“Bagaimana Anda bisa mengenali Pedang Surga? Anda juga bisa memegangnya.”Min Cun mencari alasan untuk diberikan kepada Bai Jia. Dia tidak ingin identitasnya sebagai Dewa Pedang Maha Tahu diketahui. Min Cun ingin mencoba menguji Bai Jia lebih dulu.“Mengenai itu ... kau tahu aku ini seorang pengrajin kayu, bukan? barang yang paling banyak kubuat adalah sarung pedang. Hal itu membuatku bisa mengenal banyak ahli pedang dan belajar dari mereka menganai berbagai jenis dan karakter pedang.”Selanjutnya, Min Cun bercerita kepada Bai Jia bahwa dia pernah bertemu dengan Dewa Pedang Maha Tahu, dan dari dialah ia mengetahui banyak hal di mana salah satunya adalah tentang Pedang Surga.“Anda pernah bertemu dengan Dewa Pedang?”—Bai Jia sangat bersemangat.“Hem, tentu saja, aku sudah puluhan tahun hidup di Wuxia jadi mana mungkin sekalipun belum pernah bertemu dengannya, apalagi pekerjaanku sangat erat kaitannya dengan pedang,” jawab Min Cun. Bai Jia mengangguk-angguk percaya. Sedangkan Min Cun,
Bai Jia terlampau senang setelah mendengar Min Cun akan mengantarnya menemui Dewa Pedang Maha Tahu. Dia lantas ingin berterima kasih dengan menemani Min Cun membuat sarung pedang. Namun, rupanya obat terakhir yang tadi diberikan Min Cun padanya membuatnya tidak bisa membuka mata.“Cih! bocah, mana tekadmu yang keras tadi?”—Min Cun berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia kemudian membenarkan posisi tidur Bai Jia. “Bocah malang,” komentarnya.Setelah selesai dengan Bai Jia, Min Cun pun kembali pada pekerjaannya. Malam semakin larut dan perlahan membawa kembali sang fajar untuk menyapa. Dia mulai menggunakan kekuatannya untuk memberikan sentuhan akhir pada calon sarung pedang milik Bai Jia.Min Cun memantrai sarung pedang tersebut dengan mantra peredam. Hal itu betujuan agar sarung tersebut dapat meredam energi dari Pedang Surga.Pedang Surga memiliki energi yang memberikan efek berbeda ke setiap orang. Semua bergantung pada bagaimana hati seseorang yang ditarik oleh pedang ters
Pagi ini Bai Jia bangun dari tidurnya dan mendengar suara ayunan pedang. Dia penasaran lalu keluar dari paviliun tempatnya beristirahat.Bai Jia sambil menenteng pedangnya terus mencari sumber suara hingga dia menemukannya. Suara itu berasal dari orang-orang Pagoda Sembilan Naga yang tengah berlatih pedang bersama di halaman depan bangunan pagoda. Gerakan yang sangat tegas dan cepat, Bai Jia kagum dengan jurus yang orang-orang itu gunakan. Dia dengan fokus mengamati gerakan tersebut hingga tidak sadar Min Cun berdiri di sampingnya. “Ini adalah jurus utama Pagoda Sembilan Naga,” ungkap Min Cun seolah tahu isi pikiran Bai Jia.“Oh, Tuan!”—Bai Jia menunduk hormat.Min Cun menginterupsi murid-muridnya untuk menghentikan sejenak sesi latihan pagi itu. Lalu, dia memberi pengumuman kepada mereka bahwa mulai detik ini Bai Jia akan menjadi bagian dari Pagoda Sembilan Naga.Para murid yang mendengarnya langsung menunduk dan mengepalkan tangan di depan dada dengan pedang yang tergenggam di dal
Sesuai dengan yang sebelumnya dikatakan oleh Yuan Zi, sampai dengan kembalinya Min Cun, dialah yang akan melatih Bai Jia. Lalu, sesuai dengan perintah Min Cun, Bai Jia akan berlatih secara terpisah dari murid lainnya. Dia akan berlatih di halaman belakang Paviliun Utara.Bai Jia saat ini tengah berlatih untuk mengalirkan energi serta mengontrol tenaga dalamnya. Perlu ketenangan serta kesabaran dalam hal ini, dan Bai Jia melakukannya dengan sangat baik.Yuan Zi mengamati dengan seksama setiap gerak tubuh Bai Jia yang mengalirkan energi. Setelah melihat energi yang dikeluarkan Bai Jia, kini dia paham dengan alasan sang guru menempatkan Bai Jia di Paviliun Utara. Rupanya, Bai Jia tidak ubahnya benda keramat. Sama seperti harta benda yang tersimpan di paviliun tersebut. “Sangat menarik! pemuda istimewa!” puji Yuan Zi sejak tadi dalam batinnya. “Kamu bisa berhenti sekarang, Bai Jia!” teriak Yuan Zi dari saung yang letaknya berada di salah sat
Iblis diketahui menjadi makhluk terkuat yang ada di alam semesta. Merasa dirinya yang paling kuat, iblis pun berambisi untuk mengalahkan para dewa dan roh-roh suci. Perilaku para iblis yang semena-mena dan keji membuat kaisar langit mengusirnya. Namun, bukan bertobat, iblis justru membuat kerusakan di muka bumi. Kaisar langit kembali marah, lalu mengutus seorang dewa pertapanya dan menganugerahinya sebuah pedang yang tercipta dari air surga yang memantulkan cahaya. Pertapa itu melaksanakan perintah kaisar langit untuk membasmi para iblis. Merasa terancam oleh adanya sang kesatria suci, iblis mencoba menggunakan cara lain untuk mengalahkannya. Mereka bercampur dengan manusia, menghasilkan anak turun mereka, lalu mengadu domba para manusia dan si kesatria hingga akhirnya sang kesatria menghilang. Kaisar langit murka, akan tetapi iblis terus membujuknya agar memberinya ampunan. Kewelasasihan langit yang seluas alam semesta pada akhirnya berhasil membuat iblis mendapatkan kesempatan te
Di sela waktu istirahatnya dari sesi latihan, Bai Jia menyelinap keluar dari Pagoda Sembilan Naga. Dia diam-diam mengikuti dan mengamati rombongan Hou Cun yang saat ini sudah tiba di pusat kota Wuxia.Amarah di dalam diri Bai Jia kembali membuncah. Dia tidak sadar sudah meremas kuat pedang di genggamannya. Energi iblis di dalam dirinya meronta ingin keluar. Bai Jia dengan cadar yang menutupi sebagian wajahnya itupun lantas melangkahkan kaki mendekat ke rombonngan Diyu. Namun, secara tidak terduga seseorang menarik Bai Jia dari belakang dan membawanya pergi dari sana.Bai Jia tidak tahu siapa yang menariknya. Sampai setelah cukup jauh dari rombongan orang-orang Diyu, mereka berhenti dan akhirnya dia tahu bahwa yang menariknya adalah Yuan Zi.“Kak Yuan Zi!” protes Bai Jia dengan nada tinggi.“Apa yang akan kau lakukan, Bai Jia?” tanya Yuan Zi dengan nada tidak kalah tinggi.“Kak, mereka ... orang-orang itu, mereka iblis Diyu!”“Lalu, kenapa kalau mereka iblis Diyu?”“Kak! me—”Belum sa
Seusai pertemuan di aula istana Wuxia, Min Cun disapa dan sempat berbincang sebentar dengan Hou Cun. Tidak ada sesuatu yang penting dalam perbincangan itu, Hou Cun hanya mengungkapkan rasa beruntungnya bisa bertemu langsung dengan Dewa Pedang Maha Tahu yang terkenal. Min Cun tidak tertarik untuk berbincang lebih lama dengan Hou Cun. Dia memotong ucapan Hou Cun dan berpamitan setelah beberapa kalimat terlontar dari mulut sang raja Diyu. “Maaf, saya sedang terburu-buru, mohon Raja Diyu tidak tersinggung dan memaklumi!” ucap Min Cun cukup sopan.“Oh, tidak-tidak, saya tidak akan terseinggung,” kata Hou Cun, “saya paham bahwa Dewa Pedang pasti memiliki banyak urusan penting, saya yang seharusnya minta maaf karena sudah menyita waktu Anda.” Keduanya saling menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan. Lalu, tanpa banyak bicara Min Cun melenggang meninggalkan Hou Cun dan Dou Yin. “Cih! sombong sekali!” komentar Dou Yin.“Dia pendekar hebat, pantas jika sombong,” respon Hou Cun. Meski
Selama ini tidak ada yang tahu dari mana asal Bai Jia. Bahkan, Tao Jin pun tidak mengetahuinya.Belasan tahun lalu, di pagi hari yang dingin dan berkabut, Tao Jin mendapati putra dan menantunya tergeletak di depan gerbang perguruan setelah sebelumnya mereka berpamitan untuk menuju perbatasan Shengren. Menantu Tao Jin yang merupakan ibu dari Yue Er sudah dalam keadaan tidak bernyawa, sementara sang putra yang merupakan ketua Lotus putih, dia masih memiliki sedikit kesadaran.“A—yah, ja—ga a-a-nak ini!”Hanya kalimat itu yang sempat terucap dari mulut putra Tao Jin. Setelahnya, ketua Lotus Putih itupun menghembuskan napas terakhirnya.Tao Jin menggendong Balita laki-laki yang ada di dekat tubuh sang putra. Sama sekali tidak ada tanda-tanda membahayakan, dia justru tidak bisa merasakan adanya energi murni di dalam diri bocah kecil itu.Tidak ada yang aneh, Tao Jin hanya berpikir bahwa Bai Jia mungkin hanya anak biasa dari orang tua biasa. Atau, bisa dibilang Bai Jia mungkin lahir bukan
Begitu masuk ke dalam air, Wen Lai tidak melihat Li Jun bersamanya. Dia tidak menemukan Li Jun ikut masuk ke dalam air.Mengetahui hal itu, Wen Lai pun langsung naik ke permukaan untuk mencarinya. Namun, begitu sampai di permukaan, dia justru terkejut karena yang ada di sekelilingnya kini sudah bukan lagi taman atau bangunan-bangunan di Sungai Jingsan. Sisi kanan dan kiri sungai sekarang ialah hutan-hutan lebat. “Ini ... di mana?”—Wen Lai bingung.“Pangeran!” Panggilan itu mengejutkan Wen Lai hingga membuatnya seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata, orang-orang yang memanggilnya tadi adalah orang selatan yang merupakan pengikut keluarganya.“Pangeran! itu pangeran Wen Lai! cepat bantu pangeran naik!”“Aku tidak sedang bermimpi, aku sadar sepenuhnya, aku ... aku ada di Diyu?”Setelah kurang lebih dua minggu berada di dunia lain, pada akhirnya Wen Lai dapat kembali ke Diyu. Dia akhirnya dapat bernapas lega mengetahui ayah, anggota keluarganya, dan para pengikut setia mereka selama
Setelah kematian kakeknya, Li Jun beraktivitas sebagaimana biasanya. Pergi bekerja dan sekolah seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wen Lai. Dia kembali bekerja di kedai nenek An yang baru saja selesai direnovasi. Hanya saja, meskipun demikian Wen Lai tetap dapat melihat kesedihan yang begitu dalam di sorot mata Li Jun. Wen Lai tahu bahwa pemuda itu sebenarnya hanya sedang berusaha tegar di depannya. “Terima kasih untuk hari ini, Wen Lai!” ucap nenek An.“Aku juga berterima kasih, Nenek! ... kalau begitu, aku pulang dulu.”“Iya, hati-hati!”Hari pertama kedai mie nenek An buka, pelanggan sudah langsung banyak yang datang. Sehingga, sebelum matahari terbenam, mie mereka sudah habis dan Wen Lai bisa pulang lebih awal. Wen Lai senang melihat perubahan yang terjadi pada kedai nenek An. Kedai itu kini sudah jauh lebih bagus dan ramai dari pertama kali ia ke sana. Wen Lai bersyukur untuk itu.Karena pulang lebih awal, Wen Lai lantas memutuskan untuk pulang jalan
Setelah puas mencoba berbagai macam wahana permainan, akhirnya sebagai penutup liburan mereka, Li Jun membawa Wen Lai ke pantai. “Ini!”—Li Jun memberikan minuman kaleng kepada Wen Lai. Dia kemudian ikut duduk di atas pasir di samping Wen Lai. Mereka menikmati pemandangan matahari terbenam dalam diam.“Terima kasih, Li Jun!” ucap Wen Lai mengusir hening di antara keduanya. “Hem?”“Terima kasih sudah mengajakku berlibur! aku ... untuk sejenak merasa bebanku hilang,” jelas Wen Lai, “dunia tanpa perang dan perebutan tahta ternyata sangat menenangkan dan menyenangkan.”Li Jun tertawa kecil. “Sebenarnya, kesenangan yang baru kau rasakan hari ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan utuh di dunia. Tidak selamanya perang itu berwujud saling serang di medan perang dengan menggunakan pedang. Asal kau tahu, Wen Lai, sebenarnya peperangan di sini jauh lebih kejam dan kotor.”Wen Lai menatap Li Jun bingung. Dia mas
Di sore ketika Li Jun masih mengantar makanan ke tempat pelanggan. Wen Lai tidak sengaja menjatuhkan gelas minuman bekas pelanggan.Hal itu mengejutkan semua orang yang ada di dalam kedai, tidak terkecuali nenek An. Sang nenek yang awalnya sibuk di tempat memasak, karena panik akhirnya menghampiri Wen Lai. “Wen Lai, ada apa? kau baik-baik saja?” tanya nenek An.Wen Lai yang awalnya mematung menatap arah sungai akhirnya memutus pandangannya ketika mengetahui nenek An membantunya membersihkan pecahan kaca gelas. “Nenek, jangan! biar aku saja, jangan sampai tangan nenek terluka!”“Kau baik-baik saja, Wen Lai?” tanya nenek An lagi.“Iya, Nek, aku baik-baik saja, tadi tanganku sedikit licin.”Wen Lai membuat alasan sebisanya. Dia lantas memungut pecahan gelas sambil kembali melihat ke arah sungai.Cahaya itu masih keluar dari dalam sungai. Cahaya yang tadi membuatnya terkejut sampai tidak sengaja me
“Jadi, uang yang kau gunakan untuk potong rambut adalah hasil dari kau bekerja di kedai mie?” tanya Li Jun yang kemudian diangguki oleh Wen Lai.“Kenapa?”“Apa?”“Potong rambut. Kenapa?”Pangeran Diyu itu menaikkan kedua bahunya—“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukannya,” jelasnya, “ternyata, ucapanmu tentang trend rambut pendek lebih bagus dan disukai itu benar, kata bibi di tempat potong rambut, aku semakin tampan dengan rambut pendek,” lanjut Wen Lai dengan senyuman senang penuh percaya diri.“Cih!” cibir Li Jun.Li Jun masih tidak percaya, hari ini Wen Lai cukup mengejutkannya. Di satu sisi dia senang Wen Lai tidak kesulitan berada di dunianya. Namun, di sisi lain, entah kenapa dia justru merasa khawatir.“Hah! kenapa aku jadi merasa menyesal sudah mengajarinya?” ucap Li Jun dalam hati.Li Jun mencoba abai pada perasaannya. Dia memakan mie yang dibawa oleh Wen Lai dari kedai Nenek An.Mata Li Jun melotot saat bumbu mie itu pertama kali menyapa lidahnya. “Woah!” seruny
Melihat toko penyedia jasa potong rambut, Wen Lai jadi berpikir untuk memotong rambutnya. Namun, setelah mengingat ucapan Li Jun bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang dan saat ini dia tidak memilikinya, Wen Lai akhirnya tidak jadi masuk ke ‘barber shop’.Tidak apa jadi pusat perhatian banyak orang. Pikirnya, dia juga tidak akan selamanya berada di dunia ini. “Apa yang kalian lakukan? ... tolong!”Teriakan dari seorang perempuan tua menyapa pendengaran Wen Lai. Seorang nenek sedang dirampok di salah satu gang sepi.Wen Lai tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja di depan matanya. Merampok perempun tua adalah tindakan seorang pengecut. Jika ada orang yang hanya melihat dan membiarkan itu terjadi, maka dia lebih pengecut dari seorang pengecut. Wen Lai mengambil beberapa kerikil dari tepi jalan lalu melemparnya pada dua penjambret tersebut. Kerikil-kerikil itu mengenai kepala mereka dan membuat me
Setelah memastikan kakeknya sudah tidur, Li Jun naik ke lantai dua. Dia menghampiri Wen Lai yang saat ini duduk di depan kamar. “Kakek sudah tidur?” tanya Wen Lai saat pemuda itu mendudukkan diri di sampingnya.Li Jun menyahut, “Hem!” Dia kemudian memberi Wen Lai minuman kaleng yang dibelinya saat perjalanan pulang tadi. Mata Wen Lai menatap bingung kaleng tersebut. “Ini hanya sari buah, bukan alkohol.”Apapun itu, Wen Lai tidak paham. Dia hanya menerima dan mengikuti tindakan Li Jun, membuka dan minum sesuatu dari kaleng tersebut.Setelah sesaat merasa takjub dengan rasa minuman kaleng, Wen Lai pun kembali fokus pada Li Jun. Matanya bergerak gelisah—“Maaf!” ucap Wen Lai pada akhirnya.Satu sudut bibir Li Jun terangkat. “Sudahlah, lupakan saja! kau hanya tidak tahu.”“Apa kejadian seperti ini sebelumnya sering terjadi?” tanya Wen Lai setelahnya.“Iya, sangat sering, sebelum pikun ka
“Dasar anak-anak nakal! kalian tidak takut dapat tuah, ha? sana pergi!” usir penjaga museum istana.Cahaya yang menerangi wajah Li Jun dan Wen Lai beberapa waktu lalu ialah cahaya senter milik dua penjaga yang sedang berpatroli. Para penjaga memergoki mereka saat berada di depan pintu aula utama.“Terima kasih, Pak!” teriak Li Jun dengan tidak tahu diri. “Hah! beruntung kita ketahuan, jadi tidak perlu repot mengendap-endap dan melompat pagar,” terangnya, “sekarang ayo kita pulang, Wen Lai!” “Hem!” sahut Wen Lai seadanya. Dia masih penasaran dengan energi yang ia rasakan tadi. “Apa energi tadi yang disebut sebagai energi kutukan?” tebaknya dalam batin.KRUCUK~“Oho~ apa kau lapar, Pangeran?”—Li Jun merangkul Wen Lai—“tenang saja! setelah ini akan kumasakkan makan malam yang enak dan banyak untukmu, sebagai bentuk terima kasih karena tadi sudah membantuku.”Sejujurnya, Wen Lai malu mengakui dirinya kelaparan. Namun, perutnya sudah
“Wen Lai?” ucap Li Jun dalam hati. Dia terkejut melihat Wen Lai bisa ada di sana. Di saat Wen Lai akan maju menghadapi para berandal yang mengejarnya tadi, Li Jun segera menahan lengan sang pangeran Diyu. Pada awalnya dia ingin menahan Wen Lai agar tidak menghajar mereka. Namun, pada akhirnya .... “Santai saja! mereka hanya anak-anak biasa, jangan gunakan kekuatan iblismu!” Wen Lai memahaminya—“Baiklah!” “Kurang ajar! siapa, kau, brengsek?” “Minggirlah! jangan ikut campur!” “Aku?” sahut Wen Lai, “aku orang yang akan menghajar kalian.” Pernyataan Wen Lai itupun ditertawakan oleh anak-anak berandal. “Jangan bercanda, bocah aneh! yang ada, kau akan babak belur di tangan kami. Maju!” Tujuh orang maju menyerang Wen Lai. Dari posisi dan gerakan mereka, Wen Lai memprediksi siapa di antara mereka yang akan datang lebih cepat untuk mendekatinya.