Aleena merasakan napasnya seolah-olah tidak sampai, keringat tampak mengalir di wajah cantiknya. Dan deru napas naik turun terasa jelas. Ia merasakan tubuhnya yang kini bagai melayang dan seluruh tulangnya diremukkan secara bersamaan. Namun kelegaan perlahan terasa setelah ia mendengar suara bayi yang menangis. "Sayang, aku hebat, Nak ... ya ampun, Nak..." Camelia mengusap kening Aleena dan wanita itu menangis mengecup wajah Aleena yang kini sangat pucat lemas seolah tak memiliki darah lagi. "Ma," lirih Aleena tak bersuara. "Ssstttt, jangan bicara dulu, Nak," bisik Camelia memeluknya. "Energimu sudah terkuras, jangan bicara dulu..." Hingga kegaduhan di dalam sana terhenti saat terdengar suara gorden terbuka. "Suami pasien datang!" Suara seorang suster. Aleena mengembuskan napasnya dan ia kedua matanya yang terasa berat, samar-samar melihat seorang laki-laki berjalan ke arahnya. Tanpa mengatakan apapun, tiba-tiba saja Asher mendekat dan memeluknya dengan sangat hangat. Laki-lak
Mendengar kabar dari istrinya, Darren pun buru-buru datang ke rumah sakit si Palonia setelah Camelia mengatakan Cucunya telah lahir. Kedatangannya di rumah sakit ditunggu oleh Camelia, kini mereka berdua bersama-sama berjalan menuju ke ruangan di mana Cucu mereka tengah dirawat setelah baru lahir. "Yang mana Ma, yang mana Cucu kita?" tanya Darren dengan wajah berbinar-binar dan tak sabaran. "Yang itu, Pa. Cucu kita yang memakai selimut berwarna ungu muda," jawab Camelia tersenyum lebar menunjuk salah satu bayi yang tertidur nyenyak. "Dia bayi laki-laki yang pintar, tangisannya sangat keras, persis seperti Asher dulu. Wajahnya juga jiplkan Asher, Pa!" Camelia sangat antusias. Darren tersenyum hangat, ia menatap istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahagia yang ia rasakan kini pun sangat tak terkira. Penantiannya selama bertahun-tahun lamanya untuk menjadi seorang Kakek dan Nenek pun akhirnya terwujud sekarang ini. "Kita benar-benar menjadi seorang Kakak dan Nenek, Ma," ujar Darre
Pelukan Asher terlepas, Aleena tampak sesenggukan pelan dengan tangisannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan masih menangis. Asher mengusap anak rambut di wajahnya istrinya dan mencoba untuk menenangkannya. "Aleena, ceritakan pelan-pelan padaku apa yang terjadi selama aku pergi?" tanya Asher menatapnya hangat. "Banyak hal," jawab Aleena cepat. "Kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Kenapa semua pesanku tidak kau buka dan balas? Apakah seorang suami yang benar-benar peduli dan menganggap aku seorang istri akan melalukan hal ini? Kau terlalu fokus pada pekerjaanmu atau aku memang selama ini bukan apa-apa untukmu?" "Aleena ... apa yang kau katakan, hm? Jangan berpikir seperti itu! Aku tidak membalas pesanmu karena aku terlalu sibuk. Aku ingin memberikan kejutan padamu, aku ingin pulang tiba-tiba dan memberikan kejutan padamu," jelas Asher sambil memeluknya. Asher mengusap air mata di pipi Aleena dan gadis itu meletakkan kepalanya di atas bantal masih sambil menan
Asher baru saja kembali ke rumah sakit setelah ia pulang sebentar untuk mengambil beberapa pakaian ganti untuk Aleena pagi ini. Namun, begitu ia kembali ke rumah sakit. Istrinya tidak ada di dalam ruangan perawatan. Hal ini membuat Asher panik dan kebingungan mencari Aleena. "Ke mana, Aleena? Kenapa di kamarnya tidak ada?" gerutu Asher sambil berjalan di lorong rumah sakit. Asher menoleh ke kanan dan ke kiri, hingga ia melihat seorang suster asisten Dokter Regina. "Suster," panggil Asher, langkah cepat mendekati wanita dengan balutan seragam rumah sakit berwarna biru muda tersebut. "Ya, Tuan?" Suster menatapnya dan berhenti berjalan. "Sus, apa suster melihat istri saya? Dia tidak ada di kamar rawatnya," ujar Asher dengan sangat panik. Suster itu tersenyum. "Nyonya sedang berada di ruang perawatan bayi, Nyonya ke sana dengan Dokter Regina beberapa menit yang lalu, sepertinya Nyonya tengah memberikan ASI untuk bayinya," jawab suster. Barulah Asher mengangguk. "Baiklah, Sus, teri
Kedua orang tua Asher terlihat begitu antusias dengan kelahiran cucu mereka. Kini, Darren dan Camelia masuk ke dalam sebuah ruangan di mana Aleena dan Asher tengah memangku bayinya. Camelia tersenyum lebar menatap cucu mungilnya yang tertidur. "Ya ampun, Cucu Oma kenapa belum bangun-bangun, anak pintar..." Camelia membungkuk badannya dan mengusap pipi bayi itu, sebelum ia mendongak menatap suaminya. "Lihatlah, Pa ... dia mirip dengan Asher saat masih bayi, iya kan?" "Iya. Sangat mirip!" jawab Darren sambil tertawa pelan dan bersemangat. Darren mendekati Aleena. "Berikan bayinya padaku, Aleena," ujarnya dengan sedikit lirih. Aleena tampak ragu dan ia terdiam masih memeluk Theo yang tertidur dalam pangkuannya. Asher dan Camelia menatap ekspresi Aleena yang jelas-jelas terlihat sangat ragu. "Sayang, tidak apa-apa," bisik Asher. Barulah Aleena memberikan bayinya pada Darren, Papa mertuanya. Darren tersenyum lebar dan ia bahagia luar biasa memeluk cucu pertamanya. Mengecup wajah m
"Papa ingin membicarakan hubunganmu dengan Aleena. Jadi ... kau awalnya sengaja membayar gadis itu untuk menjadi ibu pengganti yang melahirkan anakmu, kan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Darren dibalas dengan helaan napas dan anggukan kepala berat oleh Asher. Asher sudah menduga kalau Papanya akan tahu semuanya. Meskipun apapun yang terjadi, Asher tidak akan membiarkan seorangpun mengusik istrinya. "Ya, tapi itu dulu," jawab Asher. "Kenapa? Kenapa sekarang tidak?" tanya Darren. "Asher, dari keempat saudara Papa di Murniche, tidak satupun dari mereka memiliki menantu atau kerabat dari keluarga yang tidak jelas asal-usulnya. Tidak satupun dari mereka memiliki menantu dari kalangan kelas bawah, Asher!" Asher mengepalkan kedua tangannya menatap sang Papa. "Lalu apa mau Papa?" tanya Asher langsung tanpa basa-basi. "Papa meminta aku meninggalkan Aleena? Mengambil anakku dan menyuruh Aleena pergi, Pa?" Asher begitu tersulut emosi, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh keti
Keesokan harinya, Asher kembali pulang pagi ini untuk mengambil beberapa barang-barang untuk buah hatinya. Aleena pun diam di kamar inap menunggunya. Dan suster mengantarkan bayi mungil Aleena ke dalam kamarnya untuk diberi ASI pagi ini. Aleena merasa, ini menjadi kesempatan yang baik untuk memberi kabar dan menghubungi sahabatnya—Samuel, dan ia ingin mengenalkan bayi mungilnya pada sang sahabat baiknya tersebut. "Halo Samuel," sapa Aleena dibalik panggilan video tersebut. "Hai, Aleena ... bagaimana kabarmu? Maaf aku tidak pernah berkunjung dan—" Ucapan Samuel di balik panggilan itu terhenti saat Aleena mengalihkan panggilannya ke panggilan videonya pada bayi laki-laki yang kini tengah ia pangku. "O-oh My God!" pekik Samuel kaget bukan kepalang. "Aleena? Kau sudah melahirkan?!" pekik Samuel heboh. Aleena terkekeh dan menganggukkan kepalanya. "Iya, Samuel. Kenalkan ... ini si kecil Theodore, anakku yang sangat manis." Segera Aleena mengalihkan kamera ponselnya. "Halo, Om..," sap
Asher kembali ke rumah sakit setelah ia pulang ke rumahnya. Laki-laki itu membawa paper bag di tangannya.Namun, saat Asher melewati sebuah lorong, ia melihat Marsha yang berjalan dan berpapasan dengannya. Wajah Asher langsung keruh dan dingin melihat Marsha di sana. "Mau apa kau ke sini?" tanya Asher menatap wanita itu. "Apa yang kau lakukan, Marsha?!""Tidak ada," jawab Marsha. "Aku datang hanya untuk mengucapkan selamat pada istri tersembunyimu itu," jawabnya. Marsha tersenyum tipis menatap Ashe. "Jangan khawatir, tidak ada hal lain yang aku lakukan pada Aleena. Dan ... aku juga ingin bertanya padamu, apakah identitas bayi itu juga akan kau sembunyikan nantinya? Emm ... sama seperti Mamanya?" Kedua tangan Asher terkepal kuat. "Tidak! Aku akan mengumumkan Aleena sebagai Istriku, dan aku akan membongkar siapa dirimu yang sebenarnya!" Marsha menatapnya tanpa ekspresi. "Asher, sebenarnya di sini kita berdualah yang jahat! Kau mengingkari perjanjian yang kau buat sendiri dan jatuh
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih