Bismillah ...
Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas.
Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah.
Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya.
"Ke mana?"
Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini.
"Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut.
"Apa, Mas?"
"Bukain sesuatu."
"Bu-kain a-apa?"
Mas Ivan menyeringai. Lalu ia menutup pintu kamar, dilanjutkan berjalan ke arah kasur.
"Sini," panggilnya saat menoleh padaku.
Haruskah sekarang?
Apa ini saatnya?
Oh, astaga! Sumpah, aku benar-benar belum siap.
"Mau apa, Mas?"
Mas Ivan tersenyum geli, hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Kamu nggak dengar tadi Mama bilang apa?"
"Cucu?" Aku membulatkan mata padanya.
"Apa lagi?" katanya masih dengan tersenyum lebar.
Ragu dan dengan badan gemetaran, aku melangkah mendekat. Kuremas tangan yang saat ini terasa dingin.
Bukankah ini memang kewajiban seorang istri?
Oke, Amanda. Lihat dia sebagai laki-laki, bukan Mas yang selama ini selalu nyebelin. Tepis semua rasa aneh, aku dan Mas Ivan sudah halal melakukannya. Bahkan ini ibadah dan berpahala malah.
Perlahan melangkah, akhirnya aku sampai di hadapan sepupuku ini. Mas Ivan malah tertawa. Membuatku makin salah tingkah. Ah, rasanya aku ingin mengurung diri di kamar mandi saja, agar terbebas dari kondisi menyebalkan ini.
Kukerutkan kening sambil memperhatikan lelaki yang kemarin menikahiku. Dia tengah merunduk, menarik keranjang yang terletak di lantai samping kasur. Keranjang itu berisi banyak kado.
"Jadi mau buka ini?" kataku disertai helaan nafas lega. Ternyata aku sedang dipermainkan, Bambang!
"Kamu pikir apaan?" Mas Ivan mengekeh, dari gelagatnya seperti memang sengaja menggoda.
"Nggak lucu tau!" Tidak lucu, karena tadi sempat berpikir yang bukan-bukan. Dasar dia ini!
Konyol memang, dan lama-lama aku ikut tertawa juga.
"Ya salam, Amanda!" Mas Ivan menggeleng.
"Rese' ah! Tapi ... ketawanya mas, aku suka."
Ia juga ikut tersenyum. "Kamu baru sadar kalau Mas cakep?" Mas Ivan menaik-turunkan dua alisnya.
Aku mengangguk. "Bodoh nggak sih, ada perempuan yang kabur dari pernikahannya sama Mas? Padahal sekarang susah dapat suami yang udah ganteng, baik pula."
Ironisnya, ada yang merasa beruntung saat mendapat lelaki yang sudah ditinggalkan wanita lain. Aku orangnya.
Raut wajah Mas Ivan kembali menegang. Aku penasaran dengan sikapnya yang seolah tanpa beban. Ia sangat pandai berpura-pura.
"Udah ah ... ayo buka!" katanya yang lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.
Ia duduk di atas karpet. Mulai mengosongkan keranjang, menumpahkan kotak yang berbalut kertas berwarna-warni.
Aku juga ikut duduk, lalu mengambil satu kado yang terlihat sangat elegan. Berbungkus kertas berwarna gold, lalu melihat kartu nama yang menempel di luar.
"Linda Febriani." Begitu nama yang tertera di postcard. "Boleh aku buka, Mas?"
"Linda ... dia sekretarisku. Buka aja."
Aku membukanya dengan hati-hati, takut kalau di dalamnya ada sesuatu yang berharga. Karena dilihat dari luar, kutebak isinya barang branded, pasti mahal.
Benar saja dugaanku. Kotak ini berisikan sebuah sepatu tinggi berwarna hitam nomor tiga puluh enam. Dengan merek brand ternama. Tampak sangat cantik dan elegan. Aku hampir lupa kalau semua hadiah ini di tujukan bukan untukku.
"Modelnya cakep ini. Selera dia emang bagus."
"Hmm ... bagus banget. Sayangnya nggak muat." Aku menatap lekat manik coklat Mas Ivan. "Semua ini bukan buat aku, tapi buat Mbak Amira."
Mimik wajah Mas Ivan berubah, matanya memerah. Dari sini aku paham, laki-laki yang kuat secara fisik bukan berarti jiwanya tak pernah rapuh. Maka dari sanalah lelaki membutuhkan wanita sebagai pendamping, untuk menjadi penguat.
"Yaudah, buka yang lain aja." Aku melempar sepatu, memasukkannya kembali dalam keranjang yang tadi dikosongkan.
Aku tahu kalau Mas Ivan sedang menyembunyikan kesedihannya. Ia tersenyum dan tertawa, padahal sesungguhnya ia sangat hancur. Terluka sangat dalam. Pura-pura tidak mengetahui kesedihannya, mungkin lebih baik. Biasanya laki-laki terlihat tegar hanya demi sebuah harga diri. Hanya ingin diakui bahwa ia baik-baik saja.
Aku mengambil sebuah kado dan membukanya lagi. Kali ini isinya sepasang pakaian dalam wanita. Tentu saja kekecilan, karena ini bukan ukuranku. Lesu, aku kembali melemparnya ke dalam keranjang.
"Hiiy! Apaan ini?!" Mas Ivan menjerit, tampak melempar sesuatu ke atas kasur.
"Eh ... ada apa?" Aku mengerutkan kening, heran.
"Nggak papa." Keningku semakin mengerut, saat Mas Ivan meraup wajahnya.
Karena penasaran, aku melihat ke atas kasur. Oh ini ....
"Ini cicak mainan. Mas takut?"
Aku mengapit ekor hewan melata yang terbuat dari karet itu dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil mengayunkan di dekat sepupuku itu. Dia tampak mengangkat bahunya. Bergidik.
"Bukan takut, tapi geli. Hiiy!"
"Tapi ini bukan cicak betulan, Mas. Ini cuma mainan." Kini kuayunkan cicak lebih dekat dengannya. Dua bahunya makin terangkat, diikuti kepalanya yang menggeleng kecil. Khas orang geli.
"Stop Amanda! Please!" Kali ini ia berkata dengan penekanan.
Aku menutup mulut dengan tangan dan tertawa. "Mas Ivan takut?"
"Nggak lucu, Nda. Aku bukannya takut," kilahnya.
"Aku baru tau, kalau Mas Ivan takut ini."
"Bukan takut!"
"Yelah-yelah! Bukan takut, tapi geli." Aku melempar cicak mainan ke keranjang. Dilanjutkan berbaring di kasur.
Terus apa bedanya hubungan kami dengan seekor cicak? Sama-sama menggelikan, bukan?
Membuka kado membuat mood ini kian memburuk. Bagaimana tidak, semua hadiah ditujukan untuk wanita yang posisinya kugantikan saat ini.
Aku hampir lupa, kalau di sini hanya pengantin pengganti. Cincin kekecilan, semua hadiah juga tak ada yang muat.
Aku jadi mengasihani nasib sendiri. Poor Amanda!
**
Aku takjub saat membuka pintu lemari pakaian di kamar ini. Seakan sudah disiapkan untuk penghuni baru, lemari dua pintu ini tampak kosong. Hanya ada satu setel piyama yang tergantung di hanger. Hadiah juga, mungkin.
Ternyata semua sudah dipersiapkan dengan sempurna, demi menyambut anggota keluarga baru. Kamar pengantin ini, bahkan lemari ini masih beraroma khas barang yang baru keluar dari toko. Entah hal apa lagi yang sudah disiapkan.
Siapa pun pasti merasa istimewa mendapat sambutan seperti ini. Begitu juga aku. Meski awalnya semua ini ditujukan untuk orang lain.
Dengan perasaan yang tak dapat didefenisikan, aku membuka tas dan mengeluarkan pakaian dari sana. Saat menata rapi baju ke dalam lemari, aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Memastikan siapa yang baru saja masuk. Tante Yasmin.
"Eh, Tante," sapaku ramah.
"Kok masih Tante? Ma-ma." Tante yang sekarang jadi mertuaku itu menghampiriku.
"Eh, iya, Ma. Udah kebiasaan," kataku cengengesan.
"Ini muat nggak sama Amanda?" Mama mengambil piyama yang tergantung di lemari.
Ada luka di tatapan mata sendu itu. Pasti menyakitkan sekali rasanya, ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan. Aku dapat merasakan kesakitan yang sama.
"Kecil kayaknya, Ma," jawabku sembari melanjutkan kegiatan menyusun baju ke lemari.
Mama mengembalikan piyama ke tempat semula. "Oh iya, Manda."
Sesaat aku menghentikan aktivitas dan menoleh ke arah Mama.
"Karena sibuk sama acara kemaren, baju kotornya Ivan numpuk. Tolong bantu cuci, ya!"
Aku menoleh ke sudut kamar, di mana dua keranjang baju kotor terletak di sana. "Semuanya Amanda yang cuci, Ma?"
"Kalau mau dilaundri nggak papa. Tapi dalemannya jangan, ya. Pamali daleman suami dicuci orang lain."
Oh astaga!
**
Lalu sekarang jadilah aku di sini, duduk di sofa ruang tamu sedang membolak-balik album foto. Sembari menunggu mesin yang saat ini sedang berputar otomatis mencuci pakaian sepupuku.
Sekarang mulai terasa bedanya peran antara jadi saudara dan seorang istri. Hal yang tak pernah aku lakukan dulu saat menjadi adik selain tidur bersama, adalah melayani semua kebutuhan Mas Ivan. Termasuk mengurus pakaian bahkan underware-nya.
Kaget sudah pasti. Tentu saja aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
"Nggak punya baju lain lagi?" Suara Mas Ivan membuatku mendongak, tampak mata itu menatapku tajam.
"Kenapa sama bajunya? Aku nyaman aja, kok, pake baju ini."
Mas Ivan berdecak.
Aku mengamati pakaian yang kukenakan saat ini. Baju kaus ketat hingga menampakkan lekuk pinggang serta celana jeans hot pants.l
"Ganti!"
Eh.
"Kan nggak kemana-mana. Di rumah Oma aku biasa pake baju ini," protesku dengan mengernyit menatapnya.
"Di rumah Oma sama di sini beda, Dodol! Di sana kamu tinggal sama sodara perempuan semua."
Ah, entah kejutan apa lagi ini.
"Abis nyuci aja aku ganti bajunya, Mas. Tanggung!"
"Ganti sekarang!"
Baru ingin membuka mulut ini ingin menyela, Mas Ivan kembali berkata tegas.
"Ganti nggak? Kalau mau pake kayak gini ntar malam aja di kamar."
Eh.
#Romance
Pengantin Pengganti
MENIKAH DENGAN SEPUPUBAB 3
Bismillah ...
Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas.
Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah.
Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya.
"Ke mana?"
Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini.
"Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut.
"Apa, Mas?"
"Bukain sesuatu."
"Bu-kain a-apa?"
Mas Ivan menyeringai. Lalu ia menutup pintu kamar, dilanjutkan berjalan ke arah kasur.
"Sini," panggilnya saat menoleh padaku.
Haruskah sekarang?
Apa ini saatnya?Oh, astaga! Sumpah, aku benar-benar belum siap."Mau apa, Mas?"
Mas Ivan tersenyum geli, hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. "Kamu nggak dengar tadi Mama bilang apa?"
"Cucu?" Aku membulatkan mata padanya.
"Apa lagi?" katanya masih dengan tersenyum lebar.
Ragu dan dengan badan gemetaran, aku melangkah mendekat. Kuremas tangan yang saat ini terasa dingin.
Bukankah ini memang kewajiban seorang istri?
Oke, Amanda. Lihat dia sebagai laki-laki, bukan Mas yang selama ini selalu nyebelin. Tepis semua rasa aneh, aku dan Mas Ivan sudah halal melakukannya. Bahkan ini ibadah dan berpahala malah.
Perlahan melangkah, akhirnya aku sampai di hadapan sepupuku ini. Mas Ivan malah tertawa. Membuatku makin salah tingkah. Ah, rasanya aku ingin mengurung diri di kamar mandi saja, agar terbebas dari kondisi menyebalkan ini.
Kukerutkan kening sambil memperhatikan lelaki yang kemarin menikahiku. Dia tengah merunduk, menarik keranjang yang terletak di lantai samping kasur. Keranjang itu berisi banyak kado.
"Jadi mau buka ini?" kataku disertai helaan nafas lega. Ternyata aku sedang dipermainkan, Bambang!
"Kamu pikir apaan?" Mas Ivan mengekeh, dari gelagatnya seperti memang sengaja menggoda.
"Nggak lucu tau!" Tidak lucu, karena tadi sempat berpikir yang bukan-bukan. Dasar dia ini!
Konyol memang, dan lama-lama aku ikut tertawa juga."Ya salam, Amanda!" Mas Ivan menggeleng.
"Rese' ah! Tapi ... ketawanya mas, aku suka."
Ia juga ikut tersenyum. "Kamu baru sadar kalau Mas cakep?" Mas Ivan menaik-turunkan dua alisnya.
Aku mengangguk. "Bodoh nggak sih, ada perempuan yang kabur dari pernikahannya sama Mas? Padahal sekarang susah dapat suami yang udah ganteng, baik pula."
Ironisnya, ada yang merasa beruntung saat mendapat lelaki yang sudah ditinggalkan wanita lain. Aku orangnya.
Raut wajah Mas Ivan kembali menegang. Aku penasaran dengan sikapnya yang seolah tanpa beban. Ia sangat pandai berpura-pura.
"Udah ah ... ayo buka!" katanya yang lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.
Ia duduk di atas karpet. Mulai mengosongkan keranjang, menumpahkan kotak yang berbalut kertas berwarna-warni.
Aku juga ikut duduk, lalu mengambil satu kado yang terlihat sangat elegan. Berbungkus kertas berwarna gold, lalu melihat kartu nama yang menempel di luar.
"Linda Febriani." Begitu nama yang tertera di postcard. "Boleh aku buka, Mas?"
"Linda ... dia sekretarisku. Buka aja."
Aku membukanya dengan hati-hati, takut kalau di dalamnya ada sesuatu yang berharga. Karena dilihat dari luar, kutebak isinya barang branded, pasti mahal.
Benar saja dugaanku. Kotak ini berisikan sebuah sepatu tinggi berwarna hitam nomor tiga puluh enam. Dengan merek brand ternama. Tampak sangat cantik dan elegan. Aku hampir lupa kalau semua hadiah ini di tujukan bukan untukku.
"Modelnya cakep ini. Selera dia emang bagus."
"Hmm ... bagus banget. Sayangnya nggak muat." Aku menatap lekat manik coklat Mas Ivan. "Semua ini bukan buat aku, tapi buat Mbak Amira."
Mimik wajah Mas Ivan berubah, matanya memerah. Dari sini aku paham, laki-laki yang kuat secara fisik bukan berarti jiwanya tak pernah rapuh. Maka dari sanalah lelaki membutuhkan wanita sebagai pendamping, untuk menjadi penguat.
"Yaudah, buka yang lain aja." Aku melempar sepatu, memasukkannya kembali dalam keranjang yang tadi dikosongkan.
Aku tahu kalau Mas Ivan sedang menyembunyikan kesedihannya. Ia tersenyum dan tertawa, padahal sesungguhnya ia sangat hancur. Terluka sangat dalam. Pura-pura tidak mengetahui kesedihannya, mungkin lebih baik. Biasanya laki-laki terlihat tegar hanya demi sebuah harga diri. Hanya ingin diakui bahwa ia baik-baik saja.
Aku mengambil sebuah kado dan membukanya lagi. Kali ini isinya sepasang pakaian dalam wanita. Tentu saja kekecilan, karena ini bukan ukuranku. Lesu, aku kembali melemparnya ke dalam keranjang.
"Hiiy! Apaan ini?!" Mas Ivan menjerit, tampak melempar sesuatu ke atas kasur.
"Eh ... ada apa?" Aku mengerutkan kening, heran.
"Nggak papa." Keningku semakin mengerut, saat Mas Ivan meraup wajahnya.
Karena penasaran, aku melihat ke atas kasur. Oh ini ....
"Ini cicak mainan. Mas takut?"
Aku mengapit ekor hewan melata yang terbuat dari karet itu dengan ibu jari dan telunjuk. Sambil mengayunkan di dekat sepupuku itu. Dia tampak mengangkat bahunya. Bergidik.
"Bukan takut, tapi geli. Hiiy!"
"Tapi ini bukan cicak betulan, Mas. Ini cuma mainan." Kini kuayunkan cicak lebih dekat dengannya. Dua bahunya makin terangkat, diikuti kepalanya yang menggeleng kecil. Khas orang geli.
"Stop Amanda! Please!" Kali ini ia berkata dengan penekanan.
Aku menutup mulut dengan tangan dan tertawa. "Mas Ivan takut?"
"Nggak lucu, Nda. Aku bukannya takut," kilahnya.
"Aku baru tau, kalau Mas Ivan takut ini."
"Bukan takut!"
"Yelah-yelah! Bukan takut, tapi geli." Aku melempar cicak mainan ke keranjang. Dilanjutkan berbaring di kasur.
Terus apa bedanya hubungan kami dengan seekor cicak? Sama-sama menggelikan, bukan?
Membuka kado membuat mood ini kian memburuk. Bagaimana tidak, semua hadiah ditujukan untuk wanita yang posisinya kugantikan saat ini.
Aku hampir lupa, kalau di sini hanya pengantin pengganti. Cincin kekecilan, semua hadiah juga tak ada yang muat.
Aku jadi mengasihani nasib sendiri. Poor Amanda!
**
Aku takjub saat membuka pintu lemari pakaian di kamar ini. Seakan sudah disiapkan untuk penghuni baru, lemari dua pintu ini tampak kosong. Hanya ada satu setel piyama yang tergantung di hanger. Hadiah juga, mungkin.
Ternyata semua sudah dipersiapkan dengan sempurna, demi menyambut anggota keluarga baru. Kamar pengantin ini, bahkan lemari ini masih beraroma khas barang yang baru keluar dari toko. Entah hal apa lagi yang sudah disiapkan.
Siapa pun pasti merasa istimewa mendapat sambutan seperti ini. Begitu juga aku. Meski awalnya semua ini ditujukan untuk orang lain.
Dengan perasaan yang tak dapat didefenisikan, aku membuka tas dan mengeluarkan pakaian dari sana. Saat menata rapi baju ke dalam lemari, aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar. Memastikan siapa yang baru saja masuk. Tante Yasmin.
"Eh, Tante," sapaku ramah.
"Kok masih Tante? Ma-ma." Tante yang sekarang jadi mertuaku itu menghampiriku.
"Eh, iya, Ma. Udah kebiasaan," kataku cengengesan.
"Ini muat nggak sama Amanda?" Mama mengambil piyama yang tergantung di lemari.
Ada luka di tatapan mata sendu itu. Pasti menyakitkan sekali rasanya, ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan. Aku dapat merasakan kesakitan yang sama.
"Kecil kayaknya, Ma," jawabku sembari melanjutkan kegiatan menyusun baju ke lemari.
Mama mengembalikan piyama ke tempat semula. "Oh iya, Manda."
Sesaat aku menghentikan aktivitas dan menoleh ke arah Mama.
"Karena sibuk sama acara kemaren, baju kotornya Ivan numpuk. Tolong bantu cuci, ya!"
Aku menoleh ke sudut kamar, di mana dua keranjang baju kotor terletak di sana. "Semuanya Amanda yang cuci, Ma?"
"Kalau mau dilaundri nggak papa. Tapi dalemannya jangan, ya. Pamali daleman suami dicuci orang lain."
Oh astaga!
**
Lalu sekarang jadilah aku di sini, duduk di sofa ruang tamu sedang membolak-balik album foto. Sembari menunggu mesin yang saat ini sedang berputar otomatis mencuci pakaian sepupuku.
Sekarang mulai terasa bedanya peran antara jadi saudara dan seorang istri. Hal yang tak pernah aku lakukan dulu saat menjadi adik selain tidur bersama, adalah melayani semua kebutuhan Mas Ivan. Termasuk mengurus pakaian bahkan underware-nya.
Kaget sudah pasti. Tentu saja aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
"Nggak punya baju lain lagi?" Suara Mas Ivan membuatku mendongak, tampak mata itu menatapku tajam.
"Kenapa sama bajunya? Aku nyaman aja, kok, pake baju ini."
Mas Ivan berdecak.
Aku mengamati pakaian yang kukenakan saat ini. Baju kaus ketat hingga menampakkan lekuk pinggang serta celana jeans hot pants.l
"Ganti!"
Eh.
"Kan nggak kemana-mana. Di rumah Oma aku biasa pake baju ini," protesku dengan mengernyit menatapnya.
"Di rumah Oma sama di sini beda, Dodol! Di sana kamu tinggal sama sodara perempuan semua."
Ah, entah kejutan apa lagi ini.
"Abis nyuci aja aku ganti bajunya, Mas. Tanggung!"
"Ganti sekarang!"
Baru ingin membuka mulut ini ingin menyela, Mas Ivan kembali berkata tegas.
"Ganti nggak? Kalau mau pake kayak gini ntar malam aja di kamar."
Eh.
Bismillah ... Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi. Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar. Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda. Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali! Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Ak
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ... "Undangannya elegan. Pestanya mewah. Pernikahan impian banget, ini, mah!" Salah satu sepupu perempuanku yang duduk di hadapan bergumam, antusias. "Ciye, Alisa, pengeen!" Mbak Vita yang duduk di sebelah Alisa menggoda. "Pengen banget, sebenarnya. Tapi Mbak Vit dulu aja, deh. Kan, nggak sopan, kalau adek ngelangkahin mbaknya." "Ya, nggak papa juga, kalo emang udah ngebet banget." Mbak Vita menimpali lagi. Kala itu, aku dan tiga sepupuku berkumpul di ruang tamu rumah saudara kami yang akan menikah minggu depan. Kami duduk di atas karpet tebal, mengitari meja kaca persegi panjang. Aku bertugas menulis nama tamu di label stiker yang sudah di tempel oleh Mbak Vita. Pernikahan impian. Ah, ucapan Alisa tadi, membuatku menatap undangan pernikahan berwarna biru muda yang kini ada di tangan. Ivan Pratama, S.Mn & Amira
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ... Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi. Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar. Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda. Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali! Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Ak
Bismillah ... Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas. Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah. Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya. "Ke mana?" Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini. "Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut. "Apa, Mas?"
Bismillah .... Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri. Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara