Setelah sebelumnya Bai Jia mendapat pertanda dari langit, kini dia akan menunjukkan sebuah rahasianya pada Fei Yi.
Bai Jia mengajak Fei Yi ke pemandian raja. “R-Raja, sepertinya ini sedikit buru—”GREK ...!Fei Yi seketika diam melihat ada pintu rahasia di bawah pemandian raja. “Ayo! akan kutunjukkan sesuatu padamu,” ajak Bai Jia yang sudah mulai menuruni tangga menuju terowongan rahasia.Fei Yi mengutuk dirinya sendiri karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Dia seharusnya tahu bahwa Bai Jia tidak mungkin akan menjadi orang seperti yang ada di dalam pikirannya.“Fei Yi bodoh, berhenti berpikir hal yang tidak mungkin! raja itu berbeda dari pria lainnya.”“Fei Yi!” panggil Bai Jia dari dalam lorong.“Iya, Raja, saya datang.”Fei Yi mulai memasuki lorong dan kemudian mngikuti langkah Bai Jia yang menyusuri lorong tersebut. Setelah beberapa saat, Fei Yi pun mulai merasakan hembusan angin.Setiap raja yang memiliki pengaruh besar dan direstui oleh dewa, mereka akan diikuti oleh satu makhluk immortal yang akan menjadi penjaga raja tersebut. Makhluk abadi itu ialah Qillin, makhluk berkepala naga tapi bermata singa, bertanduk, memiliki pinggang beruang dan punggung harimau, bersepatu kuda, serta memiliki sisik ular dan memiliki ekor.Qillin, merupakan makhluk yang menyertai Mo Cheng. Dia akan menampakkan diri pada Mo Cheng setiap kali ada bahaya yang mengancam kerajannya. NGIAK ...!Suara kesakitan Qillin akibat hujaman tombak membangunkan Mo Cheng dari mimpinya. Dia rasakan sakit pada sisi kanan perutnya, di mana pada bagian itulah tombak tadi melukai Qillin. Kali ini firasat buruk Mo Cheng tidak main-main. Setelah ini, entah dia atau kerajaannya, pasti akan mendapat cobaan berat.---Tangan Mo Cheng gemetar setelah membaca surat dari Rouku yang dibawakan oleh Yang Xi. Di dalam surat itu Rouku mengatakan bahwa ia akan menyerahkan mata-mata Wuxia di medan pertemp
“Putra Mahkota?”Setelah Yang Xi dan Wu Xi saling berhadapan, barulah Yang Xi yakin bahwa yang dilihatnya bukan mimpi apalagi tipuan sihir. Belum sampai kedua pangeran Wuxia membuka mulut mereka masing-masing, tiga mata-mata yang sebelumnya menjadi tawanan Rouku lantas turun dari kuda. Ketiganya berlutut di hadapan Yang Xi untuk memberi hormat.“Apa yang terjadi?” tanya Yang Xi.“Pangeran, kami dijebak,” jawab salah satu mata-mata, “bukan kami pembunuh pejabat Hua Sheng.”“Kalian tahu siapa yang berusaha menjebak kalian?” tanya Yang Xi lagi.“Tidak, Pangeran.”Sebenarnya, tidak perlu bertanya Yang Xi sudah tahu siapa pelakunya. Namun, dia tidak bisa mengungkapkannya karena ia tidak memiliki bukti.“Lalu, bagaimana kalian bisa keluar dari penahanan Hua Sheng?”“Mengenai ini ... kami tidak tahu, Pangeran, putra mahkota yang sudah membebaskan kami.”Yang Xi beralih menatap Wu
~Satu hari setelah keributan di ruangan Mo Cheng~ Pagi ini Wu Xi mendengar bahwa ayahnya sedang sakit. Jadi, dia sengaja pergi ke kamar sang ayah untuk menjenguknya. “Ayah baik-baik saja?” “Oh, Yang Xi, kenapa kau masih di sini? bukankah seharusnya kau sudah kembali ke markasmu?” “Aku dengar Ayah sakit, jadi aku ke sini lebih dulu untuk menjenguk Ayah sebelum aku meninggalkan istana.” “Apa yang terjadi, Ayah? kenapa tiba-tiba sakit?” tanya Yang Xi. “Entahlah, sejak pagi perutku terasa tidak enak, tapi aku yakin ini hanya sakit perut biasa dan akan segera sembuh, jadi kau tidak perlu cemas karena tabib juga sudah memberi obat,” jawab Mo Cheng. “Ayah harus jaga kondisi tubuh Ayah! aku akan memperketat penjagaan dan pelayanan di sekitar Ayah.” “Hem,” sahut Mo Cheng seadanya. Entah mengapa tapi perasaan Yang X
TENG! ... TENG! ... TENG!Lonceng kematian berbunyi di Istana Wuxia. Hal itu membuat semua penduduk Wuxia berbondong-bondong mengikuti upacara penghormatan terakhir. “Paman, kenapa para pendekar dari Pagoda Sembilan Naga tidak ada yang datang ke istana?” tanya seorang pendekar muda.Sang Paman yang juga tidak mengerti lantas menjawab, “Paman juga tidak tahu, sepertinya ada yang tidak beres.”Tidak lama kemudian, upacara penghormatan terakhir untuk mendiang kaisar Mo Cheng dimulai. Suasana haru mengiringi prosesi persemayaman Mo Cheng. Rakyat Wuxia merasakan rasa kehilangan yang mendalam. Selang beberapa waktu, tibalah saat di mana Wu Xi yang merupakan putra mahkota akan diangkat menjadi kaisar. Tidak ada satu pun yang keberatan mengenai pengangkatan itu, terlebih setelah berita kematian Mo Cheng yang dilenyapkan oleh Yang Xi menyebar. Masyarakat yang sebelumnya berpihak pada Yang Xi perlahan mulai pindah haluan dan balik membencinya. Di hari penobatan Wu Xi sebagai kaisar baru, a
GER!WUSH!Tiupan angin beku keluar dari mulut naga kaki sembilan. Sang naga memburu Rouku dengan sangat agresif.Sementara yang diburu, dia dengan sangat lihai menghindari setiap serangan yang mengarah padanya. Dia bahkan membuat bekuan-bekuan es dari sang naga sebagai media untuk ia bisa naik ke atas kepala naga.NGUAK!Naga kaki sembilan itu mengibaskan kepalanya agar Rouku jatuh dan menjauh dari kepalanya. Namun, Rouku yang berpegangan sangat erat pada helai rambut sang naga pada akhirnya mampu bertahan.Dia lantas memunculkan sebuah belati yang langsung ia tancapkan ke kepala naga kaki sembilan. Begitu belati tertancap, secara ajaib belati tadi memanjang dan berubah menjadi sebuah pedang, yang mana semakin panjang ujungnya maka semakin dalam senjata itu melukai sang naga.Rouku memenangkan pertarungan. Naga kaki sembilan kalah dan perlahan menghilang.Rouku mengusap pedang tadi, memindahkan darah naga kaki sembilan ke alam manusia dan menyimpannya di sebuah wadah. Bersamaan deng
Setelah memenangkan pertarungan dengan Pagoda Sembilan Naga, Rouku bertolak ke Wuxia tanpa ada satu pun yang mengawal atau mengikuti. Dia ke Istana Wuxia, ke tempat di mana kedua pangeran sedang bertarung dengan tanpa membawa pasukan.Dia hanya perlu menyingkirkan para pangeran. Setelah itu, semua orang akan berada dalam kuasanya dan menjadi pengikutnya.Usai menghabisi Wu Xi, Rouku segera menaiki singgasana tertinggi di kekaisaran Wuxia. Dia tumpahkan ke singgasana itu darah para raja yang sebelum-sebelumnya telah ia kalahkan, termasuk dalam hal ini darah Wu Xi dan Yang Xi sebagai penerus Mo Cheng.Kemudian, Rouku tumpahkan saripati naga ekor sembilan yang baru saja ia dapatkan, dan terakhir, dia sayat jarinya untuk meneteskan darahnya sendiri. Setelah semua darah itu bercampur menjadi satu, barulah Rouku memulai pemujaannya. Dia bacakan mantra penyatuan darah yang sudah ia pelajari dari Houcun.Mantra itulah yang kemudian menjadikan darah-darah tadi sebagai bahan bakar untuk membak
Xiu Min terbangun dari meditasinya ketika merasakan pergerakan muridnya yang tersedak karena air mulai masuk ke dalam tenggorokannya. Setelah ia melihat ke yang lainnya, rupanya hal yang sama juga terjadi pada mereka. Xiu Min merasa murid-muridnya sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Dia sedikit naik ke permukaan untuk melihat keadaan di atas air. Untunglah saat ini di atas sana langit sudah cerah tidak tertutup asap seperti sebelumnya. “Sepertinya asap penyatuan sudah menghilang,” batin Xiu Min. Lalu, dia pun menarik satu muridnya tadi untuk ikut naik bersamanya ke permukaan. “Huah!”—Xiu Min dan seorang muridnya itu meraup oksigen sebanyak-banyaknya. UHUK! UHUK! UHUK!“Tarik naik yang lainnya!” perintah Xiu Min setelahnya.“Baik, Ketua!”Hal yang sama saat ini juga tengah dilakukan oleh orang-orang di Perguruan Krisan Api, Perguruan Bunga Persik, dan juga perguruan lainnya.
~Beberapa hari sebelum jatuhnya Wuxia~Sejak Bai Jia melihat sering ada kilatan aneh di langit Diyu, yang mana hanya dia yang bisa melihatnya, Bai Jia memiliki firasat bahwa tabir penutup itu mungkin akan hilang dalam waktu dekat. Benar saja, beberapa hari kemudian ketika Bai Jia tengah menunggu surat dari Wei Qi di sungai, dia sungguh menyaksikan tabir itu menghilang di beberapa sisi.Kejadian tersebut persis seperti apa yang pernah terjadi dulu di zaman ayahnya. Dia masih ingat perkataan Min Cun yang menyebut bahwa dulu Lei Cun saat akan menyelinap keluar-masuk Diyu, dia akan menunggu di tempat yang sama sampai pintu tabir terbuka. Hal itu menunjukkan bahwa tabir penutup Diyu mungkin hanya akan terbuka di waktu tertentu dan di tempat tertentu juga.Bai Jia melompat dari bebatuan ke seberang sungai, ke wilayah tanpa tuan. Kemudian, dia melanjutkan langkahnya semakin menjauh dari Diyu, hingga akhirnya Bai Jia keluar dari hutan dan melihat perkampungan.“Ah, jadi seperti ini ayahku d
Begitu masuk ke dalam air, Wen Lai tidak melihat Li Jun bersamanya. Dia tidak menemukan Li Jun ikut masuk ke dalam air.Mengetahui hal itu, Wen Lai pun langsung naik ke permukaan untuk mencarinya. Namun, begitu sampai di permukaan, dia justru terkejut karena yang ada di sekelilingnya kini sudah bukan lagi taman atau bangunan-bangunan di Sungai Jingsan. Sisi kanan dan kiri sungai sekarang ialah hutan-hutan lebat. “Ini ... di mana?”—Wen Lai bingung.“Pangeran!” Panggilan itu mengejutkan Wen Lai hingga membuatnya seketika menoleh ke sumber suara. Ternyata, orang-orang yang memanggilnya tadi adalah orang selatan yang merupakan pengikut keluarganya.“Pangeran! itu pangeran Wen Lai! cepat bantu pangeran naik!”“Aku tidak sedang bermimpi, aku sadar sepenuhnya, aku ... aku ada di Diyu?”Setelah kurang lebih dua minggu berada di dunia lain, pada akhirnya Wen Lai dapat kembali ke Diyu. Dia akhirnya dapat bernapas lega mengetahui ayah, anggota keluarganya, dan para pengikut setia mereka selama
Setelah kematian kakeknya, Li Jun beraktivitas sebagaimana biasanya. Pergi bekerja dan sekolah seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Wen Lai. Dia kembali bekerja di kedai nenek An yang baru saja selesai direnovasi. Hanya saja, meskipun demikian Wen Lai tetap dapat melihat kesedihan yang begitu dalam di sorot mata Li Jun. Wen Lai tahu bahwa pemuda itu sebenarnya hanya sedang berusaha tegar di depannya. “Terima kasih untuk hari ini, Wen Lai!” ucap nenek An.“Aku juga berterima kasih, Nenek! ... kalau begitu, aku pulang dulu.”“Iya, hati-hati!”Hari pertama kedai mie nenek An buka, pelanggan sudah langsung banyak yang datang. Sehingga, sebelum matahari terbenam, mie mereka sudah habis dan Wen Lai bisa pulang lebih awal. Wen Lai senang melihat perubahan yang terjadi pada kedai nenek An. Kedai itu kini sudah jauh lebih bagus dan ramai dari pertama kali ia ke sana. Wen Lai bersyukur untuk itu.Karena pulang lebih awal, Wen Lai lantas memutuskan untuk pulang jalan
Setelah puas mencoba berbagai macam wahana permainan, akhirnya sebagai penutup liburan mereka, Li Jun membawa Wen Lai ke pantai. “Ini!”—Li Jun memberikan minuman kaleng kepada Wen Lai. Dia kemudian ikut duduk di atas pasir di samping Wen Lai. Mereka menikmati pemandangan matahari terbenam dalam diam.“Terima kasih, Li Jun!” ucap Wen Lai mengusir hening di antara keduanya. “Hem?”“Terima kasih sudah mengajakku berlibur! aku ... untuk sejenak merasa bebanku hilang,” jelas Wen Lai, “dunia tanpa perang dan perebutan tahta ternyata sangat menenangkan dan menyenangkan.”Li Jun tertawa kecil. “Sebenarnya, kesenangan yang baru kau rasakan hari ini hanyalah sebagian kecil dari kehidupan utuh di dunia. Tidak selamanya perang itu berwujud saling serang di medan perang dengan menggunakan pedang. Asal kau tahu, Wen Lai, sebenarnya peperangan di sini jauh lebih kejam dan kotor.”Wen Lai menatap Li Jun bingung. Dia mas
Di sore ketika Li Jun masih mengantar makanan ke tempat pelanggan. Wen Lai tidak sengaja menjatuhkan gelas minuman bekas pelanggan.Hal itu mengejutkan semua orang yang ada di dalam kedai, tidak terkecuali nenek An. Sang nenek yang awalnya sibuk di tempat memasak, karena panik akhirnya menghampiri Wen Lai. “Wen Lai, ada apa? kau baik-baik saja?” tanya nenek An.Wen Lai yang awalnya mematung menatap arah sungai akhirnya memutus pandangannya ketika mengetahui nenek An membantunya membersihkan pecahan kaca gelas. “Nenek, jangan! biar aku saja, jangan sampai tangan nenek terluka!”“Kau baik-baik saja, Wen Lai?” tanya nenek An lagi.“Iya, Nek, aku baik-baik saja, tadi tanganku sedikit licin.”Wen Lai membuat alasan sebisanya. Dia lantas memungut pecahan gelas sambil kembali melihat ke arah sungai.Cahaya itu masih keluar dari dalam sungai. Cahaya yang tadi membuatnya terkejut sampai tidak sengaja me
“Jadi, uang yang kau gunakan untuk potong rambut adalah hasil dari kau bekerja di kedai mie?” tanya Li Jun yang kemudian diangguki oleh Wen Lai.“Kenapa?”“Apa?”“Potong rambut. Kenapa?”Pangeran Diyu itu menaikkan kedua bahunya—“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin melakukannya,” jelasnya, “ternyata, ucapanmu tentang trend rambut pendek lebih bagus dan disukai itu benar, kata bibi di tempat potong rambut, aku semakin tampan dengan rambut pendek,” lanjut Wen Lai dengan senyuman senang penuh percaya diri.“Cih!” cibir Li Jun.Li Jun masih tidak percaya, hari ini Wen Lai cukup mengejutkannya. Di satu sisi dia senang Wen Lai tidak kesulitan berada di dunianya. Namun, di sisi lain, entah kenapa dia justru merasa khawatir.“Hah! kenapa aku jadi merasa menyesal sudah mengajarinya?” ucap Li Jun dalam hati.Li Jun mencoba abai pada perasaannya. Dia memakan mie yang dibawa oleh Wen Lai dari kedai Nenek An.Mata Li Jun melotot saat bumbu mie itu pertama kali menyapa lidahnya. “Woah!” seruny
Melihat toko penyedia jasa potong rambut, Wen Lai jadi berpikir untuk memotong rambutnya. Namun, setelah mengingat ucapan Li Jun bahwa segala sesuatu di dunia ini membutuhkan uang dan saat ini dia tidak memilikinya, Wen Lai akhirnya tidak jadi masuk ke ‘barber shop’.Tidak apa jadi pusat perhatian banyak orang. Pikirnya, dia juga tidak akan selamanya berada di dunia ini. “Apa yang kalian lakukan? ... tolong!”Teriakan dari seorang perempuan tua menyapa pendengaran Wen Lai. Seorang nenek sedang dirampok di salah satu gang sepi.Wen Lai tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja di depan matanya. Merampok perempun tua adalah tindakan seorang pengecut. Jika ada orang yang hanya melihat dan membiarkan itu terjadi, maka dia lebih pengecut dari seorang pengecut. Wen Lai mengambil beberapa kerikil dari tepi jalan lalu melemparnya pada dua penjambret tersebut. Kerikil-kerikil itu mengenai kepala mereka dan membuat me
Setelah memastikan kakeknya sudah tidur, Li Jun naik ke lantai dua. Dia menghampiri Wen Lai yang saat ini duduk di depan kamar. “Kakek sudah tidur?” tanya Wen Lai saat pemuda itu mendudukkan diri di sampingnya.Li Jun menyahut, “Hem!” Dia kemudian memberi Wen Lai minuman kaleng yang dibelinya saat perjalanan pulang tadi. Mata Wen Lai menatap bingung kaleng tersebut. “Ini hanya sari buah, bukan alkohol.”Apapun itu, Wen Lai tidak paham. Dia hanya menerima dan mengikuti tindakan Li Jun, membuka dan minum sesuatu dari kaleng tersebut.Setelah sesaat merasa takjub dengan rasa minuman kaleng, Wen Lai pun kembali fokus pada Li Jun. Matanya bergerak gelisah—“Maaf!” ucap Wen Lai pada akhirnya.Satu sudut bibir Li Jun terangkat. “Sudahlah, lupakan saja! kau hanya tidak tahu.”“Apa kejadian seperti ini sebelumnya sering terjadi?” tanya Wen Lai setelahnya.“Iya, sangat sering, sebelum pikun ka
“Dasar anak-anak nakal! kalian tidak takut dapat tuah, ha? sana pergi!” usir penjaga museum istana.Cahaya yang menerangi wajah Li Jun dan Wen Lai beberapa waktu lalu ialah cahaya senter milik dua penjaga yang sedang berpatroli. Para penjaga memergoki mereka saat berada di depan pintu aula utama.“Terima kasih, Pak!” teriak Li Jun dengan tidak tahu diri. “Hah! beruntung kita ketahuan, jadi tidak perlu repot mengendap-endap dan melompat pagar,” terangnya, “sekarang ayo kita pulang, Wen Lai!” “Hem!” sahut Wen Lai seadanya. Dia masih penasaran dengan energi yang ia rasakan tadi. “Apa energi tadi yang disebut sebagai energi kutukan?” tebaknya dalam batin.KRUCUK~“Oho~ apa kau lapar, Pangeran?”—Li Jun merangkul Wen Lai—“tenang saja! setelah ini akan kumasakkan makan malam yang enak dan banyak untukmu, sebagai bentuk terima kasih karena tadi sudah membantuku.”Sejujurnya, Wen Lai malu mengakui dirinya kelaparan. Namun, perutnya sudah
“Wen Lai?” ucap Li Jun dalam hati. Dia terkejut melihat Wen Lai bisa ada di sana. Di saat Wen Lai akan maju menghadapi para berandal yang mengejarnya tadi, Li Jun segera menahan lengan sang pangeran Diyu. Pada awalnya dia ingin menahan Wen Lai agar tidak menghajar mereka. Namun, pada akhirnya .... “Santai saja! mereka hanya anak-anak biasa, jangan gunakan kekuatan iblismu!” Wen Lai memahaminya—“Baiklah!” “Kurang ajar! siapa, kau, brengsek?” “Minggirlah! jangan ikut campur!” “Aku?” sahut Wen Lai, “aku orang yang akan menghajar kalian.” Pernyataan Wen Lai itupun ditertawakan oleh anak-anak berandal. “Jangan bercanda, bocah aneh! yang ada, kau akan babak belur di tangan kami. Maju!” Tujuh orang maju menyerang Wen Lai. Dari posisi dan gerakan mereka, Wen Lai memprediksi siapa di antara mereka yang akan datang lebih cepat untuk mendekatinya.