Sebulan sudah Alvandra berada di Malaysia. Dan selama satu bulan itu ia berjuang untuk dapat melupakan Hanum tanpa harus kembali ke tempat yang akan membawa dirinya pada jurang yang menyesatkan.
Mona, gadis yang malam itu tak sengaja bertemu dan baik kepadanya, tak mampu menggetarkan hati dan jiwa Alvandra yang sudah tak perduli akan rasa pada lawan jenis. Setelah kesakitan yang di torehkan Hanum, calon mantan istri.Alvandra hanya ingin fokus bekerja mencari nafkah demi membahagiakan sang Bunda juga dirinya. Ia ingin mengubah hidup agar tak selamanya menjadi hinaan dan cemoohan orang-orang yang selalu dengki kepadanya.Beberapa hari yang lalu, sang bunda sudah memberikan kabar jika proses perceraian dirinya dengan Hanum sudah mulai berjalan. Alvandara pun berharap semuanya cepat selesai dengan baik tanpa ada kendala apa pun yang dibuat oleh Hanum beserta keluarganya."Al, petang nanti you na kemane?" tanya seorang lelaki yang menjadi sahabat Alvandra di negara itu."Awak tak kemane-mane lah, Lex, kepale awak pening," jawab Alvandra seraya memijat kepalanya yang terasa nyeri."You sakit?" Panik Alex bertanya.Dengan cepat Alvandra menggelengkan kepala. Entah kenapa sejak semalam Alvandra merasa gundah, dan itu membuat tidurnya tidak nyenyak. Setiap satu jam sekali dia terbangun dengan hati gelisah."Ada apa sebetulnya ini ya Allah? Kenapa perasaan gue nggak enak gini." Alvandra bergumam sembari membereskan berkas-berkas yang harus ia serahkan ke atasan-nya esok hari.Alex pun berlalu keluar dari ruangan Alvandra dan menunggu sahabatnya itu di kedai biasa. Di mana mereka kerap makan dan nongkrong bersama. Seperti halnya dengan Alvandra, Alex juga berasal dari negara yang sama, Indonesia. Tetapi karena Alex lebih lama bekerja di sana. Maka, bahasa Alex sudah kental dengan logat bahasa negara tersebut.Setelah menyelesaikan semua tugasnya, calon mantan suami Hanum itu beranjak dari tempat duduknya dan berlalu keluar. Tak lupa ia kunci ruangan pribadinya karena ada banyak dokumen penting yang harus ia amankan.Alvan takut ada orang yang sengaja mengacaukan pekerjaannya. Pasalnya lelaki itu tahu ada yang tak suka dengan dirinya ketika ia di angkat menjadi karyawan kantor, bukan di lapangan seperti rekan-rekan yang seangkatan dengan dirinya."Bang, mau balik?" tanya salah satu staf perempuan yang bernama Zahwa."Eh Iya, masa mau nginap di sini, Zah?" gurau Alvan terkikik.Alvandra sedikit merasa kikuk ketika melihat gadis itu berjongkok di depan dirinya sambil mengambil kertas selebaran yang berserakan di lantai karena tak sengaja tersenggol tangannya. Bagian atas baju gadis itu terbuka dan memperlihatkan dua bukit kembar yang nampak begitu besar. Berusaha mengalihkan pandangan, Alvandra menelan saliva dengan susah payah.Sebagai lelaki normal, ketika melihat itu tentu saja kelelakiannya langsung bereaksi. Tak ingin menyiksa diri, Alvandra segera beranjak pergi tanpa memperdulikan gadis bernama Zahwa itu memanggil namanya."Haiii ... !! Kamu sombong, Alvandra," pekik Zahwa. Ia kesal dengan lelaki tersebut.Zahwa yang diam-diam menyukai Alvandra sedang berusaha mendekati. Tetapi Alvandra memang sama sekali tak tertarik dengan gadis itu sehingga usaha Zahwa selalu berakhir pilu.Cinta bertepuk sebelah tangan memang terasa menyakitkan. Kita berusaha perhatian, tetapi yang diperhatikan tak pernah mau tahu apa lagi berbalik pengertian juga perhatian, kurang apa coba? Jangan-jangan si Alvan belok! Pikir Zahwa dengan raut wajah kecewa.Gadis itu pun berlari mengejar Alvandra yang langkah kakinya teramat sangat lebar bagi Zahwa yang jalan-nya pelan. Tetapi ia berusaha agar bisa sampai kepada lelaki yang dikejarnya."Alvandra, tunggu!" seru Zahwa.Alvandra yang baru menyadari Zahwa mengejar dirinya pun menoleh dan menunggu gadis itu."Eh! Iya, ada apa, Zah?" Mengerutkan kening, Alvandra bertanya apa keperluan gadis itu sehingga harus capek-capek mengejar dirinya."You na kemane, Al?" tanya Zahwa dengan napas tersengal-sengal."Mau pulanglah. Kan sudah jam pulang kerja, kenapa emang?" Heran Alvandra."Kita makan di kedai dekat tempat kost awak, yuk, Al!" ajak Zahwa. Gadis itu tak putus asa untuk terus mencoba mengambil hati Alvandra, lelaki yang banyak digilai kaum hawa.Alvandra terdiam. Ia teringat sudah memiliki janji dengan Alex tadi. Sahabatnya itu menunggu dirinya di kedai selepas pulang kerja."Sorry ya, Zah! Saya ada janji sama Alex. Jadi nggak bisa," tolak Avandra halus. Kemudian ia berlalu meninggalkan Zahwa seorang diri."Shit, sial! Ade saje alasan die orang," desis Zahwa dengan umpatan lirihnya. Wanita itu tak mau Alvandra tahu dirinya mengumpat terhadap lelaki tersebut. Bisa rusak reputasi dia sebagai wanita baik-baik.***Alvandra memilih pulang cepat ke tempat tinggal yang tak jauh dari kantornya. Begitu tiba, Alvandra lekas membuka baju dan menuju kamar mandi. Tetapi sebelumnya, ia melihat ada sebuah pesan masuk dari nomer milik Hanum. Ia lupa menghapus kontak wanita pengkhianat itu di ponsel miliknya.[ Mas, kamu gila ya? Aku nggak mau kita cerai! ]"Ck, betina jalang tak tahu diri. Sudahlah menginjak harga diriku, digugat cerai kagak terima, emang sinting lo, Num!" cibir Alvandra seraya berdecak sebal.Lekas.Alvandra membalas pesan dari Hanum agar wanita itu paham jika permintaan-nya di tolak juga oleh Alvandra. Dia pikir dia doang yang bisa ngambil keputudan sepihak, pikir Alvandra.[ Seharusnya kamu mikir, kesalahan kamu itu apa, Num. Kenapa bisa saya menggugat cerai kamu? ][ Tapi aku nggak terima, Mas. Aku mau naik banding dan kita mediasi dulu. Kalau nggak ... ?? ]Kembali Hanum membalas pesan singkat itu. Andai saja Alvandra saat itu melihat wajah Hanum yang tersenyum mengejek, sudah pasti lelaki itu tak sudi melayani pesan-pesan tak penting itu.[ Kalau nggak? Apa maksud kamu, Num? Jangan macam-cama kamu! ][ Kamu akan menyesal, Mas. ]Alvandra terkejut membaca ancaman dari wanita pengkhianat tersebut."Apaan dia pake ngancem segala. Dia pikir gue mau apa, lubang bekas orang lain. Oke dulu gue mau, karena dia sebelumnya bukan bini gue," gumam Alvan.Tapi tunggu! Ngapain dia pakai ngancem segala? Apa sebuah gertakan doang atau bagaimana ini? Pikir Alvandra. Seketika ia teringat ibunya yang tinggal sendiri. Alvandra mendadak gusar, khawatir akan keselamatan ibunya.Berniat untuk menelepon sang Bunda, tetapi lelaki itu sadar harus mandi lebih dahulu. oleh karena itu, ia lekas berlalu memasuki kamar mandi setelah melempar baju kotor ke atas keranjang yang terletak tak jauh dari pintu.15 menit Alvandra berada di dalam sana dengan aktivitas membersihkan tubuhnya agar terasa lebih fresh, sebelum ia pergi menemui Alex di tempat janji bertemu.Sementara di luar, ponselnya terus berdering menandakan ada panggilan masuk. Alvandra yang sedang mandi, tentu saja tak mendengar. Karena tak kunjung diangkat, panggilan pun berhenti. Berganti pesan yang bermunculan di layar ponsel.Alvandra yang sudah selesai mandi pun keluar dengan rambutnya yang basah. Sekilas matanya menangkap layar ponsel yang menggelap, lantas ia mengambil alat komunikasi tersebut yang tergeletak di atas nakas samping sofa."Siapa yang telepon?" gumamnya saat melihat ada notifikasi panggilan tidak terjawab."Om Danu!" lirihnya bergumam lagi.Lekas Alvandra melakukan panggilan video call ke Om-nya itu. Takut ada hal penting yang harus ia segera ketahui. Tetapi Danu tak menerima panggilan video dari keponakan-nya itu sehingga membuat Alvandra bertanya-tanya dalam hati."Kok Om Danu nggak mau angkat, sih! padahal isi pesannya suruh telepon balik," keluh Alvandra dengan berusaha kembali untuk menghubungi Danu, tetapi hasilnya tetap saja nihil.Entah ada apa dengan Om-nya Alvandra tersebut. Sampai beberapa kali Alvandra menelepon juga berkirim pesan singkat, namun tetap tak ada balasan atau menerima panggilannya."Apa mungkin Om Danu salah tekan nomer, ya? Aneh," gumam Alvaran yang meletakan kembali ponsel tersebut di tempat semula.Tak dapat dipungkiri, hati Alvandra masih tetap bertanya-tanya juga merasa cemas, mengingat ia meninggalkan sang bunda seorang diri di kampung halaman. Ditambah lagi Hanum ternyata tak terima dirinya digugat cerai sang suami sehingga Hanum mengajukan keberatan dan harus mediasi lebih dahulu. Membuat Alvan merasa kesal dengan apa yang Hanum lakukan."Semoga bukan pertanda buruk tentang mimpi semalam. Semoga juga Bunda baik-baik saja," gumam Alvandra penuh harap.Laki itu lantas masuk ke kamar untuk memakai baju dan bersiap menepati janjinya bertemu Alex sahabatnya. Hanya Alex lah yang selalu ada untuknya. Alex yang sama-sama hidup diperantauan itu cukup baik dan perduli dengan Alvadra.Setelah berganti baju. Alvandra pun keluar dengan memesan taxi lebih dulu. Ia ingin bercerita banyak kepada Alex prihal penolakan Hanum yang sudah digugat cerai olehnya. Tak ada niat secuil pun dalam hati Alvandra untuk kembali bersama Hanum. Bagi Alvandra, sekali pengkhinat, maka akan selamanya menjadi pengkhinat.Bersambung ...- Di Indonesia -Danu tak kuasa menahan kesedihan dalam hatinya. Almira, sang kakak tertuduh pembunuh ayahnya Robby yang bernama Sugandi.Almira seorang janda cantik. Di usianya yang sudah berkepala 4, banyak sekali lelaki yang ingin mendekati. Tetapi belum satupun yang berhasil menaklukan hati Almira. Kesetian wanita itu terhadap Zayn Malik, mediang suami amatlah besar. Sedikit pun tak ada niat di hatinya mencari pengganti ayah dari Alvandra Zayn Malik, putra tunggalnya. Oleh karena itulah, Sugandi kerap mencari celah untuk dapat mendekati bahkan ingin melecehkan Almira.Beberapa jam sebelumnya tepat pukul 3 dini hari.Almira terbiasa bangun di sepertiga malam untuk melakukan shalat malam. Saat selesai mengambil air wudhu, Ia mendengar ketukan pintu yang cukup keras, membuat dirinya terlonjak karena terkejut.Tok! tok!"Mir, Mira!" seru seorang lelaki di balik pintu."Siapa, sih? Suaranya seperti Danu, tapi kenapa manggil saya-nya Mira? Biasanya Mbak," gumam Almira dengan kedua alis
Kegemparan terjadi di sebuah komplek perumahan. Semua warga berkerumun ingin menyaksikan Almira yang digelandang polisi. Mereka semua mengamuk dan memaki sembari menunjuk-nunjuk ke arah Almira dengan tatapan nyalang. Sebagian ada yang melempar botol plastik, ada pula yang meludah dan mengenai tubuh Almira. Tak bisa dipungkiri, Almira kini menjadi bulan-bulanan massa di kompleknya. Wanita itu hanya bisa menunduk, menerima segala hinaan dan cemoohan orang-orang yang memang sudah lama selalu dengki terhadap dirinya. Sejak wanita itu dinikahi pria tampan seperti Zayn Malik, banyak orang benci terhadap Almira.Entah salahnya di mana wanita itu, sehingga semua orang menganggap Almira seakan-akan musuh di daerah itu, bahkan hingga turun temurun. Apakah karena nasib baiknya yang dinikahi pangeran tampan yang menjadi idola kaum hawa di masanya atau karena ada hal yang lain. Tidak ada yang tahu, termasuk para pembenci itu.Oleh karena itulah mengapa Alvandra selalu merasa khawatir akan keselam
- Malam hari di Malaysia -Alvandra sudah menerima telepon dari Danu. Kabar yang ia terima sungguh mengejutkan dan mampu menggoyangkan dunianya. Ibunda tercinta, dunianya juga jalan menuju surga-nya sedang tersandung kasus hukum, ia terbukti membunuh ayah dari lelaki yang sudah merebut Hanum istrinya.Lelaki itu kini tengah terpuruk untuk kedua kalinya. Dunia yang ia jaga dengan sepenuh hati, saat ini terasa hancur lebur, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Saat pulang pertama ke negaranya, lelaki itu disambut oleh peristiwa yang cukup menyakitkan hati dan jiwanya.Untuk melupakan masa lalu, Alvandra kembali ke negara di mana ia mengais rezeki demi sesuap nasi juga untuk masa depan dia dan keluarga barunya nanti. Tetapi rupanya Tuhan masih mau menguji kesabaran dan keikhlasan hati seorang Alvandra, lelaki yang selama ini terlihat baik dan tak banyak tingkah yang merugikan banyak orang. Sungguh, Alvandra merasa bingung harus berbuat apa. Ia tak mungkin bisa fokus dengan pekerjaan jika
Setibanya di Indonesia, Alvandra pun turun dari pesawat beserta penumpang yang lainnya. Karena sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan sang bunda, lelaki itu lantas berjalan tergesa hingga tanpa sengaja dia menabrak seorang wanita."Eh, maaf, Mbak. Saya tidak sengaja," ucap Alvandra seraya mengatupkan kedua telapak tangannya. Gadis yang tak diketahui namanya pun hanya mengangguk dan tersenyum saja menanggapi.Alvandra lekas berlari keluar dari bandara dan memesan taxi menuju rumah kediaman-nya, ia bermaksud untuk menemui Danu sang paman. Sepanjang perjalanan, pikirannya tidak tenang. Wajah ibunya selalu melintas setiap dia mengedipkan mata.Tetapi siapa sangka, setibanya anak muda itu di rumah, netranya disuguhkan sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan. Dengan bola mata yang hampir keluar, ia melihat sebuah plang terpampang di depan rumahnya yang bertuliskan pengumuman jika rumah itu telah disita oleh pihak BANK.Mengerut kening Alvandra, merasa bingung akan apa yang ia saksik
Alvandra membesuk Almira ke kantor polisi. Tangisnya pecah ketika melihat Almira memakai baju tahanan lengkap dengan kedua tangan terborgol. Wanita itu menemui dirinya di kawal sipir yang mendampingi. Sungguh, bagi Alvandra ini pemandangan yang teramat sangat menyakitkan sepanjang hidupnya.Dunianya seakan kembali hancur berkeping-keping membayangkan sang bunda tidur di dalam sana yang mungkin hanya beralaskan tikar saja. Dan, belum ia ketahui keadaan di dalam sana bersih atau tidak.Andaikan bisa di gantikan oleh dirinya, ingin sekali Alvandra menggantikan posisi Almira asalkan sang bunda bebas dari hukuman itu. Tetapi ia juga sadar, yang salah harus menerima hukuman atas segala perbuatan-nya."Bundaa ... "Alvandra memeluk erat tubuh ringkih Almira dan tangisnya pecah di hadapan sang bunda. Ia tak perduli para polisi yang menyaksikan dirinya sebagai lelaki cengeng. Yang Alvandra rasakan saat ini adalah wanita yang paling mulia dalam hidupnya tengah dihadapkan dengan masalah yang men
Alvandra tak putus asa demi sang bunda tercinta. Lelaki itu mencari pengacara untuk membantu dirinya membela Almira dari semua jeratan hukum. Bagi Alvandra kebebasan sang bunda adalah hal utama yang harus ia upayakan. Bahkan ia pun terpaksa menjual rumah demi membayar pengacara tersebut.Di lain sisi, proses cerai dengan Hanum pada akhirnya berjalan sesuai rencana. Kini wanita itu bisa menerima dengan senang hati setelah melihat lelaki yang sudah berhasil ia tipu semakin jatuh tak berdaya.Setelah rumah terjual, Alvandra memutuskan pindah dari komplek itu. Ia juga kini sudah tinggal di kontrakan kecil saja sembari mencari pekerjaan lain yang sesuai kemampuannya. Tak perduli sekalipun menjadi kuli bangunan, baginya yang penting halal."Aku harus ketemu Bunda. Ada pengacara yang siap membantu meringankan tuntutan hakim atas keputusan hukuman untuk Bunda," gumam Alvandra yang sudah bersiap untuk keluar rumah kontrakannya.Pemuda itu kini melangkah penuh percaya diri. Dengan menaiki angko
Alvandra memaksa untuk pulang hari itu juga dari rumah sakit. Ia mengkhawatirkan ibunya karena belum mengirim makanan juga pakaian ganti, tanpa mempedulikan keadaannya sendiri. Suster menyerahkan paper bag yang dititipkan Aluna kepadanya."Semua administrasi sudah dibayarkan oleh Nona yang mengantar Bapak kemari," kata suster saat membuka infusan di tangan Alvandra."Siapa namanya? Di mana dia sekarang?" Penasaran Alvandra bertanya."Saya kurang tahu, Pak. Hanya Nona tersebut berpesan agar merawat Bapak sampai sembuh. Beliau langsung pergi setelah berbicara dengan dokter," papar suster.Alvandra tidak bertanya lagi. Pikirannya tetap berfokus kepada Almira. Setelah suster memberitahukan cara membersihkan luka dan memberikan obat, Alvandra meninggalkan rumah sakit dengan tergesa.Dengan langkah tertatih sambil meringis memegangi perut yang terluka, Alvandra berjalan menyusuri jalan menuju halte terdekat. Awalnya ia berniat mengunjungi ibunya, tetapi melihat keadaannya yang sekarang, Alv
Alvandra kembali menjalani hari sebagai supir angkot. Walaupun penghasilan yang didapat terbilang minim, namun ia tetap bersyukur. Daripada ia berpangku tangan, lama-lama tabungannya bisa habis karena terus dipakai untuk kebutuhan sehari-hari juga membayar kontrakan.Toni, yang merupakan sahabat Alvandra, bahkan sering membiarkan Alvandra menarik angkot seharian tanpa harus bergantian. Ia beralasan sudah ada tarikan semalam dari para pedagang sayur. Walaupun begitu, Alvandra kerap memberikan sebagian penghasilannya kepada Toni.Untuk kasus Almira, masih harus melalui beberapa tahap untuk sampai ke persidangan. Tak jarang Alvandra berpapasan dengan Robby saat mengunjungi ibunya di sel tahanan."Dasar anak pembunuh! Lo liat aja, gue bakalan balas dendam sama kalian!" hardik Robby dengan mata melotot."Silahkan! Dan omongan lo ini bakal jadi bukti kalo sampe ada apa-apa sama gue atau nyokap gue."Alvandra tersenyum miring sambil menunjukkan rekaman video percakapannya barusan dengan Robb
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma