Pagi itu, Tommy terbangun sekitar pukul 10.00 setelah tidur larut hingga 04.30 pagi. Ia membuka matanya dan menoleh ke arah istrinya, Maria, yang terbaring di sampingnya. Wajah Maria terlihat pucat, dan saat Tommy menyentuh tangannya, ia langsung panik.
"Maria," panggil Tommy dengan suara cemas sambil menggoyang-goyangkan tubuh istrinya, berusaha membangunkannya. Maria sedikit terjaga dan mengerang pelan, menahan rasa sakit yang masih terasa di kakinya. "Aduh... kakinya sakit banget, Mas..." jawabnya lemah, mencoba duduk tetapi wajahnya semakin memucat. Tommy langsung duduk dengan tergesa-gesa, cemas. "Kamu kenapa, sayang? Kok bisa pucat begini?" Dia menyentuh kening Maria dengan tangan yang sedikit gemetar. Maria mengeluh pelan. "Pecahan botol kemarin malam... kaki aku masih sakit banget, Mas. Belum sembuh." Tommy mengernyit, hatinya khawatir. "Kenapa gak bilang dari tadi? KamuSetelah kembali dari Bidan Desi, Tommy segera memeriksa kaki Maria yang terluka akibat terkena pecahan kaca. Ia memastikan lukanya tidak terlalu dalam sebelum akhirnya membantunya duduk di tempat tidur. “Aku akan mandi dulu,” ujar Tommy sambil melepas jaketnya. Maria menatap suaminya dengan tatapan manja. “Aku ingin ikut mandi bersamamu,” ucapnya pelan. Tommy menghela napas sambil mengusap lembut pipi istrinya. “Maria, kamu masih sakit. Jangan mandi dulu, nanti malah makin parah.” “Tapi aku merasa lengket dan tidak nyaman…” rengek Maria. Tommy tersenyum kecil. “Aku akan membersihkan badanmu dengan lap hangat. Biar tetap segar tanpa perlu mandi. Oke?” Maria mengangguk pasrah. “Baiklah… tapi jangan lama-lama mandinya, ya.” Tommy terkekeh sambil mengusap rambut istrinya. “Iya, bawel. Tunggu sebentar, ya.” Setelah
Tommy sudah bangun lebih dulu pagi itu. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke dapur dan memasak bubur untuk Maria. Meskipun istrinya masih marah padanya, ia tetap ingin memastikan Maria makan sesuatu agar tidak lemas. Setelah buburnya matang, Tommy menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu membawa nampan ke kamar. Saat membuka pintu, ia melihat Maria masih berbaring, membelakangi pintu. Namun, ia tahu Maria sebenarnya sudah bangun dan hanya pura-pura tidur karena masih kesal padanya. Dengan hati-hati, Tommy duduk di tepi ranjang, lalu meletakkan nampan di nakas. Ia menatap punggung istrinya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Maria, aku tahu kamu sudah bangun," ucapnya pelan. Maria tetap diam, tidak bergeming. Tommy menghela napas, lalu berkata dengan suara lebih lembut, "Aku tahu aku salah semalam. Aku nggak seharusnya ngomong begitu. Maaf..."
Maria keluar dari kamar dengan langkah mengangkang, membuat Naya, adik iparnya, menatapnya dengan alis berkerut. Sekilas, Naya mengira Maria kelelahan setelah malam bersama kakaknya, Tommy. Namun, sebenarnya Maria berjalan seperti itu karena kakinya masih terasa nyeri akibat terkena pecahan beling kemarin. Percakapan di Ruang Tamu: Naya yang sedang duduk di sofa bersama Tommy langsung menyadari cara berjalan Maria yang aneh. Dengan nada menggoda, ia menyenggol lengan kakaknya dan berbisik pelan. Naya: ("Eh, Kak, lihat tuh! Kak Maria sampai jalan begitu. Kalian tadi malam pasti terlalu...") Ia menahan tawa, mengedipkan mata ke arah Tommy. Tommy yang baru saja menyeruput kopi langsung tersedak mendengar ucapan adiknya. Tommy: ("Apa-apaan sih, Nay?! Jangan ngomong sembarangan!") Maria yang mendengar bisikan Naya langsung menghela n
Maria dan Tommy menjalani kehidupan pernikahan yang penuh cinta, meskipun ada ketakutan yang Tommy simpan rapat-rapat. Ia khawatir, jika suatu hari orang tua Maria yang berasal dari keluarga kaya datang untuk merebut istrinya kembali, ia tidak akan mampu mempertahankannya. Sebagai pria miskin, ia merasa tidak pantas, meski Maria selalu meyakinkannya bahwa cinta mereka lebih berharga dari segalanya. Siang itu, saat Maria sibuk memasak di dapur, ia lupa mengunci pintu depan rumah. Tanpa diduga, ibunya masuk begitu saja tanpa mengetuk, membuat Maria terlonjak kaget. Ketakutan menyelimutinya—apakah ibunya datang untuk membawanya kembali dengan paksa? Begitu matanya menyapu ruangan, sang ibu langsung menunjukkan ekspresi jijik. Ia memandang sekeliling dengan tatapan merendahkan, dari dapur kecil yang penuh dengan peralatan sederhana, kamar tidur sempit, hingga kamar mandi yang jauh dari kata mewah. "Astaga, Maria! Rumah apa i
Seperti biasa, setiap pagi Maria memasak sarapan untuk suaminya, Tommy. Ia dengan telaten menyiapkan berbagai hidangan favorit mereka. Setelah selesai, Maria menata makanan di meja makan dengan rapi, memastikan semuanya terlihat menggugah selera. Sambil tersenyum, ia menghampiri suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. Maria menghampiri Tommy yang sedang duduk di ruang tamu dan tersenyum. "Ayo, Sayang, sarapannya sudah siap. Sebelum berangkat kerja, makan dulu," ucap Maria lembut. Tommy menutup koran yang sedang dibacanya dan tersenyum. "Wangi sekali. Hari ini kamu masak apa?" "Ada nasi goreng spesial dengan telur mata sapi dan teh hangat kesukaanmu," jawab Maria sambil berjalan ke meja makan. Tommy mengikuti Maria ke meja makan dan duduk. "Pasti enak seperti biasa. Kamu memang istri terbaik." Maria ter
Naya memiliki ide untuk menitipkan anak-anaknya kepada kakaknya, Tommy, dan istrinya, Maria. Ia ingin mereka belajar mengurus anak dengan baik, mengingat Maria kini sedang hamil. Dengan begitu, saat bayi mereka lahir, mereka sudah lebih siap dan tidak terlalu kesulitan dalam mengasuhnya. Naya duduk di sofa sambil menggendong Gio yang mulai mengantuk, sementara Raka sibuk merapikan mainan Chelly yang berserakan di lantai. Naya menatap suaminya dengan ragu-ragu sebelum akhirnya membuka suara. "Mas, aku ada ide... gimana kalau kita titipin Chelly dan Gio ke Tommy dan Maria untuk sementara waktu?" Raka mengangkat alis, lalu duduk di sebelah Naya. "Titip anak-anak? Kenapa tiba-tiba kepikiran begitu?" Naya menghela napas, mencoba menjelaskan dengan hati-hati. "Aku cuma mikir... Maria kan sekarang lagi hamil. Supaya nanti pas bayinya lahir, mereka nggak terlalu r
"Ya Tuhan, Semoga bukan om-om botak yang bau rokok dan perutnya maju tiga langkah." Naya Savira kini berdiri di depan pintu sebuah kamar hotel mewah. Tangannya gemetar saat akan mengetuk. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: melunasi utang ayahnya yang sudah menumpuk bertahun-tahun.Meski apa yang dilakukannya salah, gadis itu tetap berdoa untuk kelancaran malam pertamanya. "Tenang, Nay. Kerja sekali seperti ini untuk terakhir kali seumur hidup. Ini pasti mudah," bisiknya pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu. Namun, bukannya kegelapan seperti dugaannya, ruangan itu langsung menyala terang setelah seseorang menyalakan lampu. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan postur tinggi, wajah tegas, dan sorot mata tajam. Ia sama sekali tidak seperti yang Naya bayangkan—tampan dan berkelas. "Eh ... selamat malam, Mas." Naya mencoba bersikap santai, meski canggung. "Mau langsung dilayani, atau ngobrol dulu? Biar santai, soalnya ini pertama kalinya saya
Tapi siapa sangka permainan ini jadi ke mana-mana?"Semua laki-laki sama saja!" keluh Naya yang kini berdiri di depan cermin, memandang refleksinya dalam gaun cantik yang menonjolkan kecantikannya. Ia tahu dirinya menarik, namun ada perasaan malu yang menggerogoti jiwanya ketika harus menggunakan penampilan itu untuk tujuan seperti ini. "Tunggu di luar, Naya!" suara Raka terdengar di luar kamar, memecah lamunannya. "Saya... eh, tunggu sebentar, Pak!" Naya menggerakkan jari telunjuknya, sedikit bingung dengan suasana yang terasa canggung. "Berbalik, maksud saya..." "Sudah! Jangan lama-lama!" Raka terdengar kesal. "Jadi, kita nggak akan... seperti yang Bapak harapkan?" tanya Naya dengan nada genit namun polos. "Kamu pikir saya butuh itu?" jawab Raka sinis. "Yang saya butuhkan adalah kamu datang bersama saya, dan berpura-pura jadi pacar di depan orang tua saya. Mengerti?" "Ini lelucon apa lagi, Pak?" tanya Naya bingung, meski ia tahu tidak ada gunanya protes. "Jika kamu ti
Naya memiliki ide untuk menitipkan anak-anaknya kepada kakaknya, Tommy, dan istrinya, Maria. Ia ingin mereka belajar mengurus anak dengan baik, mengingat Maria kini sedang hamil. Dengan begitu, saat bayi mereka lahir, mereka sudah lebih siap dan tidak terlalu kesulitan dalam mengasuhnya. Naya duduk di sofa sambil menggendong Gio yang mulai mengantuk, sementara Raka sibuk merapikan mainan Chelly yang berserakan di lantai. Naya menatap suaminya dengan ragu-ragu sebelum akhirnya membuka suara. "Mas, aku ada ide... gimana kalau kita titipin Chelly dan Gio ke Tommy dan Maria untuk sementara waktu?" Raka mengangkat alis, lalu duduk di sebelah Naya. "Titip anak-anak? Kenapa tiba-tiba kepikiran begitu?" Naya menghela napas, mencoba menjelaskan dengan hati-hati. "Aku cuma mikir... Maria kan sekarang lagi hamil. Supaya nanti pas bayinya lahir, mereka nggak terlalu r
Seperti biasa, setiap pagi Maria memasak sarapan untuk suaminya, Tommy. Ia dengan telaten menyiapkan berbagai hidangan favorit mereka. Setelah selesai, Maria menata makanan di meja makan dengan rapi, memastikan semuanya terlihat menggugah selera. Sambil tersenyum, ia menghampiri suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. Maria menghampiri Tommy yang sedang duduk di ruang tamu dan tersenyum. "Ayo, Sayang, sarapannya sudah siap. Sebelum berangkat kerja, makan dulu," ucap Maria lembut. Tommy menutup koran yang sedang dibacanya dan tersenyum. "Wangi sekali. Hari ini kamu masak apa?" "Ada nasi goreng spesial dengan telur mata sapi dan teh hangat kesukaanmu," jawab Maria sambil berjalan ke meja makan. Tommy mengikuti Maria ke meja makan dan duduk. "Pasti enak seperti biasa. Kamu memang istri terbaik." Maria ter
Maria dan Tommy menjalani kehidupan pernikahan yang penuh cinta, meskipun ada ketakutan yang Tommy simpan rapat-rapat. Ia khawatir, jika suatu hari orang tua Maria yang berasal dari keluarga kaya datang untuk merebut istrinya kembali, ia tidak akan mampu mempertahankannya. Sebagai pria miskin, ia merasa tidak pantas, meski Maria selalu meyakinkannya bahwa cinta mereka lebih berharga dari segalanya. Siang itu, saat Maria sibuk memasak di dapur, ia lupa mengunci pintu depan rumah. Tanpa diduga, ibunya masuk begitu saja tanpa mengetuk, membuat Maria terlonjak kaget. Ketakutan menyelimutinya—apakah ibunya datang untuk membawanya kembali dengan paksa? Begitu matanya menyapu ruangan, sang ibu langsung menunjukkan ekspresi jijik. Ia memandang sekeliling dengan tatapan merendahkan, dari dapur kecil yang penuh dengan peralatan sederhana, kamar tidur sempit, hingga kamar mandi yang jauh dari kata mewah. "Astaga, Maria! Rumah apa i
Maria keluar dari kamar dengan langkah mengangkang, membuat Naya, adik iparnya, menatapnya dengan alis berkerut. Sekilas, Naya mengira Maria kelelahan setelah malam bersama kakaknya, Tommy. Namun, sebenarnya Maria berjalan seperti itu karena kakinya masih terasa nyeri akibat terkena pecahan beling kemarin. Percakapan di Ruang Tamu: Naya yang sedang duduk di sofa bersama Tommy langsung menyadari cara berjalan Maria yang aneh. Dengan nada menggoda, ia menyenggol lengan kakaknya dan berbisik pelan. Naya: ("Eh, Kak, lihat tuh! Kak Maria sampai jalan begitu. Kalian tadi malam pasti terlalu...") Ia menahan tawa, mengedipkan mata ke arah Tommy. Tommy yang baru saja menyeruput kopi langsung tersedak mendengar ucapan adiknya. Tommy: ("Apa-apaan sih, Nay?! Jangan ngomong sembarangan!") Maria yang mendengar bisikan Naya langsung menghela n
Tommy sudah bangun lebih dulu pagi itu. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke dapur dan memasak bubur untuk Maria. Meskipun istrinya masih marah padanya, ia tetap ingin memastikan Maria makan sesuatu agar tidak lemas. Setelah buburnya matang, Tommy menuangkannya ke dalam mangkuk, lalu membawa nampan ke kamar. Saat membuka pintu, ia melihat Maria masih berbaring, membelakangi pintu. Namun, ia tahu Maria sebenarnya sudah bangun dan hanya pura-pura tidur karena masih kesal padanya. Dengan hati-hati, Tommy duduk di tepi ranjang, lalu meletakkan nampan di nakas. Ia menatap punggung istrinya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Maria, aku tahu kamu sudah bangun," ucapnya pelan. Maria tetap diam, tidak bergeming. Tommy menghela napas, lalu berkata dengan suara lebih lembut, "Aku tahu aku salah semalam. Aku nggak seharusnya ngomong begitu. Maaf..."
Setelah kembali dari Bidan Desi, Tommy segera memeriksa kaki Maria yang terluka akibat terkena pecahan kaca. Ia memastikan lukanya tidak terlalu dalam sebelum akhirnya membantunya duduk di tempat tidur. “Aku akan mandi dulu,” ujar Tommy sambil melepas jaketnya. Maria menatap suaminya dengan tatapan manja. “Aku ingin ikut mandi bersamamu,” ucapnya pelan. Tommy menghela napas sambil mengusap lembut pipi istrinya. “Maria, kamu masih sakit. Jangan mandi dulu, nanti malah makin parah.” “Tapi aku merasa lengket dan tidak nyaman…” rengek Maria. Tommy tersenyum kecil. “Aku akan membersihkan badanmu dengan lap hangat. Biar tetap segar tanpa perlu mandi. Oke?” Maria mengangguk pasrah. “Baiklah… tapi jangan lama-lama mandinya, ya.” Tommy terkekeh sambil mengusap rambut istrinya. “Iya, bawel. Tunggu sebentar, ya.” Setelah
Pagi itu, Tommy terbangun sekitar pukul 10.00 setelah tidur larut hingga 04.30 pagi. Ia membuka matanya dan menoleh ke arah istrinya, Maria, yang terbaring di sampingnya. Wajah Maria terlihat pucat, dan saat Tommy menyentuh tangannya, ia langsung panik. "Maria," panggil Tommy dengan suara cemas sambil menggoyang-goyangkan tubuh istrinya, berusaha membangunkannya. Maria sedikit terjaga dan mengerang pelan, menahan rasa sakit yang masih terasa di kakinya. "Aduh... kakinya sakit banget, Mas..." jawabnya lemah, mencoba duduk tetapi wajahnya semakin memucat. Tommy langsung duduk dengan tergesa-gesa, cemas. "Kamu kenapa, sayang? Kok bisa pucat begini?" Dia menyentuh kening Maria dengan tangan yang sedikit gemetar. Maria mengeluh pelan. "Pecahan botol kemarin malam... kaki aku masih sakit banget, Mas. Belum sembuh." Tommy mengernyit, hatinya khawatir. "Kenapa gak bilang dari tadi? Kamu
Di ruang tamu yang masih dipenuhi ketegangan sisa peristiwa tadi malam, Naya menatap Maria dengan ekspresi lega. Naya "Mbak Maria kau baik-baik saja sekarang Aku masih tidak percaya kita bisa melewati ini semua dengan selamat. " Maria mengangguk sambil tersenyum tipis "Aku juga masih sulit mempercayainya Jika bukan karena kalian aku mungkin masih terjebak di sana. " Tommy menepuk bahu Maria dengan lembut "Kau aman sekarang Itu yang terpenting" Lalu, dia beralih menatap Naya dan suaminya "Terima kasih sudah membantunya Aku berhutang besar pada kalian. " Suami Naya tersenyum samar. "Tidak perlu berterima kasih kak Tommy Yang penting sekarang Mbak Maria sudah di tempat yang lebih aman. " Maria menggenggam tangan Naya erat. "Aku tidak tahu bagaimana membalas budi kalian. " Naya tersenyum dan menepuk punggung tangan Maria. "Yang terpenting kau mulai hidup baru Ja
Percakapan Naya, Raka, dan Tommy saat Menjemput Tommy Naya dan Raka tiba di depan rumah Tommy menggunakan taksi online. Naya melihat ke luar jendela, memastikan tak ada orang yang mencurigakan sebelum turun. Begitu sampai di depan pintu, ia mengetuk pelan. "Mas, buka pintunya. Kita harus segera jalan," bisik Naya dengan nada mendesak. Tommy membuka pintu dengan wajah serius. "Akhirnya kalian datang. Aku udah nggak sabar buat bawa Maria pulang." Raka melirik arlojinya. "Masih ada waktu. Tapi kita harus hati-hati. Rumah mertuamu itu dijaga ketat." Naya mengangguk. "Makanya kita naik taksi online biar nggak mencolok. Ayo, kita langsung berangkat." Tommy menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Oke. Aku siap." Mereka bertiga pun masuk ke dalam taksi dan berangkat menuju rumah Maria. Percakapan di Depan Rumah Maria Taksi berhenti di sudut jalan yang agak