Bismillah ...
Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga.
Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu.
Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga.
"Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu.
Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik.
"Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga."
Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil.
"Jadi kepengen juga dikasih bunga," kataku seraya tersenyum.
"Sekolah yang pinter, jangan pacaran mulu!"
Aku memutar bola mata. "Iya-iya."
"Awas aja kalau Mas tau kamu pecicilan!" Begitu ancamnya disertai dengan mata yang mendelik.
"Is, bawel banget, sih!" gumamku pelan.
"Apaan?"
"Bunganya cantik, Mas. Buat siapa emang?"
"Ini bocah mau tahu ... aja urusan orang."
Aku cuma cengengesan melihatnya.
**
Pernah juga saat malam minggu, aku punya janji dengan kekasihku nonton di bioskop.
Aku yang saat itu masih remaja, tersenyum riang di depan cermin. Kukenakan lotion di tangan dan kaki, lalu memoles wajah dengan bedak tipis-tipis. Aku mengenakan dress longgar selutut berwarna biru, serta rambut sebahu yang digerai. Tak lupa parfum kusemprot ke baju dan tangan, hingga wangi parfum menguar segar.
Cantik. Wangi lagi.
Aku tersenyum geli sendiri, sambil mengamati bayangan diri yang terpampang di cermin.
Lantas setelah meminta izin pergi pada Oma, aku pun duduk di sofa teras rumah, menunggu Dion menjemputku. Tak sulit mendapat izin wanitaku itu. Sebab selama ini aku selalu berusaha menjaga kepercayaan Oma. Tidak pulang terlambat dan juga tak pernah macam-macam.
Tampak vixion merah berhenti di luar pagar rumah. Dengan semringah aku beranjak membuka pagar, keluar menemui lelaki kesayangan. Tak lupa sebelumnya menutup pintu besi itu kembali.
"Kamu cantik," puji Dion yang sontak membuatku tersenyum. Terasa ada bunga-bunga yang bermekaran di dalam dada ini.
"Berangkat sekarang?" Aku mengulum senyum.
"Ayo."
Dengan senang hati aku pun duduk menaiki motor. Lalu kuda besi pun melaju dengan kecepatan sedang. Terlihat banyak lampu yang menerangi kegelapan malam hari. Bintang pun bertaburan berkelap-kelip, seakan mendukung keindahan malam minggu ini.
"Kamu nggak bawain aku helm?" tanyaku sambil merapikan rambut yang melambai tertiup angin.
"Maaf. Aku lupa, Sayang."
Lalu motor pun berhenti, karena lampu merah. Saat menoleh ke samping kanan, aku terperanjat saat melihat mobil Mas Ivan yang sekarang sama-sama berhenti di sini.
Lebih ambyarnya lagi saat aku menoleh bertepatan dengan kaca mobil yang diturunkan. Sepertinya aku memang sudah diperhatikan sepupuku itu sejak tadi.
"Ke mana?" tanya Mas Ivan dengan tampang galaknya.
Aku menggigit bibir sebelum menjawab, "Mau nonton, Mas."
"Turun!"
Oh astaga!
Apaan lagi ini?Kan, jadi nggak enak sama Dion."Gimana nih, Yang. Masku kayaknya nggak bolehin."
Dion mendesah kesal. "Yaudah ketemuannya besok aja, deh. Nurut sama masmu aja."
"Maaf, ya," kataku tulus karena merasa bersalah.
"Yaudah, nggak papa. Sana gih, ntar masnya tambah marah lagi."
Aku menghela napas, disertai turun dari motor Dion. Dilanjutkan dengan naik ke mobil Mas Ivan. Aku duduk di depan, di samping ia yang mengemudi.
"Is, kecentilan!" katanya yang membuat aku makin memberengut kesal.
"Jadi kita ke mana, Mas?" tanyaku lirih. Takut sebenarnya.
"Ya, pulanglah. Kamu pikir kita mau ke mana?"
**
Kan ngenes banget akhirnya!
Bukan hanya aku, bahkan Alisa pun pernah diperingatkan dengan tegas oleh Mas Ivan. Karena sudah larut malam sepupu perempuanku itu baru diantar pulang kekasihnya. Apesnya lagi, saat itu Mas Ivan sedang berada di rumah Oma.
Yah, begitulah saudara kami yang satu itu. Dia memang protektif dalam menjaga kami --saudara perempuannya. Sudah sejak dulu. Mungkin karena dia saudara laki-laki yang paling tua kalau dari jalur Oma. Hingga dia merasa bertanggung jawab menjaga kami, mungkin.
Siapa yang menyangka kalau protektifnya Mas Ivan itu malah seakan menjaga jodoh sendiri? Haha. Nyatanya jodoh memang sedekat itu!
**
"Kok, tumben ikannya nggak segar? Biasanya Mama cerewet banget milih ikan." Telunjukku menekan badan ikan tongkol yang terletak di meja. Kulit perutnya terasa lembek, ciri ikan yang sudah berkurang kesegarannya. Saat ini aku sedang membantu Mama menyiapkan sarapan di dapur.
"Huum. Bukan Mama yang belanja tapi Mbak Jum. Nggak kuat keluar, Nda. Asam lambung Mama langsung naik," jawab Mama yang sedang mengaduk teh panas. "Ikannya bersihin aja, terus langsung dimasak semuanya."
"Oh, iya, Ma." Aku pun membawa pelastik yang berisi ikan ke wastafel untuk dibersihkan.
"Tapi apa hubungannya belanja ke luar sama asam lambung naik?" Aku mengerutkan kening, heran.
"Nggak tahan dengarin apa kata orang di luar."
Aku terhenyak sesaat. "Memangnya seviral itu, ya? Terus gimana Mas Ivan yang mulai masuk kerja hari ini?"
Seketika aku khawatir, tentu saja aku menyayangi saudaraku itu.
"Kenapa sama Mas Ivan?" celetuk Mas Alfin yang baru saja masuk ke dapur. Adik bungsu suamiku itu langsung menyambar teh di meja yang sudah di aduk Mama.
"Mas Ivan mah santai. Nggak ambil pusing sama apa kata orang di luar sana. Nggak usah terlalu dipikirin, Ma," kata Mas Alfin yang kini sudah rapi dengan seragam kerjanya itu. Kini dia duduk sambil menyesap teh yang asapnya masih mengepul.
Mama menghela nafas panjang.
"Masa bodo apa kata mereka. Ntar juga berenti sendiri. Kita juga nggak minta beras sama mereka, jadi ya bodo amat," ungkap Mas Alfin lagi.
"Bener juga sih," jawab Mama.
"Nggak usah buka sosmed dulu, Nda. Biar nggak stress," sambung Mas Alfin lagi.
"Iya, Mas."
Sepertinya topik tentang keluarga kami, masih panas diperbincangkan. Sudah jadi hukum alam, akan ada manusia yang sampai hati menggunjing penderitaan makhluk lainnya. Di mana pun kita tinggal, netizen yang maha benar ini pasti selalu ada mewarnai kehidupan.
Walaupun begitu hidup akan terus berjalan. Seprti roda yang terus berotasi. Kadang akan berada di atas, bahkan seperti kami saat ini, sedang berada di titik terdasar.
Akan ada masa di mana gosip pun akan berganti dengan topik panas lainnya. Jadi harus sabar dalam menanti pergantian itu.
Sampai kapan?
Entahlah!
**
Saat aku masuk kamar, terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Sepupu sekaligus suamiku itu masih mandi rupanya.
Aku pun bergegas menyiapkan pakaian kerja Mas Ivan. Dari kemeja, dasi, hingga kaus kaki yang kemarin aku cuci dan lipat rapi ke lemari. Kalau saat seperti ini berasa jadi istri sungguhan. Oho.
Ketika aku merapikan seprai dan selimut, terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Tampak Mas Ivan keluar hanya dengan berbalut handuk di pinggangnya.
Sontak aku terperanjat melihat Mas Ivan yang bertelanjang dada dengan santai berjalan kemari. Tak ayal membuatku refleks menelan ludah. Perutnya memang tidak sebagus artis yang di TV, tapi lumayan berkotak-kotak.
Astaga!
Mataku ternoda!"Ngiler?" tanyanya seolah tanpa dosa.
"Ya ampun, Mas Ivaaan!" pekikku diikuti dengan memejamkan mata seketika.
"Halah ... tadi juga nelan ludah!"
Duh!
Apa-apaan ini?
Cepat aku membalikkan badan, saking malunya. Degup jantungku terasa sangat cepat menggedor-gedor dada. Disertai rasa panas yang mengaliri pipi.
Sementara Mas Ivan tertawa geli, hingga memecah keheningan kamar ini.
"Pergi, nggak?"
"Kamu nggak mau liat lagi? Mumpung Mas lagi baik." Shit! Dia masih menggodaku.
"Roti sobek bantet biar gratisan aku nggak suka."
Mas Ivan semakin terbahak. "Kamu suka model yang kek Papa? Ngembang kayak balon?"
"Mas Ivaan!" teriakku histeris.
Aku nyaris saja limbung saat bantal menimpuk kepalaku.
"Jangan teriak, Dol! Lebai banget."
"Nggak lucu, Mas! Rese' banget, sih!"
"Baru aja liat perut, udah nelen ludah." Mas Ivan masih mengekeh.
Astaga ... Mas Ivan.
Aku menggeleng kuat-kuat, menepis bayangan yang hadir. Tidak ingin munafik, aku memang terpesona tapi setelah itu ada rasa yang paling mendominasi.
Geli!
Bab 5 post!
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ... "Undangannya elegan. Pestanya mewah. Pernikahan impian banget, ini, mah!" Salah satu sepupu perempuanku yang duduk di hadapan bergumam, antusias. "Ciye, Alisa, pengeen!" Mbak Vita yang duduk di sebelah Alisa menggoda. "Pengen banget, sebenarnya. Tapi Mbak Vit dulu aja, deh. Kan, nggak sopan, kalau adek ngelangkahin mbaknya." "Ya, nggak papa juga, kalo emang udah ngebet banget." Mbak Vita menimpali lagi. Kala itu, aku dan tiga sepupuku berkumpul di ruang tamu rumah saudara kami yang akan menikah minggu depan. Kami duduk di atas karpet tebal, mengitari meja kaca persegi panjang. Aku bertugas menulis nama tamu di label stiker yang sudah di tempel oleh Mbak Vita. Pernikahan impian. Ah, ucapan Alisa tadi, membuatku menatap undangan pernikahan berwarna biru muda yang kini ada di tangan. Ivan Pratama, S.Mn & Amira
Bismillah ... Aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, sama sepertiku. Mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya terlihat tegang dan khawatir. Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung sacral dan khusyuk, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal. Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat. Aku masih mengamati kacaunya keadaan di sekitar. Hingga jawilan di tangan ini, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di samping. Oma. Beliau berbisik, "Kamu mau jadi pengantin
Bismillah .... Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri. Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ... Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi. Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar. Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda. Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali! Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Ak
Bismillah ... Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas. Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah. Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya. "Ke mana?" Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini. "Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut. "Apa, Mas?"
Bismillah .... Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri. Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara