Matahari pagi baru saja terbit dari ufuk timur, cahaya hangatnya mencoba masuk lelalui celah awan berwarna kelabu. Udara tidak terlalu dingin dan menusuk permukaan kulit kala itu, hanya hawa sejuk yang gadis itu rasakan. Sesekali, semilir angin memainkan dedaunan pohon bungur dan johar yang berbaris rapi di pembatas jalan.
Dia menghirup udara beberapa kali. Kaki jenjangnya tetap berjalan di trotoar menuju sekolah yang cukup jauh dari halte bis.
Batu kerikil kadang menjadi korban keisengan Luna. Dia menendang apa saja yang dilihatnya dengan ujung sepatu. Sebenarnya, dia selalu diantar jemput oleh supir pribadi milik keluarga. Tapi kali ini, gadis itu pergi sendirian, tanpa berpamitan pada orang di rumah.
Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, Luna menghentikan langkahnya. Gerbang itu belum dibuka sama sekali. Tentu saja, jam pelajaran bahkan akan dimulai satu jam lagi.
Luna menghampiri pos satpam yang berada tepat di sebelah gerbang.
"Pagi, Pak."
Pria dewasa berpakaian layaknya satpam, kira-kira berumur setengah abad menoleh.
"Eh, Luna. Tumben pagi-pagi begini udah datang ke sekolah," ucapnya ramah.
Gadis itu tersenyum menanggapi. "Iya, Pak. Saya ada tugas piket pagi ini. Jadi saya datang lebih awal."
Satpam itu mengangguk, dia mengambil kunci gembok di dalam pos satpam dan membuka gerbang sekolah.
"Terimakasih, Pak," kata Luna. Bapak satpam hanya tersenyum dan mempersilahkan gadis itu masuk ke dalam.
Luna kembali melangkahkan kaki menelusuri taman depan gedung sekolah. Suara kicau burung mulai terdengar di atas pohon flamboyan. Kupu-kupu terbang mengitari bunga aster yang tumbuh di pinggiran jalan setapak.
Gedung tinggi tujuh tingkat sudah terlihat jelas, Luna segera memasuki pintu utama gedung sekolah. Langkah kaki Luna menyusuri setiap lorong kelas. Memang agak menyeramkan, lampu yang sudah sedikit remang menjadi satu-satunya pencahayaan.
Dia hanya dengar suara langkah sepatu yang dibuatnya. Luna berjalan menaiki tangga, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Udara dingin membuat gadis itu semakin merinding.
Gggrrr
Luna menolehkan kepalanya cepat ketika dia mendengar suara seperti geraman. Dia menuruni satu anak tangga untuk memastikan. Gadis itu menajamkan pendengaran mencari sumber suara.
"Itu suara apa?" gumamnya.
Ggrrr
Pandangannya tertuju pada ujung lorong dekat lab. Dia memicingkan penglihatan.
"Arahnya dari sana." Luna bergumam lagi.
Gadis itu mengendap-endap menghampiri asal suara. Dia pun sedikit berjinjit agar suara sepatunya tidak terdengar sama sekali.
'Apa, itu anjing? Kenapa ada anjing di sini.' batinnya.
Ggrrr
Ggrrrr
Suara itu terdengar sangat jelas ketika Luna semakin mendekat. Tangannya seketika bergetar, takut jika di sana ada hewan buas. Tapi, rasa penasaran gadis itu jauh lebih besar. Dia mencoba mengikis rasa takut.
Tangan mungil Luna meraba-raba pinggiran tembok.
Ggrrrr
Gadis itu mencondongkan kepala ke lorong di samping lab, yang diduga sumber suara geraman yang didengarnya.
"Aaaaa!" Luna menjerit dan membekap mulutnya, tidak percaya dengan apa yang dilihat gadis itu.
Dia lihat, seekor serigala besar berbulu abu-abu sedang memakan beberapa burung di sana. Serigala itu menoleh ketika mendengar suara jeritan Luna. Mata biru terang menyala itu menatap tajam ke arah Luna. Kedua mata Luna membulat sempurna, tubuhnya semakin bergetar.
Ggrrrr
Luna mundur ke belakang, serigala itu menghampirinya dengan mulut serta taring yang berlumuran darah.
Ggrrr...
"J—jangan sakiti aku. Jangan," ucap Luna. Dia tidak peduli hewan itu mengerti bahasa manusia atau tidak.
Luna terus memundurkan diri sampai tersudutkan di pojok tembok. Tubuhnya merosot seketika. Tapi serigala itu tetap mendekati Luna, menyudutkan gadis itu seperti ingin menerkamnya.
"Aku mohon. Jangan ma—makan a—aku." ujarnya bergetar.
Gggrrr
GGGRRR
"AAAAAAA!" teriak Luna sangat lantang ketika hewan itu hendak menerjangnya. Dia menutupi wajahnya dengan tangan.
Tapi setelah beberapa detik, dia tidak merasakan apa-apa. Luna membuka matanya pelan-pelan. Peluh menetes di dahi gadis itu, kedua tangannya masih bergetar.
"Hah." Luna membuang nafas kasar.
Gadis itu tidak melihat apapun di depannya. Burung yang tadi dia lihat berserakan di lantai pun sudah tidak ada, bahkan tidak ada tanda-tanda tetesan darah di sana. Semuanya tampak normal.
Luna memegang dadanya yang berdebar.
"Tadi itu apa? Apa aku berhalusinasi?" gumamnya.
Dia bangkit, dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Luna sedikit berlari menuju lantai dua dengan pandangan yang selalu menoleh ke belakang. Tentu dia masih sangat syok. Itu sangat jelas, suara geraman itu, tidak mungkin dia berhalusinasi.
Semua pintu kelas masih ditutup. Tangannya membuka knop pintu ruangan dengan nomor 2-1 yang terbuat dari ukiran kayu di atasnya.
Cklek...
"Astaga!"
Sekali lagi Luna terkejut setelah melihat seorang laki-laki berdiri menjulang di balik pintu. Gadis itu mengelus dadanya dan mengatur nafas. Pagi itu, sudah berapa kali Luna terkejut? Dia berdo'a semoga penyakit jantungnya tidak kambuh kembali.
"Ngapain sih di situ! Bikin kaget aja!" gerutunya.
Luna menerobos laki-laki jangkung di depan. Tatapannya tidak pernah berubah, dia selalu memandang datar orang-orang yang ditemuinya.
Dengan langkah lemas, Luna duduk di bangkunya. Kedua bola mata bening itu menoleh ke arah jam dinding yang terpasang di belakang kelas. Jam masih menunjukkan pukul 06.15.
Keningnya berkerut, kenapa laki-laki itu sudah ada di kelas? Gadis itu pikir, hanya dia murid satu-satunya yang datang ke sekolah. Jika dia datang setelah Luna, harusnya laki-laki dingin itu tahu kejadian di lorong lab tadi bukan?
Luna menolehkan kepalanya pelan. "Astaga!"
Dia kembali tersentak ketika seseorang sedang duduk di atas mejanya.
"JENO! LO PENGEN GUE MATI JANTUNGAN, HAH?!" sahut Luna.
Jeno masih menatap Luna tanpa ekspresi. "Kalau bicara yang so—"
"Yang sopan maksud lo? Ck, manusia aneh. Lo yang ga sopan, duduk di atas meja, maksudnya apa coba." Luna mendelik ke arah lain.
Semakin lama, laki-laki itu tampak menyebalkan.
"Kenapa tadi kamu seperti ketakutan?"
Gadis itu kembali menolehkan pandangannya.
"Ga—gapapa. Gue gapapa. Ga usah kepo," ucapnya ketus.
Laki-laki di depan tersenyum miring. Luna masih menatap manik mata Jeno, seakan mata itu mengunci pandangannya. Jeno mendekatkan wajahnya dengan Luna hingga berjarak dua jengkal.
"Ng—ngapain!"
Laki-laki itu tidak menjawab. Sedetik kemudian, tatapannya berubah tajam, atmosfer di sekeliling berubah mencekam. Sekujur tubuh Luna mendadak tidak bisa digerakkan, seolah ada sihir yang melilit badannya.
Tangan kekar itu terulur ke atas kepala Luna.
"Ada bulu burung di rambutmu," ujar Jeno.
Dia mengambil sehelai bulu putih itu, dan mengibaskannya di udara.
Luna mengacak rambutnya untuk memastikan. Bulu burung katanya? Artinya, apa yang dilihat gadis itu bukan halusinasi. Burung, dan serigala itu, benar-benar nyata.
"Lo liat itu kan?" tanya Luna sembari menarik pergelangan tangan Jeno yang saat itu dia hendak pergi menuju bangkunya.
Anehnya, gadis itu merasakan pemukaan kulit Jeno yang sangat dingin, seperti es. Walaupun bisa dijelaskan secara ilmiah, dengan alasan efek dari udara pagi. Tapi dia rasa, tidak mungkin manusia memiliki suhu tubuh layaknya es batu.
Laki-laki itu melirik ke arah pergelangan tangannya yang di genggam Luna. Gadis itu sadar, dan secepatnya menarik kembali tangannya.
Tanpa memberikan jawaban apapun, Jeno melangkahkan kaki jenjangnya ke bangku belakang.
Gadis yang tidak gampang menyerah itu kembali menolehkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya laki-laki itu masih menatapnya.
"Lo. Sebenernya tau kan?" tanya Luna.
"Apa?"
"Itu, makhluk di depan lab," ujar Luna lagi.
Jeno hanya menatap manik mata Luna yang terlihat gemas menurutnya. Mata bulat seperti seekor kucing yang sedang memohon untuk diberi makan.
'Cantik,' batinnya.
"Woy! Kapan kalian dateng?" sahut seorang murid laki-laki yang baru saja datang. Dia menyimpan tas ranselnya di bangku paling depan, sejajar dengan Luna dan Jeno.
Luna menoleh. "Hai. Rey," sapa gadis itu melambaikan tangan.
Rey tersenyum lembut, dia menghampiri Luna, dan duduk di bangku kosong tepat di samping Luna.
"Tumben lo dateng pagi-lagi, Lun. Lo kan ga punya jadwal piket pagi." kata Rey.
"Lagi pengen aj—"
"Astaga!" sahut Rey membulatkan matanya.
Sementara Luna mengernyit tidak mengerti.
"Apaan?"
"Kalian pacaran?" ujar Rey menunjuk Luna dan Jeno.
Keduanya saling pandang. "A—apaan sih! Engga lah. Ngaco lo!" bantah gadis itu.
"Bohong lo! Ngaku! Kalian dateng pagi-pagi gini biar bisa pacaran kan?" tuduhnya.
Duk!
"Aw!" Luna memukul kepala Rey cukup keras, sampai laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Galak banget jadi cewe, jomblo seumur idup baru tau rasa lu. Lagian gue cuma bercanda doang elah," ucap Rey mengangkat jarinya membentuk huruf v.
"Bercandanya ga lucu, dasar manusia moomin!" sahut Luna.
Rey berdecak. "Ck, ya udah. Sekarang gue mau nanya serius deh, sama Jeno."
Jeno yang merasa terpanggil, menoleh.
"Lo bisa main basket kan?" tanya Rey.
"Basket?"
"Iya, basket. Lo mau ga ikut tim gue? Kebetulan hari ini gue sama anak kelas 3 mau tanding, kita kurang satu orang. Lo bisa back up ga?"
"Saya ti—"
"Ga ada penolakan, pokoknya nanti siang lo harus siap. Oke," ujar Rey.
Di ruang loker itu, kini dipenuhi oleh siswa laki-laki yang hendak mengikuti pertandingan basket. Jeno membuka baju seragamnya untuk diganti dengan kaos basket."Jen, serius lo bisa main basket?" tanya Rey yang saat itu sedang memakai sepatu di lantai.Jeno melipat baju seragam, dan memasukkannya ke dalam loker. "Lihat saja nanti," katanya.Rey berdiri dari duduknya, dia sedikit meregangkan otot lengan dan lutut."Woy!" sahut seseorang dari ujung lorong. Rey menoleh, begitu pun Jeno.Laki-laki berparas tampan menghampiri tim basket Rey."Woy, Bang." Rey melambaikan tangan."Gimana, udah siap ngelawan gue?" kata laki-laki itu."Siap lah. Nih, gue udah ada penggantinya. Kenalin, namanya Jeno. Temen sekelas gue, murid baru. Jen, ini bang Theo. Ketua basket di sekolah kita," ucap Rey memperkenalkan Jeno kepada laki-laki yang diketahui adalah k
Pertandingan berakhir dengan skor tim Rey 27, dan skor tim Theo 24, yang artinya tim Rey mendapatkan kemenangan di babak terakhir. Satu per satu penonton kembali ke kelas masing-masing, suara pujian selalu dilontarkan para siswi pada idola mereka yang baru, Jeno.Ya, Jeno lah yang membawa tim Rey menuju kemenangan untuk pertama kalinya, melawan tim basket Theo, si juara selama dua tahun berturut-turut."Gila sih, si Jeno jago banget main basketnya," ucap Alice ketika di dalam kelas, masih dengan eskpresi terkagum-kagum ketika mengingat bagaimana Jeno terus menerus mencetak skor.Orang yang diajak bicara hanya diam, tanpa ada niatan untuk menjawab. Luna sangat fokus menatap layar ponselnya, itu membuat Alice mendengus, dan merampas ponsel Luna. "Liat apaan sih, serius amat."Alice membaca judul artikel yang temannya itu buka. "Ciri-ciri vampir?" Gadis itu terkikik. "Yak! Gue fikir lo ga percaya soal yang beginian."Luna mendelik, mengambil kembali p
Dunia semakin maju, teknologi semakin canggih. Generasi ke generasi manusia mulai mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan. Hingga pada titik di mana manusia mulai melupakan adat, tradisi dan kepercayaan.Berkembangnya teknologi baru diikuti dengan memudarnya keyakinan manusia terhadap kepercayaan nenek moyang. Apa kamu salah satu orang yang mempercayai adanya makhluk mitos? Memang, sejak dahulu sampai sekarang para ilmuan tidak bisa membuktikan bahwa makhluk legenda seperti vampire, werewolf, elf, dan yang lainnya pernah hidup atau ada di bumi, planet yang ditempati manusia sekarang.Konon katanya, makhluk mitologi bisa hidup sampai ribuan tahun, bahkan sebagian dari mereka bisa hidup kekal sampai dunia berakhir. Dan kembali lagi, belum ada bukti ilmiah yang bisa menjelaskan mengenai hal tersebut
Luna kembali ke kelas yang ada di lantai dua. Peluh di dahinya masih kentara, dia mengusapnya menggunakan punggung tangan. Gadis itu berjalan gontai seolah hal buruk telah terjadi pada dirinya.Kelas sudah dimulai, Edward selalu guru Matematika menoleh ke arah Luna yang baru saja masuk melalui pintu depan kelas. Luna menundukkan kepala bermaksud meminta maaf."Dari mana saja kamu," ucap Edward dengan nada dinginnya.Sekali lagi Luna menundukkan kepala menyesal."Maaf, Pak. Saya kurang enak badan, saya pergi ke UKS untuk meminta obat. Sekali lagi saya mohon maaf," jawab Luna.Pria dewasa yang berstatus guru itu menghela nafas."Ya sudah. Kembali ke tempat duduk kamu."Gadis itu berjalan menuju bangkunya. Luna mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Tak sengaja, matanya menatap laki-laki yang kini duduk di belakang bangkunya. Jeno memandang gadis itu da
Sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran hutan rindang ujung kota, menjadi hunian para makhluk dari dunia immortal. Rumah besar dengan pilar model klasik modern menjulang tinggi berwarna putih, ditambah hiasan ukiran khas kerajaan di setiap ujungnya, memberikan kesan mewah rumah tersebut.Orang-orang yang tidak sengaja melewati rumah megah di sana akan terkagum dengan keindahan rumah yang terletak jauh dari pemukiman bak istana di negeri dongeng.Air mancur dan taman yang selalu tampak terlihat bersih dan rapi. Mobil mewah yang terparkir berjajar akan membuat insting manusia menebak bahwa orang yang menempati rumah itu adalah seorang milyader.Laki-laki berpakaian serba hitam dan berjubah merah menuruni tangga menuju suatu tempat. Ruangan tampak remang-remang pencahayaan, dan hanya ada lampu lilin dengan ukuran besar berjajar di setiap sudut, akan membuat bulu kuduk orang awam berdiri.Dia membuka kulkas berniat untuk memakan sesuatu. Dia juga makhlu