Ini sudah hari ketiga setelah Sarala membuka matanya, dia dipindahkan ke ruang ICU dengan segera. Beberapa dokter spesialis sering mengunjungi ruang ICU untuk mengecek keadaan wanita itu, dari luar ruang ICU setiap pulang dari bekerja Kelam akan datang dan memandang istrinya dari balik kaca.
“Bu Nilakandi sudah bisa membuka mata dan bernapas sendiri, sudah tidak membutuhkan lagi alat bantu. Kaki dan tangannya sedikit demi sedikit sudah bisa digerakkan, namun suaranya masih belum jelas terdengar.” Kata salah satu suster menjelaskan, penjelasan itu berubah-ubah setiap harinya mengikuti perkembangan Sarala, dan untungnya setiap hari ada hal-hal baik yang terjadi pada diri Sarala.
Kelam ingin segera menemui istrinya, dia tahu benar Sarala juga merindukannya.
Dia bisa melihat istrinya belajar memberikan isyarat untuk hal-hal kecil seperti meminta minum atau lap, suara Sarala belum sepenuhnya keluar dan terkadang dia terlihat kebingungan. Benturan keras di kepalanya benar-benar seperti membuat dirinya begitu kepayahan sekarang.
“Hasil MRI menunjukkan ada keanehan di bagian otak bu Nilakandi..” Kata dokter di suatu petang, kala itu hari ketujuh setelah Sarala membuka mata dan berada di ICU. Kelam baru saja pulang dari urusan bisnis diluar kota, setelah istrinya membuka mata dan mengalami penyembuhan yang cukup pesat, Kelam sedikit merasa ringan dan kembali berusaha membagi waktunya untuk pekerjaan, Sarala serta Soga yang masih di rumah.
“Keanehan?” Kelam bertanya, tidak mengerti maksud arah pembicaraan sang dokter.
“Saya belum tahu pasti, tapi hari ini bu Nilakandi sudah boleh pindah ke ruang rawat. Sebaiknya bapak menemui dulu istri bapak, sehingga kami bisa memantau perkembangannya.”
Kelam tidak mengerti tapi dia berusaha membantu dokter agar bisa terus memberikan yang terbaik untuk istrinya.
Dia menunggu di dalam ruang rawat ketika kasur dorong datang, Sarala terlentang disana menatap langit-langit, infusan masih menempel di lengannya. Para suster mengatur tempat tidur wanita itu dan tiga dokter masuk ke dalam ruang rawat inap.
“Bu Nilakandi, ibu sudah masuk ke dalam ruang rawat inap.” Kata salah satu suster pada Sarala.
Wanita itu menatap si suster lekat-lekat.
“Terima kasih ya,” Ucapnya pelan sambil tersenyum tipis.
Ada perasaan lega di dada Kelam, dia bisa mendengar suara istrinya lagi. Melihat bagaimana para suster dan Sarala berinteraksi dengan baik, dia tidak melihat ada yang salah dengan istrinya.
Para dokter memberikan aba-aba padanya untuk mendekat.
Kelam mengambil langkah kecil, ada perasaan gemetar dan takut serta bahagia. Istrinya sudah melewati masa sulit, masa kritis yang dia takutkan sudah berlalu ini saatnya dia fokus pada pemulihan sang istri dan kembali pulang.
“Ala…” Panggilnya lembut, dia mendekat, menatap wanita yang berada di depannya.
Sarala, menatap Kelam lekat.
Matanya beradu pandang, menyelami bola mata hitam milik Kelam. Mata bulat itu mengedip, kini arah pandangnya beralih kepada para dokter dan suster.
Kelam menghentikan langkahnya, “Ala….” Panggilnya lagi.
Wanita itu masih menatapnya kemudian melemparkan pandangan ke segala arah, “Maaf, anda siapa?”
Kelam mematung, jantungnya seperti jatuh ke bawah seketika. Dia terdiam.
“Maaf, anda siapa?” Pertanyaan itu kembali terulang, Sarala masih menatapnya. Asing.
Begitu asing sampai-sampai Kelam merasa malu sendiri.
