Sepanjang jalan menuju Palonia, Aleena hanya bisa menangis dan terus bersedih hati mengingat Papanya kini telah membencinya. Asher memeluknya erat dan mencoba untuk terus menenangkannya. Hingga kini, mereka telah tiba di rumah aat hari sudah gelap. Asher merangkulnya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Aleena segera mengganti pakaiannya dan ia segara berbaring di atas ranjang dan meringkuk memunggungi Asher. "Istirahatlah, Sayang," bisik Asher mengusap pucuk kepala Aleena. "Pergilah ... tinggalkan aku," lirih Aleena mengusirnya. "Aku ingin sendiri." Alih-alih segera pergi, justru Asher kini memeluknya erat dari belakang dan mendekap Aleena dengan sangat erat sambil memejamkan kedua matanya. Asher membenamkan wajahnya di ceruk leher Aleena dan merasakan kesedihan yang sedang membelenggu istrinya. Dengan lembut, Asher mengusap kening Aleena. "Jangan menangis, Sayang. Aku akan mencari seseorang yang telah mengatakan hal bodoh ini pada Papamu, aku berjanji akan mengembalikan Papa
Kondisi Aleena menurun setelah kejadian kemarin. Dokter Regina memintanya untuk banyak beristirahat, karena Aleena mengalami sakit pada perutnya. Kini, Asher menemaninya dan duduk di samping Aleena. Menatapi wajah pucat dan letih yang tengah damai dengan alam tidurnya, dalam kamar yang sangat hening. Asher meraih tangan Aleena dan menggenggamnya dengan hangat. "Segeralah sembuh, Sayang," bisik Asher mengusap kening Aleena. "Kasihan anak kita..." Pandangan Asher jatuh pada perut besar Aleena. Ia ingin sekalian menyentuhnya, tetapi Asher takut sentuhan tangannya akan membangunkan Aleena. Pintu kamar terbuka perlahan, muncul Jordan yang kini berdiri di ambang pintu. "Maaf menyita waktunya, Tuan ... ada telfon dari Tuan Besar," ujar Jordan. Asher segera beranjak dari duduknya. Laki-laki itu berjalan keluar dari dalam kamar segera. Di luar, Jordan segera menyerah ponselnya pada Asher. Terdengar suara Darren yang uring-uringan di balik panggilan itu. "Halo, Pa..." "Halo, kau di ma
Asher tepat janji pada Aleena, ia tidak ingin membuat Aleena bersedih terlalu lama. Laki-laki itu datang ke rumah sakit Murniche pagi ini untuk bertemu dengan Liam. Kedatangan Asher, membuat Liam terkejut. Mulanya ia mengenal Asher adalah atasan Aleena di tempat bekerja. Laki-laki tua itu, kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan dan selang oksigen yang kini berada di bawah hidungnya. Pahatan wajah tuanya masih terlukis jelas kesedihan yang dia rasakan. Yang jelas, Liam tahu siapa laki-laki tampan di depannya ini yang cukup familiar di kalangan masyarakat kelas atas, seorang Asher Benedict!"Selamat pagi, Tuan Liam," sapa Asher saat ia melangkah mendekat."Kau mau apa?" tanya Liam saat Asher mendekat. "Di mana anakku? Di mana kau menyembunyikan anakku Aleena?!" Asher menarik sebuah kursi kecil dan duduk di samping Liam yang kini duduk di atas ranjang rumah sakit dengan tak berdaya. "Tuan jangan mengkhawatirkan Aleena," ujar Asher menundukkan kepalanya sejenak. "Bagaima
Setelah meninggal rumah sakit, Asher dan Jordan segera pergi untuk mencari Marsha untuk memberinya pelajaran yang setimpal. Wanita itu harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan hingga membuat Aleena dan Papanya menderita karena salah paham. Asher mendatangi kediaman lamanya. Di sana ia melihat Marsha yang hendak keluar dari dalam rumah, wanita itu tampak ingin bergegas pergi, tetapi Asher lebih dulu menghampirinya setelah keluar dari dalam mobil. "Asher, kau—""Masuk!" sentak Asher mendorong Marsha masuk ke dalam rumah. Wanita itu mundur beberapa langkah dan Asher menariknya mendekati sofa. Tatapan mata Asher yang nyalang membuat Marsha bergidik ngeri. "Ke-kenapa kau datang-datang marah seperti ini, hah?" tanya wanita itu tanpa sadar.Asher menoleh pada Jordan. "Berikan berkasnya padaku!" perintahnya pada sang ajudan. Jordan membuka sebuah berkas dan meletakkannya di atas meja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Asher mencengkeram erat lengan Marsha dan memberikan sebuah
Camelia masih setia menemani Aleena, bahkan wanita itu kini tengah duduk di sampingnya sambil memperhatikan Bibi Julien yang tengah merapikan rambut panjang Aleena. Diam-diam wanita berpakaian glamor berwarna hijau tua itu ternganga saat melihat rambut panjang Aleena diikat dan dikepang, gadis itu terlihat sangat muda dan sangat cantik. Camellia tersenyum samar. 'Asher pintar mencari istri, gadis ini benar-benar masih segar dan cantik, pantas saja Asher sangat betah hingga tergila-gila!' batinnya tertawa gemas. "Sudah, Nyonya," ujar Bibi Julien menatap Camelia dan menatap kepangan rambut Aleena. "Heem, begitu jauh lebih baik. Dia tidak akan kegerahan..." Aleena tertunduk menatap semangkuk buah-buahan yang Bibi Julien siapkan untuknya. "Makanlah pelan-pelan, Aleena. Kau harus segera pulih supaya kondisi bayimu juga sehat," ujar Camelia menarik ujung selimut Aleena. "Perlahan-lahan nanti nyerinya akan hilang. Harusnya kau jalan-jalan sebentar ... Asher juga bodoh sekali
Hari sudah malam saat Camelia tiba di Murniche usai menemani Aleena seharian di Palonia. Kepulangannya hingga hari gelap membuat suaminya—Darren tampak kesal padanya. Karena tak biasanya Camelia pergi pagi hingga pulang malam. "Kau dari mana saja, Ma? Kenapa jam segini kau baru pulang?!" tanya Darren sambil menatap istrinya yang baru saja menutup pintu. Camelia mengembuskan napasnya pelan dan wanita itu berjalan mendekati Darren di ruang tengah. Tampak Darren terlihat menatapnya penuh intimidasi. "Aku dari Palonia, Pa," jawab Camelia. "Palonia?" ulangnya dengan nada bingung. Camelia mengangguk. "Ya, aku baru saja kembali tempat Asher di sana." Tatapan iris mata hitam suaminya pun menajam. Darren menutup sebuah buku di pangkuannya dan ia memperhatikan Camelia lekat-lekat. "Kau datang ke sana untuk memastikan apakah Asher benar-benar memiliki istri yang dia sembunyikan di sana?!" Darren bertanya dengan nada menekan. Dan lagi-lagi Camelia mengangguk. "Ya ... Asher tinggal bersam
Suara deringan ponsel terus terdengar di atas meja. Asher dan Aleena masih sama-sama tertidur pada mulanya. Namun, deringan itu sangat mengganggu ketenangan Aleena hingga gadis itu langsung terbangun. Dengan kesabaran penuh Aleena menyingkirkan tangan Asher yang memeluknya begitu posesif. Aleena beranjak duduk perlahan-lahan. "Ya ampun, sudah jam lima pagi," gumamnya lirih. "Siapa yang menelfon Asher sepagi ini? Apakah Mama?" gumam Aleena mengulurkan tangannya meraih benda pipih di atas meja tersebut. Aleena melihat nama seseorang yang tampak terpampang di layar ponsel suaminya. Segara Aleena menoleh pada Asher yang masih terlelap. "Asher, bangunlah sebentar ... ada seseorang yang menghubungimu sampai berkali-kali, sepertinya ini sangat penting." "Bukan siapa-siapa, Sayang. Pasti hanya orang kantor saja," ujarnya tanpa membuka mata, ia malah memeluk pinggang Aleena dan menyembunyikan wajahnya di sana. "Tapi ini sudah ke sembilan kali dia telfon. Jawablah, kasihan orang di balik
Kedatangan kedua orang tua Asher membuat Aleena merasakan perasaan yang tidak menentu. Tentu saja ia merasa amat takut, bahkan Aleena merasakan tatapan antara kesal dan jengah dari Darren padanya. Aleena mengajak Camelia dan Darren duduk di ruang keluarga, ia juga meminta Bibi Julien untuk segera menyiapkan minuman. Darren sejak tadi terus memperhatikan Aleena, lalu beralih pada perut gadis itu yang sudah besar, benar kata istrinya kalau Aleena sedang hamil besar. Dan bayi di dalamnya, adalah Cucunya! "Jadi ... kau sudah dinikahi oleh putraku selama ini?" Suara bariton berat dan dingin milik Darren memecah hening. Aleena duduk menunduk dan meremas rok panjangnya. Ia mengangguk jujur. "Iya, Tuan..." "Apa benar Marsha yang meminta Asher menikahimu? Atas dasar apa kau menerima tawaran itu? Dan ... berapa uang yang mereka berikan padamu?" tanya Darren terus menyelidiki. Lidah Aleena terasa kelu mendengar pertanyaan itu, bahkan semua kata-kata yang sudah ia coba tatadi dalam kepalan
Keesokan harinya, Theo sudah tampak lebih baik. Anak itu kembali ceria seperti biasa, bahkan hari ini Theo kembali masuk ke sekolah. Ditemani oleh Aleena yang hari ini juga kembali mengajar setelah berhari-hari lamanya ia libur karena sakit. Dan pagi ini, Asher menjemput mereka berdua untuk mengantarkan anak beserta istrinya ke sekolah tempat Aleena mengajar dan tempat Theo belajar. "Nanti siang aku akan menjemput kalian, kita pergi makan siang bersama," ujar Asher. "Theo mau makan sup labu, Pa," pinta Theo sambil duduk di pangkuan sang Mama. "Minum jus apel." Asher terkekeh menoleh pada si kecil sambil mengusap pucuk kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti siang, ya..." "Heem." Theo menganggukkan kepalanya antusias. Sedangkan Aleena, ia masih memeluk Theo dan terdiam berpikir. Ternyata Papa dan anak ini memang memiliki makanan favorit yang sama. Teringat dulu saat Aleena hamil, berapa sukanya ia dengan sup labu. Bahkan Aleena selalu meminta makan malam dengan menu itu dan selalu memb
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T