Melihat toko penyedia jasa potong rambut, Wen Lai jadi berpikir untuk memotong rambutnya. Namun, setelah mengingat ucapan Li Jun bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang dan saat ini dia tidak memilikinya, Wen Lai akhirnya tidak jadi masuk ke ‘barber shop’.
Tidak apa jadi pusat perhatian banyak orang. Pikirnya, dia juga tidak akan selamanya berada di dunia ini.“Apa yang kalian lakukan? ... tolong!”Teriakan dari seorang perempuan tua menyapa pendengaran Wen Lai. Seorang nenek sedang dirampok di salah satu gang sepi.Wen Lai tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja di depan matanya. Merampok perempun tua adalah tindakan seorang pengecut. Jika ada orang yang hanya melihat dan membiarkan itu terjadi, maka dia lebih pengecut dari seorang pengecut.Wen Lai mengambil beberapa kerikil dari tepi jalan lalu melemparnya pada dua penjambret tersebut. Kerikil-kerikil itu mengenai kepala mereka dan membuat me“Jadi, uang yang kau gunakan untuk potong rambut adalah hasil dari kau bekerja di kedai mie?” tanya Li Jun yang kemudian diangguki oleh Wen Lai.“Kenapa?”“Apa?”“Potong rambut. Kenapa?”Pangeran Diyu itu menaikkan kedua bahunya—“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukannya,” jelasnya, “ternyata, ucapanmu tentang trend rambut pendek lebih bagus dan disukai itu benar, kata bibi di tempat potong rambut, aku semakin tampan dengan rambut pendek,” lanjut Wen Lai dengan senyuman senang penuh percaya diri.“Cih!” cibir Li Jun.Li Jun masih tidak percaya, hari ini Wen Lai cukup mengejutkannya. Di satu sisi dia senang Wen Lai tidak kesulitan berada di dunianya. Namun, di sisi lain, entah kenapa dia justru merasa khawatir.“Hah! kenapa aku jadi merasa menyesal sudah mengajarinya?” ucap Li Jun dalam hati.Li Jun mencoba abai pada perasaannya. Dia memakan mie yang dibawa oleh Wen Lai dari kedai Nenek An.Mata Li Jun melotot saat bumbu mie itu pertama kali menyapa lidahnya. “Woah!” seruny
Di sore ketika Li Jun masih mengantar makanan ke tempat pelanggan. Wen Lai tidak sengaja menjatuhkan gelas minuman bekas pelanggan.Hal itu mengejutkan semua orang yang ada di dalam kedai, tidak terkecuali nenek An. Sang nenek yang awalnya sibuk di tempat memasak, karena panik akhirnya menghampiri Wen Lai. “Wen Lai, ada apa? kau baik-baik saja?” tanya nenek An.Wen Lai yang awalnya mematung menatap arah sungai akhirnya memutus pandangannya ketika mengetahui nenek An membantunya membersihkan pecahan kaca gelas. “Nenek, jangan! biar aku saja, jangan sampai tangan nenek terluka!”“Kau baik-baik saja, Wen Lai?” tanya nenek An lagi.“Iya, Nek, aku baik-baik saja, tadi tanganku sedikit licin.”Wen Lai membuat alasan sebisanya. Dia lantas memungut pecahan gelas sambil kembali melihat ke arah sungai.Cahaya itu masih keluar dari dalam sungai. Cahaya yang tadi membuatnya terkejut sampai tidak sengaja me
Setelah puas mencoba berbagai macam wahana permainan, akhirnya sebagai penutup liburan mereka, Li Jun membawa Wen Lai ke pantai. “Ini!”—Li Jun memberikan minuman kaleng kepada Wen Lai. Dia kemudian ikut duduk di atas pasir di samping Wen Lai. Mereka menikmati pemandangan matahari terbenam dalam diam.“Terima kasih, Li Jun!” ucap Wen Lai mengusir hening di antara keduanya. “Hem?”“Terima kasih sudah mengajakku berlibur! aku ... untuk sejenak merasa bebanku hilang,” jelas Wen Lai, “dunia tanpa perang dan perebutan tahta ternyata sangat menenangkan dan menyenangkan.”Li Jun tertawa kecil. “Sebenarnya, kesenangan yang baru kau rasakan hari ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan utuh di dunia. Tidak selamanya perang itu berwujud saling serang di medan perang dengan menggunakan pedang. Asal kau tahu, Wen Lai, sebenarnya peperangan di sini jauh lebih kejam dan kotor.”Wen Lai menatap Li Jun bingung. Dia mas
Setelah kematian kakeknya, Li Jun beraktivitas sebagaimana biasanya. Pergi bekerja dan sekolah seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wen Lai. Dia kembali bekerja di kedai nenek An yang baru saja selesai direnovasi. Hanya saja, meskipun demikian Wen Lai tetap dapat melihat kesedihan yang begitu dalam di sorot mata Li Jun. Wen Lai tahu bahwa pemuda itu sebenarnya hanya sedang berusaha tegar di depannya. “Terima kasih untuk hari ini, Wen Lai!” ucap nenek An.“Aku juga berterima kasih, Nenek! ... kalau begitu, aku pulang dulu.”“Iya, hati-hati!”Hari pertama kedai mie nenek An buka, pelanggan sudah langsung banyak yang datang. Sehingga, sebelum matahari terbenam, mie mereka sudah habis dan Wen Lai bisa pulang lebih awal. Wen Lai senang melihat perubahan yang terjadi pada kedai nenek An. Kedai itu kini sudah jauh lebih bagus dan ramai dari pertama kali ia ke sana. Wen Lai bersyukur untuk itu.Karena pulang lebih awal, Wen Lai lantas memutuskan untuk pulang jalan
Begitu masuk ke dalam air, Wen Lai tidak melihat Li Jun bersamanya. Dia tidak menemukan Li Jun ikut masuk ke dalam air.Mengetahui hal itu, Wen Lai pun langsung naik ke permukaan untuk mencarinya. Namun, begitu sampai di permukaan, dia justru terkejut karena yang ada di sekelilingnya kini sudah bukan lagi taman atau bangunan-bangunan di Sungai Jingsan. Sisi kanan dan kiri sungai sekarang ialah hutan-hutan lebat. “Ini ... di mana?”—Wen Lai bingung.“Pangeran!” Panggilan itu mengejutkan Wen Lai hingga membuatnya seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata, orang-orang yang memanggilnya tadi adalah orang selatan yang merupakan pengikut keluarganya.“Pangeran! itu pangeran Wen Lai! cepat bantu pangeran naik!”“Aku tidak sedang bermimpi, aku sadar sepenuhnya, aku ... aku ada di Diyu?”Setelah kurang lebih dua minggu berada di dunia lain, pada akhirnya Wen Lai dapat kembali ke Diyu. Dia akhirnya dapat bernapas lega mengetahui ayah, anggota keluarganya, dan para pengikut setia mereka selama
“Hey, anak buangan!”BYUR!Seseorang menendang Bai Jia hingga membuatnya tercebur ke sungai. Keranjang yang Bai Jia bawa ikut jatuh masuk ke air dan semua pakaian di dalamnya pun hanyut.“Hahahaha ...!”“Lihatah, baju para kakak hanyut! ... dasar bodoh!”“Mampus dia setelah ini, pasti dia akan dihukum berat oleh Kak Rouku!”“Hahahaha ...!”Bai Jia, pemuda berusia 18 tahun itu muncul dari dalam air sambil mengibaskan rambut panjangnya yang basah. Setelah kembali menghirup udara, dia langsung mengejar pakaian-pakaiannya yang terbawa arus. Bisa mati dia jika sampai kehilangan baju-baju itu.“Sudah, ayo kita pergi, biarkan saja dia!” ucap pemuda yang tadi menendang Bai Jia.Bai Jia tidak bisa kembali ke asrama tanpa pakaian-pakaian tersebut. Dia harus mendapatkannya kembali.Bai Jia menyusuri sungai, mengambil satu demi satu pakaian yang berhasil tersangkut ranting dan bebatuan. Namun, sayangnya dia masih tidak bisa mendapatkan kembali semua baju milik kakak seperguruannya.BUG!“Bisa-bi
Bai Jia merasakan ada sesuatu yang menyentuh punggungnya. Dia reflek berbalik dan mendapati seseorang menyerangnya dengan pedang. Tidak, itu bukan orang. Itu … patung batu yang hidup. Belum sampai Bai Jia mencerna dan meyakini apa yang dia lihat, patung itu sudah lebih dulu menyerangnya. Bahkan, kini sudah tidak hanya satu, melainkan patung-patung lainnya yang ada di gua itu satu per satu mulai hidup dan ikut menyerangnya.“Apa-apaan ini?” batin Bai Jia.Mustahil patung bisa bergerak seperti layaknya manusia. Namun, kenyataan bahwa saat ini Bai Jia tengah berusaha menghindari serangan patung-patung tersebut tidak dapat ditepis.Bai Jia yang tidak memiliki tenaga dalam memang membuatnya tidak bisa belajar jurus seperti saudara-saudara seperguruannya. Namun, jika hanya teknik dasar mempertahankan diri, dia masih mampu melakukannya.TING! ... TING!Denting pedang yang bertemu dengan bebatuan gua terdengar nyaring dan menggema. Cukup lama Bai Jia hanya lari dan menghindar, kini tenagany
Semua guru dan murid Perguruan Lotus Putih berkumpul di aula teratai sesuai dengan perintah dari Tao Jin yang merupakan tetua perguruan. Semua orang hadir kecuali satu orang, Bai Jia. “Murid memberi hormat kepada para guru!”—semua murid mengepalkan tangan kanan dan menempelkannya ke telapak kiri di depan wajah mereka yang menunduk. Tao Jin tahu bahwa masih ada satu murid perguruannya yang belum datang. Dia lantas mencoba mencari tahu dari cucunya, Yue Er. “Yue Er, di mana Bai Jia?” Yue Er mengepalkan tangannya. Dia ingin sekali mengadu, tapi ia memilih menahan diri karena merasa momennya tidak tepat. “Maaf, Kek, Yue tidak tahu,” jawab Yue Er pada akhirnya, sambil menunjukkan gestru memberi hormat. “Hem ... begitu rupanya, baiklah.” Yue merasa berdosa telah berbohong kepada kakeknya. Dia berjanji akan meminta maaf dan jujur kepada sang kakek setelah pertemuan ini. “Semua murid perguruan Lotus Putih,”—Tao Jin mulai bicara dengan lantang dan keras—“kalian mungkin sudah mendengar