Dunia semakin maju, teknologi semakin canggih. Generasi ke generasi manusia mulai mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan. Hingga pada titik di mana manusia mulai melupakan adat, tradisi dan kepercayaan.
Berkembangnya teknologi baru diikuti dengan memudarnya keyakinan manusia terhadap kepercayaan nenek moyang. Apa kamu salah satu orang yang mempercayai adanya makhluk mitos? Memang, sejak dahulu sampai sekarang para ilmuan tidak bisa membuktikan bahwa makhluk legenda seperti vampire, werewolf, elf, dan yang lainnya pernah hidup atau ada di bumi, planet yang ditempati manusia sekarang.
Konon katanya, makhluk mitologi bisa hidup sampai ribuan tahun, bahkan sebagian dari mereka bisa hidup kekal sampai dunia berakhir. Dan kembali lagi, belum ada bukti ilmiah yang bisa menjelaskan mengenai hal tersebut dan menyebutnya sebagai dongeng yang dibuat oleh orang terdahulu.
Tapi bagaimana jika sebenarnya mereka benar-benar ada? Bahkan masih hidup sampai detik ini. Dan mungkin sekarang mereka hidup dan berdampingan di lingkungan kita tanpa kita sadari keberadaannya.
🔱
🔱Luna, gadis cantik berumur 18 tahun yang kini duduk dibangku 2 SMA. Gadis yang memiliki rambut hitam sebahu, proporsi tubuh ideal, mata bulat dengan iris berwarna cokelat, hidung lancip dan memiliki senyum seperti bunga matahari. Siapapun yang melihat, akan terpikat dengan kelembutan dan kehangatan gadis itu.
Tidak ada orang yang tidak menyukainya. Seakan hidupnya sempurna dengan orang-orang yang selalu menyapanya kemanapun dia pergi. Senyum yang tidak pernah luntur mencerminkan bahwa hidup gadis itu penuh kebahagiaan.
Namun sayang, semua itu hanya cover semata. Kenyataannya, gadis itu selalu merasa hidupnya hampa, dia selalu menangis setiap malam, waktu di mana ketika orang-orang tidak akan ada yang mendengar jerit hatinya.
Dan ajaibnya, tidak ada orang yang tahu penyakit yang diderita Luna. Termasuk Alice, sahabat dekat Luna sejak SMP.
Jangan tanyakan mengenai orang tua Luna. Ayah dan ibunya terlalu sibuk dengan dunia bisnis, sehingga mereka lupa bahwa anak semata wayangnya sedang butuh dukungan secara mental maupun fisik dari kedua orang tuanya. Ayah dan ibu Luna hanya akan pulang ketika malam natal saja. Selebihnya, mereka tinggal di luar negeri untuk urusan bisnis.
🔱
Luna melipat kedua tangannya di atas meja, dan menjadikan lengannya sebagai bantalan. Semalam, dia sangat lelah untuk mengerjakan tugas Matematika.
Brak!
Alice yang baru saja datang, tiba-tiba menggebrak meja yang ditempati Luna. Gadis itu terperanjat dan mengelus dada karena terkejut.
"Lun! Lo udah ngerjain tugas kan? Gue belum, liat dong," ujarnya.
"Udah gue bilang jangan ngagetin gue!" sahut Luna yang membuat Alice mengerjapkan matanya dua kali.
"Y—ya maaf. Engga lagi deh, suer!" Alice mengangkat jarinya membentuk huruf V.
Luna memutar bola mata malas dan mengambil buku Matematika yang ada di dalam tas ransel merah mudanya.
"Nih." Luna menyodorkan buku itu.
Secepat kilat, buku bersampul hitam itu kini berpindah alih ke tangan Alice. Gadis itu duduk di bangku yang ada di depan Luna dan tancap gas menyalin tugas Matematika.
Luna mengambil earphone miliknya dan menyumbat telinganya dengan benda itu. Lagu klasik mengalum indah dalam gendang telinga Luna. Entahlah, dia lebih suka lagu klasik dibanding lagu-lagu pop, jazz, rock, dan yang lainnya.
"Perhatian! Perhatian! Semuanya, tolong kembali ke bangku masing-masing," sahut wanita berumur 40 tahunan yang diketahui adalah wali kelas.
Satu per satu murid duduk di bangku. Atensi mereka tertuju ke arah depan. Bukan pada guru itu, melainkan pada keempat laki-laki yang dibawa oleh guru mereka.
"Hari ini kalian akan mendapat teman baru. Mereka murid pindahan dari SMA Kolbuse."
SMA Kolbuse, sekolah yang terkenal dengan prestasi anak-anak didiknya. Mereka memiliki peraturan sekolah yang sangat ketat. Tapi hal itu menjadikan SMA Kolbuse sekolah terbaik yang mendapat predikat A+, sekolah para cendikiawan katanya.
"Baik, kalian boleh memperkenalkan diri."
Keempat anak laki-laki itu mengangguk paham.
"Hai. Nama saya Naresh. Kalian boleh panggil saya Nana. Salam kenal," ucap laki-laki pertama. Dia memiliki senyum yang lumayan manis, seperti seekor kelinci.
"Nama saya Hans. Kalian boleh panggil saya apa aja, sayang juga boleh," kata Hans yang diikuti siulan murid lain. Laki-laki itu memiliki warna kulit eksotis, namun tetap manis jika dipandang.
"Hallo, nama saya Mark. Salam kenal." Mark menundukkan kepalanya sopan. Ah, dia terlihat seperti anak laki-laki yang sangat baik.
Dan ini murid terakhir.
"Nama saya Jeno," ucap Jeno seadanya.
Sudah terlihat bukan? Bahwa laki-laki itu sangat dingin. Tapi yang menjadi point penting adalah, struktur wajah laki-laki itu yang nyaris sempurna. Hidung mancung, tatapan mata yang tajam, rahang tegas dan proporsi tubuh bak atlet olahraga.
"Silahkan kalian boleh duduk di bangku belakang," kata guru di depan.
Keempatnya melangkahkan kaki jenjang mereka menuju bangku paling belakang. Dan sialnya, kenapa harus Jeno yang duduk tepat di belakang Luna. Gadis itu seketika merasakan aura yang berbeda dari Jeno, atmosfer seakan berubah ketika laki-laki itu melewatinya.
"Baik, kalau begitu saya pamit. Selamat pagi."
"Pagi bu!"
Setelah kepergian wali kelas mereka, sebagian dari murid berdatangan ke bangku belakang. Apa lagi jika bukan berkenalan dengan keempat murid baru itu, terutama Jeno. Laki-laki dingin yang sejak saat itu menjadi idola kaum hawa.
"Jeno! boleh minta nomor W******p nya ga?"
"Kenalin, nama gue Joy."
"Gue Rebeca."
"Jeno, kalo lo butuh apa-apa jangan sungkan minta bantuan gue. Nama gue Aprilie."
Luna mulai jengah, dia menyumbat telinganya dengan earphone tadi dan menaikkan volumenya, berniat mengusir suara riuh dari beberapa siswi yang masih ingin berkenalan dengan Jeno.
Deg!
"Akh!" Luna meremat dada ketika merasa jantungnya seperti diremas.
Satu tangannya memegang ujung bangku kayu sangat kuat, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menjalar.
Brak!
Bruk!
Luna melepas earphonenya asal, menyambar botol minum miliknya, dan menerobos kerumunan siswi. Dia berlari menuju pintu belakang.
"LUNA! LO MAU KEMANA?!" Alice berteriak memanggil.
Gadis itu tidak peduli, dia berlari menuju toilet dengan satu tangan yang terus meremat bagian dada.
Di dalam bilik toilet, gadis itu terduduk diatas closet lalu mengeluarkan plastic clip kecil dari saku seragam yang berisi beberapa pil obat berwarna putih dan hijau. Dengan tangan yang bergetar, Luna mengambil dua obat itu dan menelannya.
Luna mengatur nafas, menarik dan menghempaskannya pelan berulang kali, sampai rasa sakit itu perlahan hilang.
"Penyakit sialan!"
Luna kembali ke kelas yang ada di lantai dua. Peluh di dahinya masih kentara, dia mengusapnya menggunakan punggung tangan. Gadis itu berjalan gontai seolah hal buruk telah terjadi pada dirinya.Kelas sudah dimulai, Edward selalu guru Matematika menoleh ke arah Luna yang baru saja masuk melalui pintu depan kelas. Luna menundukkan kepala bermaksud meminta maaf."Dari mana saja kamu," ucap Edward dengan nada dinginnya.Sekali lagi Luna menundukkan kepala menyesal."Maaf, Pak. Saya kurang enak badan, saya pergi ke UKS untuk meminta obat. Sekali lagi saya mohon maaf," jawab Luna.Pria dewasa yang berstatus guru itu menghela nafas."Ya sudah. Kembali ke tempat duduk kamu."Gadis itu berjalan menuju bangkunya. Luna mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Tak sengaja, matanya menatap laki-laki yang kini duduk di belakang bangkunya. Jeno memandang gadis itu da
Sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran hutan rindang ujung kota, menjadi hunian para makhluk dari dunia immortal. Rumah besar dengan pilar model klasik modern menjulang tinggi berwarna putih, ditambah hiasan ukiran khas kerajaan di setiap ujungnya, memberikan kesan mewah rumah tersebut.Orang-orang yang tidak sengaja melewati rumah megah di sana akan terkagum dengan keindahan rumah yang terletak jauh dari pemukiman bak istana di negeri dongeng.Air mancur dan taman yang selalu tampak terlihat bersih dan rapi. Mobil mewah yang terparkir berjajar akan membuat insting manusia menebak bahwa orang yang menempati rumah itu adalah seorang milyader.Laki-laki berpakaian serba hitam dan berjubah merah menuruni tangga menuju suatu tempat. Ruangan tampak remang-remang pencahayaan, dan hanya ada lampu lilin dengan ukuran besar berjajar di setiap sudut, akan membuat bulu kuduk orang awam berdiri.Dia membuka kulkas berniat untuk memakan sesuatu. Dia juga makhlu
Matahari pagi baru saja terbit dari ufuk timur, cahaya hangatnya mencoba masuk lelalui celah awan berwarna kelabu. Udara tidak terlalu dingin dan menusuk permukaan kulit kala itu, hanya hawa sejuk yang gadis itu rasakan. Sesekali, semilir angin memainkan dedaunan pohon bungur dan johar yang berbaris rapi di pembatas jalan.Dia menghirup udara beberapa kali. Kaki jenjangnya tetap berjalan di trotoar menuju sekolah yang cukup jauh dari halte bis.Batu kerikil kadang menjadi korban keisengan Luna. Dia menendang apa saja yang dilihatnya dengan ujung sepatu. Sebenarnya, dia selalu diantar jemput oleh supir pribadi milik keluarga. Tapi kali ini, gadis itu pergi sendirian, tanpa berpamitan pada orang di rumah.Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, Luna menghentikan langkahnya. Gerbang itu belum dibuka sama sekali. Tentu saja, jam pelajaran bahkan akan dimulai satu jam lagi.Luna menghampiri pos satpam yang berada tepat di sebelah gerbang."Pagi,
Di ruang loker itu, kini dipenuhi oleh siswa laki-laki yang hendak mengikuti pertandingan basket. Jeno membuka baju seragamnya untuk diganti dengan kaos basket."Jen, serius lo bisa main basket?" tanya Rey yang saat itu sedang memakai sepatu di lantai.Jeno melipat baju seragam, dan memasukkannya ke dalam loker. "Lihat saja nanti," katanya.Rey berdiri dari duduknya, dia sedikit meregangkan otot lengan dan lutut."Woy!" sahut seseorang dari ujung lorong. Rey menoleh, begitu pun Jeno.Laki-laki berparas tampan menghampiri tim basket Rey."Woy, Bang." Rey melambaikan tangan."Gimana, udah siap ngelawan gue?" kata laki-laki itu."Siap lah. Nih, gue udah ada penggantinya. Kenalin, namanya Jeno. Temen sekelas gue, murid baru. Jen, ini bang Theo. Ketua basket di sekolah kita," ucap Rey memperkenalkan Jeno kepada laki-laki yang diketahui adalah k
Pertandingan berakhir dengan skor tim Rey 27, dan skor tim Theo 24, yang artinya tim Rey mendapatkan kemenangan di babak terakhir. Satu per satu penonton kembali ke kelas masing-masing, suara pujian selalu dilontarkan para siswi pada idola mereka yang baru, Jeno.Ya, Jeno lah yang membawa tim Rey menuju kemenangan untuk pertama kalinya, melawan tim basket Theo, si juara selama dua tahun berturut-turut."Gila sih, si Jeno jago banget main basketnya," ucap Alice ketika di dalam kelas, masih dengan eskpresi terkagum-kagum ketika mengingat bagaimana Jeno terus menerus mencetak skor.Orang yang diajak bicara hanya diam, tanpa ada niatan untuk menjawab. Luna sangat fokus menatap layar ponselnya, itu membuat Alice mendengus, dan merampas ponsel Luna. "Liat apaan sih, serius amat."Alice membaca judul artikel yang temannya itu buka. "Ciri-ciri vampir?" Gadis itu terkikik. "Yak! Gue fikir lo ga percaya soal yang beginian."Luna mendelik, mengambil kembali p