“Aku merindukanmu, Maria.” Kalimat itu terucap dari bibir Vin, tiap malam. Vin akan berdiri di depan foto pernikahannya lalu menuangkan wine favoritnya. Hal itu dia lakukan setelah memeriksa Enzo. Memastikan sang putra sudah tidur dalam kamarnya. Wine adalah teman yang cocok untuk menemani kegalauan dan kerinduan tak berujung pada sang istri. Rindu yang tidak akan pernah bertemu obatnya. Rindu yang tak bertepi. Rasa cinta Vin pada Maria masih terlalu besar, hingga pria itu terkadang sampai merasakan sesak. Dia tahu, tak seharusnya dia berkubang terlalu lama dari rasa kehilangan yang nyaris melumpuhkan hidupnya. Vin sadar dia seharusnya mulai berdamai dan bernegosiasi dengan kata move on. Tapi bagaimana caranya. Jika Vin sendiri lebih suka menikmati cinta tak bertuan miliknya.“Aku harus bagaimana?” lirih Vin, menatap penuh cinta pada potret Maria yang tersenyum sangat cantik dalam pelukannya.“Katakan, aku harus bagaimana? Jika kamu ingin aku pergi, berikan aku jalan. Tuntun aku
Agam mengemudikan mobilnya seperti orang gila ketika Briana menghubunginya perihal dia dan Kartika yang diserang orang yang tidak mereka kenal. Motifnya apa, dua gadis itu juga tidak tahu.Tapi begitu sampai ke klinik pusat perbelanjaan tersebut, Agam melihat Dito yang tengah menolong Kartika untuk pindah ke sofa yang lebih nyaman.“Kamu datang?” Suara Briana menyapa. Agam tersenyum, melihat Briana yang sepertinya menjaga jarak dengan Dito. Sementara di depan sana, terlihat Kartika yang manyun karena ulah Briana.“Sorry-lah. Kalau dia gak disibukin, nanti dia mepet aku terus,” bisik Briana pada Kartika yang terus mempertahankan sikap sok marahnya.“Dan aku yang jadi tumbal. Yang benar saja,” protes Kartika ketika Dito diminta keluar dengan alasan Agam yang seorang dokter ingin memeriksa Kartika.Kartika semakin cemberut, dia enggan disentuh oleh Dito, yang kata Kartika bekas banyak perempuan. Hiii, gadis itu bergidik ngeri. Tingkah Kartika membuat Agam mengulum senyumnya.“Entar
Vin memicingkan mata melihat Emma yang tampak pucat. Makan pagi hari itu, sikap pria itu tampak biasa. Setelah semalam nyaris meledakkan kepala Helga dengan Glock yang sebelumnya melukai Baron.Helga sendiri tampak kesal melihat Vin. Bukannya tergoda, dia malah hampir kehilangan nyawa. Sial sekali dia malam tadi. Berharap nikmat justru teror yang Helga dapat.Vin sendiri, setelah berhasil membuat Helga lari tunggang langgang dari kamarnya dengan wajah ketakutan, lelaki itu langsung keluar menuju balkon kamarnya. Ada hal yang mengusik pikirannya, setelah kejadian tadi. Dia ingin menemukan sosok gadis yang mengenakan cincin Maria. Karena itulah siang ini dia ke kantor untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Sebelum dia akan terbang ke kota Xuan. Dia melimpahkan semua tanggung jawab pada Miguel. “Kamu yakin? Atau sekedar penasaran?” Andreas adalah orang yang dihubungi oleh Vin selanjutnya, untuk memberitahukan rencananya. Selain Miguel yang lebih dulu tahu mengenai hal itu.“Yang
Hari berganti, seusai sarapan dengan menu yang sedikit dimodifikasi ala kota asalnya. Vin mulai bersiap dengan misinya. Menyempatkan diri bermain sejenak dengan Azlan, putra Ian dan menyapa Lyli, maknya singa.Vin salut dengan Lyli yang mampu bertahan menghadapi Ian, yang lumayan brengsek sebelum jatuh cinta pada ratu di negara yang pernah Ian diami sebelum pindah ke Jakarta, karena insiden yang membuat Ian koma sembilan bulan. Dan Lyli-lah yang mampu membuat Ian sadar dari komanya.Sebuah mobil pabrikan lokal, Vin pilih untuk berkendara hari itu. Dia tak ingin menarik perhatian orang jika menggunakan salah satu mobil mewah milik Ian. Lah, yang dia bawa pun sudah masuk kategori mewah. Pajero sport.“Let’s go, baby,” ucap Vin melajukan mobilnya keluar kediaman Ian, setelah melambaikan tangan pada doorman ( penjaga gerbang). Vin mengarahkan kuda besinya ke arah selatan, di mana The Eye sudah mengunci lokasi tersebut di peta digital Vin.“Semoga tidak tersesat, Tuan.” Vin mengumpat m
Suara kaca pecah, disusul serpihan kaca menyebar ke segala penjuru arah. Xuan menunduk, menggunakan tubuhnya untuk melindungi tubuh Emma, yang di bawahnya ada Enzo yang masih menjerit histeris.Xuan membuka dash board mobil. Lalu mengambil Revolver dari sana. Bersiap jika serangan datang. Kaca yang pecah ada di sebelah Xuan. Jadi otomatis serangan akan datang dari sana.Suara langkah terdengar mendekat. Tiga yang lain masih menembaki kaca mobil. “Aunty,” lirih Enzo dalam dekapan Emma. “Kita akan selamat, En. Aunty dan Om akan melindungimu. Jangan takut.”Emma melirik ke kaca sebelahnya, tak akan lama benda itu akan pecah juga. Telapak tangan Emma menutup telinga Enzo kala Xuan memberi kode kalau dia akan menembak.Satu sasaran sudah Xuan kunci, tak berapa lama suara erangan terdengar. Satu setidaknya sudah bisa diatasi. Tinggal tiga kalau mereka tidak membawa bala bantuan.“Tidak! Mereka punya pasukan. Miguel kau di mana sih?” umpat Xuan melalui ear piece di telinganya. Tanpa Xua
Jantung Vin berdebar tiba-tiba. Ketika suara lembut itu menyapanya. Tone sama dengan milik sang istri. Merdu, mendayu, menggoyahkan rindu yang memenuhi dada Vin. Di depan Vin, seorang gadis cantik berambut panjang melewati bahu, terikat sederhana berdiri menatapnya, menggunakan netra hazel yang sangat berbeda dengan mata Maria yang berwarna biru, seperti miliknya.“Anda sedang menunggu siapa, Mr Bule?” Ha? Panggilan terakhir gadis itu berhasil menarik Vin ke alam atas sadar. Hingga efek terpesona itu terjeda sesaat.“Tidak sedang menunggu siapa-siapa,” balas Vin dengan aksen latin yang kental. Pria itu masih menatap ke arah Briana yang lama-lama jengah juga dipelototi Vin seperti itu.“Lalu, niat Anda berada di sini untuk apa?” Vin langsung memalingkan wajah, saat Briana melipat tangan di depan dada. Hingga bagian tersebut semakin bertambah volumenya.“Tidak sebesar punya Maria,” batin Vin yang sangat ahli dalam hal menilai bentuk tubuh wanita. Briana memundurkan langkah saat me
“Via, minum dulu.” Vin mengulurkan sekotak jus jeruk dalam kemasan. Lelaki itu juga membaginya pada ayah Via juga Briana.“Terima kasih, Om bule.” Suara ceria Via kontras dengan suasana ruang tunggu di UGD tempat Agam bekerja. Ibu Via yang jatuh pingsan memaksa Briana dan Vin untuk segera melarikannya ke fasilitas kesehatan terdekat.Namun permintaan dari Briana, akhirnya rumah sakit Agam jadi tujuan mereka. Dan di sinilah mereka, menunggu Agam dan dokter lainnya yang tengah memeriksa ibu Via.“Makan rotinya dulu, Via.” Briana menyerahkan sebungkus roti yang juga dibelikan oleh Vin. Gadis kecil itu duduk di antara Vin dan Briana, sementara sang ayah menatap kosong ke arah ruang pemeriksaan.Vin menoleh ke arah Briana yang telaten membantu Via makan. Senyum pria itu terukir samar. Berniat hanya ingin melihat Briana, tapi takdir yang manis menyapanya. Dia dan gadis ini terjebak dalam satu situasi yang membuat proses pendekatan Vin terasa lebih mudah.Dari jarak sedekat ini, Vin bis
Vin mengantarkan Briana sampai rumah gadis itu, tak lama dia pun ikut turun sambil menggendong Via yang tidur. Pada akhirnya, Via akan tinggal sementara bersama Briana, selama orang tuanya berada di rumah sakit.“Aku pulang dulu,” pamit Vin. Briana menatap Vin tak rela. Entah kenapa, meski dia tadi sempat kesal pada lelaki bule itu, sekarang rasa itu sudah menguap.“Rumahmu di mana?” Vin mengutak atik ponselnya. Dan sebuah alamat disodorkan Vin ke depan wajah Briana, yang seketika mengerutkan dahi. Satu alamat yang Briana tahu berada di kawasan elit.“Tahu jalan pulang?” “Pakai map,” balas Vin santai. Pria itu cukup senang menangkap binar cemas di wajah Briana. Briana menyerahkan kembali ponsel Vin tapi lelaki itu tak jua menerimanya.“Kasih aku nomor ponsel kamu. Aku gak tahu gimana besok. Tapi aku cuma janji tiga hari sama Enzo waktu mau ke sini. Kalau lebih, dia bisa ngambek. Kecuali aku bawa dia ke sini. Ikut sama aku.” Vin berucap panjang lebar. Entah kenapa, dia tidak ingi