Tinggal Jorge, Jeff, Vin dan Martin di ruang perawatan ayah Jeff. Para perempuan keluar untuk mencari makan. Jorge secara khusus meminta maaf pada Briana atas perbuatannya. Dia di hasut oleh Baron. Dan lagi-lagi dia terlena, masuk dalam perangkap Baron. Pria itu sungguh manipulatif. Briana sendiri tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Yang penting dia baik-baik. Urusan organisasi dia tidak mau ikut campur. Bukan bidang ataupun ranahnya untuk mengurusi.“Jadi benar putramu yang menghabisi Enzo?” Jorge lagi-lagi ingin menegaskan pendengarannya. “Iya. Dia menembaknya beberapa kali. Enzo dendam pada orang yang telah menembak mamanya. Awalnya targetnya Ilario, suami Emma sempat sekali ditembak Enzo tepat di hari pernikahannya. Anakku memang agak lain. Aku pikir harus ekstra keras mengawasinya. Jika tidak, aku takut dia akan menjadi brutal.”Semua orang mengangguk setuju. “Ahh, aku ingat, dia bicara dengan seorang anak panti kemarin,” sambung Jeff. “Siapa?” kejar Vin. Sepertinya dia
“Tunggu Bri, apa maksudmu tidak menerima lamaranku?” Vin mencekal tangan Briana. Menahan tubuh gadis itu agar tidak lari darinya. “Sudah jelas kan Vin. Aku tidak mau menikah denganmu. Bayang -bayang Maria terlalu pekat untuk kutembus. Aku tidak mau dianggap sebagai dirinya olehmu waktu menikah denganmu.”Blaarr, ini bagaimana ceritanya. Kemarin mereka baik-baik saja. Kenapa sekarang jadi begini? Apa yang salah? Vin menatap Briana dengan pandangan frustrasi. “Jadi kamu menolak menikah denganku?” tanya Vin sekali lagi. Rasa sakit menghantam dada Vin ketika Briana mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkannya. Begitu saja, tanpa kata. Hati Vin patah sekali lagi. Tidak! Kali ini rasanya lebih sakit dari pada waktu Maria meninggal.Dilihatnya tubuh langsing Briana yang perlahan menghilang dari pandangan. Vin masih berdiri di tempatnya, membeku. Tak bisa bergerak, dunianya seolah berhenti berputar, kala Briana menjauh. Tidak! Sudah sejauh ini. Vin tidak mau mundur lagi. Apapun, baga
Wajah Briana masih terlihat pucat, ketakutan. Sayup-sayup dia bisa mendengar suara desahan Vin dari kamar mandi. Setelah jawaban aku akan menikah denganmu terucap dari bibir Briana, lelaki itu beranjak turun dari tubuh Briana. Secepat kilat dia masuk ke kamar mandi, terpaksa mengambil solo karier untuk menuntaskan hasratnya. Padahal dia bisa saja memaksa Briana membantunya. Tangan dan mulut Briana pasti bisa memanjakan kepemilikan Vin yang memang telah lama tak dipuaskan.Erangan panjang diikuti Vin mendesahkan nama Briana menjadi akhir dari prosesi mendaki mencari puncak. Briana merinding lagi, membayangkan andai benda itu meledak dalam dirinya. “Gak! Gak! Belum siap aku!” Briana berseru dengan tubuh menggulung seperti trenggiling dalam mode mempertahankan diri.Tak berapa lama, pemandangan menakjubkan kembali memukau mata Briana. Vin keluar hanya memakai handuk di pinggang. Hingga penampakan perut kotak-kotak macam roti sobek itu kembali menghipnotis Briana. Pemiliknya tampak sa
Kehebohan terjadi di markas besar Black Chimaera. Don dan Juan berhasil kabur dari penjara. Membawa sejumlah senjata. Keduanya juga tak bisa dikesan keberadaannya. Saat ini, Vin dan Ian tengah menghadapi satu anggotanya yang diduga kuat membantu pelarian duo anak buah Baron.“Maafkan saya, saya salah.”“Sudah tahu salah tapi kau membantu mereka!” raung Vin emosi. Jelas jika Don dan Juan akan jadi ancaman baru untuk mereka. Ian hanya diam, dia sibuk berpikir. Bagaimana menangkap kembali Don dan Juan. Sulit sekali meringkus dua penjahat itu.“Kita harus lebih waspada.” Vin mengangguk, setuju dengan ide Ian. Pengamanan harus ditingkatkan. Sampai Don dan Juan ditemukan. The Eye telah diperintahkan untuk mencari di tiap CCTV hampir seluruh negara.“Kau fokus saja pada pernikahanmu dengan Briana, Don dan Juan kami yang urus.” Orion muncul dari pintu di sisi kiri. Masih mengenakan setelan lengkap, lelaki itu pasti dari kantor langsung ke markas BC.Tatapan pria yang di masa lalu sangat
Dua hari sebelum hari H pernikahan Briana dan Vin digelar. Gedung kantor pusat Atmaja Grup mendadak heboh setelah beredar pemberitahuan kalau pewaris utama perusahaan multinasional akan berkunjung. Sang CEO jarang mengunjungi kantor pusat. Hanya sang asisten yang selalu menghandle semua urusan, meski keputusan mutlak di tangan sang pemimpin.“Dia datang,” bisik petugas di bagian front desk yang berjaga di lobi super megah. Ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan pintu lobi. Aris, sang asisten CEO menyambut. Membukakan pintu untuk sang atasan. “Selamat pagi, Nona,” sapa Aris sumringah.Atasannya akan menikah lusa, dan itu berita bahagia untuknya. Setelah menahan perih sekian lama, akhirnya bahagia datang menyapa. “Pagi juga, Ris,” balas wanita yang mengenakan setelan formal simple berwarna hitam. Sangat memukau mata penampilan Briana pagi itu.“Selamat pagi tuan Sanchez.” Aris tak lupa menyapa ayah sang atasan. Sungguh mengesankan, saat Aris diberitahu kalau ayah Briana ke
Namun senyum Surya memudar, mana kala dia melihat wujud pemilik suara. Aryan Atmaja, adik dari Ardian Atmaja, kakek Briana, satu-satunya famili Atmaja yang tersisa dari line Aryan Atmaja. Ucapan Aryan ternyata hanya main-main, dia adalah pendukung utama Briana, mana mungkin akan menentangnya.Aryan Atmaja adalah salah satu oposisi yang menolak eksistensi Surya di perusahaan. Mengingat siapa Surya. “Kakung!” pekik Briana. Gadis itu menghambur ke pelukan pria renta yang masih terlihat bugar.“Jahat sekali sih. Gak pernah mau pulang nengokin Bri. Sengaja ya ninggalin Bri di sini sendirian.” Aryan terkekeh. Cucu perempuan ini memang manja tidak tertolong padanya.“Lebih enak di kampung ngurusin kambing sama kebon,” cengir Aryan. Kakek Briana yang satu ini memang lebih memilih pulang ke kampung istrinya di Yogyakarta. Bertempat tinggal di daerah Sleman, mengisi hari tua dengan berternak kambing Etawa untuk diambil susunya.Juga menanam ragam buah sebagai kegiatan mengisi waktu luang. K
Hari H pernikahan Vin dan Briana. Mengambil tempat di taman belakang rumah Ian yang luas. Venue sudah ditata sedemikian rupa. Dengan kekuatan uang, Vin mampu memberikan pernikahan impian untuk Briana.Awalnya calon istrinya menolak, mereka hanya perlu menikah, sah secara agama dan negara. Namun bujukan Lyli dan yang lain membuat Briana berubah pikiran. “Menikah, momen sekali seumur hidup. Jadikan itu spesial, hingga kalian akan mengenang sampai kapanpun sebagai kenangan paling manis dan berharga. Ingat juga dengan perjuangannya. Sampai kalian akan berpikir ribuan kali untuk berpisah, sebab tidak sulit untuk sampai ke tahap ini.”Akhirnya dengan tema light purple, dekorasi dibuat mengikut permintaan pengantin perempuan. Bunga dengan rona ungu, lavender, lilac, hydrangea tampak menghiasi beberapa sudut tempat pernikahan.Karena dibebaskan memilih, Briana tak tanggung-tanggung minta dibuatkan panggung pernikahan dengan juntaian bunga wisteria fall ungu menghiasi. Juga sebuket lily of
Semua pria memasang wajah topeng masing-masing. Tampak bahagia meski di dalamnya sangat waspada, siaga. Memastikan ear piece berada dalam posisi on, terhubung dengan ruang kendali di ruang bawah tanah rumah sakit Ian. Sementara Orion, Ian dan Vin menggunakan dua saluran sekaligus. Ruang kendali dan The Eye. The Eye sendiri untuk kesempatan ini diawasi secara khusus oleh sang pencetus, Letnan Fao. Tidak bergerak full auto. Namun Fao tak sendiri, seorang remaja berwajah tampan, dengan wajah lokal tapi bermata biru berdiri di sampingnya. “Siap, Prince Faaz?”“Faaz saja, Paman,” sahut sang remaja. Netra birunya menatap antusias pada sekumpulan bocah yang tengah ribut di depan pintu masuk venue. Seulas senyum terukir, mereka adalah putra dari teman sang ayah.“Ingin bertemu mereka?” Faaz mengangguk cepat. “Tapi protokol istana terlalu ketat untuk kutembus.” Faaz memanyunkan bibir, kecewa. Mendapat anugerah terlahir sebagai putra mahkota, membuat ruang gerak Faaz sangat terbatas. Dia
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam