Enzo menopang dagunya. Wajahnya muram. Tidak ada senyum seperti biasa. Dia ingin memeluk seseorang tapi orang yang dia mau sedang sibuk. Saat ini dia masih ada di sekolah. Dengan Via setia menunggunya.“Gak asyik ih, diam saja,” gerutu Via. Bibir gadis kecil itu mengerucut lucu. Dia terlihat imut dan menggemaskan.“Kalau gak asyik ya pergi sana. Cari temen lain!” usir Enzo judes.“Tapi aku maunya main sama kamu,” rengek Via.“Ck ... aku gak suka cewek manja. Jadi cewek harus kuat seperti mama Briana,” celetuk Enzo.“Ngapain jadi kuat, kan kamu bakal jagain aku terus.”“Aku bakal pulang ke Milan, setelah papa dan mama Bri menikah. Lagian kamu siapa, sampai aku harus jagain kamu,” sentak Enzo. Via terkesiap. Bukan karena bentakan Enzo tapi terkejut karena kabar yang bocah itu bawa.Enzo dan keluarganya akan pulang ke Milan, bersama Briana setelah menikah. Gadis kecil itu terpaku di tempatnya duduk. Mengabaikan ocehan teman lain yang asyik bermain.“He bocah bule! Jangan buat Via
“Apa ini?” Vin dan Martin sontak mengangkat wajah mereka bersamaan. Melihat ke arah kertas yang diangkat oleh Briana.“Bri, balikin.” Vin buru-buru ingin merebut lembaran kertas dari tangan Briana. Tapi terlambat, gadis itu sudah lebih dulu membaca isinya. Martin meneguk ludahnya. Situasinya akan tambah parah jika Briana tahu isi surat itu.Dan benar saja, sang putri langsung melirik tajam pada Martin. “Kamu menjualku?” todong Briana. Bola mata Martin melotot mendengar tuduhan sang anak.“Enggak gitu Bri ....”“Lalu ini apa? Surat pengalihan aset. Yang benar saja. Aku gak butuh aset Vin, aku sudah kaya meski tak sekaya dia!” Tuh kan tambah ruwet gak nih masalah. Salah paham kan Briana. Martin belum juga berhasil mendapat pengakuan dari sang putri, eh dia sudah menambah lagi masalah baru.“Bukan begitu Bri maksud papamu.” Vin langsung bungkam mendapat tatapan penuh peringatan dari Briana.“Tuan Sanchez saya tidak pernah menyangka kalau Anda akan sepicik ini.” Briana tampak kece
Briana tak percaya begitu saja pada cerita Vin, bagaimana bisa cincin yang dia pakai adalah cincin Maria. Bersua saja tidak pernah, apalagi bertukar cincin. “Gak masuk akal!” jerit Briana untuk ke sekian kalinya. Oke, gadis itu mencoba menarik nafas lalu membuangnya. Berkali-kali dia melakukannya. Hingga akhirnya dia kembali meraung frustrasi sambil menarik rambutnya, non sense!Gadis itu melirik ke arah cincin cantik yang berada di jarinya. Dia sudah mencari tahu, cincinnya memang sama persis dengan yang dikenakan Maria. Bisa dibayangkan rasa insecure Briana waktu melihat foto Maria, ibu Enzo. Cantik luar biasa di mata Briana. Sempurna secara fisik. Pantas saja Vin cinta setengah mati pada Maria.Lalu dirinya? Alah sudahlah, jika dibandingkan secara fisik. Maria dan Briana hanya sama tinggi. Sesuai jika berdampingan dengan Vin, tapi dari garis wajah jelas berbeda. Maria full bule dengan binar netra biru yang memukau sedang dia wajah kearifan lokal dengan manik hazel turunan sang ay
“Enzo, Boy. Kamu di mana Nak?” Teriakan Vin melengking di mansion Ian yang luas. Gerakan grasak grusuk, segera menarik perhatian pria itu. Dia berjalan menuju satu ruang yang dia tahu adalah sebuah area latihan menembak. Di mana, suara ribut tadi berasal dari sana. Pintu dibuka. Kegelapan menyambut netra biru Vin. Pria itu mengerutkan dahi. Padahal dia dengan jelas mendengar kehebohan dari dalam sini.Sepeninggal Vin, dua orang langsung membebaskan diri dari sisi lemari. Helaan nafas lega terdengar. “Gak lagi-lagi deh Boy. Sudah ya latihannya.” Si bocil merengut, sang mentor angkat tangan, takut ketahuan si papa.“Ya udah deh,” sahut Enzo. Xuan menarik nafasnya, double lega.“Ya udah deh, Enzo latihan sendiri,” batin si bocil. Setidaknya basic menembak sudah dia kuasai. Dia tinggal mengembangkan teknik dan kemampuannya. Juga skill dalam mengunci sasaran. Tubuh Enzo yang tumbuh tinggi di usia enam tahun, cukup untuk mengintai papan target. Tapi dia perlu keahlian lain jika ingin set
Beberapa waktu sebelumnya. Briana menatap sendu ketika Vin muncul di pintu rumahnya. Bermaksud menjemput Enzo yang sedang main di panti. “Kenapa muram?” Vin bertanya, terlihat sekali jika kemelut masih melanda hati sang gadis.Briana menggeleng pelan. Perkataan Agam dan Vin juga yang lain membuat Briana bimbang. Nuraninya tersentuh, dia perlahan disadarkan kalau sejatinya, dia juga merindukan kehadiran sang ayah wujud dalam kesehariannya.“Gak tenang kan?” Vin tersenyum lembut.“Aku gak tahu harus bagaimana. Bingung.” Vin akhirnya tertawa. Baru kali ini dia menyukai wajah frustrasi sang calon istri.“See, mudah saja. Kamu tinggal mengiyakan. Nanti akan kamu lihat, kalau hatimu jadi lega.” Briana menatap Vin. “Aku tahu itu tidak mudah. Tapi cobalah.” Hening, dua orang itu terdiam. Hingga helaan nafas terdengar. Setelahnya Vin mulai bercerita, satu kalimat yang menjadi awal mula Briana mulai memantapkan hati. “Bagaimana jika itu terjadi padamu?” Pertanyaan itu sukses membuat
Tinggal Jorge, Jeff, Vin dan Martin di ruang perawatan ayah Jeff. Para perempuan keluar untuk mencari makan. Jorge secara khusus meminta maaf pada Briana atas perbuatannya. Dia di hasut oleh Baron. Dan lagi-lagi dia terlena, masuk dalam perangkap Baron. Pria itu sungguh manipulatif. Briana sendiri tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Yang penting dia baik-baik. Urusan organisasi dia tidak mau ikut campur. Bukan bidang ataupun ranahnya untuk mengurusi.“Jadi benar putramu yang menghabisi Enzo?” Jorge lagi-lagi ingin menegaskan pendengarannya. “Iya. Dia menembaknya beberapa kali. Enzo dendam pada orang yang telah menembak mamanya. Awalnya targetnya Ilario, suami Emma sempat sekali ditembak Enzo tepat di hari pernikahannya. Anakku memang agak lain. Aku pikir harus ekstra keras mengawasinya. Jika tidak, aku takut dia akan menjadi brutal.”Semua orang mengangguk setuju. “Ahh, aku ingat, dia bicara dengan seorang anak panti kemarin,” sambung Jeff. “Siapa?” kejar Vin. Sepertinya dia
“Tunggu Bri, apa maksudmu tidak menerima lamaranku?” Vin mencekal tangan Briana. Menahan tubuh gadis itu agar tidak lari darinya. “Sudah jelas kan Vin. Aku tidak mau menikah denganmu. Bayang -bayang Maria terlalu pekat untuk kutembus. Aku tidak mau dianggap sebagai dirinya olehmu waktu menikah denganmu.”Blaarr, ini bagaimana ceritanya. Kemarin mereka baik-baik saja. Kenapa sekarang jadi begini? Apa yang salah? Vin menatap Briana dengan pandangan frustrasi. “Jadi kamu menolak menikah denganku?” tanya Vin sekali lagi. Rasa sakit menghantam dada Vin ketika Briana mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkannya. Begitu saja, tanpa kata. Hati Vin patah sekali lagi. Tidak! Kali ini rasanya lebih sakit dari pada waktu Maria meninggal.Dilihatnya tubuh langsing Briana yang perlahan menghilang dari pandangan. Vin masih berdiri di tempatnya, membeku. Tak bisa bergerak, dunianya seolah berhenti berputar, kala Briana menjauh. Tidak! Sudah sejauh ini. Vin tidak mau mundur lagi. Apapun, baga
Wajah Briana masih terlihat pucat, ketakutan. Sayup-sayup dia bisa mendengar suara desahan Vin dari kamar mandi. Setelah jawaban aku akan menikah denganmu terucap dari bibir Briana, lelaki itu beranjak turun dari tubuh Briana. Secepat kilat dia masuk ke kamar mandi, terpaksa mengambil solo karier untuk menuntaskan hasratnya. Padahal dia bisa saja memaksa Briana membantunya. Tangan dan mulut Briana pasti bisa memanjakan kepemilikan Vin yang memang telah lama tak dipuaskan.Erangan panjang diikuti Vin mendesahkan nama Briana menjadi akhir dari prosesi mendaki mencari puncak. Briana merinding lagi, membayangkan andai benda itu meledak dalam dirinya. “Gak! Gak! Belum siap aku!” Briana berseru dengan tubuh menggulung seperti trenggiling dalam mode mempertahankan diri.Tak berapa lama, pemandangan menakjubkan kembali memukau mata Briana. Vin keluar hanya memakai handuk di pinggang. Hingga penampakan perut kotak-kotak macam roti sobek itu kembali menghipnotis Briana. Pemiliknya tampak sa