Setibanya di Indonesia, Alvandra pun turun dari pesawat beserta penumpang yang lainnya. Karena sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan sang bunda, lelaki itu lantas berjalan tergesa hingga tanpa sengaja dia menabrak seorang wanita."Eh, maaf, Mbak. Saya tidak sengaja," ucap Alvandra seraya mengatupkan kedua telapak tangannya. Gadis yang tak diketahui namanya pun hanya mengangguk dan tersenyum saja menanggapi.Alvandra lekas berlari keluar dari bandara dan memesan taxi menuju rumah kediaman-nya, ia bermaksud untuk menemui Danu sang paman. Sepanjang perjalanan, pikirannya tidak tenang. Wajah ibunya selalu melintas setiap dia mengedipkan mata.Tetapi siapa sangka, setibanya anak muda itu di rumah, netranya disuguhkan sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan. Dengan bola mata yang hampir keluar, ia melihat sebuah plang terpampang di depan rumahnya yang bertuliskan pengumuman jika rumah itu telah disita oleh pihak BANK.Mengerut kening Alvandra, merasa bingung akan apa yang ia saksik
Alvandra membesuk Almira ke kantor polisi. Tangisnya pecah ketika melihat Almira memakai baju tahanan lengkap dengan kedua tangan terborgol. Wanita itu menemui dirinya di kawal sipir yang mendampingi. Sungguh, bagi Alvandra ini pemandangan yang teramat sangat menyakitkan sepanjang hidupnya.Dunianya seakan kembali hancur berkeping-keping membayangkan sang bunda tidur di dalam sana yang mungkin hanya beralaskan tikar saja. Dan, belum ia ketahui keadaan di dalam sana bersih atau tidak.Andaikan bisa di gantikan oleh dirinya, ingin sekali Alvandra menggantikan posisi Almira asalkan sang bunda bebas dari hukuman itu. Tetapi ia juga sadar, yang salah harus menerima hukuman atas segala perbuatan-nya."Bundaa ... "Alvandra memeluk erat tubuh ringkih Almira dan tangisnya pecah di hadapan sang bunda. Ia tak perduli para polisi yang menyaksikan dirinya sebagai lelaki cengeng. Yang Alvandra rasakan saat ini adalah wanita yang paling mulia dalam hidupnya tengah dihadapkan dengan masalah yang men
Alvandra tak putus asa demi sang bunda tercinta. Lelaki itu mencari pengacara untuk membantu dirinya membela Almira dari semua jeratan hukum. Bagi Alvandra kebebasan sang bunda adalah hal utama yang harus ia upayakan. Bahkan ia pun terpaksa menjual rumah demi membayar pengacara tersebut.Di lain sisi, proses cerai dengan Hanum pada akhirnya berjalan sesuai rencana. Kini wanita itu bisa menerima dengan senang hati setelah melihat lelaki yang sudah berhasil ia tipu semakin jatuh tak berdaya.Setelah rumah terjual, Alvandra memutuskan pindah dari komplek itu. Ia juga kini sudah tinggal di kontrakan kecil saja sembari mencari pekerjaan lain yang sesuai kemampuannya. Tak perduli sekalipun menjadi kuli bangunan, baginya yang penting halal."Aku harus ketemu Bunda. Ada pengacara yang siap membantu meringankan tuntutan hakim atas keputusan hukuman untuk Bunda," gumam Alvandra yang sudah bersiap untuk keluar rumah kontrakannya.Pemuda itu kini melangkah penuh percaya diri. Dengan menaiki angko
Alvandra memaksa untuk pulang hari itu juga dari rumah sakit. Ia mengkhawatirkan ibunya karena belum mengirim makanan juga pakaian ganti, tanpa mempedulikan keadaannya sendiri. Suster menyerahkan paper bag yang dititipkan Aluna kepadanya."Semua administrasi sudah dibayarkan oleh Nona yang mengantar Bapak kemari," kata suster saat membuka infusan di tangan Alvandra."Siapa namanya? Di mana dia sekarang?" Penasaran Alvandra bertanya."Saya kurang tahu, Pak. Hanya Nona tersebut berpesan agar merawat Bapak sampai sembuh. Beliau langsung pergi setelah berbicara dengan dokter," papar suster.Alvandra tidak bertanya lagi. Pikirannya tetap berfokus kepada Almira. Setelah suster memberitahukan cara membersihkan luka dan memberikan obat, Alvandra meninggalkan rumah sakit dengan tergesa.Dengan langkah tertatih sambil meringis memegangi perut yang terluka, Alvandra berjalan menyusuri jalan menuju halte terdekat. Awalnya ia berniat mengunjungi ibunya, tetapi melihat keadaannya yang sekarang, Alv
Alvandra kembali menjalani hari sebagai supir angkot. Walaupun penghasilan yang didapat terbilang minim, namun ia tetap bersyukur. Daripada ia berpangku tangan, lama-lama tabungannya bisa habis karena terus dipakai untuk kebutuhan sehari-hari juga membayar kontrakan.Toni, yang merupakan sahabat Alvandra, bahkan sering membiarkan Alvandra menarik angkot seharian tanpa harus bergantian. Ia beralasan sudah ada tarikan semalam dari para pedagang sayur. Walaupun begitu, Alvandra kerap memberikan sebagian penghasilannya kepada Toni.Untuk kasus Almira, masih harus melalui beberapa tahap untuk sampai ke persidangan. Tak jarang Alvandra berpapasan dengan Robby saat mengunjungi ibunya di sel tahanan."Dasar anak pembunuh! Lo liat aja, gue bakalan balas dendam sama kalian!" hardik Robby dengan mata melotot."Silahkan! Dan omongan lo ini bakal jadi bukti kalo sampe ada apa-apa sama gue atau nyokap gue."Alvandra tersenyum miring sambil menunjukkan rekaman video percakapannya barusan dengan Robb
Proses persidangan Almira akan dilaksanakan satu Minggu lagi. Sebelum itu terjadi, pengacara yang bernama Rudi itu sibuk mengumpulkan bukti yang bisa dipakai untuk membebaskan Almira. Jikapun tidak bisa bebas, minimal ada keringanan hukuman.Sementara Robby, di mana ia adalah pihak penggugat, sudah menyiapkan rencana agar saat persidangan nanti Almira dijatuhi hukuman mati atau mungkin penjara seumur hidup. Ia tak mau melepas begitu saja orang yang sudah melenyapkan nyawa ayahnya walaupun tahu jika Sugandilah pihak yang bersalah. Sudah kadung benci, maka akal sehat pun disingkirkan.Almira duduk melipat kaki di lantai beralaskan tikar. Kedua matanya terpejam namun tidak tidur. Ia sedang berdzikir, mengusir kegelisahan yang selalu saja datang menghantui. Selain itu, ia juga berdo'a untuk keselamatan anaknya di luar sana yang sedang berjuang untuk kebebasannya.Semenjak kedatangan Robby hari kemarin, perasaan Almira diliputi kegundahan karena dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama s
Hari ini persidangan Almira di gelar. Alvandra sudah meminta izin cuti kepada manajernya untuk menghadiri persidangan ibunya dengan alasan yang lain. Tidak mungkin juga ia bercerita ke semua orang tentang kehidupan pribadinya.Sedari pagi Alvandra sudah menunggu di pengadilan walaupun jadwal sidang masih beberapa waktu lagi di mulai. Almira yang notabene sebagai tersangka pun belumlah datang. Meskipun ini sidang yang pertama, namun Alvandra merasa optimis jika ibunya akan bebas di saat sidang vonis nanti.Dari kejauhan Alvandra sudah melihat Robby datang dengan beberapa orang di belakangnya. Mantan istrinya pun ada di antara orang-orang tersebut. Dengan gaya angkuh, Robby menyapa Alvandra yang sedang duduk seorang diri."Hai, Van! Sudah siap menerima kekalahan hari ini?""Jangan terlalu yakin! Ini baru sidang pertama," balas Alvandra santai.Robby tertawa terbahak-bahak dan diikuti oleh orang-orang yang Alvandra yakini adalah antek-anteknya."Alvandra, Alvandra!" Robby menggelengkan k
"Apa maskud Bunda?" tanya Alvandra tak paham maksud ucapan ibunya. Tetapi karana petugas langsung membawa Almira. Wanita itu tak lagi dapat melanjutkan ucapannya. Tinggalah Alvandra yang menyisakan sejuta tanya.Alvandra masih memendam kekecewaan terhadap Almira. Sampai mereka berpisah di depan pengadilan pun, mulut ibunya masih terkunci rapat. Bahkan di saat Alvandra menjenguk di tiga hari berikutnya, Almira masih tidak mau mengatakan alasannya.Satu minggu setelah sidang pertama, sidang vonis pun di gelar. Hakim mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwasanya Almira harus menjalani hukuman penjara seumur hidup. Suara ketuk palu menjadi penanda dimulainya masa hukuman Almira, dikurangi dengan masa kurungan selama di kantor polisi. Untuk selanjutnya, Almira dipindahkan ke rumah tahanan khusus wanita.Sejak jatuhnya vonis hakim, maka kerjasama antara Rudi dengan Alvandra pun berakhir. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka perjuangkan, Almira telah mengaku bersalah."Bagaimana, Va
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma