Pernikahan Tommy dan Maria
Pernikahan sederhana antara Tommy dan Maria akhirnya terlaksana di KUA yang tidak jauh dari rumah Tommy. Banyak warga hadir sebagai saksi, meyakini bahwa pernikahan ini adalah bentuk tanggung jawab Tommy atas kehamilan Maria. Namun, hanya Maria yang tahu bahwa sebenarnya orang tuanya tidak merestui pernikahan ini. Maria, yang putus asa, berbohong kepada warga dengan mengatakan bahwa kedua orang tuanya menyetujui pernikahan tersebut. Pak Tono, yang dia mintai tolong sebagai wali nikah, sebenarnya hanyalah tetangganya yang diminta berpura-pura menjadi perwakilan keluarganya. Dengan raut wajah serius, Pak Tono tetap menjalankan perannya dengan tenang. Pak Tono: "Apakah kamu, Tommy, menerima Maria sebagai istrimu dengan mas kawin yang telah disepakati?" Tommy: "Ya, saya terima." Pak Tono mengalihkan pandangan kepada Maria. Pak Tono: "Apakah kamu,Hati yang Terluka dan Kenyataan Pahit Kini hati Nabila terasa hancur. Orang yang selama ini ia sukai, Tommy, menikah dengan wanita lain. Saat mendengar berita pernikahan Tommy dengan Maria, ia tidak mampu menahan perih yang menusuk di dadanya. Sejak hari itu, Nabila memutuskan untuk berhenti mengantar makanan setiap pagi ke rumah Tommy, seperti yang biasa ia lakukan. Baginya, semua perhatian dan kebaikan yang ia curahkan hanya menjadi luka yang tak berbalas. Di sisi lain, Tommy mulai merasakan keganjilan dalam rutinitas paginya. Ia teringat akan Nabila wanita yang diam-diam ia cintai, meski keadaan memaksanya menikahi Mauren. Hatinya diliputi rasa bersalah. Tommy tahu, ia telah menyakiti perasaan Nabila. Kini, pemandangan Nabila membawa makanan ke rumahnya hanya tinggal kenangan yang terus menghantui pikirannya. Pagi itu, Naya, adik perempuan Tommy, datang berkunjung ke rumah kakaknya. Ia membawa ana
Saat Naya berkunjung ke rumah kakaknya, Tommy, ia memutuskan untuk mengajari Maria cara memasak Maria, yang berasal dari keluarga kaya, belum pernah memasak sendiri karena selama ini selalu dilayani oleh para pembantu Namun, setelah menikah dengan Tommy, seorang pria sederhana, ia merasa perlu belajar agar bisa mengurus rumah tangga dengan lebih baik Percakapan sebelum memasak Naya melihat Maria duduk di meja makan, tampak ragu saat melihat berbagai bahan makanan di atas meja Naya "Oke, hari ini kita akan belajar masak Kamu pernah pegang pisau sebelumnya" Maria tertawa kecil, lalu menggeleng "Aku pernah sih buat buka paket belanja online" Naya mengerutkan dahi "Maria, itu beda Ya ampun, kamu benar-benar belum pernah masak sama sekali" Maria "Serius, Nay Dulu di rumah, kalau lapar tinggal pesan atau minta ke pembantu Aku nggak pernah kepikiran buat masak sendiri" Naya "Wah, kalau gitu kita mulai dari yang paling dasar Hari ini kita buat tumis ayam dan sayur Aku jamin gam
Di ruang makan, Maria akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginannya tidur satu kamar dengan suaminya. Namun, Tommy masih belum sepenuhnya menerima Maria sebagai istrinya. Meski enggan, ia terpaksa mengizinkan Maria tidur di dalam kamarnya. Maria menatap Tommy dengan ragu. "Tommy… aku ingin tidur di kamarmu mulai malam ini." Tommy meletakkan sendoknya, menatap Maria dengan datar. "Kenapa tiba-tiba?" Maria menunduk sebentar sebelum menatap Tommy dengan penuh harap. "Karena aku ini istrimu. Bukankah wajar kalau suami istri tidur sekamar?" Tommy mendesah, menatapnya tajam. "Maria, aku belum siap menerima pernikahan ini sepenuhnya." Maria menggigit bibir, suaranya melemah. "Aku tahu… tapi aku ingin mencoba. Aku ingin menjalani pernikahan ini dengan baik." Tommy terdiam sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Ters
Di tengah malam, Naya dikejutkan oleh kedatangan ibu mertuanya, Florentina, yang mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. "Ayah mertuamu ingin berbicara denganmu," ucap Florentina dengan suara tenang namun penuh makna. Tanpa menunda waktu, Naya segera beranjak dari tempat tidur, lalu bersama suaminya, mereka menuju kamar mertuanya untuk menemui sang ayah mertua. [Adegan di Kamar Agara] Di dalam kamar yang remang-remang, Agara duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap langit malam dengan sorot mata yang penuh penyesalan. Naya dan Raka berdiri di ambang pintu, menunggu pria tua itu berbicara. Suasana begitu hening hingga suara napas mereka terdengar jelas. Agara menghela napas dalam sebelum akhirnya membuka suara, "Naya... Terima kasih sudah mau datang." Naya menatapnya tanpa ekspresi. "Ibu mertua bilang Ayah ingin bicara denganku. Apa yang ingin Ayah
Pagi yang Mencekam: Maria Dipaksa PulangJam menunjukkan pukul delapan pagi, saatnya Tommy berangkat kerja, meninggalkan Maria sendirian di rumah.Setelah memastikan semua pekerjaan rumah beres, Maria duduk santai di depan TV. Ia merasa hari ini bisa digunakan untuk belajar lebih banyak tentang mengurus suami dan memasak dengan baik.Maria beranjak dari sofa, berjalan menuju meja untuk mengambil ponselnya. Ia ingin menelepon adik iparnya, Naya, dan meminta dia mengajarinya memasak. Namun, sebelum sempat meraih ponsel, suara ketukan di pintu depan mengejutkannya.Tok... Tok...Maria mengerutkan kening. Siapa yang datang sepagi ini? Dengan langkah hati-hati, ia menghampiri pintu dan membukanya perlahan.Begitu melihat siapa yang berdiri di balik pintu, wajahnya langsung pucat pasi. Matanya membelalak, napasnya tercekat.Di hadapannya berdiri beberapa bodyguard dan pelayan yang dikirim oleh orang tuanya.Dengan pan
Di dalam kamar yang remang-remang, Maria duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya menggenggam erat seprai, sementara air matanya mengalir tanpa henti. Hatinya dipenuhi kegelisahan, berharap Tommy, suaminya, segera datang menjemputnya dari penjara tak kasat mata ini. Namun, harapan itu hanya membuahkan kepedihan. Ayahnya yang keras menolak pernikahannya dengan Tommy, pria miskin yang juga merupakan kakak dari Naya, sahabatnya sendiri. Sebagai hukuman atas keberaniannya mencintai orang di luar kehendak keluarga, Maria dikurung di lantai dua rumah megah ini, jauh dari dunia luar. Para pelayan yang setia menemaninya berusaha menenangkan gadis itu. Mereka tahu betapa dalam cinta Maria terhadap Tommy, tetapi mereka juga memahami ancaman besar yang menanti jika Maria nekat melarikan diri. Ayahnya bukan orang yang bisa ditentang begitu saja—jika Maria berusaha menemui Tommy, nyawa pria itu bisa berada dalam bahaya. Rina menatap Maria dengan penuh
Tommy tanpa berpikir panjang meraih kunci motornya yang tergantung di dinding.Dengan wajah penuh amarah dan tekad yang bulat, ia bergegas keluar, menyalakan mesin motor dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah Maria. Hatinya bergejolak, kemarahan dan kegelisahan bercampur menjadi satu.Saat tiba di depan gerbang rumah mertuanya, ia mendapati beberapa bodyguard berjaga dengan ekspresi dingin dan penuh kewaspadaan. Mereka langsung menghadang langkahnya sebelum ia sempat masuk lebih jauh.Tommy berdiri tegap, matanya tajam menatap para penjaga yang kini berbaris di depannya."Minggir," suara Tommy terdengar tegas dan penuh ancaman.Salah satu bodyguard bertubuh kekar melangkah maju. "Maaf, Tuan Tommy. Anda tidak diizinkan masuk. Kembalilah sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Tommy menyeringai sinis. "Sesuatu yang tidak diinginkan? Hah! Dengar baik-baik, aku datang ke sini untuk menjemput istriku. Kalian pikir bis
Tommy merasa frustasi setelah diusir oleh mertuanya saat hendak menjemput istrinya, Maria, untuk pulang. Dengan hati yang penuh amarah dan kekecewaan, ia berjalan tanpa arah hingga berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Di dalam warung, ia langsung menuju etalase minuman dan menunjuk beberapa botol miras. Percakapan Tommy dengan Pemilik Warung Tommy menatap pemilik warung dengan tatapan kosong. "Pak, kasih saya tiga botol yang paling keras." Pemilik warung yang sudah terbiasa melihat pelanggan datang dalam berbagai keadaan memperhatikan wajah Tommy yang kusut. "Waduh, kelihatannya lagi banyak pikiran, Mas?" Tommy menghela napas, lalu tersenyum sinis. "Ah, sudahlah, Pak. Yang penting saya butuh ini sekarang." Pemilik warung mengambil botol-botol dari rak sambil memberi peringatan halus. "Jangan kebanyakan, Mas. Kalau ada masalah, mending diceritakan daripada dilampiaskan begini."
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."