Bismillah ...
Aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, sama sepertiku. Mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya terlihat tegang dan khawatir.
Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung sacral dan khusyuk, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal.
Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat.
Aku masih mengamati kacaunya keadaan di sekitar. Hingga jawilan di tangan ini, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di samping. Oma.
Beliau berbisik, "Kamu mau jadi pengantin penggantinya?"
Deg!
Rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat. Kemudian berdegup cepat. Aku terbungkam, masih mencerna pertanyaan Oma yang berhasil membuatku tersentak.
Apa tadi beliau bilang? 'Pengantin pengganti?'
“Maksud Oma, gimana? Manda ganti’in mempelai perempuan buat nikah sama Mas Ivan?” Sebisa mungkin aku menekan suara agar tidak menjadi pusat perhatian.
“Huum. Manda bisa?”
“Oma bercanda?!” sentakku tak percaya. Membuat beberapa tamu menatap kami, kepo mungkin.
Hingga tamu yang duduk di depanku bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku cuma menanggapi dengan gelengan samar.
Oma berdesis, seraya menekan telunjuk di depan bibir. Sementara aku masih menatap wanita paruh baya tersebut. Berusaha mencari arti ucapan beliau dari sorot mata yang sama sekali tak menyiratkan gurauan. Kali ini Oma tampak seserius itu.
Aku mengembus panjang, seraya menatap mempelai laki-laki di depan sana.
Dia adalah saudara sepupuku. Masih teringat jelas, bagaimana dulu kami sempat tumbuh dan besar dalam satu atap. Seperti kakak dan adik pada umumnya, kami dekat. Sangat dekat. Hingga hampir semua kekurangan diri, kami saling mengetahui.
Bahkan saat ini, aku tengah membayangkan bagaimana Mas Ivan tersenyum kala berbalas chatt dengan calon istrinya kemarin. Wajah oval itu memiliki hidung yang mancung. Alis yang lebat, menaungi sepasang mata hazelnya. Bibir yang tidak terlalu tipisnya mengembang, serasi dengan dagu yang membelah. Dia … manis. Siapa pun pasti bersedia mendampinginya.
Dan lagi, dia seorang manajer di suatu perusahaan pengembangan properti. Paket komplit, bukan? Hingga aku sangsi, kalau dia mau memperistriku yang tak lain adiknya sendiri.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Ke mana perempuan yang harusnya jadi mempelai perempuannya?
“Gimana, Nda?” desak beliau lagi.
“Kenapa harus Manda?”
"Kamu jawab aja, iya atau enggak?" Oma bertanya sekali lagi, kilat matanya menatap tajam. Seakan menuntut jawaban sesegera mungkin.
Aku menggigit bibir, masih mencari jawaban dalam diri. Keputusan ini harus dipertimbangkan, karena pernikahan bukan untuk main-main. Cukup sekali seumur hidup.
"Amanda, Tante Yasmin sendiri yang minta kamu untuk mendampingi Ivan.” Oma mengangkat ponselnya. “Kalau enggak, Oma akan tawarkan ini pada Alisa."
Masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketika itu pula bimbang melandaku. Di satu sisi merasa kasihan dengan Mas Ivan. Tentu saja aku sangat menyayangi saudaraku itu. Juga, ada keluarga yang harus dijaga kehormatannya. Di sisi lain, hati ini sudah mencintai seseorang.
Sesaat, aku menoleh pada lelaki yang duduk di belakang. Lelaki yang kini duduk di sisi Alisa.
Hingga kuhela nafas, dengan yakin dan mantap menjawab ....
"Iya, Amanda bersedia, Oma."
"Bagus. Ayo, ikut Oma!"
Oma pun beranjak dari tempat duduknya. Aku pun mengikuti beliau yang berjalan menuju sebuah ruangan dalam gedung besar ini. Sampai di dalam ruangan, sudah ada Om Wahyu dan Tante Yasmin yang sedang berbicara. Mereka tampak tegang, sangat khawatir.
"Amanda," lirih Tante Yasmin. Mata adik dari ayahku itu seakan memohon menatapku.
Aku pun memeluk Tante Yasmin, mengerti tentang kegundahan hatinya. Mencoba menenangkan, membisikkan semua akan baik-baik saja. Walau sesungguhnya aku tidak mengerti, apa yang sudah terjadi.
Aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar, Mas Ivan baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya merah padam, dengan tangan mengepal dan bibir yang mengatup rapat. Terlihat jelas bahwa ia sangat geram.
Oma bergegas menghampirinya, berbisik. Apa yang sedang mereka katakana? Entah. Sepertinya bernegosiasi. Mas Ivan menoleh padaku, yang masih menenangkan Tante Yasmin. Raut wajahnya tampak putus asa. Tatapan kami bertemu beberapa saat, lalu setelah itu Mas Ivan berbicara pada Oma. Kemudian ia keluar lagi dari ruangan.
Oma berjalan ke arahku. "Siap-siap, Amanda. Pernikahan akan segera dilangsungkan."
Dengan mantap, dan tanpa keraguan aku mengangguk. Isyarat bahwa aku menyanggupi pernikahan ini.
Bismillah ....
**
Aku yang mengenakan kebaya berwarna hijau tua, duduk di belakang mempelai laki-laki. Dengan jantung yang berdebar dan keringat yang membasahi telapak tangan. Demi apa pun, aku gugup.
Namun, pikiran masih tertuju pada perempuan yang posisinya kugantikan saat ini. Tidak menyangka kalau di balik wajah polosnya, dia ternyata seorang penipu. Perempuan macam apa yang lari dari akad nikahnya? Aku masih tidak habis pikir.
Keputusan ini memang sangat gila. Bahkan tamu undangan pun semakin riuh saja, meski akad nikah akan segera dilangsungkan.
Walau tidak membungkam mulut mereka, tapi pernikahan ini adalah pilihan terbaik. Daripada harus membubarkan mereka karena acara yang batal, pasti akan lebih memalukan lagi.
"Saya terima nikahnya Amanda Salsabila binti Adrian Bagus dengan mas kawin tersebut, tunai!" Mas Ivan mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas.
"Sah!"
Dengan berwalikan Om Heru, kini aku sah menjadi seorang istri. Ada rasa haru bersama sesak menyelimuti hati. Harusnya Almarhum Papa yang menjadi waliku saat ini.
Setetes bulir bening meluncur sesaat aku memejamkan mata. Aku beringsut, duduk menghadap Mas Ivan. Tertunduk, tak berani menatap matanya. Sebab debaran di dada kian mengencang saja saat berhadapan dengannya yang kini telah menjadi suamiku.
Aku terpaku, lagi gugup. Hingga bingung apa yang harus aku lakukan.
Mas Ivan meraih tangan kananku, seperti mengerti kecanggungan yang mendera. Ia memasangkan cincin di jari manis. Tak ayal membuat tangan yang sedari tadi terasa dingin jadi gemetaran.
Aku melihat ada lengkung di bibirnya, tapi ... senyumnya hampa. Ia seolah berusaha menutupi luka, yang semua orang di sini pun tahu bahwa ia sedang berpura-pura kuat. Berlagak tegar. Padahal sebenarnya dia sangat rapuh, juga hancur. Kasihan.
"Salim dulu, Nak!" perintah Pak penghulu.
Mas Ivan mengulurkan tangan bersamaan aku yang meraih lalu mencium tangannya, takzim. Blitz pun menyala berulang kali mengabadikan adegan demi adegan pernikahan yang tak terduga ini.
Juru foto meminta Mas Ivan mencium keningku, seperti pasangan pengantin yang normal. Demi kepentingan dokumentasi, begitu katanya.
Aku memejamkan mata, saat bibir sepupuku mendarat di kening. Ya Tuhan, apa ini? Dicium kening sama sepupu itu kayak ada geli-gelinya gitu.
Aku membuka mata, sekaligus mempersiapkan diri melewati serangkai acara pernikahan ini. Tak pernah menduga, kalau hari ini aku yang menikah dan menjadi istrinya sepupu sendiri. Begitulah takdir Tuhan, bukan? Kadang memang seluar biasa ini!
**
Di rumah Oma, aku duduk di ruang tamu berdiskusi dengan keluarga besar.
Tak ada kehangatan seperti biasanya. Sangat dingin, khasnya ekspresi orang setelah ditimpa kesialan besar. Yah ... ini bencana, sebab kejadian tadi benar-benar memalukan. Citra keluarga pasti sangat buruk, di sosial media pun sedang panas diperbincangkan.
"Amanda benar serius, sama pernikahan ini?" Om Wahyu bertanya sembari melihatku.
"Mana ada nikah yang main-main? Pernikahan mereka sah dan halal menurut syari'at agama," sanggah Om Heru.
Hening beberapa saat, hanya hela napas panjang yang terdengar.
"Tolong, pernikahan mereka didaftarkan agar sah juga di mata hukum." Kali ini Oma yang angkat bicara.
"Kalau memang serius, pasti akan saya daftarkan, Bu. Tapi takutnya mereka nggak cocok. Kita tahulah kalau mereka ini adik dan kakak," kata Om Wahyu lagi.
"Lah, terus untuk apa mereka dinikahkan, kalau untuk dipisahkan lagi? Beri kesempatan dulu untuk mereka menjalani pernikahan ini. Jangan asal bilang nggak cocok." Lelaki yang jadi waliku itu menyanggah lagi.
Masih terus berdiskusi alot, memikirkan nasib pernikahan ini ke depannya. Hingga kesimpulannya, pernikahanku akan didaftarkan. Untuk memperkuat ikatan, sehingga tak mudah untuk berpisah dikemudian hari.
"Aku baru tahu, kalau sepupu itu boleh nikah." Pelan Alisa yang duduk di sisiku berucap.
"Nggak kebayang, gimana rasanya tidur bareng sama Mas sendiri." Sekarang Mbak Vita yang berbisik pada Alisa.
"Kasian banget kamu, Nda."
Aku hanya menghela napas, lalu melihat ke arah Mas Ivan yang tertangkap sedang menatapku. Namun dengan cepat, ia mengalihkan pandangan. Tampak dari gelagatnya ia juga terpaksa menikahiku.
Ah, nasib macam apa yang Engkau takdirkan ini Ya Allah?
**
Malam pertama berada di kamar pengantin, dengan taburan mawar di atas kasurnya. Harum bunga menguar, memanjakan penciuman. Bercumbu mesra, saling mencurahkan cinta dan kasih. Itu adalah impian sepasang pengantin baru.
Kenyataannya sekarang aku tidur di kamarku, sendirian. Masih di rumah Oma. Memandangi cincin yang kini menghiasi jari manis, kekecilan pula. Ngenes banget.
Pernikahan ini, pasti tak diinginkan oleh Mas Ivan. Makanya aku menolak tawaran Tante Yasmin, pulang bersama mereka. Mencoba memahami keadaan, bahwa aku tidak diinginkan suamiku.
Aku menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Ternganga, melihat Mas Ivan yang masuk dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Namun, seakan menjaga jarak denganku.
Dia tidak merasa canggung sama sekali, berbeda denganku yang seketika berdebar-debar.
"Ngapain ke sini? Mas mau tidur di sini?"
"Iya. Keberatan?"
Aku mengerutkan kening, menatapnya. Mencoba menelisik apa yang ia pikirkan. Namun nihil, aku tak mendapat apa-apa.
"Yakin banget, Mas? Di kamarku nggak ada AC, nggak ada kamar mandi. Cuma ada itu." Aku memonyongkan bibir ke arah kipas angin kecil. "Tapi nanti malam dingin, sih. Eh ... selimutnya cuma ada satu."
Mas Ivan berdecak, "minta dulu sama Oma, sana."
"Mas aja yang minta sana. Aku, nggak enak lah. Apa nggak mikirin gimana sama perasaan Oma? Pengantin baru pakai selimut satu-satu. Ya, seenggaknya kita terlihat baik-baik aja di depan mereka."
Mas Ivan menghela napas, "hm ... serah deh."
Aku mengamatinya lekat. Saat ini ia berbaring di sisi, tengah memainkan ponsel. Tampak santai, seolah baik-baik saja. Sekuat mungkin lelaki ini menyembunyikan kerapuhannya, semata untuk melindungi harga diri. Harga diri yang sudah dikoyak orang terkasih. Kan kasian.
"Aku tahu ini berat banget buat Mas. Mas, beneran serius sama pernikahan ini?"
Mas Ivan hanya memejamkan mata, enggan menjawab. Mungkin sama sepertiku, bingung.
"Apa untuk menghargai keluarga aja, kita harus bertahan?"
"Anggap aja begitu."
Hidup memang sebuah pilihan, bukan? Ada kalanya kita memilih mengorbankan diri, demi perasaan banyak orang. Seperti aku dan Mas Ivan saat ini, mengabaikan perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang tua. Juga demi martabat dan nama baik keluarga.
"Sebenarnya aku bermimpi punya rumah tangga seperti Mama dan Papa, sampai maut memisahkan sekali pun Mama tetap setia."
Hening, Mas Ivan menoleh padaku.
"Sayang ... aku malah menikah mendadak kayak gini. Yang sama sekali nggak pernah aku duga sebelumnya." Aku tersenyum kecut. "Aku nggak yakin, Mas, kalau pernikahan kita akan sesuai dengan harapanku. Biasanya kan begitu, realita nggak seindah ekspektasi."
Mas Ivan tetap bungkam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku tak mengerti.
Aku memandangi cincin di tangan. Namun aku tersentak, saat tiba-tiba lelaki itu meraih tanganku. Memutar cincin di sana.
"Kekecilan, ya?"
"Hu'um, agak sesak, sih."
Wajar saja, kan? Mahar pernikahan yang sekarang melingkar di jari manis ini, memang bukan disiapkan untukku.
"Lepas, ya." Mas Ivan berusaha melepas cincin dari jari.
Eh.
"Jangan dilepas!" seruku, seraya menarik tangan.
"Nanti darah kamu nggak ngalir. Mana? Sini'in cincinnya!" Mas Ivan masih meraih tanganku.
Namun, aku kembali menariknya, "apapun yang terjadi, jangan dilepas!"
Mas Ivan memutar bola mata, "besok aku cari yang pas, sekarang lepas dulu. Mana cincinnya?"
"Nggak!"
"Amanda," lirihnya.
Aku menggeleng.
"Kamu gemesin ya, sini deket lagi." Mas Ivan menepuk-nepuk kasur di dekatnya.
"Mau ... a-pa?" Seketika aku bergidik, merasa ngeri sendiri. Kutelan ludah susah payah, sambil bergeser hingga ke ujung kasur.
Mas Ivan tersenyum geli, konyol memang.
"Aku suami kamu, mau ngapain aja kamu nggak boleh nolak!"
"A-aku belum siap, Mas."
Mas Ivan tertawa pelan, sepertinya ia memang sengaja menggodaku. Pipi ini seketika terasa menghangat, bersama jantung yang degupnya kian menggila saja. Ya ampun, ini benar-benar memalukan.
"Mama mau, kamu tinggal di rumah," kata Mas Ivan seolah mengusir kecanggungan. "Istri itu harus ikut ke mana pun suaminya."
Aku hanya mengangguk. Sekuat tenaga bersikap biasa, tapi aku ... mendadak kaku.
"Gimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Ivan.
"Aneh."
Mas Ivan berdehem, tanda ia juga merasakan hal yang sama.
"Kita terjebak, untuk menjalaninya sulit, mengakhiri pun nggak enak sama keluarga." Aku menghela nafas.
"Jalani aja. Seiring waktu, cinta datang sendiri karena terbiasa."
Eeaa ....
Entahlah, rasanya lucu membicarakan soal cinta bersama sepupu. Hal ini membuatku refleks membayangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau nanti hanya aku yang cinta dan dia tidak. Sebab tak akan mudah untuk Mas Ivan melupakan mempelai perempuan yang meninggalkannya. Perasaan yang tak terbalas itu sangat menyedihkan, bukan?
"Gimana kalau aku nggak kuat?"
"Harus kuat!"
"Gimana kalau aku menyerah."
"Gampang, tinggal lambaikan tangan ke kamera."
"Buuk!" Satu bantal kulempar ke wajahnya. Dia ini, orang lagi serius juga.
"Dosa loh, masmu sekarang sudah jadi suami kamu." Ia mengekeh dan itu semakin membuatku kesal.
"Nggak lucu, Mas." Aku mendelik melihat Mas Ivan.
"Nggak usah galak-galak, ntar cepet tua. Cepet keriput."
Asem! Nyebelin banget, memang.
Berbalik, aku tidur memunggunginya. Hanya keheningan yang mewarnai kami setelahnya.
Mata tertuju pada cincin yang tadi kuperjuangkan, masih terpasang di jari walau sesak. Bagiku ini sudah menjadi bukti, kalau aku tak mau main-main dengan pernikahan ini.
#Romance_Humor
Pengantin Pengganti
MENIKAH DENGAN SEPUPUBAB 1
Bismillah ...
Aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, sama sepertiku. Mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya terlihat tegang dan khawatir.
Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung sacral dan khusyuk, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal.
Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat.
Aku masih mengamati kacaunya keadaan di sekitar. Hingga jawilan di tangan ini, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di samping. Oma.
Beliau berbisik, "Kamu mau jadi pengantin penggantinya?"
Deg!
Rasanya jantungku berhenti berdetak sesaat. Kemudian berdegup cepat. Aku terbungkam, masih mencerna pertanyaan Oma yang berhasil membuatku tersentak.
Apa tadi beliau bilang? 'Pengantin pengganti?'
“Maksud Oma, gimana? Manda ganti’in mempelai perempuan buat nikah sama Mas Ivan?” Sebisa mungkin aku menekan suara agar tidak menjadi pusat perhatian.
“Huum. Manda bisa?”
“Oma bercanda?!” sentakku tak percaya. Membuat beberapa tamu menatap kami, kepo mungkin.
Hingga tamu yang duduk di depanku bertanya, "Kenapa, Mbak?" Aku cuma menanggapi dengan gelengan samar.
Oma berdesis, seraya menekan telunjuk di depan bibir. Sementara aku masih menatap wanita paruh baya tersebut. Berusaha mencari arti ucapan beliau dari sorot mata yang sama sekali tak menyiratkan gurauan. Kali ini Oma tampak seserius itu.
Aku mengembus panjang, seraya menatap mempelai laki-laki di depan sana.
Dia adalah saudara sepupuku. Masih teringat jelas, bagaimana dulu kami sempat tumbuh dan besar dalam satu atap. Seperti kakak dan adik pada umumnya, kami dekat. Sangat dekat. Hingga hampir semua kekurangan diri, kami saling mengetahui.
Bahkan saat ini, aku tengah membayangkan bagaimana Mas Ivan tersenyum kala berbalas chatt dengan calon istrinya kemarin. Wajah oval itu memiliki hidung yang mancung. Alis yang lebat, menaungi sepasang mata hazelnya. Bibir yang tidak terlalu tipisnya mengembang, serasi dengan dagu yang membelah. Dia … manis. Siapa pun pasti bersedia mendampinginya.
Dan lagi, dia seorang manajer di suatu perusahaan pengembangan properti. Paket komplit, bukan? Hingga aku sangsi, kalau dia mau memperistriku yang tak lain adiknya sendiri.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Ke mana perempuan yang harusnya jadi mempelai perempuannya?“Gimana, Nda?” desak beliau lagi.
“Kenapa harus Manda?”
"Kamu jawab aja, iya atau enggak?" Oma bertanya sekali lagi, kilat matanya menatap tajam. Seakan menuntut jawaban sesegera mungkin.
Aku menggigit bibir, masih mencari jawaban dalam diri. Keputusan ini harus dipertimbangkan, karena pernikahan bukan untuk main-main. Cukup sekali seumur hidup.
"Amanda, Tante Yasmin sendiri yang minta kamu untuk mendampingi Ivan.” Oma mengangkat ponselnya. “Kalau enggak, Oma akan tawarkan ini pada Alisa."
Masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketika itu pula bimbang melandaku. Di satu sisi merasa kasihan dengan Mas Ivan. Tentu saja aku sangat menyayangi saudaraku itu. Juga, ada keluarga yang harus dijaga kehormatannya. Di sisi lain, hati ini sudah mencintai seseorang.
Sesaat, aku menoleh pada lelaki yang duduk di belakang. Lelaki yang kini duduk di sisi Alisa.
Hingga kuhela nafas, dengan yakin dan mantap menjawab ....
"Iya, Amanda bersedia, Oma."
"Bagus. Ayo, ikut Oma!"
Oma pun beranjak dari tempat duduknya. Aku pun mengikuti beliau yang berjalan menuju sebuah ruangan dalam gedung besar ini. Sampai di dalam ruangan, sudah ada Om Wahyu dan Tante Yasmin yang sedang berbicara. Mereka tampak tegang, sangat khawatir.
"Amanda," lirih Tante Yasmin. Mata adik dari ayahku itu seakan memohon menatapku.
Aku pun memeluk Tante Yasmin, mengerti tentang kegundahan hatinya. Mencoba menenangkan, membisikkan semua akan baik-baik saja. Walau sesungguhnya aku tidak mengerti, apa yang sudah terjadi.
Aku menoleh ke arah pintu yang dibuka dari luar, Mas Ivan baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya merah padam, dengan tangan mengepal dan bibir yang mengatup rapat. Terlihat jelas bahwa ia sangat geram.
Oma bergegas menghampirinya, berbisik. Apa yang sedang mereka katakana? Entah. Sepertinya bernegosiasi. Mas Ivan menoleh padaku, yang masih menenangkan Tante Yasmin. Raut wajahnya tampak putus asa. Tatapan kami bertemu beberapa saat, lalu setelah itu Mas Ivan berbicara pada Oma. Kemudian ia keluar lagi dari ruangan.
Oma berjalan ke arahku. "Siap-siap, Amanda. Pernikahan akan segera dilangsungkan."
Dengan mantap, dan tanpa keraguan aku mengangguk. Isyarat bahwa aku menyanggupi pernikahan ini.
Bismillah ....
**
Aku yang mengenakan kebaya berwarna hijau tua, duduk di belakang mempelai laki-laki. Dengan jantung yang berdebar dan keringat yang membasahi telapak tangan. Demi apa pun, aku gugup.
Namun, pikiran masih tertuju pada perempuan yang posisinya kugantikan saat ini. Tidak menyangka kalau di balik wajah polosnya, dia ternyata seorang penipu. Perempuan macam apa yang lari dari akad nikahnya? Aku masih tidak habis pikir.
Keputusan ini memang sangat gila. Bahkan tamu undangan pun semakin riuh saja, meski akad nikah akan segera dilangsungkan.
Walau tidak membungkam mulut mereka, tapi pernikahan ini adalah pilihan terbaik. Daripada harus membubarkan mereka karena acara yang batal, pasti akan lebih memalukan lagi.
"Saya terima nikahnya Amanda Salsabila binti Adrian Bagus dengan mas kawin tersebut, tunai!" Mas Ivan mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas.
"Sah!"
Dengan berwalikan Om Heru, kini aku sah menjadi seorang istri. Ada rasa haru bersama sesak menyelimuti hati. Harusnya Almarhum Papa yang menjadi waliku saat ini.
Setetes bulir bening meluncur sesaat aku memejamkan mata. Aku beringsut, duduk menghadap Mas Ivan. Tertunduk, tak berani menatap matanya. Sebab debaran di dada kian mengencang saja saat berhadapan dengannya yang kini telah menjadi suamiku.
Aku terpaku, lagi gugup. Hingga bingung apa yang harus aku lakukan.
Mas Ivan meraih tangan kananku, seperti mengerti kecanggungan yang mendera. Ia memasangkan cincin di jari manis. Tak ayal membuat tangan yang sedari tadi terasa dingin jadi gemetaran.
Aku melihat ada lengkung di bibirnya, tapi ... senyumnya hampa. Ia seolah berusaha menutupi luka, yang semua orang di sini pun tahu bahwa ia sedang berpura-pura kuat. Berlagak tegar. Padahal sebenarnya dia sangat rapuh, juga hancur. Kasihan.
"Salim dulu, Nak!" perintah Pak penghulu.
Mas Ivan mengulurkan tangan bersamaan aku yang meraih lalu mencium tangannya, takzim. Blitz pun menyala berulang kali mengabadikan adegan demi adegan pernikahan yang tak terduga ini.
Juru foto meminta Mas Ivan mencium keningku, seperti pasangan pengantin yang normal. Demi kepentingan dokumentasi, begitu katanya.
Aku memejamkan mata, saat bibir sepupuku mendarat di kening. Ya Tuhan, apa ini? Dicium kening sama sepupu itu kayak ada geli-gelinya gitu.
Aku membuka mata, sekaligus mempersiapkan diri melewati serangkai acara pernikahan ini. Tak pernah menduga, kalau hari ini aku yang menikah dan menjadi istrinya sepupu sendiri. Begitulah takdir Tuhan, bukan? Kadang memang seluar biasa ini!
**
Di rumah Oma, aku duduk di ruang tamu berdiskusi dengan keluarga besar.
Tak ada kehangatan seperti biasanya. Sangat dingin, khasnya ekspresi orang setelah ditimpa kesialan besar. Yah ... ini bencana, sebab kejadian tadi benar-benar memalukan. Citra keluarga pasti sangat buruk, di sosial media pun sedang panas diperbincangkan."Amanda benar serius, sama pernikahan ini?" Om Wahyu bertanya sembari melihatku.
"Mana ada nikah yang main-main? Pernikahan mereka sah dan halal menurut syari'at agama," sanggah Om Heru.
Hening beberapa saat, hanya hela napas panjang yang terdengar.
"Tolong, pernikahan mereka didaftarkan agar sah juga di mata hukum." Kali ini Oma yang angkat bicara.
"Kalau memang serius, pasti akan saya daftarkan, Bu. Tapi takutnya mereka nggak cocok. Kita tahulah kalau mereka ini adik dan kakak," kata Om Wahyu lagi.
"Lah, terus untuk apa mereka dinikahkan, kalau untuk dipisahkan lagi? Beri kesempatan dulu untuk mereka menjalani pernikahan ini. Jangan asal bilang nggak cocok." Lelaki yang jadi waliku itu menyanggah lagi.
Masih terus berdiskusi alot, memikirkan nasib pernikahan ini ke depannya. Hingga kesimpulannya, pernikahanku akan didaftarkan. Untuk memperkuat ikatan, sehingga tak mudah untuk berpisah dikemudian hari.
"Aku baru tahu, kalau sepupu itu boleh nikah." Pelan Alisa yang duduk di sisiku berucap.
"Nggak kebayang, gimana rasanya tidur bareng sama Mas sendiri." Sekarang Mbak Vita yang berbisik pada Alisa.
"Kasian banget kamu, Nda."
Aku hanya menghela napas, lalu melihat ke arah Mas Ivan yang tertangkap sedang menatapku. Namun dengan cepat, ia mengalihkan pandangan. Tampak dari gelagatnya ia juga terpaksa menikahiku.
Ah, nasib macam apa yang Engkau takdirkan ini Ya Allah?**
Malam pertama berada di kamar pengantin, dengan taburan mawar di atas kasurnya. Harum bunga menguar, memanjakan penciuman. Bercumbu mesra, saling mencurahkan cinta dan kasih. Itu adalah impian sepasang pengantin baru.
Kenyataannya sekarang aku tidur di kamarku, sendirian. Masih di rumah Oma. Memandangi cincin yang kini menghiasi jari manis, kekecilan pula. Ngenes banget.
Pernikahan ini, pasti tak diinginkan oleh Mas Ivan. Makanya aku menolak tawaran Tante Yasmin, pulang bersama mereka. Mencoba memahami keadaan, bahwa aku tidak diinginkan suamiku.
Aku menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Ternganga, melihat Mas Ivan yang masuk dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Namun, seakan menjaga jarak denganku.
Dia tidak merasa canggung sama sekali, berbeda denganku yang seketika berdebar-debar.
"Ngapain ke sini? Mas mau tidur di sini?"
"Iya. Keberatan?"
Aku mengerutkan kening, menatapnya. Mencoba menelisik apa yang ia pikirkan. Namun nihil, aku tak mendapat apa-apa.
"Yakin banget, Mas? Di kamarku nggak ada AC, nggak ada kamar mandi. Cuma ada itu." Aku memonyongkan bibir ke arah kipas angin kecil. "Tapi nanti malam dingin, sih. Eh ... selimutnya cuma ada satu."
Mas Ivan berdecak, "minta dulu sama Oma, sana."
"Mas aja yang minta sana. Aku, nggak enak lah. Apa nggak mikirin gimana sama perasaan Oma? Pengantin baru pakai selimut satu-satu. Ya, seenggaknya kita terlihat baik-baik aja di depan mereka."
Mas Ivan menghela napas, "hm ... serah deh."
Aku mengamatinya lekat. Saat ini ia berbaring di sisi, tengah memainkan ponsel. Tampak santai, seolah baik-baik saja. Sekuat mungkin lelaki ini menyembunyikan kerapuhannya, semata untuk melindungi harga diri. Harga diri yang sudah dikoyak orang terkasih. Kan kasian.
"Aku tahu ini berat banget buat Mas. Mas, beneran serius sama pernikahan ini?"
Mas Ivan hanya memejamkan mata, enggan menjawab. Mungkin sama sepertiku, bingung.
"Apa untuk menghargai keluarga aja, kita harus bertahan?"
"Anggap aja begitu."
Hidup memang sebuah pilihan, bukan? Ada kalanya kita memilih mengorbankan diri, demi perasaan banyak orang. Seperti aku dan Mas Ivan saat ini, mengabaikan perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang tua. Juga demi martabat dan nama baik keluarga.
"Sebenarnya aku bermimpi punya rumah tangga seperti Mama dan Papa, sampai maut memisahkan sekali pun Mama tetap setia."
Hening, Mas Ivan menoleh padaku.
"Sayang ... aku malah menikah mendadak kayak gini. Yang sama sekali nggak pernah aku duga sebelumnya." Aku tersenyum kecut. "Aku nggak yakin, Mas, kalau pernikahan kita akan sesuai dengan harapanku. Biasanya kan begitu, realita nggak seindah ekspektasi."
Mas Ivan tetap bungkam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku tak mengerti.
Aku memandangi cincin di tangan. Namun aku tersentak, saat tiba-tiba lelaki itu meraih tanganku. Memutar cincin di sana.
"Kekecilan, ya?"
"Hu'um, agak sesak, sih."
Wajar saja, kan? Mahar pernikahan yang sekarang melingkar di jari manis ini, memang bukan disiapkan untukku.
"Lepas, ya." Mas Ivan berusaha melepas cincin dari jari.
Eh.
"Jangan dilepas!" seruku, seraya menarik tangan.
"Nanti darah kamu nggak ngalir. Mana? Sini'in cincinnya!" Mas Ivan masih meraih tanganku.
Namun, aku kembali menariknya, "apapun yang terjadi, jangan dilepas!"Mas Ivan memutar bola mata, "besok aku cari yang pas, sekarang lepas dulu. Mana cincinnya?"
"Nggak!"
"Amanda," lirihnya.
Aku menggeleng.
"Kamu gemesin ya, sini deket lagi." Mas Ivan menepuk-nepuk kasur di dekatnya.
"Mau ... a-pa?" Seketika aku bergidik, merasa ngeri sendiri. Kutelan ludah susah payah, sambil bergeser hingga ke ujung kasur.
Mas Ivan tersenyum geli, konyol memang.
"Aku suami kamu, mau ngapain aja kamu nggak boleh nolak!""A-aku belum siap, Mas."
Mas Ivan tertawa pelan, sepertinya ia memang sengaja menggodaku. Pipi ini seketika terasa menghangat, bersama jantung yang degupnya kian menggila saja. Ya ampun, ini benar-benar memalukan.
"Mama mau, kamu tinggal di rumah," kata Mas Ivan seolah mengusir kecanggungan. "Istri itu harus ikut ke mana pun suaminya."
Aku hanya mengangguk. Sekuat tenaga bersikap biasa, tapi aku ... mendadak kaku.
"Gimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Ivan.
"Aneh."
Mas Ivan berdehem, tanda ia juga merasakan hal yang sama.
"Kita terjebak, untuk menjalaninya sulit, mengakhiri pun nggak enak sama keluarga." Aku menghela nafas.
"Jalani aja. Seiring waktu, cinta datang sendiri karena terbiasa."
Eeaa ....
Entahlah, rasanya lucu membicarakan soal cinta bersama sepupu. Hal ini membuatku refleks membayangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau nanti hanya aku yang cinta dan dia tidak. Sebab tak akan mudah untuk Mas Ivan melupakan mempelai perempuan yang meninggalkannya. Perasaan yang tak terbalas itu sangat menyedihkan, bukan?"Gimana kalau aku nggak kuat?"
"Harus kuat!"
"Gimana kalau aku menyerah."
"Gampang, tinggal lambaikan tangan ke kamera."
"Buuk!" Satu bantal kulempar ke wajahnya. Dia ini, orang lagi serius juga.
"Dosa loh, masmu sekarang sudah jadi suami kamu." Ia mengekeh dan itu semakin membuatku kesal.
"Nggak lucu, Mas." Aku mendelik melihat Mas Ivan.
"Nggak usah galak-galak, ntar cepet tua. Cepet keriput."
Asem! Nyebelin banget, memang.
Berbalik, aku tidur memunggunginya. Hanya keheningan yang mewarnai kami setelahnya.
Mata tertuju pada cincin yang tadi kuperjuangkan, masih terpasang di jari walau sesak. Bagiku ini sudah menjadi bukti, kalau aku tak mau main-main dengan pernikahan ini.
Bismillah .... Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri. Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara
Bismillah ... Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas. Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah. Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya. "Ke mana?" Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini. "Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut. "Apa, Mas?"
Bismillah ... Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi. Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar. Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda. Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali! Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Ak
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Kata Dylan, Rindu itu berat. Nyatanya memang benar. Berat sebab bayangan seseorang yang dirindukan itu seakan ada di mana-mana. Baik di ruang tidur bahkan di kamar mandi sekalipun, aku teringat keusilan Mas Ivan. Ya, seperti sedang di kamar mandi saat ini. Aku terbayang saat telunjuk sepupuku yang usil itu mendorong kepala ini pelan. Seraya berkata, "Makanya jangan ngeyel! Keras kepala amat. Udah tau cincin kekecilan masih nggak mau dilepas." Lantas aku tersenyum getir, saat ingin menuang shampo ke telapak tangan ini. Dari sini pun aku teringat lelaki menyebalkan itu. "Milihnya yang cocok sama rambut kamu. Cari juga yang wanginya enak," kata Mas Ivan sewaktu kami berdiri di depan rak yang terdapat berbagai macam merek shampo. "Bukannya semua shampo fungsinya sama aja. Buat keramas, kan?" Mas Ivan berdecak. "Ya bedalah, Dodol. Logikanya kalau nggak kutuan, ngapain beli shampo buat hilangin kutu?" "Benar juga." Aku cengeng
Bismillah ...Setelah shalat isya, aku mengerutkan kening, kala mencabut charger ponselku. Ada beberapa pesan masuk tertera di layar yang menyala. Salah satunya pesan dari nomor tak dikenal, berisikan promosi pinjaman online. Juga pesan dari operator yang menginformasikan kalau nomorku sudah terisi pulsa dengan nominal seratus ribu.Siapa?Sontak aku pun tersenyum, saat terbesit kemungkinan tersangkanya adalah suamiku. Siapa lagi kalau bukan? Ah, manis sekali. Perhatian yang begitu, kan, bikin melted.Aku membawa serta ponsel ini, keluar dari kamar. Menuju di mana Mas Ivan berada. Sesampainya di lantai bawah, tampak suamiku itu sedang duduk sambil memencet remot, mengganti channel TV.Lelaki berhidung mancung itu menoleh, saat aku duduk di sofa sebelahnya. "Tumben turun? Biasanya betah banget mendep di kamar."Aku mengangkat bahu. "Nggak papa, sih! Emang nggak boleh, ya?""Enggak. Cuma heran aja. Nggak biasanya turun, sa
Bismillah .... "Amanda." Seseorang memanggilku sesaat aku menginjakkan kaki di lantai atas. Mas Alfin tampak berdiri di depan pintu kamarnya. "Kenapa Mama?" tanyanya kemudian ketika aku mendekat padanya. "Kedengaran, ya?" "Enggak. Cuma kaget aja. Soalnya tadi keluar kamar pas banget sama Mama banting pintu kamar." Mas Alfin memberitahu. "Tau sendirilah Mama gimana? Jadi nggak usah diambil hati. Entar juga baik sendiri." "Hm, iya." "Boleh minta tolong nggak?" "Apaan?" Tolong beli’in rokok." Inilah hal tak enak, saat tinggal bersama kakak sepupu. Aku yang paling muda suka di suruh-suruh. Tolong inilah, tolong itulah. Pernikahan kemarin seakan tak merubah apa pun bagi dua saudaraku ini. Mereka masih saja menganggapku adik seperti dulu. "Iya, mana?" jawabku malas, sambil menadahkan tangan. Mas Alfin mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet. Lalu memberikan uang berwarna b
Bismillah ..."Habis ngapain sampe basah semua kayak gitu?" Mas Ivan tampak mengerutkan kening, saat melihatku baru saja masuk ke kamar. Heran mungkin, sebab pakaian yang aku kenakan nyaris basah semua."Oh, ini. Aku baru aja selesai nyuci. Mas gimana, udah baikan?""Hmm, udah mendingan," gumamnya pelan. Saat ini sepupuku itu sedang berolahraga ringan. Berdiri dengan tangan ke atas, disertai dengan meliuk-liukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Dia tampak mulai berkeringat.Yah, pagi ini aku baru saja selesai mencuci selimut, seprai dan pakaian yang terkena muntahan sepupuku saat demam kemarin. Terhitung sudah tiga hari-dua malam, Mas Ivan terbaring lemah di kasur. Panasnya tinggi. Bahkan pula kesulitan mencerna makanan. Apa pun yang masuk ke lambungnya, akan keluar lagi tanpa sempat dicerna lebih dulu. Lantas aku pun bersyukur, saat melihat dia sudah membaik sekarang."Katanya baik luar-dalem? Eh, tapi tepar juga. Makanya jadi orang ngga
Bismillah ...Seperti biasa, setelah shalat isya' aku memilih berdiam di kamar. Rebahan sembari scrool-scrool media sosial. Aku mendesah kecewa, ketika mendapati komentar tidak pantas di foto pernikahan kami yang diposting seseorang. Entah siapa, sepertinya mereka ini teman Mas Ivan.'Siapa pun yang mendampingimu. Semoga itu yang terbaik.' Begitu caption-nya, hingga menimbulkan komentar beragam.Meski ada juga yang ikut mendoakan dengan doa terbaik, tapi tetap saja sakit saat mendapati komentar yang menyentil. Ah, sangat menyesakkan sekali rasanya. Pantas saja kata Mama bikin asam lambung naik.'Lah, jadi beneran Ivan nikahnya sama Amanda? Kok, mau-maunya sih? Gila!''Kenapa nggak dibatalkan aja acaranya? Daripada nikah sama sodara, nggak baik buat keturunan nantinya.''Mending batalin aja kalau aku. Nikah sama sepupu kayak nggak ada orang lain aja.''Bener nggak sih, kalau pengantinnya kabur sama cowok lain? Nggak punya hati banget k
Bismillah ... Di suatu pagi, aku berdiri di depan cermin, mengamati penampilan adalah kebiasaan baru sebelum aku keluar dari kamar. Memastikan kalau yang aku kenakan ini sudah pantas. Kan sungkan bila ditegur lagi seperti kemarin. Pastinya sebal juga. Ditegur tegas seperti itu bukan hal baru sebenarnya. Ah, aku jadi teringat masa dulu. Di suatu pagi saat Mas Ivan mengantarku ke sekolah, dia berhenti sejenak di depan kios bunga. "Tunggu bentar, ya, Nda," katanya sembari keluar dari mobil. Lalu dia tampak berjalan memasuki toko yang menjual berbagai macam bunga berwarna-warni itu. Aku hanya mengamatinya dari dalam sini. Tak lama menunggu, Mas Ivan sudah kembali membawa sebuket bunga mawar merah. Sangat cantik. "Eeaa! Buat pacarnya, ya?" godaku saat Mas Ivan kembali dan duduk di kursi kemudinya. "Mas Ivan ternyata manis juga." Sepupuku itu hanya tersenyum kecil. Lalu kembali menjalankan mobil. "Jadi kepengen
Bismillah ... Sudah menjadi kebiasaan, setelah mandi aku akan mengganti baju di dalam kamar mandi. Terlebih saat ada Mas Ivan di rumah. Namun, saat ini aku kebingungan. Sebab tidak menemukan underware di lipatan baju ganti yang sudah kusiapkan tadi. Ah, mungkin lupa, tapi ... aku yakin kalau tadi sudah mengambilnya. Apa jangan-jangan tercecer? Kuhembuskan napas kasar. Jadilah aku melilit tubuh ini dengan handuk. Merasa penasaran, aku sedikit membuka pintu. Celingak-celinguk, mengintip ke luar. Sepi. Sepertinya Mas Ivan sedang berada di luar kamar. Lalu pandanganku menyapu lantai kamar, mencari dalaman warna merah muda. Ah, tu dia, rupanya jatuh di dekat pintu lemari. Ya ampun, Amanda ... ceroboh sekali! Lalu aku harus apa? Dan itu ... bagaimana kalau dilihat Mas Ivan? Aku menepuk jidat, kenapa selalu saja mempermalukan diri sendiri, sih? Ak
Bismillah ... Demi apa pun aku ingin keluar dari kamar pengantin ini. Meski pendingin ruang kamar ini menyala, entah mengapa terasa sangat panas. Aku melangkah lambat hendak keluar dari kamar. Namun tercekat saat di depan pintu, karena tiba-tiba Mas Ivan menahan lengan ini. Membuat tatapan kami bertaut, dengan jarak wajah yang begitu dekat. Hanya sesaat, sebab setelahnya kami saling memalingkan wajah. Aku menarik tangan yang dia genggam. Pandangan kami kembali bertemu. Aku tersenyum, lalu melipat bibir ke dalam. Oh astaga, sekarang aku salah tingkah. Jantungku yang sudah berdebar-debar sejak tadi, kian menggila saja detaknya. "Ke mana?" Aku cuma menyengir, bingung mau menjawab apa. Ke mana saja, asal keluar dari sini. "Bantuin Mas dulu." Tampak olehku sudut bibirnya berkedut. "Apa, Mas?"
Bismillah .... Malam yang panjang pun akhirnya berlalu juga. Entah berapa kali aku bangun, mencoba tidur lelap, lalu terbangun lagi. Begitu berulang terus hingga menjelang pagi. Tidurku tak bisa nyenyak. Serba salah tidur seranjang dengan lelaki meski itu mas sendiri. Rasanya masih bagai mimpi. Kakak yang menyebalkan kemarin, kini jadi suamiku. Dulu waktu kecil, dia tak jarang bikin aku menangis. Sebabnya cuma rebutan remot dan rebutan channel TV. Sekarang gede, malah rebutan selimut. Eh? Rasanya aku ingin menertawai takdir yang seakan mempermainkan sedemikian rupa ini. Entah takdir macam apa, yang sedang kujalani sekarang. Dunia yang sangat luas dengan milyaran manusianya tapi aku malah menikah dengan sepupu sendiri. Aku tahu, kalau sepupu memang bukan mahram. Maka sah dan halal saja kalau kami menikah. Namun rasanya ... aneh! Mas Ivan dan aku selama ini saudara