Luna kembali ke kelas yang ada di lantai dua. Peluh di dahinya masih kentara, dia mengusapnya menggunakan punggung tangan. Gadis itu berjalan gontai seolah hal buruk telah terjadi pada dirinya.
Kelas sudah dimulai, Edward selalu guru Matematika menoleh ke arah Luna yang baru saja masuk melalui pintu depan kelas. Luna menundukkan kepala bermaksud meminta maaf.
"Dari mana saja kamu," ucap Edward dengan nada dinginnya.
Sekali lagi Luna menundukkan kepala menyesal.
"Maaf, Pak. Saya kurang enak badan, saya pergi ke UKS untuk meminta obat. Sekali lagi saya mohon maaf," jawab Luna.
Pria dewasa yang berstatus guru itu menghela nafas.
"Ya sudah. Kembali ke tempat duduk kamu."
Gadis itu berjalan menuju bangkunya. Luna mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Tak sengaja, matanya menatap laki-laki yang kini duduk di belakang bangkunya. Jeno memandang gadis itu datar, sementara Luna tidak peduli, yang dia harus lakukan adalah duduk di bangku dan memulai pelajaran yang sempat tertunda.
"Lun? Lo gapapa kan?" bisik Alice sedikit melirik Luna dengan ekor matanya.
Luna mengangguk seolah tidak terjadi apa-apa.
"Gapapa."
Jam pelajaran berlangsung selama dua jam. Selama itu pula murid-murid harus ekstra fokus walaupun hati, pikiran dan otak tidak sinkron dengan materi.
Kring!
Suara bel istirahat berbunyi. Semuanya bersorak gembira, akhirnya mereka bisa terlepas dari belenggu rumus menyebalkan. Satu per satu murid keluar meninggalkan kelas untuk pergi ke kantin, mengisi asupan amunisi yang terkuras selama pembelajaran.
Gadis itu berjongkok di bawah bangkunya, mencari sesuatu. Mata elangnya menelisik setiap penjuru, dia tidak tahu persis ke mana dia melempar benda berharga itu.
"Ayo Lun, ke kantin," kata Alice yang baru saja membereskan buku-buku miliknya di atas meja.
"Lo lagi nyari apa sih?" tanya Alice.
"Lo liat ponsel sama earphone gue ga? Perasaan tadi disini deh," ujarnya. Luna masih mencari di mana keberadaan dua benda itu.
Jika terjatuh, harusnya benda itu ada di lantai bukan?
"Nih. Punya kamu kan?"
Suara deep menghentikan kegiatan Luna. Ada tangan laki-laki yang kini menyodorkan ponsel beserta earphone milik gadis itu.
Luna menengadahkan kepala. Dia buru-buru bangkit dan mengambil benda yang dicarinya.
"Makasih," ucap Luna.
Laki-laki itu kembali ke tempat duduknya tanpa mempedulikan ucapan rasa terima kasih dari Luna. Aish! Bahkan dia tidak bereaksi apapun. Ingin rasanya Luna mencabik wajah laki-laki bernama Jeno.
Tapi, bukan Luna namanya kalau tidak bersikap ramah. Gadis itu mendekati Jeno yang sedang membaca sebuah buku tebal bersampul merah bergradasi hitam, buku yang cukup seram jika dilihat.
"Lo, mau dibeliin apa? Makanan? Minuman? anggap aja sebagai rasa terima kasih gue," ujarnya sembari tersenyum.
Sekali lagi, Jeno tidak bereaksi apapun. Jari tangannya membuka lembaran buku yang dia baca. Luna mengulum bibir, tangannya mengepal. Ini pertama kalinya dia diabaikan oleh orang, setelah Ayah dan Ibunya. Luna benci itu.
"Jeno! Lo denger ga sih temen gue bilang apa?" sahut Alice. Gadis itu pun ikut terheran dengan sikap Jeno yang kelewat dingin.
Jeno menolehkan pandangannya, dia menatap satu per satu gadis yang kini berdiri di depannya. Tatapan itu, tatapan paling tajam yang pernah mereka berdua lihat. Seram? tentu saja. Mereka seperti melihat pemeran antagonis dalam sebuah film.
Laki-laki itu mengernyit, menutup kembali buku miliknya. Dia melipat kedua tangan seperti orang angkuh.
"Kalau bicara yang sopan," ucapnya. "Kalian tidak sadar sedang berbicara dengan siapa?"
Luna menautkan kedua alis tidak mengerti. Berbeda halnya dengan Alice, gadis itu kini berkacak pinggang.
"Iya, gue sadar lagi ngomong sama siapa. Cowok super jutek! Jangan mentang-mentang lo cakep, terus seenaknya berlagak sok ngartis! Lo pikir lo siapa, hah?! Nenek moyang? Pake acara ngoreksi omongan gue!"
Jeno bangkit dari duduknya, jari telunjuk laki-laki itu melayang ke arah Alice. Sementara Alice membusungkan dada, seperti bersiap untuk bertarung. Gadis tomboy itu sama sekali tidak takut.
"Jaga mulut kamu manusia tidak bermoral!" sahut Jeno.
Naresh, Mark dan Hans beringsut dari duduknya menghampiri Jeno. Mereka sangat was-was jika Jeno bertindak di luar batas. Begitu juga dengan Luna, gadis itu menahan tubuh Alice yang ingin memberontak.
"Udah, jangan diladenin," ucap Luna yang tidak didengar oleh Alice.
"COWO GILA! SINI MAJU LO, LO PIKIR GUE TAKUT! MANUSIA SOMBONG!" teriak Alice.
"Kamu! Dasar—"
Naresh memotong ucapan Jeno.
"Kita minta maaf. Jeno emang suka kaya gini. Maaf ya maaf," ujar Naresh.
"Kalian mending ke kantin. Biar kita yang eksekusi Jeno," timpal Hans sembari tersenyum.
"AWAS LO, JENO SIALAN! URUSAN KITA BELUM SELESAI!" sahut Alice. "LEPASIN GUE! GUE PENGEN CABIK-CABIK MUKA SI JENO! LEPASIN GUE! COWO GILA! WOY! JENO!"
Alice terus memberontak ketika Luna dan Mark ikut menyeretkan ke luar dari kelas.
Di dalam kelas, Jeno kembali mendudukkan dirinya di bangku. Tanpa sadar kedua mata laki-laki itu samar-samar berubah menjadi warna biru terang.
"Jeno, sampai kapan kamu tidak bisa mengontrol emosi? Ini di dunia manusia. Kamu harus paham sifat manusia, mereka memang seperti itu," peringat Naresh.
Jeno memijit pelipisnya dan mengatur nafas. Naresh benar, dia tidak bisa mengatur emosinya yang bisa meledak kapan saja.
🔱
🔱"Udah gue bilang jangan emosian," ujar Luna.
Saat ini mereka berdua sedang membawa nampan berisi makan siang.
"Tapi dia duluan yang nyari perkara. Dia pikir dia siapa. Baru juga murid baru, tapi sombongnya minta ampun," jawab Alice membela diri.
Mereka duduk di bangku yang masih kosong. Kantin tidak terlalu ramai, bisanya banyak anak-anak nakal yang selalu mericuhkan suasana, seperti menjahili orang-orang yang sedang makan, menyuruh murid kurang mampu untuk membelikan mereka cemilan, dan sebagainya.
"Awas aja, gue ga bakal biarin si Jeno hidup tenang karena berurusan sama gue. Dasar manusia pucet," umpatnya.
"Ga boleh gitu, ga baik," kata Luna sembari menyuapkan chicken katsu kedalam mulutnya.
Alice tidak peduli. Bagaimanapun, Jeno harus diberi sedikit pelajaran. Gadis itu memainkan ponsel saat makan. Dia menscroll berita yang muncul dari bilah status benda pipih miliknya.
"OH MY GOD!" seru Alice.
Luna tersentak. "Apaan sih! heboh mulu kerjaannya."
Alice memang salah satu orang yang tidak baik untuk kesehatan jantung Luna.
"Lun! lo liat deh berita ini. Serem banget," ucap Alice memberikan ponselnya pada Luna.
Luna mengambilnya dengan setengah hati, kali ini apa lagi yang membuat temannya itu sangat heboh. Gadis itu membaca berita yang dimaksud Alice.
"Seorang petani ditemukan tidak bernyawa di ladang gandum dengan luka gigitan dileher. Diduga gigitan itu ulah dari makhluk mitologi vampir."
Luna mengernyit. Berita macam apa itu? Vampir katanya? Ah, orang-orang terlalu banyak menonton film horror.
"Ga jelas banget beritanya," kata Luna memberikan ponsel itu pada Alice.
"Ga jelas gimana? itu udah jelas-jelas ada buktinya Lun. Kalo vampir itu beneran ada," ucap Alice yang keukeuh dengan pendapatnya.
Luna menggelengkan kepala. Dia kembali menghabiskan makan siangnya yang tinggal tiga suap lagi.
"Lun, udah banyak bukti kalo vampir itu ada. Salah satunya berita ini. Kemaren gue juga liat di artikel, beberapa bulan lalu ada korban yang sama persis kasusnya kaya gini," ujar Alice.
"Terus, lo pernah ketemu sama vampir ga?" tanya Luna.
Tentu Alice menggelengkan kepala. Memikirkannya saja sudah membuat gadis itu merinding.
"Belum pernah kan? Berarti berita itu cuma hoax, cuma akal-akalan media aja biar trending. Lagian sampe sekarang belum ada berita penangkapan vampir juga. Semua berita itu masih abu-abu tanpa sebuah bukti. Lagian, lo sih kebanyakan nonton film horror," ujar Luna yang membuat Alice tutup mulut.
Ada benarnya juga apa yang dikatakan Luna. Tapi entah kenapa feeling Alice mengatakan bahwa berita itu benar adanya, bahwa vampir sebenarnya masih ada.
"Tapi Lun, kalo misalnya vampir itu beneran ada gimana?"
"Ya mungkin populasi manusia di bumi udah punah kalo vampir beneran ada."
Sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran hutan rindang ujung kota, menjadi hunian para makhluk dari dunia immortal. Rumah besar dengan pilar model klasik modern menjulang tinggi berwarna putih, ditambah hiasan ukiran khas kerajaan di setiap ujungnya, memberikan kesan mewah rumah tersebut.Orang-orang yang tidak sengaja melewati rumah megah di sana akan terkagum dengan keindahan rumah yang terletak jauh dari pemukiman bak istana di negeri dongeng.Air mancur dan taman yang selalu tampak terlihat bersih dan rapi. Mobil mewah yang terparkir berjajar akan membuat insting manusia menebak bahwa orang yang menempati rumah itu adalah seorang milyader.Laki-laki berpakaian serba hitam dan berjubah merah menuruni tangga menuju suatu tempat. Ruangan tampak remang-remang pencahayaan, dan hanya ada lampu lilin dengan ukuran besar berjajar di setiap sudut, akan membuat bulu kuduk orang awam berdiri.Dia membuka kulkas berniat untuk memakan sesuatu. Dia juga makhlu
Matahari pagi baru saja terbit dari ufuk timur, cahaya hangatnya mencoba masuk lelalui celah awan berwarna kelabu. Udara tidak terlalu dingin dan menusuk permukaan kulit kala itu, hanya hawa sejuk yang gadis itu rasakan. Sesekali, semilir angin memainkan dedaunan pohon bungur dan johar yang berbaris rapi di pembatas jalan.Dia menghirup udara beberapa kali. Kaki jenjangnya tetap berjalan di trotoar menuju sekolah yang cukup jauh dari halte bis.Batu kerikil kadang menjadi korban keisengan Luna. Dia menendang apa saja yang dilihatnya dengan ujung sepatu. Sebenarnya, dia selalu diantar jemput oleh supir pribadi milik keluarga. Tapi kali ini, gadis itu pergi sendirian, tanpa berpamitan pada orang di rumah.Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, Luna menghentikan langkahnya. Gerbang itu belum dibuka sama sekali. Tentu saja, jam pelajaran bahkan akan dimulai satu jam lagi.Luna menghampiri pos satpam yang berada tepat di sebelah gerbang."Pagi,
Di ruang loker itu, kini dipenuhi oleh siswa laki-laki yang hendak mengikuti pertandingan basket. Jeno membuka baju seragamnya untuk diganti dengan kaos basket."Jen, serius lo bisa main basket?" tanya Rey yang saat itu sedang memakai sepatu di lantai.Jeno melipat baju seragam, dan memasukkannya ke dalam loker. "Lihat saja nanti," katanya.Rey berdiri dari duduknya, dia sedikit meregangkan otot lengan dan lutut."Woy!" sahut seseorang dari ujung lorong. Rey menoleh, begitu pun Jeno.Laki-laki berparas tampan menghampiri tim basket Rey."Woy, Bang." Rey melambaikan tangan."Gimana, udah siap ngelawan gue?" kata laki-laki itu."Siap lah. Nih, gue udah ada penggantinya. Kenalin, namanya Jeno. Temen sekelas gue, murid baru. Jen, ini bang Theo. Ketua basket di sekolah kita," ucap Rey memperkenalkan Jeno kepada laki-laki yang diketahui adalah k
Pertandingan berakhir dengan skor tim Rey 27, dan skor tim Theo 24, yang artinya tim Rey mendapatkan kemenangan di babak terakhir. Satu per satu penonton kembali ke kelas masing-masing, suara pujian selalu dilontarkan para siswi pada idola mereka yang baru, Jeno.Ya, Jeno lah yang membawa tim Rey menuju kemenangan untuk pertama kalinya, melawan tim basket Theo, si juara selama dua tahun berturut-turut."Gila sih, si Jeno jago banget main basketnya," ucap Alice ketika di dalam kelas, masih dengan eskpresi terkagum-kagum ketika mengingat bagaimana Jeno terus menerus mencetak skor.Orang yang diajak bicara hanya diam, tanpa ada niatan untuk menjawab. Luna sangat fokus menatap layar ponselnya, itu membuat Alice mendengus, dan merampas ponsel Luna. "Liat apaan sih, serius amat."Alice membaca judul artikel yang temannya itu buka. "Ciri-ciri vampir?" Gadis itu terkikik. "Yak! Gue fikir lo ga percaya soal yang beginian."Luna mendelik, mengambil kembali p
Dunia semakin maju, teknologi semakin canggih. Generasi ke generasi manusia mulai mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan. Hingga pada titik di mana manusia mulai melupakan adat, tradisi dan kepercayaan.Berkembangnya teknologi baru diikuti dengan memudarnya keyakinan manusia terhadap kepercayaan nenek moyang. Apa kamu salah satu orang yang mempercayai adanya makhluk mitos? Memang, sejak dahulu sampai sekarang para ilmuan tidak bisa membuktikan bahwa makhluk legenda seperti vampire, werewolf, elf, dan yang lainnya pernah hidup atau ada di bumi, planet yang ditempati manusia sekarang.Konon katanya, makhluk mitologi bisa hidup sampai ribuan tahun, bahkan sebagian dari mereka bisa hidup kekal sampai dunia berakhir. Dan kembali lagi, belum ada bukti ilmiah yang bisa menjelaskan mengenai hal tersebut