Di ruang loker itu, kini dipenuhi oleh siswa laki-laki yang hendak mengikuti pertandingan basket. Jeno membuka baju seragamnya untuk diganti dengan kaos basket.
"Jen, serius lo bisa main basket?" tanya Rey yang saat itu sedang memakai sepatu di lantai.
Jeno melipat baju seragam, dan memasukkannya ke dalam loker. "Lihat saja nanti," katanya.
Rey berdiri dari duduknya, dia sedikit meregangkan otot lengan dan lutut.
"Woy!" sahut seseorang dari ujung lorong. Rey menoleh, begitu pun Jeno.
Laki-laki berparas tampan menghampiri tim basket Rey.
"Woy, Bang." Rey melambaikan tangan.
"Gimana, udah siap ngelawan gue?" kata laki-laki itu.
"Siap lah. Nih, gue udah ada penggantinya. Kenalin, namanya Jeno. Temen sekelas gue, murid baru. Jen, ini bang Theo. Ketua basket di sekolah kita," ucap Rey memperkenalkan Jeno kepada laki-laki yang diketahui adalah kakak kelasnya sekaligus si ketua basket.
Theo, laki-laki tampan yang digadang-gadang pangeran sekolah di sepanjang sejarah SMA Horizon. Laki-laki yang memiliki mata bulat seperti boba, rahang tegas, dan senyum yang memikat, dia memiliki bekas luka di samping matanya, namun hal itu menjadi point tambah bagi ketampanan Theo.
Laki-laki itu mengulurkan tangan pada Jeno.
"Gue Theo. Kelas 3-1," ujarnya.
Jeno hanya menatap uluran tangan Theo, dia sama sekali tidak tertarik dengan sikap ramah yang diberikan Theo.
Laki-laki dingin itu kemudian berlalu dari hadapan Rey, maupun Theo. Kaki jenjangnya mengajak laki-laki itu menuju lapangan.
"Gila, sombong amat," ucap Theo yang menatap punggung lebar Jeno yang mulai menjauh.
"Sorry, Bang. Dia emang kaya gitu," kata Rey. Jujur saja, dia sedikit tidak enak dengan sikap Jeno yang kelewat batas.
"Bilangin sama temen lo. Jaga sikap kalo ga mau berurusan sama gue." Theo pergi dari hadapan Rey dengan raut wajah marah.
Laki-laki bernama Jeno itu harus diberi sedikit pelajaran.
🔱
🔱"Ga mau! Gue ga mau ikut nonton, lo aja sendiri."
Luna mencoba melepaskan cengkraman tangan Alice yang hendak membawanya ke lapangan. Gadis itu terus menyeret Luna agar temannya ikut menonton pertandingan basket yang rutin diadakan satu bulan sekali.
"Lo harus ikut, Luna. Kalo lo takut kepanasan, nih gue udah bawa payung buat lo. Kalo lo haus, gue udah bawa minuman dingin. Jadi lo harus ikut. Jangan banyak alasan. Oke."
Luna hanya pasrah ketika Alice membawanya menuju kursi kosong di bagian tengah. Dia mendudukkan bokongnya di kursi yang terasa hangat karena ulah sengatan sinar matahari yang cukup terik siang itu.
Suasana sangat ramai, banyak siswi yang membawa spanduk untuk mendukung jagoan mereka. Semuanya bersorak ketika kedua tim memasuki area lapangan.
"WO! KAK THEO!" sorak Alice.
Luna menutup sebelah telinganya. Dia sebenarnya tidak suka dengan keramaian. Gadis itu lebih baik diam di kelas sembari mendengarkan musik. Ditambah cuaca yang sangat panas yang membuat ubun-ubun terasa dibakar.
"KAK THEO GANTENG BANGET!"
"KAK THEO! SARANGHAE!
"SEMANGAT KAK THEO!"
Sahut para siswi yang mendukung tim Theo, laki-laki tertampan menurut versi mereka. Dia melambaikan tangan seolah menyapa orang-orang terutama puluhan siswi, hal itu sontak membuat mereka berteriak histeris dibuatnya.
"Lun! Liat deh, kak Theo ganteng banget, sumpah!" Alice mengguncangkan badan Luna yang masih terdiam.
"Ganteng apanya sih," ujar Luna.
Lantas Alice memutar kedua bola matanya malas. Tidak habis fikir dengan sahabatnya itu.
"JENO GANTENG, SEMANGAT! WOO!"
"JENO SEMANGAT!"
Tidak dipungkiri, banyak siswi yang mendukung laki-laki dingin itu. Jeno memang tampan, lihat saja, dia memakai kaos basket sebahu yang memperlihatkan bisep berotot laki-laki itu. Tentu saja para siswi seperti diberi asupan vitamin ketika melihatnya.
"Jeno emang cakep sih, tapi dia itu cuek, dingin, kaya es batu," kata Alice.
Kali ini Luna membenarkan ucapan Alice, laki-laki itu tetap bereaksi datar di lapangan sana, dia tidak peduli dengan orang-orang yang mendukungnya.
Pertandingan akan segera dimulai. Kedua pemimpin tim maju ke area tengah lapangan untuk memperebutkan bola.
Wasit melambungkan bola ke udara, tim Rey berhasil membawa bola. Dia mendibble, mengoper, menggiringnya menuju ring lawan. Seolah tidak ingin kalah, tim Theo mencoba mengambil bola yang di dribble Rey saat itu.
Theo berhasil merebut bola, dia mendribble dan mengopernya pada teman satu tim, namun sayang, Jeno berhasil mengambil bola itu. Dengan cekatan, Jeno mendribble bola dan memasukkannya ke ring lawan.
Suara sorak penonton semakin keras. Tim Rey berhasil mendapat skor.
Pertandingan belum selesai, tim Theo mencoba merebut point. Dia mendribble bola, dan melambungkannya ke ring lawan, namun gagal. Kini giliran Rey yang merebut bola, laki-laki mungil itu sangat lihai memainkan bola basket.
"PASS!"
"JEN, AMBIL!" sahutnya pada Jeno.
Jeno mengangguk, dan mengambil bola yang sebelumnya sudah dioper Rey. Dia berlari sembari mendribble bola. Di depan ring lawan, Theo sudah bersiap untuk merebut bola itu, seolah tidak akan membiarkan Jeno mencetak skor lagi.
Theo menatap tajam ke arah Jeno.
"Lo ga bakal menang ngelawan gue," kata Theo.
Jeno tidak mempedulikan ucapan Theo. Laki-laki itu menggiring bola melewati Theo yang berusaha mencegah. Dia melompat, membawa bola itu masuk ke dalam ring lagi.
"WO, JENO! KERJA BAGUS!" sahut Rey.
Suasana semakin riuh. Panas matahari semakin membakar area lapangan. Tapi para penonton tidak ada yang berniat meninggalkan acara pertandingan.
Luna mengambil satu botol kaleng minuman bersoda yang dibeli Alice, dan meneguknya untuk meredakan rasa dahaga yang melanda tenggorokan.
"Lun, liat deh. Itu Mark sama Naresh kan?" ucap Alice.
Luna mengikuti arah telunjuk Alice menuju pada dua orang yang kini duduk di pojok lapangan.
"Masa iya siang-siang gini pake jaket hoodie. Emangnya ga panas ya? Gue aja yang pake seragam tanpa blazer masih kerasa panas," kata Alice.
Ya, kedua laki-laki itu kini duduk bersebelahan di ujung kursi lapangan. Mereka memakai jaket hoodie sampai menutupi kepala, dan memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya, seolah takut terkena sinar matahari.
Aneh sekali. Wajah mereka pun terlihat sangat pucat pasi seperti mayat.
"Kaya takut sinar matahari. Apa mereka vampir ya?" bisik Alice.
Pertandingan berakhir dengan skor tim Rey 27, dan skor tim Theo 24, yang artinya tim Rey mendapatkan kemenangan di babak terakhir. Satu per satu penonton kembali ke kelas masing-masing, suara pujian selalu dilontarkan para siswi pada idola mereka yang baru, Jeno.Ya, Jeno lah yang membawa tim Rey menuju kemenangan untuk pertama kalinya, melawan tim basket Theo, si juara selama dua tahun berturut-turut."Gila sih, si Jeno jago banget main basketnya," ucap Alice ketika di dalam kelas, masih dengan eskpresi terkagum-kagum ketika mengingat bagaimana Jeno terus menerus mencetak skor.Orang yang diajak bicara hanya diam, tanpa ada niatan untuk menjawab. Luna sangat fokus menatap layar ponselnya, itu membuat Alice mendengus, dan merampas ponsel Luna. "Liat apaan sih, serius amat."Alice membaca judul artikel yang temannya itu buka. "Ciri-ciri vampir?" Gadis itu terkikik. "Yak! Gue fikir lo ga percaya soal yang beginian."Luna mendelik, mengambil kembali p
Dunia semakin maju, teknologi semakin canggih. Generasi ke generasi manusia mulai mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan. Hingga pada titik di mana manusia mulai melupakan adat, tradisi dan kepercayaan.Berkembangnya teknologi baru diikuti dengan memudarnya keyakinan manusia terhadap kepercayaan nenek moyang. Apa kamu salah satu orang yang mempercayai adanya makhluk mitos? Memang, sejak dahulu sampai sekarang para ilmuan tidak bisa membuktikan bahwa makhluk legenda seperti vampire, werewolf, elf, dan yang lainnya pernah hidup atau ada di bumi, planet yang ditempati manusia sekarang.Konon katanya, makhluk mitologi bisa hidup sampai ribuan tahun, bahkan sebagian dari mereka bisa hidup kekal sampai dunia berakhir. Dan kembali lagi, belum ada bukti ilmiah yang bisa menjelaskan mengenai hal tersebut
Luna kembali ke kelas yang ada di lantai dua. Peluh di dahinya masih kentara, dia mengusapnya menggunakan punggung tangan. Gadis itu berjalan gontai seolah hal buruk telah terjadi pada dirinya.Kelas sudah dimulai, Edward selalu guru Matematika menoleh ke arah Luna yang baru saja masuk melalui pintu depan kelas. Luna menundukkan kepala bermaksud meminta maaf."Dari mana saja kamu," ucap Edward dengan nada dinginnya.Sekali lagi Luna menundukkan kepala menyesal."Maaf, Pak. Saya kurang enak badan, saya pergi ke UKS untuk meminta obat. Sekali lagi saya mohon maaf," jawab Luna.Pria dewasa yang berstatus guru itu menghela nafas."Ya sudah. Kembali ke tempat duduk kamu."Gadis itu berjalan menuju bangkunya. Luna mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Tak sengaja, matanya menatap laki-laki yang kini duduk di belakang bangkunya. Jeno memandang gadis itu da
Sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran hutan rindang ujung kota, menjadi hunian para makhluk dari dunia immortal. Rumah besar dengan pilar model klasik modern menjulang tinggi berwarna putih, ditambah hiasan ukiran khas kerajaan di setiap ujungnya, memberikan kesan mewah rumah tersebut.Orang-orang yang tidak sengaja melewati rumah megah di sana akan terkagum dengan keindahan rumah yang terletak jauh dari pemukiman bak istana di negeri dongeng.Air mancur dan taman yang selalu tampak terlihat bersih dan rapi. Mobil mewah yang terparkir berjajar akan membuat insting manusia menebak bahwa orang yang menempati rumah itu adalah seorang milyader.Laki-laki berpakaian serba hitam dan berjubah merah menuruni tangga menuju suatu tempat. Ruangan tampak remang-remang pencahayaan, dan hanya ada lampu lilin dengan ukuran besar berjajar di setiap sudut, akan membuat bulu kuduk orang awam berdiri.Dia membuka kulkas berniat untuk memakan sesuatu. Dia juga makhlu
Matahari pagi baru saja terbit dari ufuk timur, cahaya hangatnya mencoba masuk lelalui celah awan berwarna kelabu. Udara tidak terlalu dingin dan menusuk permukaan kulit kala itu, hanya hawa sejuk yang gadis itu rasakan. Sesekali, semilir angin memainkan dedaunan pohon bungur dan johar yang berbaris rapi di pembatas jalan.Dia menghirup udara beberapa kali. Kaki jenjangnya tetap berjalan di trotoar menuju sekolah yang cukup jauh dari halte bis.Batu kerikil kadang menjadi korban keisengan Luna. Dia menendang apa saja yang dilihatnya dengan ujung sepatu. Sebenarnya, dia selalu diantar jemput oleh supir pribadi milik keluarga. Tapi kali ini, gadis itu pergi sendirian, tanpa berpamitan pada orang di rumah.Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, Luna menghentikan langkahnya. Gerbang itu belum dibuka sama sekali. Tentu saja, jam pelajaran bahkan akan dimulai satu jam lagi.Luna menghampiri pos satpam yang berada tepat di sebelah gerbang."Pagi,