Proses persidangan Almira akan dilaksanakan satu Minggu lagi. Sebelum itu terjadi, pengacara yang bernama Rudi itu sibuk mengumpulkan bukti yang bisa dipakai untuk membebaskan Almira. Jikapun tidak bisa bebas, minimal ada keringanan hukuman.Sementara Robby, di mana ia adalah pihak penggugat, sudah menyiapkan rencana agar saat persidangan nanti Almira dijatuhi hukuman mati atau mungkin penjara seumur hidup. Ia tak mau melepas begitu saja orang yang sudah melenyapkan nyawa ayahnya walaupun tahu jika Sugandilah pihak yang bersalah. Sudah kadung benci, maka akal sehat pun disingkirkan.Almira duduk melipat kaki di lantai beralaskan tikar. Kedua matanya terpejam namun tidak tidur. Ia sedang berdzikir, mengusir kegelisahan yang selalu saja datang menghantui. Selain itu, ia juga berdo'a untuk keselamatan anaknya di luar sana yang sedang berjuang untuk kebebasannya.Semenjak kedatangan Robby hari kemarin, perasaan Almira diliputi kegundahan karena dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama s
Hari ini persidangan Almira di gelar. Alvandra sudah meminta izin cuti kepada manajernya untuk menghadiri persidangan ibunya dengan alasan yang lain. Tidak mungkin juga ia bercerita ke semua orang tentang kehidupan pribadinya.Sedari pagi Alvandra sudah menunggu di pengadilan walaupun jadwal sidang masih beberapa waktu lagi di mulai. Almira yang notabene sebagai tersangka pun belumlah datang. Meskipun ini sidang yang pertama, namun Alvandra merasa optimis jika ibunya akan bebas di saat sidang vonis nanti.Dari kejauhan Alvandra sudah melihat Robby datang dengan beberapa orang di belakangnya. Mantan istrinya pun ada di antara orang-orang tersebut. Dengan gaya angkuh, Robby menyapa Alvandra yang sedang duduk seorang diri."Hai, Van! Sudah siap menerima kekalahan hari ini?""Jangan terlalu yakin! Ini baru sidang pertama," balas Alvandra santai.Robby tertawa terbahak-bahak dan diikuti oleh orang-orang yang Alvandra yakini adalah antek-anteknya."Alvandra, Alvandra!" Robby menggelengkan k
"Apa maskud Bunda?" tanya Alvandra tak paham maksud ucapan ibunya. Tetapi karana petugas langsung membawa Almira. Wanita itu tak lagi dapat melanjutkan ucapannya. Tinggalah Alvandra yang menyisakan sejuta tanya.Alvandra masih memendam kekecewaan terhadap Almira. Sampai mereka berpisah di depan pengadilan pun, mulut ibunya masih terkunci rapat. Bahkan di saat Alvandra menjenguk di tiga hari berikutnya, Almira masih tidak mau mengatakan alasannya.Satu minggu setelah sidang pertama, sidang vonis pun di gelar. Hakim mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwasanya Almira harus menjalani hukuman penjara seumur hidup. Suara ketuk palu menjadi penanda dimulainya masa hukuman Almira, dikurangi dengan masa kurungan selama di kantor polisi. Untuk selanjutnya, Almira dipindahkan ke rumah tahanan khusus wanita.Sejak jatuhnya vonis hakim, maka kerjasama antara Rudi dengan Alvandra pun berakhir. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka perjuangkan, Almira telah mengaku bersalah."Bagaimana, Va
Alvandra duduk di ruang tunggu sebuah klinik 24 jam. Ia sedang menunggu wanita yang ditolongnya siuman. Beruntung tidak ada luka serius, jadi Alvandra cukup membawanya ke klinik terdekat.Dengan dibantu dua orang polisi, Alvandra mengamankan barang-barang berharga milik wanita tersebut. Mobil yang sudah ringsek di bagian depannya pun kini telah dibawa ke kantor polisi menggunakan mobil derek, untuk menyelidiki penyebab kecelakaan.Alvandra tidak tahu siapa yang harus dihubungi untuk mengabarkan kejadian ini karena ponsel wanita tersebut mati. Akhirnya polisi memeriksa tas wanita tersebut dan menemukan kartu identitasnya. Berbekal kartu itu, polisi akan mendatangi rumahnya untuk memberi kabar kepada pihak keluarga. Kini Alvandra tahu nama wanita itu adalah Aluna Khanza."Maaf, Pak. Pasien sudah sadar." Teguran dari seorang pria berbalutkan snelli mengejutkan Alvandra dari kebisuannya."Hah? Oh iya, sebentar saya ke sana, Dok,"sambut Alvandra sedikit tergagap.Alvandra mengambil tas dan
Keesokan harinya Alvandra terbangun dengan penuh semangat, sangat berbanding terbalik dengan hari kemarin. Pagi ini senyum tipis selalu mewarnai raut wajah tampannya. Andai ada bidadari yang lewat, sudah pasti terpeleset karena terpana akan pesona ketampanannya.Alvandra sudah menyiapkan semua persyaratan untuk keperluan melamar pekerjaan. Bahkan surat keterangan pengalaman kerja saat di Malaysia pun ia sertakan, berharap itu akan menjadi bahan pertimbangan HRD untuk menerimanya.Bisa dibilang Alvandra sudah mendapat kartu sakti untuk langsung bekerja di perusahaan Abrisam yang bergerak di bidang konstruksi. Namun ia tak mau memanfaatkan kesempatan itu, ia ingin melalui jalur yang semestinya seperti layaknya pelamar kerja lain.Berbekal alamat yang diberikan Aluna tadi malam, Alvandra segera menaiki angkutan yang searah dengan tujuannya. Tidak butuh waktu lama, ia pun sampai di tempat tujuan. Sebuah gedung pencakar langit dengan jumlah lantai dua puluh."Mas Alvandra!" tegur sebuah su
Merasa apa yang diceritakan Aluna sangat mirip dengan apa yang ia alami, Alvandra pun bertanya tentang satu hal yang lebih spesifik. Sebab ia ingin lebih memastikan lagi akan dugaannya."Apa orang yang nolong Nona itu kena luka benda tajam di perut?""Iya. Kok tahu?" Aluna menatap heran Alvandra."Karena saya dukun. Hehehe ...," canda Alvandra, tetapi ia segera meralat ucapannya."Maaf, bukan kok. Karena saya juga mengalami kejadian seperti yang tadi Nona ceritakan. Bahkan luka bekas operasinya pun masih ada."Aluna membolakan mata. "Benarkah? Di rumah sakit mana dulu Mas Alvan di rawat?"Aluna menjadi penasaran. Jika benar Alvandra orang yang ia cari, maka sudah pasti dia merasa lega. Sebab Aluna sempat khawatir terjadi sesuatu dengan penolongnya, dan jika itu sampai terjadi, kemungkinan ia akan terus dihantui rasa bersalah.Karena tiga hari setelah kejadian itu, Aluna kembali lagi ke rumah sakit karena dokter mengatakan jika pasien yang ia cari harus kontrol ulang untuk memastikan l
Alvandra duduk gelisah di meja kerjanya sambil sesekali melirik jam tangan. Ponsel yang tadi digunakan untuk menerima panggilan kini ia putar-putar di atas meja. Kabar yang baru saja ia terima membuat hatinya menjadi tak karuan. Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengabarkan kalau Almira mengalami kejang-kejang akibat demam tinggi. "Bunda sakit apa?" gumam Alvandra dengan netra sudah mengembun.Lelaki tampan itu sangat mengkhawatirkan kondisi Almira yang saat ini sudah dibawa pihak Lapas ke rumah sakit. Sudah terbayang di benaknya, bagaimana sang bunda terbaring sendirian di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Ingin meminta izin pulang lebih dulu namun ia hanyalah pegawai baru, di mana hari ini adalah hari pertama bekerja bagi Alvandra. Kurang ajar sekali kalau ia sampai melakukan itu, pikirnya.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuyarkan lamunan Alvandra. Ia menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka dan menampakkan sesosok cantik sudah berdiri di sana dengan senyuman tersunggi
Semenjak pembicaraan dengan Abrisam beberapa hari lalu, Aluna mendadak jadi pendiam. Dia yang biasanya ekspresif, kini lebih banyak memendam perasaannya. Ternyata sesulit ini ingin meraih kebahagiaan, pikir Aluna.Persyaratan yang diajukan Abrisam menjadi tanda jika ayahnya tidak menyetujui hubungan dirinya dengan Alvandra. Level Alvandra yang berada di bawah Aluna menjadi alasan Abrisam menentang hubungan mereka dan Aluna tidak pernah bisa mengerti akan hal itu."Mengapa persoalan kasta selalu menjadi alasan utama para kaum pengumpul harta untuk menyelamatkan atau menambah kekayaan mereka. Seakan-akan kasta-kasta level rendah itu adalah kaum pencuri dan kasta yang selevel dengan mereka adalah mesin pencetak uang," ucap Aluna lirih.Gadis cantik itu duduk termenung di teras samping rumah sembari memandangi taman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga cantik."Aduduuh ... pagi-pagi perawan Mommy udah ngelamun aja. Udah ngebet pengen kawin, ya?" celetuk seorang wanita paruh baya yang menghamp
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma