Pertandingan berakhir dengan skor tim Rey 27, dan skor tim Theo 24, yang artinya tim Rey mendapatkan kemenangan di babak terakhir. Satu per satu penonton kembali ke kelas masing-masing, suara pujian selalu dilontarkan para siswi pada idola mereka yang baru, Jeno.
Ya, Jeno lah yang membawa tim Rey menuju kemenangan untuk pertama kalinya, melawan tim basket Theo, si juara selama dua tahun berturut-turut.
"Gila sih, si Jeno jago banget main basketnya," ucap Alice ketika di dalam kelas, masih dengan eskpresi terkagum-kagum ketika mengingat bagaimana Jeno terus menerus mencetak skor.
Orang yang diajak bicara hanya diam, tanpa ada niatan untuk menjawab. Luna sangat fokus menatap layar ponselnya, itu membuat Alice mendengus, dan merampas ponsel Luna. "Liat apaan sih, serius amat."
Alice membaca judul artikel yang temannya itu buka. "Ciri-ciri vampir?" Gadis itu terkikik. "Yak! Gue fikir lo ga percaya soal yang beginian."
Luna mendelik, mengambil kembali ponsel miliknya. Dia menghapus jejak penelusuran yang dia cari tadi, dan anehnya dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia ingin mencari tahu mengenai makhluk mitologi yang sering disebut vampir itu. Ada perasaan penasaran yang kini bersarang dalam hati Luna. Walaupun dia tipikal orang yang selalu berfikir rasional, kali ini Luna benar-benar ingin mencari tahu kebenaran berita yang saat itu semakin marak dibicarakan masyarakat.
"Udah lah, lo sebenernya percaya kan kalo vampir itu ada?" kata Alice.
"Vampir itu gak ada," ucap Hans tiba-tiba menimpal.
Laki-laki manis itu menghampiri Luna dan Alice, lalu duduk di kursi kosong yang belum diduduki sang pemilik. "Buktinya apa kalo vampir itu ada?"
Alice memutar bola mata malas. "Buktinya banyak lah. Lo sering-sering deh nonton acara berita di tv, jangan nonton spongebob mulu yang digedein."
"T—tau dari mana gue suka nonton spongebob?" tanyanya seperti hendak menyangkal.
"Tuh." Alice mengedikkan dagu bermaksud menunjuk case ponsel Hans yang bergambar tokoh kartun spongebob.
Hans yang sadar langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam. Untungnya Alice tidak mempermasalahkan gambar case ponselnya, itu membuat Hans sedikit lega.
"Gue udah bilang vampir itu gak ada," kata Luna membuka suara. Merasa ada yang mendukung, Hans mengangkat sebelah tangannya, mangajak Luna adu tos.
"Nah iya, vampir itu emang gak ada. Lo jangan pernah percaya Lice," ucap Hans membenarkan perkataan Luna sembari mengacungkan jempol.
"Terserah lo deh. Lo ga jauh bedanya sama Luna." Gadis itu mendelik, memposisikan tubuhnya kembali menatap Luna.
"Woy, Hans! Lo liat Jeno ga?" sahut Rey yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Hans mengangkat bahu, dia beranjak dari duduknya untuk kembali ke habitat asli laki-laki itu. "Tadi gue liat lagi dikerumunin cewek-cewek depan koridor," jawab Hans.
Rey mengangguk, akhir-akhir ini Jeno memang selalu jadi objek para siswi, tidak sedikit dari mereka yang datang ke kelasnya hanya untuk meminta tanda tangan, ataupun sekedar memberi hadiah kecil pada Jeno. "Ohh. Woy! mabar kuy lah!"
"Pubg?" Rey mengangguk mantap. Belum sempat bokongnya menyentuh permukaan kursi, Hans sudah berlari kecil menuju bangku Rey yang ada di bagian paling depan.
Di sisi lain, pandangan Alice tak sengaja menoleh ke arah Naresh dan Mark yang sedang duduk terdiam di bangku, entah apa yang mereka lakukan dengan benda pipih di genggamannya. Gadis itu diam-diam memperhatikan kebiasaan Mark dan Naresh. Sangat aneh, ketika berada di luar ruangan, mereka selalu memakai hoodie untuk menutupi sesuatu, tapi berbeda halnya ketika mereka ada di dalam kelas, jaket hoodie itu seolah bukan hal yang penting. Seketika, tindakan jahil terlintas begitu saja dalam otaknya.
Alice bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela kaca di samping kelas.
"Wah, panas banget gak sih hari ini? Pak KM, boleh gak gue buka kaca jendelanya?! Kayanya kipas angin gak mempan ngusir gerah yang melanda," sahut Alice sedikit berteriak pada Rey.
"Buka aja Lice!" jawab Rey tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan permainan game pubg.
Alice membuka pintu jendela dengan sangat hati-hati. Ekor matanya tidak pernah lepas menoleh ke arah Mark maupun Naresh. Rupanya kedua laki-laki itu tidak sadar. Dia menggeser jendela kaca ke depan, dan belakang, mencoba mencari posisi yang pas sebelum menguncinya.
"Ini kok macet ya."
"Pelan-pelan Lice, silau," kata Luna yang sedang menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, karena pantulan cahaya dari kaca jendela.
Gadis itu tetap berpura-pura menggeser kaca bermaksud agar pantulan cahaya matahari menyentuh Mark dan Naresh. Dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi kedua laki-laki yang menurutnya sangat aneh dibanding Hans dan Jeno. Apa mereka adalah vampir seperti apa yang ada di pikirannya selama ini?
Satu ... dua ... tiga ...
"AKH!" Naresh menjerit tertahan, ketika pantulan cahaya matahari tepat mengenai kulitnya. Laki-laki itu beranjak, dan limbung, terjatuh ke lantai sembari memegangi tangan sebelah kiri.
Hal itu membuat seluruh penghuni kelas terkejut, menoleh ke sumber suara. Mark yang duduk di samping Naresh ikut terkejut juga, dia menghampiri temannya yang sedang menahan sakit.
"Nana! Lo kenapa?!" Alice berlari, mengurungkan niatnya untuk membuka kaca jendela. Karena memang itu tujuan Alice.
Dia membekap mulutnya sendiri, ketika melihat asap putih mengepul dari tangan kiri Naresh, kulitnya tampak memerah, seperti daging sapi yang baru saja masuk ke dalam panggangan.
Gadis itu menghampiri Naresh tanpa ada rasa bersalah maupun takut. Mark kalap, laki-laki itu terlihat bingung harus melakukan apa pada temannya yang sedang menahan sakit.
"Akh! Panas!" pekiknya.
Alice mengambil alih lengan Naresh yang sebelumnya dipegang erat oleh si pemilik. Jemari lentik Alice terulur pelan ingin menyentuh permukaan kulit Naresh.
"JANGAN DISENTUH!" sahut laki-laki berwajah tegas yang menghampiri Naresh. Dia menghempaskan tangan Alice kasar, berusaha menjauhkan tangannya dari Naresh.
Dunia semakin maju, teknologi semakin canggih. Generasi ke generasi manusia mulai mencoba mengembangkan ilmu pengetahuan. Hingga pada titik di mana manusia mulai melupakan adat, tradisi dan kepercayaan.Berkembangnya teknologi baru diikuti dengan memudarnya keyakinan manusia terhadap kepercayaan nenek moyang. Apa kamu salah satu orang yang mempercayai adanya makhluk mitos? Memang, sejak dahulu sampai sekarang para ilmuan tidak bisa membuktikan bahwa makhluk legenda seperti vampire, werewolf, elf, dan yang lainnya pernah hidup atau ada di bumi, planet yang ditempati manusia sekarang.Konon katanya, makhluk mitologi bisa hidup sampai ribuan tahun, bahkan sebagian dari mereka bisa hidup kekal sampai dunia berakhir. Dan kembali lagi, belum ada bukti ilmiah yang bisa menjelaskan mengenai hal tersebut
Luna kembali ke kelas yang ada di lantai dua. Peluh di dahinya masih kentara, dia mengusapnya menggunakan punggung tangan. Gadis itu berjalan gontai seolah hal buruk telah terjadi pada dirinya.Kelas sudah dimulai, Edward selalu guru Matematika menoleh ke arah Luna yang baru saja masuk melalui pintu depan kelas. Luna menundukkan kepala bermaksud meminta maaf."Dari mana saja kamu," ucap Edward dengan nada dinginnya.Sekali lagi Luna menundukkan kepala menyesal."Maaf, Pak. Saya kurang enak badan, saya pergi ke UKS untuk meminta obat. Sekali lagi saya mohon maaf," jawab Luna.Pria dewasa yang berstatus guru itu menghela nafas."Ya sudah. Kembali ke tempat duduk kamu."Gadis itu berjalan menuju bangkunya. Luna mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Tak sengaja, matanya menatap laki-laki yang kini duduk di belakang bangkunya. Jeno memandang gadis itu da
Sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran hutan rindang ujung kota, menjadi hunian para makhluk dari dunia immortal. Rumah besar dengan pilar model klasik modern menjulang tinggi berwarna putih, ditambah hiasan ukiran khas kerajaan di setiap ujungnya, memberikan kesan mewah rumah tersebut.Orang-orang yang tidak sengaja melewati rumah megah di sana akan terkagum dengan keindahan rumah yang terletak jauh dari pemukiman bak istana di negeri dongeng.Air mancur dan taman yang selalu tampak terlihat bersih dan rapi. Mobil mewah yang terparkir berjajar akan membuat insting manusia menebak bahwa orang yang menempati rumah itu adalah seorang milyader.Laki-laki berpakaian serba hitam dan berjubah merah menuruni tangga menuju suatu tempat. Ruangan tampak remang-remang pencahayaan, dan hanya ada lampu lilin dengan ukuran besar berjajar di setiap sudut, akan membuat bulu kuduk orang awam berdiri.Dia membuka kulkas berniat untuk memakan sesuatu. Dia juga makhlu
Matahari pagi baru saja terbit dari ufuk timur, cahaya hangatnya mencoba masuk lelalui celah awan berwarna kelabu. Udara tidak terlalu dingin dan menusuk permukaan kulit kala itu, hanya hawa sejuk yang gadis itu rasakan. Sesekali, semilir angin memainkan dedaunan pohon bungur dan johar yang berbaris rapi di pembatas jalan.Dia menghirup udara beberapa kali. Kaki jenjangnya tetap berjalan di trotoar menuju sekolah yang cukup jauh dari halte bis.Batu kerikil kadang menjadi korban keisengan Luna. Dia menendang apa saja yang dilihatnya dengan ujung sepatu. Sebenarnya, dia selalu diantar jemput oleh supir pribadi milik keluarga. Tapi kali ini, gadis itu pergi sendirian, tanpa berpamitan pada orang di rumah.Di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi, Luna menghentikan langkahnya. Gerbang itu belum dibuka sama sekali. Tentu saja, jam pelajaran bahkan akan dimulai satu jam lagi.Luna menghampiri pos satpam yang berada tepat di sebelah gerbang."Pagi,
Di ruang loker itu, kini dipenuhi oleh siswa laki-laki yang hendak mengikuti pertandingan basket. Jeno membuka baju seragamnya untuk diganti dengan kaos basket."Jen, serius lo bisa main basket?" tanya Rey yang saat itu sedang memakai sepatu di lantai.Jeno melipat baju seragam, dan memasukkannya ke dalam loker. "Lihat saja nanti," katanya.Rey berdiri dari duduknya, dia sedikit meregangkan otot lengan dan lutut."Woy!" sahut seseorang dari ujung lorong. Rey menoleh, begitu pun Jeno.Laki-laki berparas tampan menghampiri tim basket Rey."Woy, Bang." Rey melambaikan tangan."Gimana, udah siap ngelawan gue?" kata laki-laki itu."Siap lah. Nih, gue udah ada penggantinya. Kenalin, namanya Jeno. Temen sekelas gue, murid baru. Jen, ini bang Theo. Ketua basket di sekolah kita," ucap Rey memperkenalkan Jeno kepada laki-laki yang diketahui adalah k