Camelia masih setia menemani Aleena, bahkan wanita itu kini tengah duduk di sampingnya sambil memperhatikan Bibi Julien yang tengah merapikan rambut panjang Aleena. Diam-diam wanita berpakaian glamor berwarna hijau tua itu ternganga saat melihat rambut panjang Aleena diikat dan dikepang, gadis itu terlihat sangat muda dan sangat cantik. Camellia tersenyum samar. 'Asher pintar mencari istri, gadis ini benar-benar masih segar dan cantik, pantas saja Asher sangat betah hingga tergila-gila!' batinnya tertawa gemas. "Sudah, Nyonya," ujar Bibi Julien menatap Camelia dan menatap kepangan rambut Aleena. "Heem, begitu jauh lebih baik. Dia tidak akan kegerahan..." Aleena tertunduk menatap semangkuk buah-buahan yang Bibi Julien siapkan untuknya. "Makanlah pelan-pelan, Aleena. Kau harus segera pulih supaya kondisi bayimu juga sehat," ujar Camelia menarik ujung selimut Aleena. "Perlahan-lahan nanti nyerinya akan hilang. Harusnya kau jalan-jalan sebentar ... Asher juga bodoh sekali
Hari sudah malam saat Camelia tiba di Murniche usai menemani Aleena seharian di Palonia. Kepulangannya hingga hari gelap membuat suaminya—Darren tampak kesal padanya. Karena tak biasanya Camelia pergi pagi hingga pulang malam. "Kau dari mana saja, Ma? Kenapa jam segini kau baru pulang?!" tanya Darren sambil menatap istrinya yang baru saja menutup pintu. Camelia mengembuskan napasnya pelan dan wanita itu berjalan mendekati Darren di ruang tengah. Tampak Darren terlihat menatapnya penuh intimidasi. "Aku dari Palonia, Pa," jawab Camelia. "Palonia?" ulangnya dengan nada bingung. Camelia mengangguk. "Ya, aku baru saja kembali tempat Asher di sana." Tatapan iris mata hitam suaminya pun menajam. Darren menutup sebuah buku di pangkuannya dan ia memperhatikan Camelia lekat-lekat. "Kau datang ke sana untuk memastikan apakah Asher benar-benar memiliki istri yang dia sembunyikan di sana?!" Darren bertanya dengan nada menekan. Dan lagi-lagi Camelia mengangguk. "Ya ... Asher tinggal bersam
Suara deringan ponsel terus terdengar di atas meja. Asher dan Aleena masih sama-sama tertidur pada mulanya. Namun, deringan itu sangat mengganggu ketenangan Aleena hingga gadis itu langsung terbangun. Dengan kesabaran penuh Aleena menyingkirkan tangan Asher yang memeluknya begitu posesif. Aleena beranjak duduk perlahan-lahan. "Ya ampun, sudah jam lima pagi," gumamnya lirih. "Siapa yang menelfon Asher sepagi ini? Apakah Mama?" gumam Aleena mengulurkan tangannya meraih benda pipih di atas meja tersebut. Aleena melihat nama seseorang yang tampak terpampang di layar ponsel suaminya. Segara Aleena menoleh pada Asher yang masih terlelap. "Asher, bangunlah sebentar ... ada seseorang yang menghubungimu sampai berkali-kali, sepertinya ini sangat penting." "Bukan siapa-siapa, Sayang. Pasti hanya orang kantor saja," ujarnya tanpa membuka mata, ia malah memeluk pinggang Aleena dan menyembunyikan wajahnya di sana. "Tapi ini sudah ke sembilan kali dia telfon. Jawablah, kasihan orang di balik
Kedatangan kedua orang tua Asher membuat Aleena merasakan perasaan yang tidak menentu. Tentu saja ia merasa amat takut, bahkan Aleena merasakan tatapan antara kesal dan jengah dari Darren padanya. Aleena mengajak Camelia dan Darren duduk di ruang keluarga, ia juga meminta Bibi Julien untuk segera menyiapkan minuman. Darren sejak tadi terus memperhatikan Aleena, lalu beralih pada perut gadis itu yang sudah besar, benar kata istrinya kalau Aleena sedang hamil besar. Dan bayi di dalamnya, adalah Cucunya! "Jadi ... kau sudah dinikahi oleh putraku selama ini?" Suara bariton berat dan dingin milik Darren memecah hening. Aleena duduk menunduk dan meremas rok panjangnya. Ia mengangguk jujur. "Iya, Tuan..." "Apa benar Marsha yang meminta Asher menikahimu? Atas dasar apa kau menerima tawaran itu? Dan ... berapa uang yang mereka berikan padamu?" tanya Darren terus menyelidiki. Lidah Aleena terasa kelu mendengar pertanyaan itu, bahkan semua kata-kata yang sudah ia coba tatadi dalam kepalan
Setelah kedatangan kedua orang tua Asher dua hari yang lalu, Aleena merasa kondisinya terus menurun. Banyak hal yang ia pikirkan, terutama tentang kedua orang tua Asher. Dan satu hal lagi yang kini terasa membuat Aleena tidak bisa berhenti tenang. Yaitu Asher yang sama sekali tidak memberikannya kabar, bahkan Aleena mengirimkan pesan atau menghubunginya pun tidak dijawab, padahal Aleena ingin bercerita dan ada seseorang yang mendengarkannya, saat ini perutnya sedang sangat-sangat sakit. "Asher ... kenapa kau tidak menjawab panggilanku?" lirih Aleena sambil berdiri di depan jendela di dalam rumahnya. "Kenapa sampai dua hari ini kau sama sekali tidak memberikanku kabar? Perutku sangat sakit, Asher..." Aleena menundukkan kepalanya dan mengusap perutnya lagi. Gadis itu menyandarkan kepalanya di kaca jendela dan memperhatikan langit sore yang cerah hari ini. "Nona Aleena," panggil Bibi Julien pelan. Aleena pun langsung menoleh. "Ada apa, Bi?" "Di bawah ... itu, ada Nyonya Marsha. Bel
Sudah berhari-hari Asher berada di Brisilia. Ia sengaja tidak menghubungi Aleena karena Asher ingin membuat kejutan untuk istrinya. Asher akan pulang malam nanti, hingga ia memperkirakan akan sampai di rumah besok siang. Bersama dengan Damien dan Evan, kedua rekannya, kini Asher ikut bersama mereka berdua masuk ke dalam sebuah pusat perbelanjaan. Kedua temannya tampak melakukan video call dengan anak mereka masing-masing. "Asher, kau ingin membeli apa? Kau ikut kami ke toko mainan?" tanya Evan menatap Asher. "Entahlah," jawab Asher. "Kalau kau?" "Tentu saja dua anakku pasti menanti mainan baru yang aku janjikan pada mereka," jawab Evan tersenyum tipis. Sahabatnya itu meraih sebuah boneka beruang berwarna putih. "Putra dan putri kecilku pasti akan senang aku belikan boneka ini," ujarnya. Asher pun tercengang mendengarnya. Sebelum akhirnya Evan berlalu dan memilih mainan lainnya. Di sana, tinggal Asher seorang diri. Ia berdiri di hadapan rak yang berisi penuh dengan boneka beru
Bibi Julien berteriak histeris meminta tolong. Wanita itu berlari hingga ke depan dan ia membuka gerbang rumah, berteriak-teriak meminta tolong. Hingga sebuah mobil masuk berhenti di sana, tampak seorang laki-laki berpakaian serba hitam turun dari mobil itu. Bibi Julien yang mengenalnya pun segera mendekat. "Bibi Julien, ada apa?!" tanya Devon—ajudan Asher yang baru kembali setelah lima hari di Murniche mengurus urusan kantor. Laki-laki itu menatap Bibi Julien dengan tatapan bingung. Bibi Julien menarik cepat lebih Devon dengan tangisan histerisnya. "Tolong Nona Aleena di dalam! Nona mau melahirkan! Cepat, tolong!" "Apa?!" Devon langsung melotot lebar. "Cepat, Devon!" pekik Bibi Julien. Devon pun langsung berlari masuk ke dalam rumah megah itu. Sementara satu ajudan lagi segera membawa mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumah. Bersama Bibi Julien, Devon berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua. Terdengar suara tangisan dan erangan di dalam sebuah kamar. "Aarrghh ... saki
Aleena merasakan napasnya seolah-olah tidak sampai, keringat tampak mengalir di wajah cantiknya. Dan deru napas naik turun terasa jelas. Ia merasakan tubuhnya yang kini bagai melayang dan seluruh tulangnya diremukkan secara bersamaan. Namun kelegaan perlahan terasa setelah ia mendengar suara bayi yang menangis. "Sayang, aku hebat, Nak ... ya ampun, Nak..." Camelia mengusap kening Aleena dan wanita itu menangis mengecup wajah Aleena yang kini sangat pucat lemas seolah tak memiliki darah lagi. "Ma," lirih Aleena tak bersuara. "Ssstttt, jangan bicara dulu, Nak," bisik Camelia memeluknya. "Energimu sudah terkuras, jangan bicara dulu..." Hingga kegaduhan di dalam sana terhenti saat terdengar suara gorden terbuka. "Suami pasien datang!" Suara seorang suster. Aleena mengembuskan napasnya dan ia kedua matanya yang terasa berat, samar-samar melihat seorang laki-laki berjalan ke arahnya. Tanpa mengatakan apapun, tiba-tiba saja Asher mendekat dan memeluknya dengan sangat hangat. Laki-lak
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih