Bismillah ...
Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi.
Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar.
Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda.
Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali!
Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Aku merutuki diri.
Kubuka pintu dengan lebar, kemudian melangkah cepat menuju celana merah muda yang tergeletak di lantai. Dengan membawa serta piama yang sudah aku siapkan.
Aku menghela napas lega saat meraih dalamanku tersebut. Karena tidak ada siapa-siapa di kamar, jadi aku berniat akan mengganti baju di sini.
Namun, astaga! Aku terkejut setengah mati, ketika mendengar suara pintu terbuka. Ini celaka!
"Maas! Jangan masuk!" teriakku histeris.
Mas Ivan yang sudah masuk membulatkan mata melihatku, dengan cepat aku menyilangkan tangan di depan dada yang masih terlilit handuk. Ternyata semua laki-laki sama saja. Mata keranjang, memang!
“Mas Ivan! Mutar!”
“Apanya?” tanyanya seakan tanpa dosa.
“Hais! Balik badan, Mas! Balik, balik!" pekikku panik. Terdengar kekehan gelinya. Diiringi dengan memutar tubuhnya. Aseem, apa-apaan?
“Sama sekali nggak lucu, Mas,” omelku, sambil berjalan menuju kamar mandi.
“Ya elah, nggak nafsu juga kali."
Ck, sialan!
"Mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu, kek. Salam, kek."
"Ribet amat, kayak mau namu aja."
Aku berdecak sebal. Kemudian menutup pintu kamar mandi lagi. Ya Lord, aku menutup wajah saat melihat pipi yang merah terpampang di cermin.
Tak peduli mau setampan apa pun sepupuku. Namun tetap saja, drama underware itu sangat memalukan sekaligus menggelikan. Bayangkan saja, Mas Ivan itu kakak yang sering momong diri ini saat kecil. Lalu sekarang, melihatnya sebagai suami yang berhak atas setiap jengkal tubuh ini. Ah, pastinya itu tak akan mudah.
Hubungan kami dari kecil, memang sangat dekat. Seperti kakak-adik biasanya, aku menyayanginya sebagai kakak. Wajar. Karena memang hanya mereka yang aku punya. Umur kami terpaut lima tahun, lebih empat bulan. Artinya saat aku masih suka tantrum, bisa jadi Mas Ivanlah yang membujuk. Mungkin inilah sebabnya, mengapa kami bingung menyikapi status baru. Yah, semua pastinya butuh waktu.
**
Malam ini, aku bersama keluarga Mas Ivan duduk berkumpul di ruang tamu. Berbincang hangat serta merta bercanda tawa. Sembari menikmati bolu kukus yang aku dan Mama buat sore tadi.
Rasanya jauh berbeda saat tinggal di rumah Oma. Di sini hangat dan sangat nyaman. Mereka menerimaku dengan baik.
Begitulah hidup, terkadang keluarga pun malah seperti orang asing. Yah, karena kadang manusia menghargai seseorang lainnya melihat dari materi. Siapa yang punya, dialah yang dijunjung. Sementara yang tak punya akan terasing.
Miris.
"Biasanya kalau Mama sendiri yang bikin pasti kuenya bantet." Papa berucap sambil menikmati kue manis berwarna coklat itu.
Mama malah terkekeh pelan mendengar kejujuran suaminya. "Ini memang Amanda yang bikin. Enak, nggak, Van?"
"Lumayan. Manis sama kayak yang bikin." Mas Ivan mengangkat alisnya melihatku.
"Eeaa, gombal!" Sekuat tenaga aku bersikap biasa saja. Sialnya aku malah tersipu. Saat ini pipi juga hati terasa menghangat.
"Pa, Amanda sama Ivan itu apanya yang mirip?" Mama menyipitkan mata melihatku dan Mas Ivan, mengamati kami bergantian. Mencari kemiripan pada kami, sepertinya.
"Dagunya yang mirip," jawab Papa.
"Ah, alisnya juga sama, lebat. Kata orang jodoh itu memang mirip-mirip." Mama berpendapat.
"Mereka mah, memang sodara. Makanya mirip, bukan karena jodoh doang," celetuk Mas Alfin.
Membicarakan masalah jodoh, pasangan hidup itu memang rahasia Yang Maha Kuasa. Tidak pernah menyangka akan berjodoh dengan makhluk Tuhan yang menyebalkan ini. Sudah ke sana, kemari ... eh, ternyata jodohku masih sama keluarga sendiri. Jodoh itu sangat dekat, ternyata.
"Kamu inget nggak, Mas? Amanda kecil kalau lagi nangis, kamu cium atau kamu pangku aja, dia berenti nangisnya," kenang Mama.
Mas Ivan berdehem.
“Sekarang masih kali. Kalau dicium Mas Ivan berenti nangisnya." Mas Alfin tertawa, diikuti juga kekehan Mama.
"Kasian Mas Ivan disuruh momong sampai tua," celetuk Mas Alfin lagi.
"Nasib emang!" Mas Ivan menjawab.
"Apaan, sih! Emang aku bocah di-emong?" Aku mendelik pada Mas Alfin. Lalu tawa kecil mereka pun berderai.
"Kira-kira nanti gimana muka anak mereka, ya?" tanya Mama.
Mas Ivan seketika tersedak. Lalu ia meraih segelas air putih di meja, meminumnya hingga tandas.
Mendengar kata anak itu memang sama seperti makan bolu ini, tapi tidak minum. Kan seret.
Gimana mau punya anak, Ma. Kalau bersentuhan pun tidak. Membayangkannya saja membuatku bergidik sendiri.
Seketika hening.
Aku menggigit bibir, saat mendapati Mama menatapku seakan penuh selidik. Sorot mata yang tajam, disertai keningnya mengerut. Seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan sekarang.
**
Malam makin larut. Aku yang sedang berbaring, menarik selimut hingga sebatas leher. Mengusir dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
Tanganku memainkan ponsel, berselancar di sosial media. Bibir tersenyum saat mendapati foto Mas Ivan yang lewat di beranda. Beberapa jam lalu ia mengganti foto profil, dengan gaya sok cool. Tangannya dimasukkan ke kantong celana, sambil tersenyum kecil. Memang keren, sih.
Namun, terlalu cool untukku. Mengingat tadi dia bilang kalau tak bernafsu saat melihat diri ini cuma terlilit handuk. Hei ayolah, aku tidak berbusana dan lagi, dapat dipastikan badanku lebih berisi dari pada kekasih yang meninggalkannya itu. Cincin dan ukuran sepatu, buktinya. Lalu ia tak tergoda sama sekali, jadi ragu akan kenormalannya.
Aku menggeleng sendiri.
Lalu kembali scrool beranda di aplikasi bersimbol 'F' ini. Sesekali tertawa membaca status lucu dan saat ini bergidik ngeri. Membaca postingan seakun yang menuliskan ....
'Musim hujan itu rezekinya pengantin baru.' Singkat tapi lebih horor dari cerita hantu. Hiiy, seram.
Kuklik kolom komentar ingin membaca balasan netizen lainnya.
'Musim hujan, musimnya bikin anak.' Astaga, apa-apaan ini?
Seketika berkelebat di benak tentang Mama yang pengin cucu. Lalu bagaimana ia dengan antusiasnya bercerita tentang wajah anak kami. Aku jadi merasa bersalah.
Kubalikkan tubuh, menghadap Mas Ivan. Mengamatinya yang tengah terlelap, nafasnya teratur seperti bayi. Sosok hangat yang dulu melindungiku, sekarang adalah suamiku.
Sebenarnya ada debar tak karuan saat ini, saat terlalu dekat dengannya. Ketika mata coklat itu menatapku. Saat bibir belahnya itu tersenyum. Tanpa kusadari ada yang salah di dalam sini.
Ah, ini bukan cinta.
Mungkin karena aku terlalu bersimpati akan sakitnya. Wajar kalau aku khawatir, bukan? Karena kami bersaudara. Perasaan ini tidak lebih dari sekadar sayang seorang adik untuk kakaknya.
Ya, bukan cinta.
#Romance
Pengantin Pengganti
MENIKAH DENGAN SEPUPU(4)
Bismillah ...
Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi.
Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar.
Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda.
Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali!
Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Aku merutuki diri.
Kubuka pintu dengan lebar, kemudian melangkah cepat menuju celana merah muda yang tergeletak di lantai. Dengan membawa serta piama yang sudah aku siapkan.
Aku menghela napas lega saat meraih dalamanku tersebut. Karena tidak ada siapa-siapa di kamar, jadi aku berniat akan mengganti baju di sini.
Namun, astaga! Aku terkejut setengah mati, ketika mendengar suara pintu terbuka. Ini celaka!
"Maas! Jangan masuk!" teriakku histeris.
Mas Ivan yang sudah masuk membulatkan mata melihatku, dengan cepat aku menyilangkan tangan di depan dada yang masih terlilit handuk. Ternyata semua laki-laki sama saja. Mata keranjang, memang!
“Mas Ivan! Mutar!”
“Apanya?” tanyanya seakan tanpa dosa.
“Hais! Balik badan, Mas! Balik, balik!" pekikku panik. Terdengar kekehan gelinya. Diiringi dengan memutar tubuhnya. Aseem, apa-apaan?
“Sama sekali nggak lucu, Mas,” omelku, sambil berjalan menuju kamar mandi.
“Ya elah, nggak nafsu juga kali."
Ck, sialan!
"Mau masuk kamar itu ketuk pintu dulu, kek. Salam, kek."
"Ribet amat, kayak mau namu aja."
Aku berdecak sebal. Kemudian menutup pintu kamar mandi lagi. Ya Lord, aku menutup wajah saat melihat pipi yang merah terpampang di cermin.
Tak peduli mau setampan apa pun sepupuku. Namun tetap saja, drama underware itu sangat memalukan sekaligus menggelikan. Bayangkan saja, Mas Ivan itu kakak yang sering momong diri ini saat kecil. Lalu sekarang, melihatnya sebagai suami yang berhak atas setiap jengkal tubuh ini. Ah, pastinya itu tak akan mudah.
Hubungan kami dari kecil, memang sangat dekat. Seperti kakak-adik biasanya, aku menyayanginya sebagai kakak. Wajar. Karena memang hanya mereka yang aku punya. Umur kami terpaut lima tahun, lebih empat bulan. Artinya saat aku masih suka tantrum, bisa jadi Mas Ivanlah yang membujuk. Mungkin inilah sebabnya, mengapa kami bingung menyikapi status baru. Yah, semua pastinya butuh waktu.
**Malam ini, aku bersama keluarga Mas Ivan duduk berkumpul di ruang tamu. Berbincang hangat serta merta bercanda tawa. Sembari menikmati bolu kukus yang aku dan Mama buat sore tadi.
Rasanya jauh berbeda saat tinggal di rumah Oma. Di sini hangat dan sangat nyaman. Mereka menerimaku dengan baik.
Begitulah hidup, terkadang keluarga pun malah seperti orang asing. Yah, karena kadang manusia menghargai seseorang lainnya melihat dari materi. Siapa yang punya, dialah yang dijunjung. Sementara yang tak punya akan terasing.
Miris.
"Biasanya kalau Mama sendiri yang bikin pasti kuenya bantet." Papa berucap sambil menikmati kue manis berwarna coklat itu.
Mama malah terkekeh pelan mendengar kejujuran suaminya. "Ini memang Amanda yang bikin. Enak, nggak, Van?"
"Lumayan. Manis sama kayak yang bikin." Mas Ivan mengangkat alisnya melihatku.
"Eeaa, gombal!" Sekuat tenaga aku bersikap biasa saja. Sialnya aku malah tersipu. Saat ini pipi juga hati terasa menghangat.
"Pa, Amanda sama Ivan itu apanya yang mirip?" Mama menyipitkan mata melihatku dan Mas Ivan, mengamati kami bergantian. Mencari kemiripan pada kami, sepertinya.
"Dagunya yang mirip," jawab Papa.
"Ah, alisnya juga sama, lebat. Kata orang jodoh itu memang mirip-mirip." Mama berpendapat.
"Mereka mah, memang sodara. Makanya mirip, bukan karena jodoh doang," celetuk Mas Alfin.
Membicarakan masalah jodoh, pasangan hidup itu memang rahasia Yang Maha Kuasa. Tidak pernah menyangka akan berjodoh dengan makhluk Tuhan yang menyebalkan ini. Sudah ke sana, kemari ... eh, ternyata jodohku masih sama keluarga sendiri. Jodoh itu sangat dekat, ternyata.
"Kamu inget nggak, Mas? Amanda kecil kalau lagi nangis, kamu cium atau kamu pangku aja, dia berenti nangisnya," kenang Mama.
Mas Ivan berdehem.
“Sekarang masih kali. Kalau dicium Mas Ivan berenti nangisnya." Mas Alfin tertawa, diikuti juga kekehan Mama.
"Kasian Mas Ivan disuruh momong sampai tua," celetuk Mas Alfin lagi.
"Nasib emang!" Mas Ivan menjawab.
"Apaan, sih! Emang aku bocah di-emong?" Aku mendelik pada Mas Alfin. Lalu tawa kecil mereka pun berderai.
"Kira-kira nanti gimana muka anak mereka, ya?" tanya Mama.
Mas Ivan seketika tersedak. Lalu ia meraih segelas air putih di meja, meminumnya hingga tandas.
Mendengar kata anak itu memang sama seperti makan bolu ini, tapi tidak minum. Kan seret.
Gimana mau punya anak, Ma. Kalau bersentuhan pun tidak. Membayangkannya saja membuatku bergidik sendiri.
Seketika hening.
Aku menggigit bibir, saat mendapati Mama menatapku seakan penuh selidik. Sorot mata yang tajam, disertai keningnya mengerut. Seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan sekarang.
**
Malam makin larut. Aku yang sedang berbaring, menarik selimut hingga sebatas leher. Mengusir dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.
Tanganku memainkan ponsel, berselancar di sosial media. Bibir tersenyum saat mendapati foto Mas Ivan yang lewat di beranda. Beberapa jam lalu ia mengganti foto profil, dengan gaya sok cool. Tangannya dimasukkan ke kantong celana, sambil tersenyum kecil. Memang keren, sih.
Namun, terlalu cool untukku. Mengingat tadi dia bilang kalau tak bernafsu saat melihat diri ini cuma terlilit handuk. Hei ayolah, aku tidak berbusana dan lagi, dapat dipastikan badanku lebih berisi dari pada kekasih yang meninggalkannya itu. Cincin dan ukuran sepatu, buktinya. Lalu ia tak tergoda sama sekali, jadi ragu akan kenormalannya.
Aku menggeleng sendiri.
Lalu kembali scrool beranda di aplikasi bersimbol 'F' ini. Sesekali tertawa membaca status lucu dan saat ini bergidik ngeri. Membaca postingan seakun yang menuliskan ....
'Musim hujan itu rezekinya pengantin baru.' Singkat tapi lebih horor dari cerita hantu. Hiiy, seram.
Kuklik kolom komentar ingin membaca balasan netizen lainnya.
'Musim hujan, musimnya bikin anak.' Astaga, apa-apaan ini?
Seketika berkelebat di benak tentang Mama yang pengin cucu. Lalu bagaimana ia dengan antusiasnya bercerita tentang wajah anak kami. Aku jadi merasa bersalah.
Kubalikkan tubuh, menghadap Mas Ivan. Mengamatinya yang tengah terlelap, nafasnya teratur seperti bayi. Sosok hangat yang dulu melindungiku, sekarang adalah suamiku.
Sebenarnya ada debar tak karuan saat ini, saat terlalu dekat dengannya. Ketika mata coklat itu menatapku. Saat bibir belahnya itu tersenyum. Tanpa kusadari ada yang salah di dalam sini.
Ah, ini bukan cinta.
Mungkin karena aku terlalu bersimpati akan sakitnya. Wajar kalau aku khawatir, bukan? Karena kami bersaudara. Perasaan ini tidak lebih dari sekadar sayang seorang adik untuk kakaknya.
Ya, bukan cinta.
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ... "Undangannya elegan. Pestanya mewah. Pernikahan impian banget, ini, mah!" Salah satu sepupu perempuanku yang duduk di hadapan bergumam, antusias. "Ciye, Alisa, pengeen!" Mbak Vita yang duduk di sebelah Alisa menggoda. "Pengen banget, sebenarnya. Tapi Mbak Vit dulu aja, deh. Kan, nggak sopan, kalau adek ngelangkahin mbaknya." "Ya, nggak papa juga, kalo emang udah ngebet banget." Mbak Vita menimpali lagi. Kala itu, aku dan tiga sepupuku berkumpul di ruang tamu rumah saudara kami yang akan menikah minggu depan. Kami duduk di atas karpet tebal, mengitari meja kaca persegi panjang. Aku bertugas menulis nama tamu di label stiker yang sudah di tempel oleh Mbak Vita. Pernikahan impian. Ah, ucapan Alisa tadi, membuatku menatap undangan pernikahan berwarna biru muda yang kini ada di tangan. Ivan Pratama, S.Mn & Amira
Bismillah ... Aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, sama sepertiku. Mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya terlihat tegang dan khawatir. Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung sacral dan khusyuk, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal. Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat. Aku masih mengamati kacaunya keadaan di sekitar. Hingga jawilan di tangan ini, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di samping. Oma. Beliau berbisik, "Kamu mau jadi pengantin
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ... Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi. Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar. Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda. Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali! Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Ak
Bismillah ... Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas. Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah. Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya. "Ke mana?" Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini. "Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut. "Apa, Mas?"
Bismillah .... Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri. Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara