Kejadiannya begitu sangat cepat, suara menggelegar itu mampu membuat semua mata beralih pandang. Mobil yang menghantam tiang lampu lalu lintas dengan keras, jeritan para pejalan kaki terdengar nyaring.
Berbondong-bondong orang mendekat untuk menyelamatkan.
“Ada anak kecil di dalam!” Pekikan itu terdengar dari salah satu warga yang mengerumuni mobil tersebut. Mereka semua berusaha memecahkan kaca, berusaha menarik anak kecil yang duduk di kursi belakang. Salah seorang lainnya menelepon ambulan dan pemadam kebakaran, berharap keduanya segera datang untuk menyelamatkan orang-orang yang berada di dalam mobil.
Seorang pria paruh baya yang menyetir dan seorang wanita di kursi belakang yang terlihat terjepit.
Seperti kilat para petugas medis datang, kini sirine polisi, ambulan dan pemadam kebakaran saling bersahutan di lokasi tersebut. Wanita malang itu sudah berhasil dikeluarkan dari mobil bersama dengan bocah berusia 4 tahun, beruntung, bocah itu tidak mengalami luka serius hanya beberapa goresan di bagian tertentu.
Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun akhir turun dari mobil dengan tergesa, mendatangi polisi yang berada disana. Dia dengan terbata dan nafas terengah-engah menjelaskan kalau korban yang mengalami kecelakaan adalah anak, istri serta supirnya. Polisi menjelaskan keadaan wanita yang sudah tidak berada di tempat, dia sudah diamankan di sebuah Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan, berikut dengan korban lainnya.
“Tapi maaf pak, kami harus memberitahu berita duka. Supir bapak meninggal di tempat.”
Pria itu terisak, tentu saja, supir tersebut sudah menemaninya selama 20 tahun, berpikir dia akan kehilangan orang yang begitu berjasa secara mendadak seperti ini membuatnya menangis.
Dia harus segera mengabari keluarga pria paruh baya itu, diambil ponselnya, segera dia beritakan kabar duka tersebut.
Polisi mengajaknya untuk ikut ke rumah sakit, permasalahan mengenai asuransi, dan bagaimana mobil itu menabrak akan ditinjau lebih lanjut. Pria itu bahkan sudah tidak berpikir mengenai hal itu, yang ada dipikirannya hanyalah bertemu istri dan anaknya. Dia dengar, istrinya mengalami luka cukup serius.
Perjalanan yang memakan waktu 30 menit terasa seperti begitu panjang dan lama, sesekali dia melongok ke arah jalan. Supirnya yang lain menenangkannya, mengingatkan bahwa istrinya sekarang sedang dalam penanganan medis.
Tiga puluh menit, mobil masuk ke lobby, dia turun dengan segera dan bergegas pergi ke instalasi gawat darurat. Dia berlari dengan penuh ketergesaan, tidak ingin melewatkan apapun yang terjadi.
“Pak! Bapak tidak bisa mendekat!” Seru salah satu perawat, mencegahnya berjalan lebih jauh. Dari jaraknya sekarang dia bisa melihat apa yang terjadi disana, seorang dokter tengah berusaha melakukan CPR.
Lemas.
Seluruh otot ditubuhnya seperti tidak berfungsi, dia terkulai menatap pemandangan itu. Salah seorang perawat menarik gorden, menutupnya separuh. Satu perawat lainnya mendekat dan bertanya hubungannya dengan si wanita, dengan mulut gemetar dia bilang bahwa itu adalah istrinya.
Dengan permohonan maaf perawat memintanya untuk mengisi formulir, prosedur rumah sakit harus dilakukan.
Dengan berat, dia bangun dibantu oleh supirnya.
“Jantungnya kembali normal!” Sekali lagi, dia jatuh terduduk.
Tuhan sedang baik kepadanya, istrinya selamat.
Setelah apa yang terjadi di IGD, dia kemudian melanjutkan prosedur rumah sakit. Istrinya harus mendapatkan operasi darurat, kaki kirinya patah dan pendarahan di kepala begitu serius. Dia mendengar penjelasan dokter dengan samar, tidak sanggup membayangkan bagaimana istrinya terluka.
Tidak sanggup.
Sudah 15 menit istrinya masuk ke dalam ruang operasi dan kini dia berada di salah satu kamar VVIP menemani anaknya yang masih belum sadar. Anaknya tidak mengalami masalah serius, namun trauma sudah jelas terjadi.
“Pak kelam.” suara pak budi, supirnya, terdengar. dia menoleh mendapati salah satu supir kepercayaannya yang selalu menemaninya itu terdiam di daun pintu.
“Jenazah pak Sakam sudah datang di rumah duka.”
Dia menyapu wajahnya dengan tangan, airmata mengalir tidak berhenti.
“Ayo kita kesana, biar nanti Soga ditemani bi Miah.” Ucapnya, mengalihkan pandangannya pada putra sulungnya yang kemudian dia kecup dahi itu lembut. “Ayah nanti balik lagi ya sayang..” Bisiknya.
Dia datang ke rumah duka yang disambut tangis dan jeritan, istri pak Sakam meraung pilu dengan anak-anaknya. Dari sana, dia baru tahu kalau pak Sakam mengalami henti jantung ketika sedang berkendara dan ketika beliau tidak sadarkan diri, kakinya menginjak gas sehingga mobil meluncur tidak terkendali dan menabrak tiang lampu lalu lintas.
Pak Sakam memang sudah tua, usianya 65 tahun. Beliau menemani kelam sejak dia masih belia. Pak Sakam tahu betul bagaimana perjuangannya untuk menjadi sebesar sekarang. Keluarga pak Sakam seperti keluarga juga baginya, anak pak Sakam berjumlah lima orang. Paling besar bekerja di perusahaan milik Kelam, anak kedua bekerja di salah satu perusahaan swasta juga, yang ketiga baru saja lulus kuliah, yang keempat baru saja masuk kuliah dan yang terakhir baru masuk SMA.
Anak-anak itu masih memiliki perjalanan yang sangat panjang.
Sakam mengurus semuanya, pemakaman, sampai hal-hal kecil lainnya. Dia berada disana sampai pemakaman berakhir, dan juga menghadiri pengajian di malam harinya.
Portal berita sudah memuat berita mengenai apa yang terjadi dengan keluarga kecilnya, liputan stasiun televisi juga sudah mengerumuni kediaman pak Sakam dan rumah sakit.
Kelam merasa terganggu, tapi itu adalah resikonya.
Meskipun dia bukan seorang entertainer, tapi mungkin bisa disebut dengan Publik Figur. Orang-orang mengenalnya karena bisnis makanannya yang sukses, beberapa artis bahkan menjadi Brand Ambassadornya, atau bahkan memiliki kemitraan dengannya. Dia memiliki dua bisnis makanan, makanan cepat saji dan juga minuman teh dengan berbagai rasa, sistemnya adalah Franchise yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
“Saya pamit dulu,” Kata Kelam kepada istri pak Sakam yang masih tersedu. Wanita paruh baya itu memeluk Kelam.
“Maaf ya Lam, gara-gara bapak istrimu jadi terbaring di rumah sakit..” Ujar wanita itu lirih.
Tidak ada yang bisa Kelam salahkan, ini murni kemalangan. Kedua keluarga sama-sama sedang di hantam kepedihan, parahnya lagi pak Sakam meregang nyawa ketika sedang bekerja.
Seharusnya, Kelam memberikan pensiun secepat mungkin padanya.
Dia berpamitan, pergi dengan hati yang berat meninggalkan rumah duka. Pikirannya masih melanglang buana, setelah operasi selesai dia belum tahu mengenai kondisi istrinya. Dia memijat dahinya, tubuhnya terasa berat, kepalanya sakit.
Seandainya hari itu dia mengiyakan ajakan istrinya…
“Pak, sudah sampai.” Suara supirnya mengejutkannya, pikirannya terlalu berkecamuk sehingga perjalanan yang panjang terasa begitu singkat. Di luar Rumah Sakit masih banyak reporter yang menunggu, jadi dia menggunakan jalan lain untuk masuk, dia sedang tidak ingin memberikan komentar apapun.
Kelam masuk ke dalam ruang VVIP anaknya ketika salah satu Asisten Rumah Tangga menyambutnya, “Pak Kelam, bu Ala sudah selesai operasi, kamarnya di sebelah.”
Reaksinya begitu cepat, dia berlari secepat mungkin untuk menghampiri kamar istrinya. Hatinya terasa remuk melihat kondisi tidak berdaya wanita kesayangannya.
“Pak Kelam, saya sudah menunggu anda..” Salah satu dokter jaga masuk ke dalam kamar, dia menatap Kelam.
“‘Dok, bagaimana keadaan istri saya?”
“Operasinya sukses pak, tapi….”
Ada jeda disana, dan Kelam tidak menyukainya, melihat dari reaksinya yang diperlihatkan dokter itu dia tahu hal itu tidak baik. Dia takut untuk mengetahui apa kabar buruknya tapi dia juga ingin tahu.
“Istri bapak mengalami koma.”
“Bu Nilakandi mengalami cedera kepala yang berat sehingga masuk ke dalam fase koma, kami akan melakukan MRI untuk mengecek kondisinya.” Kata dokter, berusaha menjelaskan pada Kelam bagaimana kondisi istrinya sekarang. Nafasnya tercekat, pandangannya sudah begitu kabur karena mendengar hal yang tidak ingin dia dengar.“B…..berapa lama dok?” Tanya Kelam, berusaha mengumpulkan semua indera sadarnya.“Kami sendiri tidak bisa memastikan, ini semua tergantung keadaan bu Nilakandi.” Dokter menjelaskan sekali lagi, “Dan pak Kelam, mohon maaf, apakah bapak tahu kalau bu Nilakandi sedang mengandung?”Kelam menatap dokter itu dengan mata melotot, dia memgerenyit.“Mengandung?”“Ya, bu Nilakandi tengah hamil, usia kehamilannya memasuki 12 minggu.”Kelam masuk ke dalam kamar rawat, kini kedua orang yang dia sayangi terbaring berdampingan. Soga, anak sulungnya belum juga bangun dari tidurnya. Dokter anak tidak menyatakan dia koma, kemungkinan tubuhnya memang sedang beradaptasi dengan apa yang terja
Ini sudah hari ketiga setelah Sarala membuka matanya, dia dipindahkan ke ruang ICU dengan segera. Beberapa dokter spesialis sering mengunjungi ruang ICU untuk mengecek keadaan wanita itu, dari luar ruang ICU setiap pulang dari bekerja Kelam akan datang dan memandang istrinya dari balik kaca.“Bu Nilakandi sudah bisa membuka mata dan bernapas sendiri, sudah tidak membutuhkan lagi alat bantu. Kaki dan tangannya sedikit demi sedikit sudah bisa digerakkan, namun suaranya masih belum jelas terdengar.” Kata salah satu suster menjelaskan, penjelasan itu berubah-ubah setiap harinya mengikuti perkembangan Sarala, dan untungnya setiap hari ada hal-hal baik yang terjadi pada diri Sarala.Kelam ingin segera menemui istrinya, dia tahu benar Sarala juga merindukannya.Dia bisa melihat istrinya belajar memberikan isyarat untuk hal-hal kecil seperti meminta minum atau lap, suara Sarala belum sepenuhnya keluar dan terkadang dia terlihat kebingungan. Benturan keras di kepalanya benar-benar seperti memb
Pernikahannya dengan Sarala bukanlah yang pertama untuk perempuan itu, jauh sebelum bertemu dengannya dia pernah menjalin sebuah pernikahan selama lima tahun bersama kekasih masa sekolahnya. Gandaria Wijaya. Kecelakaan itu membuat Sarala kembali disaat dia dan Gandaria masih baru saja menikah, dia tidak mengingat Kelam bahkan buah hatinya, Soga.Dokter menyarankan agar Kelam tidak menemui Sarala terlebih dahulu, melihat bagaimana terkejutnya Sarala melihat Kelam yang tidak dia kenali membuat dokter membuat keputusan seperti itu. Dia tidak ingin kondisi pasiennya semakin memburuk.Jadi, Kelam menitipkan Sarala kepada bi Miah. Dia hanya akan menunggu hasil.Nyatanya menunggu tidak mudah. Ada banyak hari dimana Kelam ingin melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya diam didalam mobil, menelepon Bi Miah untuk diam-diam melihat perkembangan istrinya dalam video call.“Bu Ala sudah bisa makan pak.” Kata Bi Miah setelah kini hampir dua bulan Sarala ada di Ru
Memiliki seorang anak adalah impian Sarala.Sejak dulu, dia begitu menyukai anak-anak. Impiannya dari menjadi guru taman kanak-kanak sampai menjadi seorang ibu. Impian yang bagi orang lain terdengar sepele namun baginya itu adalah impian yang paling luar biasa.Sarala hanyalah seorang biasa yang dibesarkan oleh keluarga baik-baik, dimana dia tumbuh dengan penuh kasih sayang sebagai seorang anak tunggal hingga akhirnya kecelakaan merenggut kedua orangtuanya. Impiannya menjadi seorang ibu adalah untuk membangkitkan lagi perasaaan rindu kepada ibunya yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun setelah kepergian mereka.“Bunda!” Pekik bocah berusia empat tahun itu, berlari memeluk kaki Sarala. Anak laki-laki dengan wajah yang tampan, pipi yang gembul, kulitnya begitu putih bersih, matanya bulat dan rambutnya hitam pekat.Tampan.“Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?” Tanyanya kemudian, menatap kearah Kelam serta ART mereka. Semua yang berada disana terkesiap.Mereka sudah mendengar
Sarala.Dia terisak, tangisnya masih terdengar, airmatanya terus mengalir. Dia menangis tersedu ketika tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orang itu, Bi Isah dan Kelam. Dia mendengar percakapan mengenai dirinya dan Gandaria, mengenai perpisahan dan trauma. Mungkin karena kecelakaan yang menimpanya, sedikitnya dia tidak mengerti arah obrolan itu kemana.Dia hanya takut.Takut terjadi sesuatu pada Gandaria.Dia menatap kakinya yang masih tidak berdaya, masih tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Kemungkinan dia pulih seperti sedia kala begitu jauh dari kata ‘secepatnya’ seperti yang didengungkan oleh dokter sebelum kepulangannya.Sarala masih harus mengikuti banyak terapi sebelum akhirnya berjalan seperti sedia kala.Sedangkan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana menghubungi Gandaria yang seperti orang-orang ini bilang kalau pria itu tengah melakukan perjalanan bisnis penting keluar negeri.Tempat yang asing dengan orang-orang asing yang tidak mampu Sarala ingat.Dia terisak la
Kelam.Semalaman Kelam memikirkan ucapan bi Isah, mengenai dia harus mendekati Sarala seperti dulu. Kelam tidak yakin dengan hal itu, mengingat bagaimana istrinya bersikap pada lawan jenis Kelam tidak yakin apakah dia bisa mendekati dan membantu wanita itu mengingat lagi siapa dirinya.Tapi, dia juga tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu.Sarala terus menerus menanyakan dimana Gandaria, suaminya. Melihatnya cukup menyakitkan, pria yang begitu dulu dia benci kini dia tanyakan lagi karena dalam ingatannya Gandaria dan dia masih saling mencintai.Melirik kearah jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang, Kelam berencana untuk makan siang diluar saja ketimbang memesan di aplikasi. Hari ini dia tidak memiliki jadwal rapat lagi sampai sore, biasanya dia akan janjian bertemu dengan Sarala beserta anak mereka Soga dan makan bersama-sama.Kini tidak bisa.Perubahan yang benar-benar membuat dirinya tidak nyaman, dia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana pada istrinya sendir
Sarala.Dia merasakannya sejak awal, sejak matanya terbuka pertama kali setelah kecelakaan, dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Ada gerakan-gerakan samar yang semula dia pikir hanya ada di dalam pikirannya semakin lama semakin nyata.Setelah kepulangannya dari rumah sakit, gerakan itu semakin hari semakin terasa nyata. Dia yang tahu porsi makannya yang kecil, setiap hari selalu merasa lapar lebih cepat, selalu menginginkan makan-makanan manis padahal Sarala tidak menyukai minuman atau makanan yang terlalu manis.Melihat tubuhnya di kaca ketika dia duduk diatas kasur ataupun ketika dia sedang berada diatas kursi roda, dia bisa melihat dengan jelas perbedaannya.Bagaimanapun, dia seorang wanita.Ingatannya mungkin belum pulih sepenuhnya seperti yang dokter katakan karena dia tidak mengingat bagaimana kecelakaan terjadi, tapi dia tahu tubuhnya. Dia mengingat semuanya, mengenai tubuhnya, mengenai pernikahannya dengan Gandaria yang baru terjadi beberapa bulan lalu.Hari ini ketika dia
Pertemuan pertamanya dengan Sarala adalah ketika dia diminta untuk melanjutkan kelas bahasa Inggrisnya karena bisnisnya sudah begitu berkembang. Kelam tidak keberatan untuk melanjutkan kelas bahasa Inggris dan mengejar nilai toefl untuk mendapatkan sertifikat dan melancarkan bahasa Inggrisnya.Saat itu, usianya 29 tahun. Usia dimana sebagian teman-temannya sudah menikah, memiliki dua sampai tiga orang anak bahkan banyak juga yang sudah bercerai. Tapi Kelam masih menikmat kesendiriannya. Bukannya tidak mau memiliki seseorang di hidupnya, tapi dia sedang sibuk mempersiapkan masa depannya sendiri.Kelam bekerja lebih keras agar tidak melulu dikait-kaitkan dengan keluarganya yang sudah turun temurun memiliki kekayaan dan koneksi. Dia berusaha membangun segalanya sendirian meskipun tidak sedikit yang mencemoohnya karena dia lahir dari keluarga kaya.Ya, tidak bisa dipungkiri kalau dia memiliki koneksi.Tapi mempertahankan bisnis dan memiliki koneksi adalah dua hal berbeda maka dari itu dia
Sarala dilarikan ke Rumah Sakit, setelah apa yang terjadi di pendopo dia kemudian berteriak-teriak kesakitan. Semua asisten rumah tangga merangsek pergi ke pendopo dan mendapati Kelam begitu panik.“Sudah pembukaan tiga, ditunggu ya.” Kata perawat yang mengecek masuk ke dalam kamar, Sarala sudah menjerit-jerit kesakitan.“Gak kuat! Mules banget! Gak kuat!” Keluhnya, napasnya memburu, keringatnya bercucuran padahal AC di ruangan begitu dingin.“Sabar dulu La, sabar ya,” Kelam berusaha menenangkan tapi dia juga jadi panik.Sarala meraung, menangis, untungnya tidak lama kemudian pembukaannya sudah lengkap. Dokter kandungan yang menanganinya masuk dan kemudian membantunya dalam proses persalinan, Kelam seperti biasa berada di ruangan itu juga sama seperti ketika Sarala melahirkan Soga.Sarala mengejan, membuang napas, mengejan lagi.“Sudah hampir keluar bu, sudah kelihatan ya kepalanya!” Kata dokter itu lagi, dia mengintruksikan Sarala untuk mengejan satu kali lagi.Dan suara melengking b
Kelam bertemu dengan dokter yang menangani Sarala, sudah hampir empat hari istrinya berada di Rumah Sakit. Media sudah memberitakan hal itu kemana-kemana, media sosial penuh membicarakan hal itu karena tagline berita tersebut adalah Sarala mengalami komplikasi karena menjalani terapi.“Pak, kami akan konfirmasi pada media kalau bu Ala hanya kecapekan bukan karena komplikasi menjalani terapi.” Kata asistennya.“Ya, tolong diurus saja ya, saya juga bingung kenapa jadi terlalu jauh ini beritanya.” Kelam mengiyakan ucapan asistennya.Terkadang media suka sangat melebih-lebihkan yang tidak seharusnya. Dia dan Sarala bertemu dokter yang menangani wanita itu, dokter menjelaskan kalau ketika pingsan Sarala mengalami beberapa kali kontraksi dan diwajibkan untuk hanya diam diatas tempat tidur sampai usia kandungan dirasa cukup.“Dua bulan lagi bu Sarala diperkirakan akan melahirkan, jadi saya pikir sebaiknya tinggal di Rumah Sakit lebih baik.”Kelam menoleh kearah Sarala, ingin tahu pendapatnya
Soga berlari kecil memasuki lorong kamar rumah sakit. Sarala dipindahkan ke ruang VVIP oleh Kelam karena dia ingin privasi keluarganya terjaga, dia sudah mendengar kalau media satu persatu mendatangi rumah sakit ini. Mereka masih menyangka kalau Sarala mengalami kontraksi dini karena pengaruh dari terapinya.Kaki kecil mungil itu berlari dengan riang menghampiri ruangan kamar, dia begitu senang seperti rasanya ingin berjingkrak-jingkrak. Dengan cepat Soga membuka pintu kamar, “Bunda!!!” Pekiknya kencang, tersenyum lebar sambil berlari.“Aduh abang jangan lari-larian!” Kelam berusaha menghentikan si kecil Soga yang kini sudah merangsek dalam pelukan Sarala yang tengah duduk di kursi roda.“Bunda! Benar bunda minta ketemu abang?” Tanyanya, dia menatap Sarala dengan mata penuh binar.Sarala masih terasa canggung dipanggil ‘bunda’ oleh bocah itu, “Iya..” Jawabnya pelan, malu. Dia mengelus puncak kepala Soga yang sekarang tersenyum-senyum senang mendengar jawaban bundanya.“Papa! Bunda sud
Sarala membuka matanya perlahan, sekitarnya terasa hening, dia menatap langit-langit. Jaraknya begitu jauh dari tempatnya tertidur, dia bukan sedang di kamar Gandaria maupun Kelam. Aroma ruangan ini begitu khas, dia menoleh dan mendapati infus terpasang di tangan kanannya. Rumah sakit. Setelah dia mendengar semua penjelasan asisten rumah tangga Gandaria dia menangis, tidak mampu menahan semua informasi yang dia terima beberapa hari terakhir. Orang yang seharusnya menyelamatkannya, memberikan dia tempat aman, nyaman, memberikan dia perlindungan juga orang yang menjelaskan apa yang terjadi padanya secara jujur ternyata, penipu. Dia menangis sampai isi kepalanya kosong, pandangannya gelap dan dia tidak tahu menahu apa yang terjadi. Dia meringis. Tidak ada orang di dalam ruangan, dia hanya sendirian bersama bayinya. Mengelus bayinya, Sarala merasa sangat bersalah. Lonjakan emosi yang tidak ada ujungnya, naik dan turun ini membuat bayinya juga ikut merasak
Kelam menghubungi Melati lewat asistennya, wanita itu sedang berada di Belgia namun kini sedang dalam perjalanan kembali ke Indonesia menggunakan jet pribadinya. Kelam tidak menyia-nyiakan waktu sedikitpun untuk menghancurkan Gandaria. Dia sudah terlalu lama menahan perasaan untuk menghancurkan lelaki itu karena Sarala selalu menahannya. Wanita yang dicintainya itu selalu berkata kalau dia dan Gandaria sudah menjadi masa lalu, dan dia tidak ingin sekalipun berhubungan lagi dengan pria itu. Dia ingin benar-benar menghapus memorinya dengan pria itu. Meskipun kenyataannya memorinya dengan Kelam yang menghilang tanpa sisa. Sejak malam Kelam terus menerus menyusun banyak rencana. Sejauh ini, dia tahu kalau Gandaria sama sekali tidak tahu kalau keluarga Melati adalah keluarga yang memiliki pengaruh cukup besar dalam perekonomian Indonesia, kemarin dia berbicara dengan Melati di telepon. “Aku gak bilang ke Gandaria seberapa besar kekayaan keluargaku, dan bagaimana keluarga Caraka. Aku p
Sedari tadi Sarala terus mengitari rumah, dia mengitari rumah itu dari ujung ke ujung. Ada banyak hal yang mengganggunya di rumah ini, dia sendiri tidak tahu itu apa tapi semuanya terasa mengganggu. Perasaan tidak familiar yang dia rasakan semenjak sampai ke rumah ini begitu mengganggunya.Dia pergi ke kebun belakang, memperhatikan tanaman-tanaman disana. Seingat Sarala, Gandaria tidak begitu telaten merawat tanaman. Tapi tanaman ini terlihat begitu rapi dan bersih, tadi dia bertanya pada ART katanya majikannya sendiri yang merawatnya.Sarala mengerenyit, ini terlalu rapi. Di dekat gudang penyimpanan juga ada beberapa perkakas, sarung tangan berwarna merah muda dengan celemek senada.Perasaannya tidak enak.Dia kemudian mengelilingi lagi rumah itu, menemukan sendal jepit berwarna kuning yang seolah-olah disimpan dengan asal-asalan. Gandaria tidak suka warna kuning.Dia membatin lagi dan lagi.Dia yakin ada sesuatu disini, dia semakin yakin dia koma begitu lama atau tidak mengingat ban
Sarala menatap Gandaria yang kini menghentikan mobilnya, dahi wanita itu berkerenyit. Dia tidak merasa mengenal tempat ini, dia tidak tahu ini dimana. Di samping mobil ini ada rumah dengan cat warna abu-abu, warna kesukaan Gandaria. Pagarnya tinggi, berwarna hitam. Rumah dengan bangunan dua lantai itu terlihat besar berbeda dengan rumah Kelam. “Ini..?” Sarala bersuara, menatap Gandaria yang tersenyum padanya. “Ini rumah kita.” Sarala terdiam, menoleh bingung ke arah rumah tersebut. “Bukan, rumah kita bukan disini.” Katanya bingung, dia menoleh kearah Gandaria yang masih tersenyum padanya. “Aku beli rumah ini dengan uangku sendiri, rumah yang dulu sudah kita jual.” Sarala tidak berkata apa-apa, dia merasa aneh. Kalau dalam ingatannya mereka baru menikah selama tujuh bulan, dalam rentang waktu itu apa yang terjadi sehingga rumah yang baru saja mereka tempati, yang mereka cicil dengan susah payah itu tiba-tiba dijual. Dan rumah ini jelas bukan rumah yang dibeli jadi, dengan hanya m
Gandaria keluar dari kamarnya, dia masuk ke dalam kamar tamu yang biasanya dipakai oleh ARTnya jika sedang menginap. Di dalam kamar itu tersimpan banyak fotonya bersama Melati yang biasa terpajang di tembok dan setiap sudut rumah. Dia segera menelepon ARTnya untuk melenyapkan semua dan menaruh di dalam kamar tamu untuk sementara sebelum Sarala datang.Dia membuka ponsel. Tidak ada berita mengenai dirinya dan Sarala.Dia menghembuskan napas lega.Melati sedang tidak berada di Indonesia, dia sedang pergi ke Belgia mengurusi urusan bisnis keluarganya. Dia akan kembali seminggu lagi. Gandaria berpikir untuk membatalkan semua yang dia rencanakan.Dia benar-benar ingin kembali pada Sarala, membangun rumah tangga dari awal lagi dengan wanita itu. Cinta pertamanya.Jika dibilang cinta pertama mungkin terlalu berlebihan, toh semenjak SMP Gandaria sudah berpacaran dengan banyak anak-anak perempuan bahkan dari sekolah lain. Tapi ketika di SMA dan berpacaran d
Kelam memeluk Soga, menarik anak itu masuk ke dalam rumah. Dia sudah tidak mampu berkarta apapun lagi. Apa yang Sarala lakukan di hadapannya tadi sudah membungkam apa yang ingin dia katakan, dia bahkan tidak bisa mencegah keinginan wanita itu untuk pergi dari rumah dan ‘pulang’ ke tempat Gandaria.Dia mengutuk dirinya sendiri karena sudah bertindak gegabah, kebodohan yang tidak bisa diragukan karena sudah membawa masa lalu Sarala masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya. Seharusnya dia tahu benar skenario ini akan terjadi, dia seharusnya tahu benar kalau sampai kapanpun Gandaria adalah orang paling bajingan yang pernah dia temui.Sarala sekali lagi dimanipulasi oleh pria itu.“Pa!Pa! Bunda pa! Soga mau bunda pa!!!!!” Soga memekik lagi, anak itu menangis cukup kencang sampai rasanya hati Kelam tidak mampu untuk menahannya. Dia ikut menangis, dia tidak sanggup. Kalau Sarala membuangnya, dia tidak masalah dengan hal itu tapi apa yang Gandaria lakukan juga menyakiti anak sulungnya.Dia ti