“Bu Nilakandi mengalami cedera kepala yang berat sehingga masuk ke dalam fase koma, kami akan melakukan MRI untuk mengecek kondisinya.” Kata dokter, berusaha menjelaskan pada Kelam bagaimana kondisi istrinya sekarang. Nafasnya tercekat, pandangannya sudah begitu kabur karena mendengar hal yang tidak ingin dia dengar.
“B…..berapa lama dok?” Tanya Kelam, berusaha mengumpulkan semua indera sadarnya.
“Kami sendiri tidak bisa memastikan, ini semua tergantung keadaan bu Nilakandi.” Dokter menjelaskan sekali lagi, “Dan pak Kelam, mohon maaf, apakah bapak tahu kalau bu Nilakandi sedang mengandung?”
Kelam menatap dokter itu dengan mata melotot, dia memgerenyit.
“Mengandung?”
“Ya, bu Nilakandi tengah hamil, usia kehamilannya memasuki 12 minggu.”
Kelam masuk ke dalam kamar rawat, kini kedua orang yang dia sayangi terbaring berdampingan. Soga, anak sulungnya belum juga bangun dari tidurnya. Dokter anak tidak menyatakan dia koma, kemungkinan tubuhnya memang sedang beradaptasi dengan apa yang terjadi.
Bibirnya bergetar, lidahnya terasa kelu, apa yang dia alami sekarang bagaikan mimpi buruk di siang bolong. Dia mencubit tangannya sendiri, berusaha membuat dirinya sadar kalau ini semua hanyalah mimpi buruk, dan begitu dia terbangun dia bisa mendengar suara Soga serta Sarala memanggil dirinya dari pintu kamar.
“Pa! Papa! Bangun! Ayo main!”
“Pa, ih, anaknya bangunin terus tuh daritadi, ayo bangun.”
Tapi tidak, apa yang dia alami adalah nyata. Meskipun cubitan itu terus menghujami tangannya, dia tidak pernah terbangun dari mimpi buruknya.
“Pak Kelam, bapak pulang dan istirahat saja, biar kami yang disini menjaga ibu dan tuan kecil.” Kata bi Isah bersama dengan bi Miah yang mengiyakan, keduanya adalah ART kepercayaan Kelam.
Kelam menggeleng, “Gak bi, saya mau disini aja, mau nungguin mereka berdua bangun..” Ucapnya getir, duduk di sebelah tempat tidur Soga dan mengelus bocah itu lembut.
Bi Isah dan bi Miah menatap sedih, mereka tahu benar bagaimana keluarga kecil ini. Mereka begitu manis dan kompak.
Kelam, meskipun sibuk dengan pekerjaan akan selalu meluangkan waktunya untuk keduanya. Dia akan mengajak si kecil Soga berjalan-jalan bahkan hanya sekedar mengelilingi komplek, mendorong sepeda roda empat bocah itu dengan alat seperti kayu panjang yang dibeli Sarala di salah satu e-commerce karena Soga masih takut untuk melepas kedua roda kecil di belakang sepedanya dan malas mengayuh.
Hari-hari terasa berjalan begitu lambat, Kelam menjalani hari tanpa semangat. Dia bangun dan berangkat dari Rumah Sakit serta pulang kembali ke Rumah Sakit. Ini sudah hari ketiga, MRI sudah dilakukan, benar ada cedera yang cukup serius di kepala Sarala.
Dia khawatir, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk membuat Sarala membuka matanya, dia percaya para dokter di Rumah Sakit ini sudah melakukan hal terbaik mereka.
Keadaan Sarala kini bahkan sedikit memburuk, karena dia tengah hamil tim dokter harus berkonsultasi dengan dokter Obgyn untuk mencukupi kebutuhan bayi di dalam kandungannya.
“Jika bayinya memang membahayakan untuk keadaan Sarala sekarang, saya tidak masalah jika harus digugurkan.” Jawab Kelam ketika tim dokter bertanya mengenai pendapatnya mengenai aborsi yang kemungkinan dilakukan untuk menyelamatkan nyawa Sarala jika dalam satu minggu ke depan tidak ada tanda-tanda dirinya bangun dari koma.
Dia sudah begitu pasrah, dia hanya ingin anak dan istrinya selamat.
“Pa…” Suara lirih kecil itu memanggil namanya di hari keempat keberadaannya di Rumah Sakit, saat itu pukul satu malam. Kelam tengah disibukkan membaca dokumen pekerjaan yang dia bawa ke kamar rawat. Suara itu mengejutkannya, dia buru-buru berlari dan menghampiri asal suara.
“Nak, astaga nak! Puji tuhan, syukurlah nak…” Ucapnya sambil mendekap Soga, bi Isah langsung memanggil dokter jaga dan perawat.
“Tidak ada yang salah dengan Soga, hanya saja kemungkinan besar anak bapak harus menjalani rehabilitasi medik jika seminggu setelah bangun mengalami penurunan daya bicara, daya ingat atau hal-hal lain karena apa yang menimpanya akan menyisakan trauma.” Kata dokter, menjelaskan pada Kelam yang mengangguk paham.
Dia kembali ke ruangan rawat dan bisa melihat Soga terisak di samping Sarala.
“Bunda bangun bun, abang mau ke bunda….” Tangis lirih bocah itu begitu menyesakkan, tangannya berusaha menggapai namun bi Isah memeluk dari belakang, dia meraung pilu.
“Mau ke bunda…” Jeritnya, memaksa melepaskan pelukan bi Isah.
“Soga, sabar dulu ya nak..” Kelam mendekat, menggantikan posisi bi Isah memeluk Soga yang kini menangis mendekap ayahnya.
“Abang takut pa, abang takut, bunda peluk abang..” Dia menceracau banyak hal sambil terisak, dekapannya kuat dan gemetar seluruh tubuhnya, saat itu Kelam tahu kalau anaknya sedang mengingat apa yang terjadi.
“Apa yang menimpanya, akan menyisakan trauma.”
Kata-kata itu kembali terngiang di kepala Kelam. Dia memeluk Soga erat, menangis bersama dengan putra sulungnya. Kedua ARTnya mengalihkan pandangan, menjauh dari situasi yang membuat mereka sesak juga.
Apa yang menimpa keluarga Kelam sudah menjadi bahan berita panas di negeri ini, orang-orang terus membicarakan dan kesedihan merundung orang-orang yang mengagumi serta mengenal mereka dari media sosial ataupun brand makanan yang perusahaan Kelam keluarkan. Orang-orang banyak bersimpati karena tahu benar di depan media maupun di belakang media keluarga kecil itu begitu harmonis.
Reporter masih berkerumun di depan Rumah Sakit berusaha mencari informasi yang bisa dijadikan berita. Dan kini berita mengenai Sarala yang koma dan Soga yang sudah sadar tersebar tanpa permisi.
“Pak Kelam mau menuntut media yang menyebarkan berita itu?” Tanya salah satu asistennya di telepon.
“Tidak perlu, tidak apa-apa prioritas saya saat ini bukan media, tapi keluarga.” Jawabnya, tidak ingin ambil pusing mengenai media.
Hari berganti begitu cepat, Soga sudah diperbolehkan pulang sedangkan Sarala masih berada di tempat tidur di bantu oleh ART serta perawat yang sesekali menyeka tubuhnya, wanita itu terlihat begitu kecil dan lemah. Kelam disibukkan dengan mengurus Soga, dia menemani Soga untuk datang ke rehabilitasi karena anak itu masih sering terbangun di tengah malam menjerit dan menangis dengan tubuh yang gemetar.
Dia masuk ke dalam kamar rawat inap yang hening, kedua ARTnya berpamitan pulang tadi siang. Kelam membiatkan mereka pulang di siang dan malam hari, setelah Soga siuman dan kembali ke rumah dia pikir akan lebih baik kalau kedua ARTnya bisa secara bergantian menjaga bocah itu ketimbang harus disini. Soga lebih membutuhkan mereka.
“Selamat malam sayang, aku pulang.” Ujarnya, melepaskan jaket yang membalut kaos hitamnya. Seharian ini dia berkeliling mencari ruko baru untuk pembukaan cabang. Kelam masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya, menyikat giginya sebelum akhirnya menghampiri Sarala yang masih tertidur dan mencium wajah wanita itu.
Dia menatap wajah Sarala, mengusapnya dengan lembut.
“Ayo bangun La, apa yang bikin kamu betah di dunia mimpi?” Ujarnya, dengan suara setengah berbisik, matanya menatap sendu. “Kamu belum kasih tau aku loh kalo kita bakalan punya anak lagi, kamu mau kasih kejutan ya buat aku?” Dia berkata, senyumnya tersungging sedikit ketika berpikir kemungkinan yang tadi dia ucapkan.
“Aku nemuin hasil testpack kamu di dalam kotak kemarin, makanya aku pikir mungkin kamu mau kasih kejutan ke aku….” Suaranya tertahan, “Tapi kenapa kamu kasih ini buat kejutanku?” Dan tangisnya pecah, dia terisak.
Tidak bisa, kejadian ini begitu menghancurkannya. Ruangan yang sunyi, suara bunyi mesin yang memantau perkembangan Sarala menggema. Kelam benci suasana ini, dia tidak menyukainya. Tangannya menggenggam tangan Sarala erat, dia menatap wajah wanita itu lagi.
“La, bangun yuk, aku kangen banget sama kamu..”
Dan dia terkejut ketika suara erangan terdengar, jari jemari Sarala bergerak, dia menatap jari jemari itu kemudian bergantian mengamati wajah Sarala, mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau yang dia lihat bukanlah khayalannya belaka.
“Ngg..” Erangan Sarala menyadarkannya, dia lari keluar dan memanggil dokter jaga.
Ini sudah hari ketiga setelah Sarala membuka matanya, dia dipindahkan ke ruang ICU dengan segera. Beberapa dokter spesialis sering mengunjungi ruang ICU untuk mengecek keadaan wanita itu, dari luar ruang ICU setiap pulang dari bekerja Kelam akan datang dan memandang istrinya dari balik kaca.“Bu Nilakandi sudah bisa membuka mata dan bernapas sendiri, sudah tidak membutuhkan lagi alat bantu. Kaki dan tangannya sedikit demi sedikit sudah bisa digerakkan, namun suaranya masih belum jelas terdengar.” Kata salah satu suster menjelaskan, penjelasan itu berubah-ubah setiap harinya mengikuti perkembangan Sarala, dan untungnya setiap hari ada hal-hal baik yang terjadi pada diri Sarala.Kelam ingin segera menemui istrinya, dia tahu benar Sarala juga merindukannya.Dia bisa melihat istrinya belajar memberikan isyarat untuk hal-hal kecil seperti meminta minum atau lap, suara Sarala belum sepenuhnya keluar dan terkadang dia terlihat kebingungan. Benturan keras di kepalanya benar-benar seperti memb
Pernikahannya dengan Sarala bukanlah yang pertama untuk perempuan itu, jauh sebelum bertemu dengannya dia pernah menjalin sebuah pernikahan selama lima tahun bersama kekasih masa sekolahnya. Gandaria Wijaya. Kecelakaan itu membuat Sarala kembali disaat dia dan Gandaria masih baru saja menikah, dia tidak mengingat Kelam bahkan buah hatinya, Soga.Dokter menyarankan agar Kelam tidak menemui Sarala terlebih dahulu, melihat bagaimana terkejutnya Sarala melihat Kelam yang tidak dia kenali membuat dokter membuat keputusan seperti itu. Dia tidak ingin kondisi pasiennya semakin memburuk.Jadi, Kelam menitipkan Sarala kepada bi Miah. Dia hanya akan menunggu hasil.Nyatanya menunggu tidak mudah. Ada banyak hari dimana Kelam ingin melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya diam didalam mobil, menelepon Bi Miah untuk diam-diam melihat perkembangan istrinya dalam video call.“Bu Ala sudah bisa makan pak.” Kata Bi Miah setelah kini hampir dua bulan Sarala ada di Ru
Memiliki seorang anak adalah impian Sarala.Sejak dulu, dia begitu menyukai anak-anak. Impiannya dari menjadi guru taman kanak-kanak sampai menjadi seorang ibu. Impian yang bagi orang lain terdengar sepele namun baginya itu adalah impian yang paling luar biasa.Sarala hanyalah seorang biasa yang dibesarkan oleh keluarga baik-baik, dimana dia tumbuh dengan penuh kasih sayang sebagai seorang anak tunggal hingga akhirnya kecelakaan merenggut kedua orangtuanya. Impiannya menjadi seorang ibu adalah untuk membangkitkan lagi perasaaan rindu kepada ibunya yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun setelah kepergian mereka.“Bunda!” Pekik bocah berusia empat tahun itu, berlari memeluk kaki Sarala. Anak laki-laki dengan wajah yang tampan, pipi yang gembul, kulitnya begitu putih bersih, matanya bulat dan rambutnya hitam pekat.Tampan.“Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?” Tanyanya kemudian, menatap kearah Kelam serta ART mereka. Semua yang berada disana terkesiap.Mereka sudah mendengar
Sarala.Dia terisak, tangisnya masih terdengar, airmatanya terus mengalir. Dia menangis tersedu ketika tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orang itu, Bi Isah dan Kelam. Dia mendengar percakapan mengenai dirinya dan Gandaria, mengenai perpisahan dan trauma. Mungkin karena kecelakaan yang menimpanya, sedikitnya dia tidak mengerti arah obrolan itu kemana.Dia hanya takut.Takut terjadi sesuatu pada Gandaria.Dia menatap kakinya yang masih tidak berdaya, masih tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Kemungkinan dia pulih seperti sedia kala begitu jauh dari kata ‘secepatnya’ seperti yang didengungkan oleh dokter sebelum kepulangannya.Sarala masih harus mengikuti banyak terapi sebelum akhirnya berjalan seperti sedia kala.Sedangkan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana menghubungi Gandaria yang seperti orang-orang ini bilang kalau pria itu tengah melakukan perjalanan bisnis penting keluar negeri.Tempat yang asing dengan orang-orang asing yang tidak mampu Sarala ingat.Dia terisak la
Kelam.Semalaman Kelam memikirkan ucapan bi Isah, mengenai dia harus mendekati Sarala seperti dulu. Kelam tidak yakin dengan hal itu, mengingat bagaimana istrinya bersikap pada lawan jenis Kelam tidak yakin apakah dia bisa mendekati dan membantu wanita itu mengingat lagi siapa dirinya.Tapi, dia juga tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu.Sarala terus menerus menanyakan dimana Gandaria, suaminya. Melihatnya cukup menyakitkan, pria yang begitu dulu dia benci kini dia tanyakan lagi karena dalam ingatannya Gandaria dan dia masih saling mencintai.Melirik kearah jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang, Kelam berencana untuk makan siang diluar saja ketimbang memesan di aplikasi. Hari ini dia tidak memiliki jadwal rapat lagi sampai sore, biasanya dia akan janjian bertemu dengan Sarala beserta anak mereka Soga dan makan bersama-sama.Kini tidak bisa.Perubahan yang benar-benar membuat dirinya tidak nyaman, dia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana pada istrinya sendir
Sarala.Dia merasakannya sejak awal, sejak matanya terbuka pertama kali setelah kecelakaan, dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Ada gerakan-gerakan samar yang semula dia pikir hanya ada di dalam pikirannya semakin lama semakin nyata.Setelah kepulangannya dari rumah sakit, gerakan itu semakin hari semakin terasa nyata. Dia yang tahu porsi makannya yang kecil, setiap hari selalu merasa lapar lebih cepat, selalu menginginkan makan-makanan manis padahal Sarala tidak menyukai minuman atau makanan yang terlalu manis.Melihat tubuhnya di kaca ketika dia duduk diatas kasur ataupun ketika dia sedang berada diatas kursi roda, dia bisa melihat dengan jelas perbedaannya.Bagaimanapun, dia seorang wanita.Ingatannya mungkin belum pulih sepenuhnya seperti yang dokter katakan karena dia tidak mengingat bagaimana kecelakaan terjadi, tapi dia tahu tubuhnya. Dia mengingat semuanya, mengenai tubuhnya, mengenai pernikahannya dengan Gandaria yang baru terjadi beberapa bulan lalu.Hari ini ketika dia
Pertemuan pertamanya dengan Sarala adalah ketika dia diminta untuk melanjutkan kelas bahasa Inggrisnya karena bisnisnya sudah begitu berkembang. Kelam tidak keberatan untuk melanjutkan kelas bahasa Inggris dan mengejar nilai toefl untuk mendapatkan sertifikat dan melancarkan bahasa Inggrisnya.Saat itu, usianya 29 tahun. Usia dimana sebagian teman-temannya sudah menikah, memiliki dua sampai tiga orang anak bahkan banyak juga yang sudah bercerai. Tapi Kelam masih menikmat kesendiriannya. Bukannya tidak mau memiliki seseorang di hidupnya, tapi dia sedang sibuk mempersiapkan masa depannya sendiri.Kelam bekerja lebih keras agar tidak melulu dikait-kaitkan dengan keluarganya yang sudah turun temurun memiliki kekayaan dan koneksi. Dia berusaha membangun segalanya sendirian meskipun tidak sedikit yang mencemoohnya karena dia lahir dari keluarga kaya.Ya, tidak bisa dipungkiri kalau dia memiliki koneksi.Tapi mempertahankan bisnis dan memiliki koneksi adalah dua hal berbeda maka dari itu dia
Sarala.“Minggu ketiga ya..” Gumaman itu terlontar pelan ketika akhirnya Sarala menyelesaikan sesi terapinya, perlahan dia bisa menopang berat tubuhnya menggunakan dua kakinya. Dia juga sudah bisa berjalan meskipun harus dengan bantuan, dia memberikan banyak sekali kemajuan.“Semoga di minggu selanjutnya bisa jauh lebih baik ya..” Kata si terapis sebelum akhirnya pamit undur diri pada Sarala yang diantar bi Miah, dia masih duduk diatas roda. Bi Miah selalu mengantarnya kemanapun, dan dia bersyukur ada orang yang mau melakukan hal itu semua padanya.Akhir-akhir ini semenjak dia sadar kalau dirinya tengah mengandung, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia utarakan. Dia selalu menikmati gerakan-gerakan dari si kecil di dalam perutnya, ini kali pertama dia hamil tapi entah kenapa dia merasa hal-hal seperti ini begitu familiar. Dia seperti pernah merasakan sebelumnya.Sarala juga menghabiskan waktunya bersama dengan orang-orang di tempat baru, di tempat yang sekarang dia tinggali. Orang-oran
Sarala dilarikan ke Rumah Sakit, setelah apa yang terjadi di pendopo dia kemudian berteriak-teriak kesakitan. Semua asisten rumah tangga merangsek pergi ke pendopo dan mendapati Kelam begitu panik.“Sudah pembukaan tiga, ditunggu ya.” Kata perawat yang mengecek masuk ke dalam kamar, Sarala sudah menjerit-jerit kesakitan.“Gak kuat! Mules banget! Gak kuat!” Keluhnya, napasnya memburu, keringatnya bercucuran padahal AC di ruangan begitu dingin.“Sabar dulu La, sabar ya,” Kelam berusaha menenangkan tapi dia juga jadi panik.Sarala meraung, menangis, untungnya tidak lama kemudian pembukaannya sudah lengkap. Dokter kandungan yang menanganinya masuk dan kemudian membantunya dalam proses persalinan, Kelam seperti biasa berada di ruangan itu juga sama seperti ketika Sarala melahirkan Soga.Sarala mengejan, membuang napas, mengejan lagi.“Sudah hampir keluar bu, sudah kelihatan ya kepalanya!” Kata dokter itu lagi, dia mengintruksikan Sarala untuk mengejan satu kali lagi.Dan suara melengking b
Kelam bertemu dengan dokter yang menangani Sarala, sudah hampir empat hari istrinya berada di Rumah Sakit. Media sudah memberitakan hal itu kemana-kemana, media sosial penuh membicarakan hal itu karena tagline berita tersebut adalah Sarala mengalami komplikasi karena menjalani terapi.“Pak, kami akan konfirmasi pada media kalau bu Ala hanya kecapekan bukan karena komplikasi menjalani terapi.” Kata asistennya.“Ya, tolong diurus saja ya, saya juga bingung kenapa jadi terlalu jauh ini beritanya.” Kelam mengiyakan ucapan asistennya.Terkadang media suka sangat melebih-lebihkan yang tidak seharusnya. Dia dan Sarala bertemu dokter yang menangani wanita itu, dokter menjelaskan kalau ketika pingsan Sarala mengalami beberapa kali kontraksi dan diwajibkan untuk hanya diam diatas tempat tidur sampai usia kandungan dirasa cukup.“Dua bulan lagi bu Sarala diperkirakan akan melahirkan, jadi saya pikir sebaiknya tinggal di Rumah Sakit lebih baik.”Kelam menoleh kearah Sarala, ingin tahu pendapatnya
Soga berlari kecil memasuki lorong kamar rumah sakit. Sarala dipindahkan ke ruang VVIP oleh Kelam karena dia ingin privasi keluarganya terjaga, dia sudah mendengar kalau media satu persatu mendatangi rumah sakit ini. Mereka masih menyangka kalau Sarala mengalami kontraksi dini karena pengaruh dari terapinya.Kaki kecil mungil itu berlari dengan riang menghampiri ruangan kamar, dia begitu senang seperti rasanya ingin berjingkrak-jingkrak. Dengan cepat Soga membuka pintu kamar, “Bunda!!!” Pekiknya kencang, tersenyum lebar sambil berlari.“Aduh abang jangan lari-larian!” Kelam berusaha menghentikan si kecil Soga yang kini sudah merangsek dalam pelukan Sarala yang tengah duduk di kursi roda.“Bunda! Benar bunda minta ketemu abang?” Tanyanya, dia menatap Sarala dengan mata penuh binar.Sarala masih terasa canggung dipanggil ‘bunda’ oleh bocah itu, “Iya..” Jawabnya pelan, malu. Dia mengelus puncak kepala Soga yang sekarang tersenyum-senyum senang mendengar jawaban bundanya.“Papa! Bunda sud
Sarala membuka matanya perlahan, sekitarnya terasa hening, dia menatap langit-langit. Jaraknya begitu jauh dari tempatnya tertidur, dia bukan sedang di kamar Gandaria maupun Kelam. Aroma ruangan ini begitu khas, dia menoleh dan mendapati infus terpasang di tangan kanannya. Rumah sakit. Setelah dia mendengar semua penjelasan asisten rumah tangga Gandaria dia menangis, tidak mampu menahan semua informasi yang dia terima beberapa hari terakhir. Orang yang seharusnya menyelamatkannya, memberikan dia tempat aman, nyaman, memberikan dia perlindungan juga orang yang menjelaskan apa yang terjadi padanya secara jujur ternyata, penipu. Dia menangis sampai isi kepalanya kosong, pandangannya gelap dan dia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Dia meringis. Tidak ada orang di dalam ruangan, dia hanya sendirian bersama bayinya. Mengelus bayinya, Sarala merasa sangat bersalah. Lonjakan emosi yang tidak ada ujungnya, naik dan turun ini membuat bayinya juga ikut merasak
Kelam menghubungi Melati lewat asistennya, wanita itu sedang berada di Belgia namun kini sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia menggunakan jet pribadinya. Kelam tidak menyia-nyiakan waktu sedikitpun untuk menghancurkan Gandaria. Dia sudah terlalu lama menahan perasaan untuk menghancurkan lelaki itu karena Sarala selalu menahannya. Wanita yang dicintainya itu selalu berkata kalau dia dan Gandaria sudah menjadi masa lalu, dan dia tidak ingin sekalipun berhubungan lagi dengan pria itu. Dia ingin benar-benar menghapus memorinya dengan pria itu. Meskipun kenyataannya memorinya dengan Kelam yang menghilang tanpa sisa. Sejak malam Kelam terus menerus menyusun banyak rencana. Sejauh ini, dia tahu kalau Gandaria sama sekali tidak tahu kalau keluarga Melati adalah keluarga yang memiliki pengaruh cukup besar dalam perekonomian Indonesia, kemarin dia berbicara dengan Melati di telepon. “Aku gak bilang ke Gandaria seberapa besar kekayaan keluargaku, dan bagaimana keluarga Caraka. Aku p
Sedari tadi Sarala terus mengitari rumah, dia mengitari rumah itu dari ujung ke ujung. Ada banyak hal yang mengganggunya di rumah ini, dia sendiri tidak tahu itu apa tapi semuanya terasa mengganggu. Perasaan tidak familiar yang dia rasakan semenjak sampai ke rumah ini begitu mengganggunya.Dia pergi ke kebun belakang, memperhatikan tanaman-tanaman disana. Seingat Sarala, Gandaria tidak begitu telaten merawat tanaman. Tapi tanaman ini terlihat begitu rapi dan bersih, tadi dia bertanya pada ART katanya majikannya sendiri yang merawatnya.Sarala mengerenyit, ini terlalu rapi. Di dekat gudang penyimpanan juga ada beberapa perkakas, sarung tangan berwarna merah muda dengan celemek senada.Perasaannya tidak enak.Dia kemudian mengelilingi lagi rumah itu, menemukan sendal jepit berwarna kuning yang seolah-olah disimpan dengan asal-asalan. Gandaria tidak suka warna kuning.Dia membatin lagi dan lagi.Dia yakin ada sesuatu disini, dia semakin yakin dia koma begitu lama atau tidak mengingat ban
Sarala menatap Gandaria yang kini menghentikan mobilnya, dahi wanita itu berkerenyit. Dia tidak merasa mengenal tempat ini, dia tidak tahu ini dimana. Di samping mobil ini ada rumah dengan cat warna abu-abu, warna kesukaan Gandaria. Pagarnya tinggi, berwarna hitam. Rumah dengan bangunan dua lantai itu terlihat besar berbeda dengan rumah Kelam. “Ini..?” Sarala bersuara, menatap Gandaria yang tersenyum padanya. “Ini rumah kita.” Sarala terdiam, menoleh bingung ke arah rumah tersebut. “Bukan, rumah kita bukan disini.” Katanya bingung, dia menoleh kearah Gandaria yang masih tersenyum padanya. “Aku beli rumah ini dengan uangku sendiri, rumah yang dulu sudah kita jual.” Sarala tidak berkata apa-apa, dia merasa aneh. Kalau dalam ingatannya mereka baru menikah selama tujuh bulan, dalam rentang waktu itu apa yang terjadi sehingga rumah yang baru saja mereka tempati, yang mereka cicil dengan susah payah itu tiba-tiba dijual. Dan rumah ini jelas bukan rumah yang dibeli jadi, dengan hanya m
Gandaria keluar dari kamarnya, dia masuk ke dalam kamar tamu yang biasanya dipakai oleh ARTnya jika sedang menginap. Di dalam kamar itu tersimpan banyak fotonya bersama Melati yang biasa terpajang di tembok dan setiap sudut rumah. Dia segera menelepon ARTnya untuk melenyapkan semua dan menaruh di dalam kamar tamu untuk sementara sebelum Sarala datang.Dia membuka ponsel. Tidak ada berita mengenai dirinya dan Sarala.Dia menghembuskan napas lega.Melati sedang tidak berada di Indonesia, dia sedang pergi ke Belgia mengurusi urusan bisnis keluarganya. Dia akan kembali seminggu lagi. Gandaria berpikir untuk membatalkan semua yang dia rencanakan.Dia benar-benar ingin kembali pada Sarala, membangun rumah tangga dari awal lagi dengan wanita itu. Cinta pertamanya.Jika dibilang cinta pertama mungkin terlalu berlebihan, toh semenjak SMP Gandaria sudah berpacaran dengan banyak anak-anak perempuan bahkan dari sekolah lain. Tapi ketika di SMA dan berpacaran d
Kelam memeluk Soga, menarik anak itu masuk ke dalam rumah. Dia sudah tidak mampu berkarta apapun lagi. Apa yang Sarala lakukan di hadapannya tadi sudah membungkam apa yang ingin dia katakan, dia bahkan tidak bisa mencegah keinginan wanita itu untuk pergi dari rumah dan ‘pulang’ ke tempat Gandaria.Dia mengutuk dirinya sendiri karena sudah bertindak gegabah, kebodohan yang tidak bisa diragukan karena sudah membawa masa lalu Sarala masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya. Seharusnya dia tahu benar skenario ini akan terjadi, dia seharusnya tahu benar kalau sampai kapanpun Gandaria adalah orang paling bajingan yang pernah dia temui.Sarala sekali lagi dimanipulasi oleh pria itu.“Pa!Pa! Bunda pa! Soga mau bunda pa!!!!!” Soga memekik lagi, anak itu menangis cukup kencang sampai rasanya hati Kelam tidak mampu untuk menahannya. Dia ikut menangis, dia tidak sanggup. Kalau Sarala membuangnya, dia tidak masalah dengan hal itu tapi apa yang Gandaria lakukan juga menyakiti anak sulungnya.Dia ti