“Bu Nilakandi, ibu tidak mengenal pria ini?” Tanya salah satu dokter, mendekat kearah Sarala dan menunjuk Kelam.
Wanita itu menggeleng.
“Kelam. Pak Kelam Baja Birendra.” Ujar dokter itu lagi.
Sarala masih terdiam, wajahnya kebingungan, dia menggeleng lagi, “Apa…saya harus kenal dia siapa?” Katanya.
Kelam menatap Sarala penuh keterkejutan, dia mundur dan meninggalkan ruangan rawat inap. Peluhnya mendadak mengucur begitu saja padahal ruangan full AC, jantungnya berdegup dengan kencang, dan dia bisa merasakan kepalanya dipenuhi dengan gas yang membuatnya tidak tahu apakah yang barusan terjadi benar atau hanya khayalannya saja.
Salah satu dokter menghampirinya, mengucapkan banyak kalimat yang kini tidak bisa Kelam dengar karena keterkejutan masih ‘memakan’nya.
“Pak Kelam?”
Sadarnya kembali, dia menatap dokter yang juga menatapnya penuh rasa kasihan. Dia menelan ludahnya, berusaha lebih fokus lagi dan meminta dokter untuk mengulang apa yang sudah dia jelaskan. Dokter itu menghela napas dan kembali menjelaskan bahwa memang benar adanya benturan keras yang terjadi di area kepala namun ketika operasi dokter tidak menemukan ada tanda-tanda kemungkinan mengalami hilang ingatan. Kondisi Sarala sendiri memang cukup parah di bagian kepala. Dokter berkata ada kemungkinan itu adalah bentuk pertahanan tubuhnya karena trauma.
“Apa mungkin sampai dia tidak bisa mengenali saya?” Tanya Kelam. Dokter berkata bahwa setiap orang yang mengalami hilang ingatan atau amnesia biasanya tidak mengingat beberapa orang atau bahkan tidak bisa membedakan tahun bahkan hari.
“Kebanyakan, hanya melupakan hari dimana dia kecelakaan seperti anak pak Kelam, Soga.”
Kelam masih terdiam. Sampai saat ini Soga sendiri memang kehilangan sebagian memorinya, dan benar apa yang dokter jelaskan kebanyakan dia tidak ingat apa yang terjadi. Dia hanya ingat sampai bagian Sarala mengantarnya sampai pintu gerbang, melambaikan tangan dan berjanji padanya akan menjemputnya bersama Kelam.
“Dokter, memori istri saya….Kini sedang dimana?”
“Bu Nilakandi, bisa saya tanya usia bu Nilakandi dan nama lengkapnya?” Salah satu dokter bertanya dengan lembut pada Sarala yang kini memandang bingung sekelilingnya, dua dokter dan tiga perawat ada di kanan serta kirinya sedangkan Kelam berdiri cukup jauh menghindari pandangan Sarala.
“S..Saya Nilakandi Sarala. Panggilan saya, Sarala, Ala. Usia saya, 20 tahun.” Dia menjawab dengan takut-takut, suaranya pelan hampir tidak terdengar.
Dari sudut ruangan Kelam bisa mendengarnya dengan jelas.
20 tahun.
“Bu Nilakandi sudah menikah?” Tanya dokter lagi.
Sarala mengangguk, para dokter sedikit terkejut dengan hal itu, mereka saling menatap.
“Bisa sebutkan siapa suami ibu?”
“Gandaria. Gandaria Wijaya.”
Dan seluruh ruangan menahan napasnya. Kelam terdiam, hatinya sudah tidak karuan, mendengar nama itu disebut lagi oleh istrinya membuatnya tidak sanggup untuk mengatakan apapun. Ingatan Sarala berhenti di usianya yang ke 20 tahun, usia dimana dia dan mantan suaminya Gandaria baru saja menikah.
“Suami saya, dimana ya? Kenapa selama saya disini dia tidak datang?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Sarala, membuat hati Kelam begitu sakit.
15 tahun.
Ingatan wanita itu mundur ke 15 tahun sebelum mereka saling mengenal. Ingatan yang mungkin bagi Sarala adalah ingatan paling membahagiakan untuknya kala itu.
Pernikahannya dengan Sarala bukanlah yang pertama untuk perempuan itu, jauh sebelum bertemu dengannya dia pernah menjalin sebuah pernikahan selama lima tahun bersama kekasih masa sekolahnya. Gandaria Wijaya. Kecelakaan itu membuat Sarala kembali disaat dia dan Gandaria masih baru saja menikah, dia tidak mengingat Kelam bahkan buah hatinya, Soga.Dokter menyarankan agar Kelam tidak menemui Sarala terlebih dahulu, melihat bagaimana terkejutnya Sarala melihat Kelam yang tidak dia kenali membuat dokter membuat keputusan seperti itu. Dia tidak ingin kondisi pasiennya semakin memburuk.Jadi, Kelam menitipkan Sarala kepada bi Miah. Dia hanya akan menunggu hasil.Nyatanya menunggu tidak mudah. Ada banyak hari dimana Kelam ingin melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya diam didalam mobil, menelepon Bi Miah untuk diam-diam melihat perkembangan istrinya dalam video call.“Bu Ala sudah bisa makan pak.” Kata Bi Miah setelah kini hampir dua bulan Sarala ada di Ru
Memiliki seorang anak adalah impian Sarala.Sejak dulu, dia begitu menyukai anak-anak. Impiannya dari menjadi guru taman kanak-kanak sampai menjadi seorang ibu. Impian yang bagi orang lain terdengar sepele namun baginya itu adalah impian yang paling luar biasa.Sarala hanyalah seorang biasa yang dibesarkan oleh keluarga baik-baik, dimana dia tumbuh dengan penuh kasih sayang sebagai seorang anak tunggal hingga akhirnya kecelakaan merenggut kedua orangtuanya. Impiannya menjadi seorang ibu adalah untuk membangkitkan lagi perasaaan rindu kepada ibunya yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun setelah kepergian mereka.“Bunda!” Pekik bocah berusia empat tahun itu, berlari memeluk kaki Sarala. Anak laki-laki dengan wajah yang tampan, pipi yang gembul, kulitnya begitu putih bersih, matanya bulat dan rambutnya hitam pekat.Tampan.“Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?” Tanyanya kemudian, menatap kearah Kelam serta ART mereka. Semua yang berada disana terkesiap.Mereka sudah mendengar
Sarala.Dia terisak, tangisnya masih terdengar, airmatanya terus mengalir. Dia menangis tersedu ketika tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orang itu, Bi Isah dan Kelam. Dia mendengar percakapan mengenai dirinya dan Gandaria, mengenai perpisahan dan trauma. Mungkin karena kecelakaan yang menimpanya, sedikitnya dia tidak mengerti arah obrolan itu kemana.Dia hanya takut.Takut terjadi sesuatu pada Gandaria.Dia menatap kakinya yang masih tidak berdaya, masih tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Kemungkinan dia pulih seperti sedia kala begitu jauh dari kata ‘secepatnya’ seperti yang didengungkan oleh dokter sebelum kepulangannya.Sarala masih harus mengikuti banyak terapi sebelum akhirnya berjalan seperti sedia kala.Sedangkan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana menghubungi Gandaria yang seperti orang-orang ini bilang kalau pria itu tengah melakukan perjalanan bisnis penting keluar negeri.Tempat yang asing dengan orang-orang asing yang tidak mampu Sarala ingat.Dia terisak la
Kelam.Semalaman Kelam memikirkan ucapan bi Isah, mengenai dia harus mendekati Sarala seperti dulu. Kelam tidak yakin dengan hal itu, mengingat bagaimana istrinya bersikap pada lawan jenis Kelam tidak yakin apakah dia bisa mendekati dan membantu wanita itu mengingat lagi siapa dirinya.Tapi, dia juga tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu.Sarala terus menerus menanyakan dimana Gandaria, suaminya. Melihatnya cukup menyakitkan, pria yang begitu dulu dia benci kini dia tanyakan lagi karena dalam ingatannya Gandaria dan dia masih saling mencintai.Melirik kearah jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang, Kelam berencana untuk makan siang diluar saja ketimbang memesan di aplikasi. Hari ini dia tidak memiliki jadwal rapat lagi sampai sore, biasanya dia akan janjian bertemu dengan Sarala beserta anak mereka Soga dan makan bersama-sama.Kini tidak bisa.Perubahan yang benar-benar membuat dirinya tidak nyaman, dia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana pada istrinya sendir
Sarala.Dia merasakannya sejak awal, sejak matanya terbuka pertama kali setelah kecelakaan, dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Ada gerakan-gerakan samar yang semula dia pikir hanya ada di dalam pikirannya semakin lama semakin nyata.Setelah kepulangannya dari rumah sakit, gerakan itu semakin hari semakin terasa nyata. Dia yang tahu porsi makannya yang kecil, setiap hari selalu merasa lapar lebih cepat, selalu menginginkan makan-makanan manis padahal Sarala tidak menyukai minuman atau makanan yang terlalu manis.Melihat tubuhnya di kaca ketika dia duduk diatas kasur ataupun ketika dia sedang berada diatas kursi roda, dia bisa melihat dengan jelas perbedaannya.Bagaimanapun, dia seorang wanita.Ingatannya mungkin belum pulih sepenuhnya seperti yang dokter katakan karena dia tidak mengingat bagaimana kecelakaan terjadi, tapi dia tahu tubuhnya. Dia mengingat semuanya, mengenai tubuhnya, mengenai pernikahannya dengan Gandaria yang baru terjadi beberapa bulan lalu.Hari ini ketika dia
Pertemuan pertamanya dengan Sarala adalah ketika dia diminta untuk melanjutkan kelas bahasa Inggrisnya karena bisnisnya sudah begitu berkembang. Kelam tidak keberatan untuk melanjutkan kelas bahasa Inggris dan mengejar nilai toefl untuk mendapatkan sertifikat dan melancarkan bahasa Inggrisnya.Saat itu, usianya 29 tahun. Usia dimana sebagian teman-temannya sudah menikah, memiliki dua sampai tiga orang anak bahkan banyak juga yang sudah bercerai. Tapi Kelam masih menikmat kesendiriannya. Bukannya tidak mau memiliki seseorang di hidupnya, tapi dia sedang sibuk mempersiapkan masa depannya sendiri.Kelam bekerja lebih keras agar tidak melulu dikait-kaitkan dengan keluarganya yang sudah turun temurun memiliki kekayaan dan koneksi. Dia berusaha membangun segalanya sendirian meskipun tidak sedikit yang mencemoohnya karena dia lahir dari keluarga kaya.Ya, tidak bisa dipungkiri kalau dia memiliki koneksi.Tapi mempertahankan bisnis dan memiliki koneksi adalah dua hal berbeda maka dari itu dia
Sarala.“Minggu ketiga ya..” Gumaman itu terlontar pelan ketika akhirnya Sarala menyelesaikan sesi terapinya, perlahan dia bisa menopang berat tubuhnya menggunakan dua kakinya. Dia juga sudah bisa berjalan meskipun harus dengan bantuan, dia memberikan banyak sekali kemajuan.“Semoga di minggu selanjutnya bisa jauh lebih baik ya..” Kata si terapis sebelum akhirnya pamit undur diri pada Sarala yang diantar bi Miah, dia masih duduk diatas roda. Bi Miah selalu mengantarnya kemanapun, dan dia bersyukur ada orang yang mau melakukan hal itu semua padanya.Akhir-akhir ini semenjak dia sadar kalau dirinya tengah mengandung, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia utarakan. Dia selalu menikmati gerakan-gerakan dari si kecil di dalam perutnya, ini kali pertama dia hamil tapi entah kenapa dia merasa hal-hal seperti ini begitu familiar. Dia seperti pernah merasakan sebelumnya.Sarala juga menghabiskan waktunya bersama dengan orang-orang di tempat baru, di tempat yang sekarang dia tinggali. Orang-oran
Kelam.Ada banyak hal yang Kelam benci di dunia ini, jika bisa diurutkan mungkin hanya beberapa yang termasuk membenci sesuatu karena alasan pribadi seperti membenci seseorang bernama Gandaria.Dia membenci Gandaria karena sikapnya pada Sarala ketika mereka bersama. Awalnya ketika Sarala jujur pada Kelam mengapa pernikahannya berakhir dia hanya mengatakan “Kita sudah gak cocok aja.”Setiap kali Kelam tanyakan jawabannya hanya berakhir disana, seperti sedang menutup kotak pandora Sarala tidak pernah ingin membukanya lagi sampai akhirnya dia bertemu dengan Gandaria. Pria itu tinggi, berwajah tampan dan juga arogan. Kelam mengenalnya karena urusan bisnis, saat itu Gandaria memegang dua bisnisnya untuk pengurusan pajak.“Pak Kelam sudah menikah?” Adalah pertanyaan yang pertama kali pria itu lontarkan kepada Kelam ketika mereka sedang makan siang bersama.“Belum, tapi sedang mempersiapkan.” Jawab Kelam kala itu.“Saya sudah pernah menikah tapi beberapa tahun lalu bercerai.” Ujar Gandaria,
Sarala dilarikan ke Rumah Sakit, setelah apa yang terjadi di pendopo dia kemudian berteriak-teriak kesakitan. Semua asisten rumah tangga merangsek pergi ke pendopo dan mendapati Kelam begitu panik.“Sudah pembukaan tiga, ditunggu ya.” Kata perawat yang mengecek masuk ke dalam kamar, Sarala sudah menjerit-jerit kesakitan.“Gak kuat! Mules banget! Gak kuat!” Keluhnya, napasnya memburu, keringatnya bercucuran padahal AC di ruangan begitu dingin.“Sabar dulu La, sabar ya,” Kelam berusaha menenangkan tapi dia juga jadi panik.Sarala meraung, menangis, untungnya tidak lama kemudian pembukaannya sudah lengkap. Dokter kandungan yang menanganinya masuk dan kemudian membantunya dalam proses persalinan, Kelam seperti biasa berada di ruangan itu juga sama seperti ketika Sarala melahirkan Soga.Sarala mengejan, membuang napas, mengejan lagi.“Sudah hampir keluar bu, sudah kelihatan ya kepalanya!” Kata dokter itu lagi, dia mengintruksikan Sarala untuk mengejan satu kali lagi.Dan suara melengking b
Kelam bertemu dengan dokter yang menangani Sarala, sudah hampir empat hari istrinya berada di Rumah Sakit. Media sudah memberitakan hal itu kemana-kemana, media sosial penuh membicarakan hal itu karena tagline berita tersebut adalah Sarala mengalami komplikasi karena menjalani terapi.“Pak, kami akan konfirmasi pada media kalau bu Ala hanya kecapekan bukan karena komplikasi menjalani terapi.” Kata asistennya.“Ya, tolong diurus saja ya, saya juga bingung kenapa jadi terlalu jauh ini beritanya.” Kelam mengiyakan ucapan asistennya.Terkadang media suka sangat melebih-lebihkan yang tidak seharusnya. Dia dan Sarala bertemu dokter yang menangani wanita itu, dokter menjelaskan kalau ketika pingsan Sarala mengalami beberapa kali kontraksi dan diwajibkan untuk hanya diam diatas tempat tidur sampai usia kandungan dirasa cukup.“Dua bulan lagi bu Sarala diperkirakan akan melahirkan, jadi saya pikir sebaiknya tinggal di Rumah Sakit lebih baik.”Kelam menoleh kearah Sarala, ingin tahu pendapatnya
Soga berlari kecil memasuki lorong kamar rumah sakit. Sarala dipindahkan ke ruang VVIP oleh Kelam karena dia ingin privasi keluarganya terjaga, dia sudah mendengar kalau media satu persatu mendatangi rumah sakit ini. Mereka masih menyangka kalau Sarala mengalami kontraksi dini karena pengaruh dari terapinya.Kaki kecil mungil itu berlari dengan riang menghampiri ruangan kamar, dia begitu senang seperti rasanya ingin berjingkrak-jingkrak. Dengan cepat Soga membuka pintu kamar, “Bunda!!!” Pekiknya kencang, tersenyum lebar sambil berlari.“Aduh abang jangan lari-larian!” Kelam berusaha menghentikan si kecil Soga yang kini sudah merangsek dalam pelukan Sarala yang tengah duduk di kursi roda.“Bunda! Benar bunda minta ketemu abang?” Tanyanya, dia menatap Sarala dengan mata penuh binar.Sarala masih terasa canggung dipanggil ‘bunda’ oleh bocah itu, “Iya..” Jawabnya pelan, malu. Dia mengelus puncak kepala Soga yang sekarang tersenyum-senyum senang mendengar jawaban bundanya.“Papa! Bunda sud
Sarala membuka matanya perlahan, sekitarnya terasa hening, dia menatap langit-langit. Jaraknya begitu jauh dari tempatnya tertidur, dia bukan sedang di kamar Gandaria maupun Kelam. Aroma ruangan ini begitu khas, dia menoleh dan mendapati infus terpasang di tangan kanannya. Rumah sakit. Setelah dia mendengar semua penjelasan asisten rumah tangga Gandaria dia menangis, tidak mampu menahan semua informasi yang dia terima beberapa hari terakhir. Orang yang seharusnya menyelamatkannya, memberikan dia tempat aman, nyaman, memberikan dia perlindungan juga orang yang menjelaskan apa yang terjadi padanya secara jujur ternyata, penipu. Dia menangis sampai isi kepalanya kosong, pandangannya gelap dan dia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Dia meringis. Tidak ada orang di dalam ruangan, dia hanya sendirian bersama bayinya. Mengelus bayinya, Sarala merasa sangat bersalah. Lonjakan emosi yang tidak ada ujungnya, naik dan turun ini membuat bayinya juga ikut merasak
Kelam menghubungi Melati lewat asistennya, wanita itu sedang berada di Belgia namun kini sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia menggunakan jet pribadinya. Kelam tidak menyia-nyiakan waktu sedikitpun untuk menghancurkan Gandaria. Dia sudah terlalu lama menahan perasaan untuk menghancurkan lelaki itu karena Sarala selalu menahannya. Wanita yang dicintainya itu selalu berkata kalau dia dan Gandaria sudah menjadi masa lalu, dan dia tidak ingin sekalipun berhubungan lagi dengan pria itu. Dia ingin benar-benar menghapus memorinya dengan pria itu. Meskipun kenyataannya memorinya dengan Kelam yang menghilang tanpa sisa. Sejak malam Kelam terus menerus menyusun banyak rencana. Sejauh ini, dia tahu kalau Gandaria sama sekali tidak tahu kalau keluarga Melati adalah keluarga yang memiliki pengaruh cukup besar dalam perekonomian Indonesia, kemarin dia berbicara dengan Melati di telepon. “Aku gak bilang ke Gandaria seberapa besar kekayaan keluargaku, dan bagaimana keluarga Caraka. Aku p
Sedari tadi Sarala terus mengitari rumah, dia mengitari rumah itu dari ujung ke ujung. Ada banyak hal yang mengganggunya di rumah ini, dia sendiri tidak tahu itu apa tapi semuanya terasa mengganggu. Perasaan tidak familiar yang dia rasakan semenjak sampai ke rumah ini begitu mengganggunya.Dia pergi ke kebun belakang, memperhatikan tanaman-tanaman disana. Seingat Sarala, Gandaria tidak begitu telaten merawat tanaman. Tapi tanaman ini terlihat begitu rapi dan bersih, tadi dia bertanya pada ART katanya majikannya sendiri yang merawatnya.Sarala mengerenyit, ini terlalu rapi. Di dekat gudang penyimpanan juga ada beberapa perkakas, sarung tangan berwarna merah muda dengan celemek senada.Perasaannya tidak enak.Dia kemudian mengelilingi lagi rumah itu, menemukan sendal jepit berwarna kuning yang seolah-olah disimpan dengan asal-asalan. Gandaria tidak suka warna kuning.Dia membatin lagi dan lagi.Dia yakin ada sesuatu disini, dia semakin yakin dia koma begitu lama atau tidak mengingat ban
Sarala menatap Gandaria yang kini menghentikan mobilnya, dahi wanita itu berkerenyit. Dia tidak merasa mengenal tempat ini, dia tidak tahu ini dimana. Di samping mobil ini ada rumah dengan cat warna abu-abu, warna kesukaan Gandaria. Pagarnya tinggi, berwarna hitam. Rumah dengan bangunan dua lantai itu terlihat besar berbeda dengan rumah Kelam. “Ini..?” Sarala bersuara, menatap Gandaria yang tersenyum padanya. “Ini rumah kita.” Sarala terdiam, menoleh bingung ke arah rumah tersebut. “Bukan, rumah kita bukan disini.” Katanya bingung, dia menoleh kearah Gandaria yang masih tersenyum padanya. “Aku beli rumah ini dengan uangku sendiri, rumah yang dulu sudah kita jual.” Sarala tidak berkata apa-apa, dia merasa aneh. Kalau dalam ingatannya mereka baru menikah selama tujuh bulan, dalam rentang waktu itu apa yang terjadi sehingga rumah yang baru saja mereka tempati, yang mereka cicil dengan susah payah itu tiba-tiba dijual. Dan rumah ini jelas bukan rumah yang dibeli jadi, dengan hanya m
Gandaria keluar dari kamarnya, dia masuk ke dalam kamar tamu yang biasanya dipakai oleh ARTnya jika sedang menginap. Di dalam kamar itu tersimpan banyak fotonya bersama Melati yang biasa terpajang di tembok dan setiap sudut rumah. Dia segera menelepon ARTnya untuk melenyapkan semua dan menaruh di dalam kamar tamu untuk sementara sebelum Sarala datang.Dia membuka ponsel. Tidak ada berita mengenai dirinya dan Sarala.Dia menghembuskan napas lega.Melati sedang tidak berada di Indonesia, dia sedang pergi ke Belgia mengurusi urusan bisnis keluarganya. Dia akan kembali seminggu lagi. Gandaria berpikir untuk membatalkan semua yang dia rencanakan.Dia benar-benar ingin kembali pada Sarala, membangun rumah tangga dari awal lagi dengan wanita itu. Cinta pertamanya.Jika dibilang cinta pertama mungkin terlalu berlebihan, toh semenjak SMP Gandaria sudah berpacaran dengan banyak anak-anak perempuan bahkan dari sekolah lain. Tapi ketika di SMA dan berpacaran d
Kelam memeluk Soga, menarik anak itu masuk ke dalam rumah. Dia sudah tidak mampu berkarta apapun lagi. Apa yang Sarala lakukan di hadapannya tadi sudah membungkam apa yang ingin dia katakan, dia bahkan tidak bisa mencegah keinginan wanita itu untuk pergi dari rumah dan ‘pulang’ ke tempat Gandaria.Dia mengutuk dirinya sendiri karena sudah bertindak gegabah, kebodohan yang tidak bisa diragukan karena sudah membawa masa lalu Sarala masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya. Seharusnya dia tahu benar skenario ini akan terjadi, dia seharusnya tahu benar kalau sampai kapanpun Gandaria adalah orang paling bajingan yang pernah dia temui.Sarala sekali lagi dimanipulasi oleh pria itu.“Pa!Pa! Bunda pa! Soga mau bunda pa!!!!!” Soga memekik lagi, anak itu menangis cukup kencang sampai rasanya hati Kelam tidak mampu untuk menahannya. Dia ikut menangis, dia tidak sanggup. Kalau Sarala membuangnya, dia tidak masalah dengan hal itu tapi apa yang Gandaria lakukan juga menyakiti anak sulungnya.Dia ti