Kedatangan kedua orang tua Asher membuat Aleena merasakan perasaan yang tidak menentu. Tentu saja ia merasa amat takut, bahkan Aleena merasakan tatapan antara kesal dan jengah dari Darren padanya. Aleena mengajak Camelia dan Darren duduk di ruang keluarga, ia juga meminta Bibi Julien untuk segera menyiapkan minuman. Darren sejak tadi terus memperhatikan Aleena, lalu beralih pada perut gadis itu yang sudah besar, benar kata istrinya kalau Aleena sedang hamil besar. Dan bayi di dalamnya, adalah Cucunya! "Jadi ... kau sudah dinikahi oleh putraku selama ini?" Suara bariton berat dan dingin milik Darren memecah hening. Aleena duduk menunduk dan meremas rok panjangnya. Ia mengangguk jujur. "Iya, Tuan..." "Apa benar Marsha yang meminta Asher menikahimu? Atas dasar apa kau menerima tawaran itu? Dan ... berapa uang yang mereka berikan padamu?" tanya Darren terus menyelidiki. Lidah Aleena terasa kelu mendengar pertanyaan itu, bahkan semua kata-kata yang sudah ia coba tatadi dalam kepalan
Setelah kedatangan kedua orang tua Asher dua hari yang lalu, Aleena merasa kondisinya terus menurun. Banyak hal yang ia pikirkan, terutama tentang kedua orang tua Asher. Dan satu hal lagi yang kini terasa membuat Aleena tidak bisa berhenti tenang. Yaitu Asher yang sama sekali tidak memberikannya kabar, bahkan Aleena mengirimkan pesan atau menghubunginya pun tidak dijawab, padahal Aleena ingin bercerita dan ada seseorang yang mendengarkannya, saat ini perutnya sedang sangat-sangat sakit. "Asher ... kenapa kau tidak menjawab panggilanku?" lirih Aleena sambil berdiri di depan jendela di dalam rumahnya. "Kenapa sampai dua hari ini kau sama sekali tidak memberikanku kabar? Perutku sangat sakit, Asher..." Aleena menundukkan kepalanya dan mengusap perutnya lagi. Gadis itu menyandarkan kepalanya di kaca jendela dan memperhatikan langit sore yang cerah hari ini. "Nona Aleena," panggil Bibi Julien pelan. Aleena pun langsung menoleh. "Ada apa, Bi?" "Di bawah ... itu, ada Nyonya Marsha. Bel
Sudah berhari-hari Asher berada di Brisilia. Ia sengaja tidak menghubungi Aleena karena Asher ingin membuat kejutan untuk istrinya. Asher akan pulang malam nanti, hingga ia memperkirakan akan sampai di rumah besok siang. Bersama dengan Damien dan Evan, kedua rekannya, kini Asher ikut bersama mereka berdua masuk ke dalam sebuah pusat perbelanjaan. Kedua temannya tampak melakukan video call dengan anak mereka masing-masing. "Asher, kau ingin membeli apa? Kau ikut kami ke toko mainan?" tanya Evan menatap Asher. "Entahlah," jawab Asher. "Kalau kau?" "Tentu saja dua anakku pasti menanti mainan baru yang aku janjikan pada mereka," jawab Evan tersenyum tipis. Sahabatnya itu meraih sebuah boneka beruang berwarna putih. "Putra dan putri kecilku pasti akan senang aku belikan boneka ini," ujarnya. Asher pun tercengang mendengarnya. Sebelum akhirnya Evan berlalu dan memilih mainan lainnya. Di sana, tinggal Asher seorang diri. Ia berdiri di hadapan rak yang berisi penuh dengan boneka beru
Bibi Julien berteriak histeris meminta tolong. Wanita itu berlari hingga ke depan dan ia membuka gerbang rumah, berteriak-teriak meminta tolong. Hingga sebuah mobil masuk berhenti di sana, tampak seorang laki-laki berpakaian serba hitam turun dari mobil itu. Bibi Julien yang mengenalnya pun segera mendekat. "Bibi Julien, ada apa?!" tanya Devon—ajudan Asher yang baru kembali setelah lima hari di Murniche mengurus urusan kantor. Laki-laki itu menatap Bibi Julien dengan tatapan bingung. Bibi Julien menarik cepat lebih Devon dengan tangisan histerisnya. "Tolong Nona Aleena di dalam! Nona mau melahirkan! Cepat, tolong!" "Apa?!" Devon langsung melotot lebar. "Cepat, Devon!" pekik Bibi Julien. Devon pun langsung berlari masuk ke dalam rumah megah itu. Sementara satu ajudan lagi segera membawa mobilnya masuk ke dalam pekarangan rumah. Bersama Bibi Julien, Devon berlari menaiki anak tangga menuju lantai dua. Terdengar suara tangisan dan erangan di dalam sebuah kamar. "Aarrghh ... saki
Aleena merasakan napasnya seolah-olah tidak sampai, keringat tampak mengalir di wajah cantiknya. Dan deru napas naik turun terasa jelas. Ia merasakan tubuhnya yang kini bagai melayang dan seluruh tulangnya diremukkan secara bersamaan. Namun kelegaan perlahan terasa setelah ia mendengar suara bayi yang menangis. "Sayang, aku hebat, Nak ... ya ampun, Nak..." Camelia mengusap kening Aleena dan wanita itu menangis mengecup wajah Aleena yang kini sangat pucat lemas seolah tak memiliki darah lagi. "Ma," lirih Aleena tak bersuara. "Ssstttt, jangan bicara dulu, Nak," bisik Camelia memeluknya. "Energimu sudah terkuras, jangan bicara dulu..." Hingga kegaduhan di dalam sana terhenti saat terdengar suara gorden terbuka. "Suami pasien datang!" Suara seorang suster. Aleena mengembuskan napasnya dan ia kedua matanya yang terasa berat, samar-samar melihat seorang laki-laki berjalan ke arahnya. Tanpa mengatakan apapun, tiba-tiba saja Asher mendekat dan memeluknya dengan sangat hangat. Laki-lak
Mendengar kabar dari istrinya, Darren pun buru-buru datang ke rumah sakit si Palonia setelah Camelia mengatakan Cucunya telah lahir. Kedatangannya di rumah sakit ditunggu oleh Camelia, kini mereka berdua bersama-sama berjalan menuju ke ruangan di mana Cucu mereka tengah dirawat setelah baru lahir. "Yang mana Ma, yang mana Cucu kita?" tanya Darren dengan wajah berbinar-binar dan tak sabaran. "Yang itu, Pa. Cucu kita yang memakai selimut berwarna ungu muda," jawab Camelia tersenyum lebar menunjuk salah satu bayi yang tertidur nyenyak. "Dia bayi laki-laki yang pintar, tangisannya sangat keras, persis seperti Asher dulu. Wajahnya juga jiplkan Asher, Pa!" Camelia sangat antusias. Darren tersenyum hangat, ia menatap istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahagia yang ia rasakan kini pun sangat tak terkira. Penantiannya selama bertahun-tahun lamanya untuk menjadi seorang Kakek dan Nenek pun akhirnya terwujud sekarang ini. "Kita benar-benar menjadi seorang Kakak dan Nenek, Ma," ujar Darre
Pelukan Asher terlepas, Aleena tampak sesenggukan pelan dengan tangisannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan masih menangis. Asher mengusap anak rambut di wajahnya istrinya dan mencoba untuk menenangkannya. "Aleena, ceritakan pelan-pelan padaku apa yang terjadi selama aku pergi?" tanya Asher menatapnya hangat. "Banyak hal," jawab Aleena cepat. "Kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Kenapa semua pesanku tidak kau buka dan balas? Apakah seorang suami yang benar-benar peduli dan menganggap aku seorang istri akan melalukan hal ini? Kau terlalu fokus pada pekerjaanmu atau aku memang selama ini bukan apa-apa untukmu?" "Aleena ... apa yang kau katakan, hm? Jangan berpikir seperti itu! Aku tidak membalas pesanmu karena aku terlalu sibuk. Aku ingin memberikan kejutan padamu, aku ingin pulang tiba-tiba dan memberikan kejutan padamu," jelas Asher sambil memeluknya. Asher mengusap air mata di pipi Aleena dan gadis itu meletakkan kepalanya di atas bantal masih sambil menan
Asher baru saja kembali ke rumah sakit setelah ia pulang sebentar untuk mengambil beberapa pakaian ganti untuk Aleena pagi ini. Namun, begitu ia kembali ke rumah sakit. Istrinya tidak ada di dalam ruangan perawatan. Hal ini membuat Asher panik dan kebingungan mencari Aleena. "Ke mana, Aleena? Kenapa di kamarnya tidak ada?" gerutu Asher sambil berjalan di lorong rumah sakit. Asher menoleh ke kanan dan ke kiri, hingga ia melihat seorang suster asisten Dokter Regina. "Suster," panggil Asher, langkah cepat mendekati wanita dengan balutan seragam rumah sakit berwarna biru muda tersebut. "Ya, Tuan?" Suster menatapnya dan berhenti berjalan. "Sus, apa suster melihat istri saya? Dia tidak ada di kamar rawatnya," ujar Asher dengan sangat panik. Suster itu tersenyum. "Nyonya sedang berada di ruang perawatan bayi, Nyonya ke sana dengan Dokter Regina beberapa menit yang lalu, sepertinya Nyonya tengah memberikan ASI untuk bayinya," jawab suster. Barulah Asher mengangguk. "Baiklah, Sus, teri
Keesokan harinya, Theo sudah tampak lebih baik. Anak itu kembali ceria seperti biasa, bahkan hari ini Theo kembali masuk ke sekolah. Ditemani oleh Aleena yang hari ini juga kembali mengajar setelah berhari-hari lamanya ia libur karena sakit. Dan pagi ini, Asher menjemput mereka berdua untuk mengantarkan anak beserta istrinya ke sekolah tempat Aleena mengajar dan tempat Theo belajar. "Nanti siang aku akan menjemput kalian, kita pergi makan siang bersama," ujar Asher. "Theo mau makan sup labu, Pa," pinta Theo sambil duduk di pangkuan sang Mama. "Minum jus apel." Asher terkekeh menoleh pada si kecil sambil mengusap pucuk kepalanya. "Iya, Sayang. Nanti siang, ya..." "Heem." Theo menganggukkan kepalanya antusias. Sedangkan Aleena, ia masih memeluk Theo dan terdiam berpikir. Ternyata Papa dan anak ini memang memiliki makanan favorit yang sama. Teringat dulu saat Aleena hamil, berapa sukanya ia dengan sup labu. Bahkan Aleena selalu meminta makan malam dengan menu itu dan selalu memb
"Mama ... Huwaa, Mamaku...!" Suara teriakan Theo terdengar dari depan. Tampak anak itu menangis sambil memanggil sang Mama. Aleena yang berada di dalam rumah pun segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke depan dan benar, Aleena melihat Theo masuk ke dalam rumah sambil menangis ke arahnya."Loh, Sayang ... kenapa?" tanya Aleena mendekap Theo yang langsung memeluknya erat. Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak mau mengaku pada siapapun, Theo takut. "Kenapa, Sayang? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanya Aleena menggendongnya. Aleena berjalan ke depan, ia melihat Jordan membawakan mobil-mobilan berukuran besar milik Theo. Segera Aleena mendekati ajudan Asher tersebut. "Apa yang terjadi, Jordan? Kenapa Theo menangis seperti ini?" tanyanya. "Saya juga tidak tahu, Nona. Saat saya mengambil berkas di paviliun, tiba-tiba Tuan Kecil berlari keluar sambil menangis mencari saya," jawab Jordan kebingungan. Aleena kembali menatap putranya. "Sudah, Sayang ... sudah janga
Hari sudah pagi, Aleena baru saja menyiapkan sarapan di lantai satu bersama pembantunya. Kini, gadis itu cantik itu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Di sana, Aleena melihat Theo yang baru saja bangun dan duduk di tengah ranjang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Selamat pagi, Sayang," sapa Aleena mendekati Theo. Anak laki-laki itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aleena. Aleena segera mendekatinya dan memeluk Theo sebelum ia menggendongnya. "Bagaimana, tidurnya nyenyak?" tanya Aleena. "Iya, Mama. Theo mau main mobil-mobilan warna merah," ujar anak itu. "Hm, mobil merah apa, Sayang?" tanya Aleena sambil menyahut lipatan handuk di atas sofa. Aleena segera membawa Theo dan memandikannya. Aleena pikir Theo akan banyak protes atau alih-alih anak ini akan marah-marah, tetapi justru tidak. Theo sama sekali tidak marah atau menangis. Setelah Aleena memandikan Theo, ia segera memakaikan pakaian yang rapi untuk putranya. Namun, Theo masih terus merengek-rengek menc
Tepat pukul sepuluh malam, Asher baru saja sampai di rumahnya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan santai. Rasa hatinya senang dan lega karena ia baru saja bertemu dengan Aleena dan menghabiskan waktu bersama Aleena dan juga Theo. Namun, saat Asher hendak melangkah ke lantai dua, tiba-tiba muncul Marsha yang tengah menuruni anak tangga. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya dan tampak mencari-cari. "Di mana Theo?" tanyanya bingung. "Theo ada di suatu tempat. Dia tidak mau pulang," jawab Asher, ia melangkah hendak melewati Marsha. Wanita itu, mencekal lengan Asher dan menatapnya dalam-dalam. "Di mana Theo, Asher?" tanya wanita itu dengan penuh penekanan. Asher menarik napasnya panjang. "Sudah aku jawab, bukan? Theo ada di suatu tempat.""Bagaimana bisa kau melakukan ini?! Kau meninggalkan anakmu di suatu tempat, dan kau sendiri pulang dengan santainya! Aku tidak pernah melihatmu sesantai ini saat Theo tidak di sampingmu! Bahkan sudah beberapa hari ini aku sama se
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T