“AAA ...!”
Teriakan Jin Hao memenuhi hutan. Bai Jia bingung harus berbuat apa, dia tidak bisa melepaskan pedangnya dari genggaman tangan Jin Hao yang kini mengucurkan darah.Langit bergemuruh di atas sana membuat Bai Jia semakin panik—“Guru!”Tidak lama kemudian, sesuatu seperti tengah merasuki Jin Hao. Dia merampas Pedang Surga dari Bai Jia dan menghunuskannya ke perutnya sendiri.“Guru!”Bai Jia membeku di tempatnya. Dia syok melihat apa yang terjadi di depan matanya saat ini.Jin Hao jatuh berlutut di hadapan Bai Jia. Perlahan kesadarannya kembali dan meraih tangan Bai Jia.“Ba-i Ji-a!”Jin Hao kesakitan, rasanya seperti terbakar. Namun, dia tidak dapat menarik pedang itu sendiri Pedang tersebut menolaknya.Bai Jia yang melihat derita sang guru lantas dengan segera menarik pedangnya. Namun, bertepatan dengan itu ....“GURU!”Terdengar suara teriakan histeris. Bukan dari Bai Jia ataupun Jin Hao, melainkan dari seorang gadis yang saat ini menghampiri mereka. Yue Er, dia terkejut bahwa apa yang ia takutkan ternyata sungguh terjadi.TSRING!Rouku mengeluarkan pedangnya dan mengarahkannya tepat ke leher Bai Jia. “Apa yang kau lakukan pada Guru Hao, Bai Jia? kau ingin membunuhnya?” tanya Rouku dengan sedikit berteriak.Bai Jia yang masih syok pun berkata, “A-a-ku ... tidak tahu.”“Brengsek!”Rouku sudah akan menebas leher Bai Jia, akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh Yue Er. “Hentikan! ... Kak Rouku, kita lanjutkan perjalanan ke utara malam ini, Guru Hao membutuhkan pertolongan.”Mendengar permintaan itu, Rouku mau tidak mau menyimpan kembali pedangnya dan kemudian membantu Yue Er mengangkat Jin Hao. Bai Jia sudah akan bergerak untuk ikut membantu. Namun, niatnya ditolak oleh Yue Er.“Diam di tempatmu!” perintah Yue Er ke Bai Jia.“Adik Yue—”“Aku sangat mempercayaimu, Kak,” kata Yue Er penuh kepiluan, “tapi sepertinya apa yang dikatakan Kak Rouku kini mulai terbukti kebenarannya.”“Tidak, Yue, tolong dengark—”“Jangan ikuti kami!” perintah Yue Er, “sampai kamu bisa membuktikan bahwa kamu sama sekali tidak ada hubungan dengan Negeri Diyu, jangan pernah menunjukkan wajahmu dihadapanku, terlebih sebagai bagian dari Perguruan Lotus Putih!”Putusan final itu berhasil membuat Bai Jia kembali mematung. Dia pandangi tiga punggung yang kini menjauh darinya dan perlahan menghilang dari pandangan.Di dunia ini, Bai Jia hanya mengenal Lotus Putih. Harus bagaimana dia setelah tidak lagi dengan Lotus Putih? Bai Jia bingung, dia pandangi pedang di tangannya. Darah sang guru masih ada di sana.“HAAA ...!”—Bai Jia melempar pedangnya hingga tertancap di tanah.Langit yang sejak tadi hanya bergemuruh kini mulai menurunkan airnya. Bai Jia menjatuhkan diri dan menjadikan lututnya sebagai tumpuan.“Ah, kenapa hidupku seperti ini?”—Bai Jia mengepalkan kedua tangannya.---Setelah kejadian penusukan Jin Hao, Yue Er dan rombongan Lotus Putih bergegas melanjutkan perjalanan ke utara malam itu juga. Mereka berpacu dengan waktu karena kondisi Jin Hao yang semakin buruk.Tubuh Jin Hao dingin, mengeras, dan darahnya menghitam. Yue Er tidak mengerti, dia baru kali ini melihat hal seperti itu.Dia hanya berpikir bahwa mungkin ada racun di pedang Bai Jia. Sungguh sakit hati Yue Er memikirkannya.“Y-yue—Er!” panggil Jin Hao terbata di sela perjalanan mereka.“Bertahanlah, Guru! sore nanti kita akan tiba di Mudan. Guru tahu, ‘kan, kalau di Mudan banyak tabib hebat, mereka pasti bisa menyembuhkan Guru. Guru pasti akan baik-baik saja.”Jin Hao meminta berhenti untuk beristirahat. Pada awalnya Yue Er menolak tapi pada akhirnya dia menuruti permintaan sang guru.Begitu mereka berhenti, Jin Hao menggenggam erat tangan Yue Er. “Yue—Er, perha—tikan mereka yang mengi—kutimu!” pinta Jin Hao.Yue Er tidak terlalu paham, akan tetapi dia segera menatap saudara-saudara seperguruannya. Benar, ternyata kondisi mereka tidak lebih baik dari gurunya.“Oh tidak, apakah aku sudah melakukan kesalahan-kesalahan?” batin Yue Er.“Yue Er, seorang pemimpin ... harus bisa melihat ... dan memikirkan orang-orangnya. Tekan egomu! itulah yang pernah ketua perguruan ... atau ayahmu katakan padaku ... saat aku memaksa para murid ... untuk berlatih siang malam demi kompetisi di istana.”“Guru ....”“Yue—Er, waktuku tidak banyak, sudah saatnya Lotus Putih memiliki seorang pemimpin muda sepertimu.”“Tidak, bertahanlah sedikit lagi, Guru!”—Yue Er meneteskan air matanya—“Yue Er masih membutuhkan bimbingan dari Guru.”“Yue—Er, jangan ... membenci ... Bai Jia! dia ....”Belum selesai Jin Hao berucap, jantungnya sudah berhenti. Jin Hao, dia menghembuskan napas terakhirnya.“Guru!” panggil Yue Er panik, “tidak, Guru, jangan pergi! Guru ...!”Perjalanan menuju utara itupun terhenti sementara. Di sebuah bukit di hutan tersebut Yue Er dan para murid Lotus Putih mengadakan upacara penghormatan terakhir untuk Jin Hao.Kedukaan tiada akhir, mungkin itu yang bisa menggambarkan kondisi Yue Er saat ini. Di usianya yang masih muda, Yue Er harus menjadi seorang ketua perguruan setelah kehilangan banyak orang yang dicintainya dan juga perguruannya.Tangan Yue Er mengepal kuat—“Bai Jia ... iblis Diyu, Lou Yin,” gumamnya.---Sementara Yue Er dan rombongannya tengah memakamkan Jin Hao, saat ini di tempat lain yang berjarak ratusan mil dari sana, Bai Jia berjalan seorang diri menuju sebuah negeri bernama Wuxia.Setelah mendengar permintaan Yue Er semalam, Bai Jia mau tidak mau memisahkan diri dari rombongan Lotus Putih. Dia tidak lagi menuju Perguruan Mudan di utara dan tidak juga menuju pusat kota Shengren. Bai Jia, dia memilih untuk ke Wuxia.Kepergian Bai Jia ke Wuxia bukan tanpa tujuan. Dia membawa pedangnya ke sana dengan tujuan untuk menemui seorang ahli pedang yang terkenal hebat.Tidak hanya hebat dalam ilmu pedang, seseorang itu juga memiliki pengetahuan yang luas mengenai pedang. Oleh karena pengetahuannya yang luas itulah sang pendekar disebut sebagai dewa pedang maha tahu.Hanya sayangnya, tidak ada satu pun orang yang tahu dengan pasti di mana dewa pedang maha tahu tinggal. Banyak orang berkata bahwa keberuntungan lah yang akan menentukan bisa atau tidaknya seseorang bertemu dengannya.Sungguh, Bai Jia sama sekali tidak peduli. Entah dia memiliki keberuntungan atau tidak, dia akan berusaha menemukan dewa pedang maha tahu itu.“Aku tidak peduli, akan kubuat dia keluar dengan sendirinya untuk menemuiku!” tekat kuat Bai Jia.---Setelah tiga hari berjalan kaki, pada akhirnya Bai Jia sampai di Wuxia, negerinya para pendekar pedang. Di sana ....Setelah hampir lima hari berjalan kaki, pada akhirnya Bai Jia tiba di Wuxia. Meskipun untuk sampai di pusat kota masih memerlukan waktu sekitar satu hari lagi, tapi setidaknya ia sudah sangat dekat dengan tujuannya. Namun, baru beberapa langkah Bai Jia menginjakkan kaki di hutan Wuxia, dia sudah dihadang oleh segerombolan orang.Ada sekitar sepuluh orang. Masing-masing dari mereka mengenakan topeng dengan pedang di tangan. “Siapa kalian?” tanya Bai Jia.“Kau tidak berhak bertanya demikian kepada kami anak muda!” ucap salah satu dari gerombolan itu, “aku yang seharusnya bertanya siapa kau dan untuk tujuan apa kau menginjakkan kaki di wilayah Wuxia?”Bai Jia mencoba memikirkan siapa kiranya orang-orang yang berhadapan dengannya saat ini. Apakah mereka ini orang baik atau orang jahat.Setelahnya, Bai Jia membuat postur hormat untuk menyapa—“Maafkan saya!” ucapnya, “saya ... saya hanya seorang pengembara dari negeri seberang, datang ke Wuxia karena ingin mencari seorang guru.”“Kau ke Wu
“Jangan!”—Bai Jia menahan tangan pria yang akan mengambil pedangnya—“pedang ini ... jahat.”Bukannya meletakkan kembali pedang tersebut, laki-laki itu justru melepaskan tangan Bai Jia yang mencengkeramnya. Tanpa mengatakan apapun, dia membuka kain yang membungkus pedang.Bai Jia berusaha bangkit untuk mengambil kembali pedangnya. Namun, sayangnya ia tidak bisa. Tubuhnya saat ini sangat lemah. Mau Tidak mau pedang itupun ter-ekspose. Cahaya matahari sore yang mengenai besinya pun memantulkan cahaya menyilaukan.“M-m-mustahil! ini Pedang Surga, ... tidak mungkin!”Laki-laki yang disebut oleh orang-orang sebagai Dewa Pedang Maha Tahu itupun mengerahkan tenaga dalamnya untuk membendung kekuatan Pedang Surga. Hal itu ia lakukan agar Pedang tersebut tidak mempengaruhinya.“Anak bodoh! bagaimana bisa kamu menyebut Pedang Surga sebagai pedang jahat? bukan pedangnya yang jahat, akan tetapi orang-orang di sekitarnya yang jahat,” kata si pria.Bai Jia tertegun, dia banyak terkejut hanya dalam s
“Bagaimana Anda bisa mengenali Pedang Surga? Anda juga bisa memegangnya.”Min Cun mencari alasan untuk diberikan kepada Bai Jia. Dia tidak ingin identitasnya sebagai Dewa Pedang Maha Tahu diketahui. Min Cun ingin mencoba menguji Bai Jia lebih dulu.“Mengenai itu ... kau tahu aku ini seorang pengrajin kayu, bukan? barang yang paling banyak kubuat adalah sarung pedang. Hal itu membuatku bisa mengenal banyak ahli pedang dan belajar dari mereka menganai berbagai jenis dan karakter pedang.”Selanjutnya, Min Cun bercerita kepada Bai Jia bahwa dia pernah bertemu dengan Dewa Pedang Maha Tahu, dan dari dialah ia mengetahui banyak hal di mana salah satunya adalah tentang Pedang Surga.“Anda pernah bertemu dengan Dewa Pedang?”—Bai Jia sangat bersemangat.“Hem, tentu saja, aku sudah puluhan tahun hidup di Wuxia jadi mana mungkin sekalipun belum pernah bertemu dengannya, apalagi pekerjaanku sangat erat kaitannya dengan pedang,” jawab Min Cun. Bai Jia mengangguk-angguk percaya. Sedangkan Min Cun,
Bai Jia terlampau senang setelah mendengar Min Cun akan mengantarnya menemui Dewa Pedang Maha Tahu. Dia lantas ingin berterima kasih dengan menemani Min Cun membuat sarung pedang. Namun, rupanya obat terakhir yang tadi diberikan Min Cun padanya membuatnya tidak bisa membuka mata.“Cih! bocah, mana tekadmu yang keras tadi?”—Min Cun berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia kemudian membenarkan posisi tidur Bai Jia. “Bocah malang,” komentarnya.Setelah selesai dengan Bai Jia, Min Cun pun kembali pada pekerjaannya. Malam semakin larut dan perlahan membawa kembali sang fajar untuk menyapa. Dia mulai menggunakan kekuatannya untuk memberikan sentuhan akhir pada calon sarung pedang milik Bai Jia.Min Cun memantrai sarung pedang tersebut dengan mantra peredam. Hal itu betujuan agar sarung tersebut dapat meredam energi dari Pedang Surga.Pedang Surga memiliki energi yang memberikan efek berbeda ke setiap orang. Semua bergantung pada bagaimana hati seseorang yang ditarik oleh pedang ters
Pagi ini Bai Jia bangun dari tidurnya dan mendengar suara ayunan pedang. Dia penasaran lalu keluar dari paviliun tempatnya beristirahat.Bai Jia sambil menenteng pedangnya terus mencari sumber suara hingga dia menemukannya. Suara itu berasal dari orang-orang Pagoda Sembilan Naga yang tengah berlatih pedang bersama di halaman depan bangunan pagoda. Gerakan yang sangat tegas dan cepat, Bai Jia kagum dengan jurus yang orang-orang itu gunakan. Dia dengan fokus mengamati gerakan tersebut hingga tidak sadar Min Cun berdiri di sampingnya. “Ini adalah jurus utama Pagoda Sembilan Naga,” ungkap Min Cun seolah tahu isi pikiran Bai Jia.“Oh, Tuan!”—Bai Jia menunduk hormat.Min Cun menginterupsi murid-muridnya untuk menghentikan sejenak sesi latihan pagi itu. Lalu, dia memberi pengumuman kepada mereka bahwa mulai detik ini Bai Jia akan menjadi bagian dari Pagoda Sembilan Naga.Para murid yang mendengarnya langsung menunduk dan mengepalkan tangan di depan dada dengan pedang yang tergenggam di dal
Sesuai dengan yang sebelumnya dikatakan oleh Yuan Zi, sampai dengan kembalinya Min Cun, dialah yang akan melatih Bai Jia. Lalu, sesuai dengan perintah Min Cun, Bai Jia akan berlatih secara terpisah dari murid lainnya. Dia akan berlatih di halaman belakang Paviliun Utara.Bai Jia saat ini tengah berlatih untuk mengalirkan energi serta mengontrol tenaga dalamnya. Perlu ketenangan serta kesabaran dalam hal ini, dan Bai Jia melakukannya dengan sangat baik.Yuan Zi mengamati dengan seksama setiap gerak tubuh Bai Jia yang mengalirkan energi. Setelah melihat energi yang dikeluarkan Bai Jia, kini dia paham dengan alasan sang guru menempatkan Bai Jia di Paviliun Utara. Rupanya, Bai Jia tidak ubahnya benda keramat. Sama seperti harta benda yang tersimpan di paviliun tersebut. “Sangat menarik! pemuda istimewa!” puji Yuan Zi sejak tadi dalam batinnya. “Kamu bisa berhenti sekarang, Bai Jia!” teriak Yuan Zi dari saung yang letaknya berada di salah sat
Iblis diketahui menjadi makhluk terkuat yang ada di alam semesta. Merasa dirinya yang paling kuat, iblis pun berambisi untuk mengalahkan para dewa dan roh-roh suci. Perilaku para iblis yang semena-mena dan keji membuat kaisar langit mengusirnya. Namun, bukan bertobat, iblis justru membuat kerusakan di muka bumi. Kaisar langit kembali marah, lalu mengutus seorang dewa pertapanya dan menganugerahinya sebuah pedang yang tercipta dari air surga yang memantulkan cahaya. Pertapa itu melaksanakan perintah kaisar langit untuk membasmi para iblis. Merasa terancam oleh adanya sang kesatria suci, iblis mencoba menggunakan cara lain untuk mengalahkannya. Mereka bercampur dengan manusia, menghasilkan anak turun mereka, lalu mengadu domba para manusia dan si kesatria hingga akhirnya sang kesatria menghilang. Kaisar langit murka, akan tetapi iblis terus membujuknya agar memberinya ampunan. Kewelasasihan langit yang seluas alam semesta pada akhirnya berhasil membuat iblis mendapatkan kesempatan te
Di sela waktu istirahatnya dari sesi latihan, Bai Jia menyelinap keluar dari Pagoda Sembilan Naga. Dia diam-diam mengikuti dan mengamati rombongan Hou Cun yang saat ini sudah tiba di pusat kota Wuxia.Amarah di dalam diri Bai Jia kembali membuncah. Dia tidak sadar sudah meremas kuat pedang di genggamannya. Energi iblis di dalam dirinya meronta ingin keluar. Bai Jia dengan cadar yang menutupi sebagian wajahnya itupun lantas melangkahkan kaki mendekat ke rombonngan Diyu. Namun, secara tidak terduga seseorang menarik Bai Jia dari belakang dan membawanya pergi dari sana.Bai Jia tidak tahu siapa yang menariknya. Sampai setelah cukup jauh dari rombongan orang-orang Diyu, mereka berhenti dan akhirnya dia tahu bahwa yang menariknya adalah Yuan Zi.“Kak Yuan Zi!” protes Bai Jia dengan nada tinggi.“Apa yang akan kau lakukan, Bai Jia?” tanya Yuan Zi dengan nada tidak kalah tinggi.“Kak, mereka ... orang-orang itu, mereka iblis Diyu!”“Lalu, kenapa kalau mereka iblis Diyu?”“Kak! me—”Belum sa
Begitu masuk ke dalam air, Wen Lai tidak melihat Li Jun bersamanya. Dia tidak menemukan Li Jun ikut masuk ke dalam air.Mengetahui hal itu, Wen Lai pun langsung naik ke permukaan untuk mencarinya. Namun, begitu sampai di permukaan, dia justru terkejut karena yang ada di sekelilingnya kini sudah bukan lagi taman atau bangunan-bangunan di Sungai Jingsan. Sisi kanan dan kiri sungai sekarang ialah hutan-hutan lebat. “Ini ... di mana?”—Wen Lai bingung.“Pangeran!” Panggilan itu mengejutkan Wen Lai hingga membuatnya seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata, orang-orang yang memanggilnya tadi adalah orang selatan yang merupakan pengikut keluarganya.“Pangeran! itu pangeran Wen Lai! cepat bantu pangeran naik!”“Aku tidak sedang bermimpi, aku sadar sepenuhnya, aku ... aku ada di Diyu?”Setelah kurang lebih dua minggu berada di dunia lain, pada akhirnya Wen Lai dapat kembali ke Diyu. Dia akhirnya dapat bernapas lega mengetahui ayah, anggota keluarganya, dan para pengikut setia mereka selama
Setelah kematian kakeknya, Li Jun beraktivitas sebagaimana biasanya. Pergi bekerja dan sekolah seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wen Lai. Dia kembali bekerja di kedai nenek An yang baru saja selesai direnovasi. Hanya saja, meskipun demikian Wen Lai tetap dapat melihat kesedihan yang begitu dalam di sorot mata Li Jun. Wen Lai tahu bahwa pemuda itu sebenarnya hanya sedang berusaha tegar di depannya. “Terima kasih untuk hari ini, Wen Lai!” ucap nenek An.“Aku juga berterima kasih, Nenek! ... kalau begitu, aku pulang dulu.”“Iya, hati-hati!”Hari pertama kedai mie nenek An buka, pelanggan sudah langsung banyak yang datang. Sehingga, sebelum matahari terbenam, mie mereka sudah habis dan Wen Lai bisa pulang lebih awal. Wen Lai senang melihat perubahan yang terjadi pada kedai nenek An. Kedai itu kini sudah jauh lebih bagus dan ramai dari pertama kali ia ke sana. Wen Lai bersyukur untuk itu.Karena pulang lebih awal, Wen Lai lantas memutuskan untuk pulang jalan
Setelah puas mencoba berbagai macam wahana permainan, akhirnya sebagai penutup liburan mereka, Li Jun membawa Wen Lai ke pantai. “Ini!”—Li Jun memberikan minuman kaleng kepada Wen Lai. Dia kemudian ikut duduk di atas pasir di samping Wen Lai. Mereka menikmati pemandangan matahari terbenam dalam diam.“Terima kasih, Li Jun!” ucap Wen Lai mengusir hening di antara keduanya. “Hem?”“Terima kasih sudah mengajakku berlibur! aku ... untuk sejenak merasa bebanku hilang,” jelas Wen Lai, “dunia tanpa perang dan perebutan tahta ternyata sangat menenangkan dan menyenangkan.”Li Jun tertawa kecil. “Sebenarnya, kesenangan yang baru kau rasakan hari ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan utuh di dunia. Tidak selamanya perang itu berwujud saling serang di medan perang dengan menggunakan pedang. Asal kau tahu, Wen Lai, sebenarnya peperangan di sini jauh lebih kejam dan kotor.”Wen Lai menatap Li Jun bingung. Dia mas
Di sore ketika Li Jun masih mengantar makanan ke tempat pelanggan. Wen Lai tidak sengaja menjatuhkan gelas minuman bekas pelanggan.Hal itu mengejutkan semua orang yang ada di dalam kedai, tidak terkecuali nenek An. Sang nenek yang awalnya sibuk di tempat memasak, karena panik akhirnya menghampiri Wen Lai. “Wen Lai, ada apa? kau baik-baik saja?” tanya nenek An.Wen Lai yang awalnya mematung menatap arah sungai akhirnya memutus pandangannya ketika mengetahui nenek An membantunya membersihkan pecahan kaca gelas. “Nenek, jangan! biar aku saja, jangan sampai tangan nenek terluka!”“Kau baik-baik saja, Wen Lai?” tanya nenek An lagi.“Iya, Nek, aku baik-baik saja, tadi tanganku sedikit licin.”Wen Lai membuat alasan sebisanya. Dia lantas memungut pecahan gelas sambil kembali melihat ke arah sungai.Cahaya itu masih keluar dari dalam sungai. Cahaya yang tadi membuatnya terkejut sampai tidak sengaja me
“Jadi, uang yang kau gunakan untuk potong rambut adalah hasil dari kau bekerja di kedai mie?” tanya Li Jun yang kemudian diangguki oleh Wen Lai.“Kenapa?”“Apa?”“Potong rambut. Kenapa?”Pangeran Diyu itu menaikkan kedua bahunya—“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukannya,” jelasnya, “ternyata, ucapanmu tentang trend rambut pendek lebih bagus dan disukai itu benar, kata bibi di tempat potong rambut, aku semakin tampan dengan rambut pendek,” lanjut Wen Lai dengan senyuman senang penuh percaya diri.“Cih!” cibir Li Jun.Li Jun masih tidak percaya, hari ini Wen Lai cukup mengejutkannya. Di satu sisi dia senang Wen Lai tidak kesulitan berada di dunianya. Namun, di sisi lain, entah kenapa dia justru merasa khawatir.“Hah! kenapa aku jadi merasa menyesal sudah mengajarinya?” ucap Li Jun dalam hati.Li Jun mencoba abai pada perasaannya. Dia memakan mie yang dibawa oleh Wen Lai dari kedai Nenek An.Mata Li Jun melotot saat bumbu mie itu pertama kali menyapa lidahnya. “Woah!” seruny
Melihat toko penyedia jasa potong rambut, Wen Lai jadi berpikir untuk memotong rambutnya. Namun, setelah mengingat ucapan Li Jun bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang dan saat ini dia tidak memilikinya, Wen Lai akhirnya tidak jadi masuk ke ‘barber shop’.Tidak apa jadi pusat perhatian banyak orang. Pikirnya, dia juga tidak akan selamanya berada di dunia ini. “Apa yang kalian lakukan? ... tolong!”Teriakan dari seorang perempuan tua menyapa pendengaran Wen Lai. Seorang nenek sedang dirampok di salah satu gang sepi.Wen Lai tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja di depan matanya. Merampok perempun tua adalah tindakan seorang pengecut. Jika ada orang yang hanya melihat dan membiarkan itu terjadi, maka dia lebih pengecut dari seorang pengecut. Wen Lai mengambil beberapa kerikil dari tepi jalan lalu melemparnya pada dua penjambret tersebut. Kerikil-kerikil itu mengenai kepala mereka dan membuat me
Setelah memastikan kakeknya sudah tidur, Li Jun naik ke lantai dua. Dia menghampiri Wen Lai yang saat ini duduk di depan kamar. “Kakek sudah tidur?” tanya Wen Lai saat pemuda itu mendudukkan diri di sampingnya.Li Jun menyahut, “Hem!” Dia kemudian memberi Wen Lai minuman kaleng yang dibelinya saat perjalanan pulang tadi. Mata Wen Lai menatap bingung kaleng tersebut. “Ini hanya sari buah, bukan alkohol.”Apapun itu, Wen Lai tidak paham. Dia hanya menerima dan mengikuti tindakan Li Jun, membuka dan minum sesuatu dari kaleng tersebut.Setelah sesaat merasa takjub dengan rasa minuman kaleng, Wen Lai pun kembali fokus pada Li Jun. Matanya bergerak gelisah—“Maaf!” ucap Wen Lai pada akhirnya.Satu sudut bibir Li Jun terangkat. “Sudahlah, lupakan saja! kau hanya tidak tahu.”“Apa kejadian seperti ini sebelumnya sering terjadi?” tanya Wen Lai setelahnya.“Iya, sangat sering, sebelum pikun ka
“Dasar anak-anak nakal! kalian tidak takut dapat tuah, ha? sana pergi!” usir penjaga museum istana.Cahaya yang menerangi wajah Li Jun dan Wen Lai beberapa waktu lalu ialah cahaya senter milik dua penjaga yang sedang berpatroli. Para penjaga memergoki mereka saat berada di depan pintu aula utama.“Terima kasih, Pak!” teriak Li Jun dengan tidak tahu diri. “Hah! beruntung kita ketahuan, jadi tidak perlu repot mengendap-endap dan melompat pagar,” terangnya, “sekarang ayo kita pulang, Wen Lai!” “Hem!” sahut Wen Lai seadanya. Dia masih penasaran dengan energi yang ia rasakan tadi. “Apa energi tadi yang disebut sebagai energi kutukan?” tebaknya dalam batin.KRUCUK~“Oho~ apa kau lapar, Pangeran?”—Li Jun merangkul Wen Lai—“tenang saja! setelah ini akan kumasakkan makan malam yang enak dan banyak untukmu, sebagai bentuk terima kasih karena tadi sudah membantuku.”Sejujurnya, Wen Lai malu mengakui dirinya kelaparan. Namun, perutnya sudah
“Wen Lai?” ucap Li Jun dalam hati. Dia terkejut melihat Wen Lai bisa ada di sana. Di saat Wen Lai akan maju menghadapi para berandal yang mengejarnya tadi, Li Jun segera menahan lengan sang pangeran Diyu. Pada awalnya dia ingin menahan Wen Lai agar tidak menghajar mereka. Namun, pada akhirnya .... “Santai saja! mereka hanya anak-anak biasa, jangan gunakan kekuatan iblismu!” Wen Lai memahaminya—“Baiklah!” “Kurang ajar! siapa, kau, brengsek?” “Minggirlah! jangan ikut campur!” “Aku?” sahut Wen Lai, “aku orang yang akan menghajar kalian.” Pernyataan Wen Lai itupun ditertawakan oleh anak-anak berandal. “Jangan bercanda, bocah aneh! yang ada, kau akan babak belur di tangan kami. Maju!” Tujuh orang maju menyerang Wen Lai. Dari posisi dan gerakan mereka, Wen Lai memprediksi siapa di antara mereka yang akan datang lebih cepat untuk mendekatinya.