Satu sosok bergerak gelisah di tengah ruangan terang benderang. Tubuhnya tidak terikat, hanya saja suasana yang mencekam membuatnya tak bisa melakukan apapun. Melarikan diri pun dia tak mampu. Melihat tatapan penuh intimidasi dari orang-orang di sekelilingnya. Padahal dia dulu biasa mengeksekusi orang tanpa belas kasih. Tapi aura dominasi klan ini ia akui berbeda.Di depan sana, di sebuah kursi tampak Axa si sniper, lelaki yang tampak tampan luar biasa. Siapa yang menyangka jika dia adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Puluhan nyawa pernah melayang di tangannya. Kemampuan yang sepertinya hanya dimiliki Vante, itu jika Vin mengizinkan bocah remaja tanggung itu ikut organisasi.Axa terlihat santai, tapi semua orang tahu jika pria itu punya tembakan jitu yang sangat ditakuti. Termasuk oleh si tawanan yang kali ini berpikir, kalau harinya akan berakhir. Sekali gerak, Axa bisa mengakhiri hidupnya. “Dia sudah di jalan. Lima menit lagi sampai.” Ian dan Orion datang bersamaan. Duduk d
“Putramu sangat cerdas, aku akui itu. Meski dia membunuh Baron, dia meninggalkan organ pentingnya supaya berguna bagi orang lain,” seloroh Ian. Desahan terdengar dari arah Vin. Iya, Enzo menyisakan satu kornea, sepasang ginjal dan hati milik Baron untuk diambil. Siapa tahu ada yang membutuhkan.“Aku harap cukup Baron saja yang jadi korban. Selanjutnya tidak ada lagi yang seperti itu. Jika bukan karena Briana mungkin Enzo sudah kehilangan kendali. Bisa saja dia menembaki Baron tanpa henti,” muram Vin.Dua pria itu berada di ruang tunggu operasi. Satu ruangan khusus di samping kamar tempat Martin menjalani dua operasi sekaligus. Pengangkatan peluru sekalian penambalan jantung. Bisa dipastikan setelah ini Martin akan berhenti dari dunia bawah. Terlalu beresiko jika lelaki itu masih aktif di dunia mafia. Sementara di sisi lain, ada Briana yang menunggu dengan ekspresi wajah tak terbaca. Entahlah, apa yang gadis itu rasa. Khawatir, atau biasa saja. Mengingat dia belum sepenuhnya meneri
Briana melihat seorang wanita, bule lagi. Berwajah runcing dengan kulit pucat, rambut coklat seperti milik ...Jeff. Sedang menyuapi Martin yang sudah duduk bersandar di head board kasur rumah sakit. Lelaki itu masih terlihat lemah.“Ma, kapan datang?” Pertanyaan Jeff menjawab rasa kepo di benak Briana. Jadi dia ibunya Jeff, istri Martin Sanchez. Rasa marah tiba-tiba menyeruak naik. Perempuan ini yang dinikahi Martin setelah kembali ke Milan sesudah meninggalkan sang ibu.Terdengar wanita itu berbincang dengan Jeff dalam bahasa Italia. Briana berbalik, mengabaikan tatapan permohonan dari Martin. Tak mau mengganggu momen keluarga itu. Namun langkah Briana terhenti ketika satu suara menahannya.“Kamu Briana?” tanya si wanita. Briana menghembuskan nafas, berusaha mengusir sesak yang menghimpit dada. Tidakkah ini terasa tak adil untuknya. Ibunya ditinggalkan dan dia diabaikan. Sakit itu tiba-tiba menyergap hati Briana. Ingin rasanya dia mengamuk pada Martin. “Aku Briana.” Suaranya b
Enzo menopang dagunya. Wajahnya muram. Tidak ada senyum seperti biasa. Dia ingin memeluk seseorang tapi orang yang dia mau sedang sibuk. Saat ini dia masih ada di sekolah. Dengan Via setia menunggunya.“Gak asyik ih, diam saja,” gerutu Via. Bibir gadis kecil itu mengerucut lucu. Dia terlihat imut dan menggemaskan.“Kalau gak asyik ya pergi sana. Cari temen lain!” usir Enzo judes.“Tapi aku maunya main sama kamu,” rengek Via.“Ck ... aku gak suka cewek manja. Jadi cewek harus kuat seperti mama Briana,” celetuk Enzo.“Ngapain jadi kuat, kan kamu bakal jagain aku terus.”“Aku bakal pulang ke Milan, setelah papa dan mama Bri menikah. Lagian kamu siapa, sampai aku harus jagain kamu,” sentak Enzo. Via terkesiap. Bukan karena bentakan Enzo tapi terkejut karena kabar yang bocah itu bawa.Enzo dan keluarganya akan pulang ke Milan, bersama Briana setelah menikah. Gadis kecil itu terpaku di tempatnya duduk. Mengabaikan ocehan teman lain yang asyik bermain.“He bocah bule! Jangan buat Via
“Apa ini?” Vin dan Martin sontak mengangkat wajah mereka bersamaan. Melihat ke arah kertas yang diangkat oleh Briana.“Bri, balikin.” Vin buru-buru ingin merebut lembaran kertas dari tangan Briana. Tapi terlambat, gadis itu sudah lebih dulu membaca isinya. Martin meneguk ludahnya. Situasinya akan tambah parah jika Briana tahu isi surat itu.Dan benar saja, sang putri langsung melirik tajam pada Martin. “Kamu menjualku?” todong Briana. Bola mata Martin melotot mendengar tuduhan sang anak.“Enggak gitu Bri ....”“Lalu ini apa? Surat pengalihan aset. Yang benar saja. Aku gak butuh aset Vin, aku sudah kaya meski tak sekaya dia!” Tuh kan tambah ruwet gak nih masalah. Salah paham kan Briana. Martin belum juga berhasil mendapat pengakuan dari sang putri, eh dia sudah menambah lagi masalah baru.“Bukan begitu Bri maksud papamu.” Vin langsung bungkam mendapat tatapan penuh peringatan dari Briana.“Tuan Sanchez saya tidak pernah menyangka kalau Anda akan sepicik ini.” Briana tampak kece
Briana tak percaya begitu saja pada cerita Vin, bagaimana bisa cincin yang dia pakai adalah cincin Maria. Bersua saja tidak pernah, apalagi bertukar cincin. “Gak masuk akal!” jerit Briana untuk ke sekian kalinya. Oke, gadis itu mencoba menarik nafas lalu membuangnya. Berkali-kali dia melakukannya. Hingga akhirnya dia kembali meraung frustrasi sambil menarik rambutnya, non sense!Gadis itu melirik ke arah cincin cantik yang berada di jarinya. Dia sudah mencari tahu, cincinnya memang sama persis dengan yang dikenakan Maria. Bisa dibayangkan rasa insecure Briana waktu melihat foto Maria, ibu Enzo. Cantik luar biasa di mata Briana. Sempurna secara fisik. Pantas saja Vin cinta setengah mati pada Maria.Lalu dirinya? Alah sudahlah, jika dibandingkan secara fisik. Maria dan Briana hanya sama tinggi. Sesuai jika berdampingan dengan Vin, tapi dari garis wajah jelas berbeda. Maria full bule dengan binar netra biru yang memukau sedang dia wajah kearifan lokal dengan manik hazel turunan sang ay
“Enzo, Boy. Kamu di mana Nak?” Teriakan Vin melengking di mansion Ian yang luas. Gerakan grasak grusuk, segera menarik perhatian pria itu. Dia berjalan menuju satu ruang yang dia tahu adalah sebuah area latihan menembak. Di mana, suara ribut tadi berasal dari sana. Pintu dibuka. Kegelapan menyambut netra biru Vin. Pria itu mengerutkan dahi. Padahal dia dengan jelas mendengar kehebohan dari dalam sini.Sepeninggal Vin, dua orang langsung membebaskan diri dari sisi lemari. Helaan nafas lega terdengar. “Gak lagi-lagi deh Boy. Sudah ya latihannya.” Si bocil merengut, sang mentor angkat tangan, takut ketahuan si papa.“Ya udah deh,” sahut Enzo. Xuan menarik nafasnya, double lega.“Ya udah deh, Enzo latihan sendiri,” batin si bocil. Setidaknya basic menembak sudah dia kuasai. Dia tinggal mengembangkan teknik dan kemampuannya. Juga skill dalam mengunci sasaran. Tubuh Enzo yang tumbuh tinggi di usia enam tahun, cukup untuk mengintai papan target. Tapi dia perlu keahlian lain jika ingin set
Beberapa waktu sebelumnya. Briana menatap sendu ketika Vin muncul di pintu rumahnya. Bermaksud menjemput Enzo yang sedang main di panti. “Kenapa muram?” Vin bertanya, terlihat sekali jika kemelut masih melanda hati sang gadis.Briana menggeleng pelan. Perkataan Agam dan Vin juga yang lain membuat Briana bimbang. Nuraninya tersentuh, dia perlahan disadarkan kalau sejatinya, dia juga merindukan kehadiran sang ayah wujud dalam kesehariannya.“Gak tenang kan?” Vin tersenyum lembut.“Aku gak tahu harus bagaimana. Bingung.” Vin akhirnya tertawa. Baru kali ini dia menyukai wajah frustrasi sang calon istri.“See, mudah saja. Kamu tinggal mengiyakan. Nanti akan kamu lihat, kalau hatimu jadi lega.” Briana menatap Vin. “Aku tahu itu tidak mudah. Tapi cobalah.” Hening, dua orang itu terdiam. Hingga helaan nafas terdengar. Setelahnya Vin mulai bercerita, satu kalimat yang menjadi awal mula Briana mulai memantapkan hati. “Bagaimana jika itu terjadi padamu?” Pertanyaan itu sukses membuat