adalah Paman Billy, sahabat baik Liam sejak masih muda. Juga menjadi orang yang sukses berkat bantuan Liam sebelum Liam pindah ke Murniche. "Tapi Bil, aku baru dua mingguan bekerja denganmu, tidak enak dengan yang lain bila kau sudah memberikan aku modal sebesar ini," ujar Liam. "Apalagi kau memberikan aku sebuah toko mainan, yang pastinya akan sangat ramai nantinya." Paman Billy menepuk pundak Liam dengan tegas. "Liam, dulu aku juga hidup susah seperti yang kau rasakan sekarang. Tapi apa ... kau memberikan aku banyak uang untuk modal, kau bahkan juga memberikanku tempat tinggal dan membantu keluargaku. Aku tidak enak bila kau selalu bersikap tidak enak hati
Keesokan harinya, Aleena sudah berada di tempat tinggalnya yang baru. Bangunan berlantai dua yang mewah, dan di dalam lantai dua itu juga cukup ditempati oleh Aleena dan Papanya. Pagi ini, Aleena berdiri di balkon lantai dua menatap ke arah luar jalanan ramai dan indahnya kota Lamberg yang sangat luas dan besar. Dari atas sini, Aleena melihat anak-anak kecil bermain di taman yang berada di seberang jalan di depan tempat tinggalnya. Melihat banyak anak-anak kecil itu, membuat Aleena kembali merindukan Theo. Sering dalam diam ia bertanya, sedang apa anaknya sekarang? "Nak, Aleena..." Suara Liam memanggilnya. Aleena langsung menoleh ke belakang menatap sang Papa yang kini berdiri sambil menenteng dua paper bag di tangannya. "Papa dari mana?" tanya Aleena menatap sang Papa. "Papa membelikan sarapan untukmu, Nak. Tidak apa-apa kan, kalau kau sarapan sendiri di sini? Papa harus menjaga toko di bawah, sebentar lagi pukul delapan toko akan Papa buka," ujar Liam. Aleena mengangguk. "Kal
Sepanjang hari Asher mencari Aleena di kota Lamberg. Menunjukkan fotonya pada orang-orang di sekitar sana dan tidak pernah ada yang mengenali Aleena sama sekali, bahkan gambar Liam sekalipun yang Asher tunjukkan. Hingga kini, Asher kembali ke rumahnya saat hari sudah gelap dan hujan deras mengguyur kota Palonia. Di rumahnya ada Marsha, dan entah kenapa wanita itu setiap hari datang ke sini menjaga Theo. Asher berjalan keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah dengan perasaan hancur dan wajah yang lelah antara sedih, emosi, dan putus asa menjadi satu. "Asher, kau sudah kembali..." Marsha menatapnya dan wanita itu beranjak dari duduknya dari sofa ruang keluarga. Asher menoleh menatap Marsha yang menggendong Theo, bersama Bibi Julien di sampingnya. Bibi Julien mendekati Asher yang kini tampak kacau. "Tuan..." Asher tidak mengatakan apapun pada mereka, laki-laki itu beranjak dari duduknya dan berjalan naik ke lantai dua. Kepalanya tertunduk, ia merasa pening karena terus mem
LIMA TAHUN KEMUDIAN...Kota Lamberg. Seorang wanita cantik, berambut panjang sepinggang dengan balutan blazer abu-abu, tampak berjalan memasuki kawasan sekolah taman kanak-kanak. Selama hampir lima tahun tinggal di Lamberg, Aleena mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sekolah taman kanak-kanak, pekerjaan ini membuatnya senang karena ia bisa bertemu dengan banyak anak kecil setiap hari. Bahkan kehidupannya bersama sang Papa juga berubah drastis, Papanya menjadi pemilik toko mainan terbesar di kota Lamberg. "Selamat pagi, Ms. Aleena," sapa seorang wanita berambut pirang berkulit putih yang kini menyambut kedatangan Aleena. "Oh, ya ... selamat pagi Ms. Ambeer," balas Aleena tersenyum pada wanita yang lima tahun lebih tua darinya itu. "Ms. Aleena, hari ini ada anak baru di kelas saya. Semua data-data sudah saya handle, tapi satu jam lagi saya akan ada rapat dengan kepala sekolah. Jadi ... Ms. Aleena bisa menjemput anak barunya nanti," ujar Ms. Ambeer pada Aleena yang mendenga
Aleena mengajak Theo masuk ke dalam kelas. Bahkan anak itu berjalan sambil memeluknya erat-erat. "Selamat pagi, semuanya..." Aleena menyapa semua anak di dalam kelas itu. "Selamat pagi, Ms. Aleena!" Kompak semua murid di dalam kelas itu menjawab. Aleena tersenyum cerah pada mereka semua. "Anak-anak, hari ini kalian semua kedatangan teman baru. Namanya Theodore, tapi sekarang Theo masih malu-malu," ujar Aleena pada dua puluh lima anak di dalam kelas itu. Aleena tersentak pelan saat tiba-tiba Theo memunggungi teman-temannya dan memeluk kedua paha Aleena sambil mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Ms, Theo mau pulang," rengek anak itu mencebikkan bibirnya. Aleena mengela napasnya pelan, ia menunduk dan mengusap pucuk kepala Theo. "Sayang, lihat itu semua teman-teman Theo ... mereka ingin mengajak Theo bermain, ingin berkenalan semuanya dengan Theo," ujar Aleena mengelus pipi anak itu. Theo menggeleng-gelengkan kepalanya dan berjinjit meminta gendong. Bocah empat tahunan itu mena
Hujan mengguyur kota Lamberg malam ini. Aleena tampak tengah makan malam bersama sang Papa di rumahnya. Sejak satu tahun bisnis Papanya berhasil, bahkan Papanya sudah bisa mengembalikan modal awal toko mainan pada Paman Billy, sejak saat itu juga Liam membeli rumah baru yang cukup layak dan bisa dikatakan lebih megah. Bahkan sekarang ia memiliki banyak karyawan di toko mainannya yang sudah sukses dan diperluas. "Bagaimana pekerjaanmu seharian tadi, Nak?" tanya Liam pada Aleena. Sejak beberapa menit di meja makan, Liam memperhatikan putrinya tampak melamun. Bahkan Aleena hanya diam memainkan sendok di tangannya saja. Aleena mengangkat pandangannya menatap sang Papa sebelum ia tersenyum. "Baik-baik saja, Pa." "Kalau baik-baik saja, kenapa melamun seperti itu? Kalau ada masalah, cerita sama Papa," bujuk Liam. Aleena menundukkan kepalanya dan ia tidak berani menatap sang Papa. "Tadi di sekolah ... Aleena memiliki murid baru, Pa," jawab Aleena sambil tersenyum tipis. "Dia anak laki
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih