Tommy tanpa berpikir panjang meraih kunci motornya yang tergantung di dinding.
Dengan wajah penuh amarah dan tekad yang bulat, ia bergegas keluar, menyalakan mesin motor dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah Maria. Hatinya bergejolak, kemarahan dan kegelisahan bercampur menjadi satu.Saat tiba di depan gerbang rumah mertuanya, ia mendapati beberapa bodyguard berjaga dengan ekspresi dingin dan penuh kewaspadaan. Mereka langsung menghadang langkahnya sebelum ia sempat masuk lebih jauh.Tommy berdiri tegap, matanya tajam menatap para penjaga yang kini berbaris di depannya."Minggir," suara Tommy terdengar tegas dan penuh ancaman.Salah satu bodyguard bertubuh kekar melangkah maju. "Maaf, Tuan Tommy. Anda tidak diizinkan masuk. Kembalilah sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Tommy menyeringai sinis. "Sesuatu yang tidak diinginkan? Hah! Dengar baik-baik, aku datang ke sini untuk menjemput istriku. Kalian pikir bisTommy merasa frustasi setelah diusir oleh mertuanya saat hendak menjemput istrinya, Maria, untuk pulang. Dengan hati yang penuh amarah dan kekecewaan, ia berjalan tanpa arah hingga berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Di dalam warung, ia langsung menuju etalase minuman dan menunjuk beberapa botol miras. Percakapan Tommy dengan Pemilik Warung Tommy menatap pemilik warung dengan tatapan kosong. "Pak, kasih saya tiga botol yang paling keras." Pemilik warung yang sudah terbiasa melihat pelanggan datang dalam berbagai keadaan memperhatikan wajah Tommy yang kusut. "Waduh, kelihatannya lagi banyak pikiran, Mas?" Tommy menghela napas, lalu tersenyum sinis. "Ah, sudahlah, Pak. Yang penting saya butuh ini sekarang." Pemilik warung mengambil botol-botol dari rak sambil memberi peringatan halus. "Jangan kebanyakan, Mas. Kalau ada masalah, mending diceritakan daripada dilampiaskan begini."
Percakapan Naya, Raka, dan Tommy saat Menjemput Tommy Naya dan Raka tiba di depan rumah Tommy menggunakan taksi online. Naya melihat ke luar jendela, memastikan tak ada orang yang mencurigakan sebelum turun. Begitu sampai di depan pintu, ia mengetuk pelan. "Mas, buka pintunya. Kita harus segera jalan," bisik Naya dengan nada mendesak. Tommy membuka pintu dengan wajah serius. "Akhirnya kalian datang. Aku udah nggak sabar buat bawa Maria pulang." Raka melirik arlojinya. "Masih ada waktu. Tapi kita harus hati-hati. Rumah mertuamu itu dijaga ketat." Naya mengangguk. "Makanya kita naik taksi online biar nggak mencolok. Ayo, kita langsung berangkat." Tommy menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Oke. Aku siap." Mereka bertiga pun masuk ke dalam taksi dan berangkat menuju rumah Maria. Percakapan di Depan Rumah Maria Taksi berhenti di sudut jalan yang agak
Di ruang tamu yang masih dipenuhi ketegangan sisa peristiwa tadi malam, Naya menatap Maria dengan ekspresi lega. Naya "Mbak Maria kau baik-baik saja sekarang Aku masih tidak percaya kita bisa melewati ini semua dengan selamat. " Maria mengangguk sambil tersenyum tipis "Aku juga masih sulit mempercayainya Jika bukan karena kalian aku mungkin masih terjebak di sana. " Tommy menepuk bahu Maria dengan lembut "Kau aman sekarang Itu yang terpenting" Lalu, dia beralih menatap Naya dan suaminya "Terima kasih sudah membantunya Aku berhutang besar pada kalian. " Suami Naya tersenyum samar. "Tidak perlu berterima kasih kak Tommy Yang penting sekarang Mbak Maria sudah di tempat yang lebih aman. " Maria menggenggam tangan Naya erat. "Aku tidak tahu bagaimana membalas budi kalian. " Naya tersenyum dan menepuk punggung tangan Maria. "Yang terpenting kau mulai hidup baru Ja
Pagi itu, Tommy terbangun sekitar pukul 10.00 setelah tidur larut hingga 04.30 pagi. Ia membuka matanya dan menoleh ke arah istrinya, Maria, yang terbaring di sampingnya. Wajah Maria terlihat pucat, dan saat Tommy menyentuh tangannya, ia langsung panik. "Maria," panggil Tommy dengan suara cemas sambil menggoyang-goyangkan tubuh istrinya, berusaha membangunkannya. Maria sedikit terjaga dan mengerang pelan, menahan rasa sakit yang masih terasa di kakinya. "Aduh... kakinya sakit banget, Mas..." jawabnya lemah, mencoba duduk tetapi wajahnya semakin memucat. Tommy langsung duduk dengan tergesa-gesa, cemas. "Kamu kenapa, sayang? Kok bisa pucat begini?" Dia menyentuh kening Maria dengan tangan yang sedikit gemetar. Maria mengeluh pelan. "Pecahan botol kemarin malam... kaki aku masih sakit banget, Mas. Belum sembuh." Tommy mengernyit, hatinya khawatir. "Kenapa gak bilang dari tadi? Kamu
Setelah kembali dari Bidan Desi, Tommy segera memeriksa kaki Maria yang terluka akibat terkena pecahan kaca. Ia memastikan lukanya tidak terlalu dalam sebelum akhirnya membantunya duduk di tempat tidur. “Aku akan mandi dulu,” ujar Tommy sambil melepas jaketnya. Maria menatap suaminya dengan tatapan manja. “Aku ingin ikut mandi bersamamu,” ucapnya pelan. Tommy menghela napas sambil mengusap lembut pipi istrinya. “Maria, kamu masih sakit. Jangan mandi dulu, nanti malah makin parah.” “Tapi aku merasa lengket dan tidak nyaman…” rengek Maria. Tommy tersenyum kecil. “Aku akan membersihkan badanmu dengan lap hangat. Biar tetap segar tanpa perlu mandi. Oke?” Maria mengangguk pasrah. “Baiklah… tapi jangan lama-lama mandinya, ya.” Tommy terkekeh sambil mengusap rambut istrinya. “Iya, bawel. Tunggu sebentar, ya.” Setelah
Tommy sudah bangun lebih dulu pagi itu. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke dapur dan memasak bubur untuk Maria. Meskipun istrinya masih marah padanya, ia tetap ingin memastikan Maria makan sesuatu agar tidak lemas. Setelah buburnya matang, Tommy menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu membawa nampan ke kamar. Saat membuka pintu, ia melihat Maria masih berbaring, membelakangi pintu. Namun, ia tahu Maria sebenarnya sudah bangun dan hanya pura-pura tidur karena masih kesal padanya. Dengan hati-hati, Tommy duduk di tepi ranjang, lalu meletakkan nampan di nakas. Ia menatap punggung istrinya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Maria, aku tahu kamu sudah bangun," ucapnya pelan. Maria tetap diam, tidak bergeming. Tommy menghela napas, lalu berkata dengan suara lebih lembut, "Aku tahu aku salah semalam. Aku nggak seharusnya ngomong begitu. Maaf..."
Maria keluar dari kamar dengan langkah mengangkang, membuat Naya, adik iparnya, menatapnya dengan alis berkerut. Sekilas, Naya mengira Maria kelelahan setelah malam bersama kakaknya, Tommy. Namun, sebenarnya Maria berjalan seperti itu karena kakinya masih terasa nyeri akibat terkena pecahan beling kemarin. Percakapan di Ruang Tamu: Naya yang sedang duduk di sofa bersama Tommy langsung menyadari cara berjalan Maria yang aneh. Dengan nada menggoda, ia menyenggol lengan kakaknya dan berbisik pelan. Naya: ("Eh, Kak, lihat tuh! Kak Maria sampai jalan begitu. Kalian tadi malam pasti terlalu...") Ia menahan tawa, mengedipkan mata ke arah Tommy. Tommy yang baru saja menyeruput kopi langsung tersedak mendengar ucapan adiknya. Tommy: ("Apa-apaan sih, Nay?! Jangan ngomong sembarangan!") Maria yang mendengar bisikan Naya langsung menghela n
Maria dan Tommy menjalani kehidupan pernikahan yang penuh cinta, meskipun ada ketakutan yang Tommy simpan rapat-rapat. Ia khawatir, jika suatu hari orang tua Maria yang berasal dari keluarga kaya datang untuk merebut istrinya kembali, ia tidak akan mampu mempertahankannya. Sebagai pria miskin, ia merasa tidak pantas, meski Maria selalu meyakinkannya bahwa cinta mereka lebih berharga dari segalanya. Siang itu, saat Maria sibuk memasak di dapur, ia lupa mengunci pintu depan rumah. Tanpa diduga, ibunya masuk begitu saja tanpa mengetuk, membuat Maria terlonjak kaget. Ketakutan menyelimutinya—apakah ibunya datang untuk membawanya kembali dengan paksa? Begitu matanya menyapu ruangan, sang ibu langsung menunjukkan ekspresi jijik. Ia memandang sekeliling dengan tatapan merendahkan, dari dapur kecil yang penuh dengan peralatan sederhana, kamar tidur sempit, hingga kamar mandi yang jauh dari kata mewah. "Astaga, Maria! Rumah apa i
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."