Hari berganti, seusai sarapan dengan menu yang sedikit dimodifikasi ala kota asalnya. Vin mulai bersiap dengan misinya. Menyempatkan diri bermain sejenak dengan Azlan, putra Ian dan menyapa Lyli, maknya singa.Vin salut dengan Lyli yang mampu bertahan menghadapi Ian, yang lumayan brengsek sebelum jatuh cinta pada ratu di negara yang pernah Ian diami sebelum pindah ke Jakarta, karena insiden yang membuat Ian koma sembilan bulan. Dan Lyli-lah yang mampu membuat Ian sadar dari komanya.Sebuah mobil pabrikan lokal, Vin pilih untuk berkendara hari itu. Dia tak ingin menarik perhatian orang jika menggunakan salah satu mobil mewah milik Ian. Lah, yang dia bawa pun sudah masuk kategori mewah. Pajero sport.“Let’s go, baby,” ucap Vin melajukan mobilnya keluar kediaman Ian, setelah melambaikan tangan pada doorman ( penjaga gerbang). Vin mengarahkan kuda besinya ke arah selatan, di mana The Eye sudah mengunci lokasi tersebut di peta digital Vin.“Semoga tidak tersesat, Tuan.” Vin mengumpat m
Suara kaca pecah, disusul serpihan kaca menyebar ke segala penjuru arah. Xuan menunduk, menggunakan tubuhnya untuk melindungi tubuh Emma, yang di bawahnya ada Enzo yang masih menjerit histeris.Xuan membuka dash board mobil. Lalu mengambil Revolver dari sana. Bersiap jika serangan datang. Kaca yang pecah ada di sebelah Xuan. Jadi otomatis serangan akan datang dari sana.Suara langkah terdengar mendekat. Tiga yang lain masih menembaki kaca mobil. “Aunty,” lirih Enzo dalam dekapan Emma. “Kita akan selamat, En. Aunty dan Om akan melindungimu. Jangan takut.”Emma melirik ke kaca sebelahnya, tak akan lama benda itu akan pecah juga. Telapak tangan Emma menutup telinga Enzo kala Xuan memberi kode kalau dia akan menembak.Satu sasaran sudah Xuan kunci, tak berapa lama suara erangan terdengar. Satu setidaknya sudah bisa diatasi. Tinggal tiga kalau mereka tidak membawa bala bantuan.“Tidak! Mereka punya pasukan. Miguel kau di mana sih?” umpat Xuan melalui ear piece di telinganya. Tanpa Xua
Jantung Vin berdebar tiba-tiba. Ketika suara lembut itu menyapanya. Tone sama dengan milik sang istri. Merdu, mendayu, menggoyahkan rindu yang memenuhi dada Vin. Di depan Vin, seorang gadis cantik berambut panjang melewati bahu, terikat sederhana berdiri menatapnya, menggunakan netra hazel yang sangat berbeda dengan mata Maria yang berwarna biru, seperti miliknya.“Anda sedang menunggu siapa, Mr Bule?” Ha? Panggilan terakhir gadis itu berhasil menarik Vin ke alam atas sadar. Hingga efek terpesona itu terjeda sesaat.“Tidak sedang menunggu siapa-siapa,” balas Vin dengan aksen latin yang kental. Pria itu masih menatap ke arah Briana yang lama-lama jengah juga dipelototi Vin seperti itu.“Lalu, niat Anda berada di sini untuk apa?” Vin langsung memalingkan wajah, saat Briana melipat tangan di depan dada. Hingga bagian tersebut semakin bertambah volumenya.“Tidak sebesar punya Maria,” batin Vin yang sangat ahli dalam hal menilai bentuk tubuh wanita. Briana memundurkan langkah saat me
“Via, minum dulu.” Vin mengulurkan sekotak jus jeruk dalam kemasan. Lelaki itu juga membaginya pada ayah Via juga Briana.“Terima kasih, Om bule.” Suara ceria Via kontras dengan suasana ruang tunggu di UGD tempat Agam bekerja. Ibu Via yang jatuh pingsan memaksa Briana dan Vin untuk segera melarikannya ke fasilitas kesehatan terdekat.Namun permintaan dari Briana, akhirnya rumah sakit Agam jadi tujuan mereka. Dan di sinilah mereka, menunggu Agam dan dokter lainnya yang tengah memeriksa ibu Via.“Makan rotinya dulu, Via.” Briana menyerahkan sebungkus roti yang juga dibelikan oleh Vin. Gadis kecil itu duduk di antara Vin dan Briana, sementara sang ayah menatap kosong ke arah ruang pemeriksaan.Vin menoleh ke arah Briana yang telaten membantu Via makan. Senyum pria itu terukir samar. Berniat hanya ingin melihat Briana, tapi takdir yang manis menyapanya. Dia dan gadis ini terjebak dalam satu situasi yang membuat proses pendekatan Vin terasa lebih mudah.Dari jarak sedekat ini, Vin bis
Vin mengantarkan Briana sampai rumah gadis itu, tak lama dia pun ikut turun sambil menggendong Via yang tidur. Pada akhirnya, Via akan tinggal sementara bersama Briana, selama orang tuanya berada di rumah sakit.“Aku pulang dulu,” pamit Vin. Briana menatap Vin tak rela. Entah kenapa, meski dia tadi sempat kesal pada lelaki bule itu, sekarang rasa itu sudah menguap.“Rumahmu di mana?” Vin mengutak atik ponselnya. Dan sebuah alamat disodorkan Vin ke depan wajah Briana, yang seketika mengerutkan dahi. Satu alamat yang Briana tahu berada di kawasan elit.“Tahu jalan pulang?” “Pakai map,” balas Vin santai. Pria itu cukup senang menangkap binar cemas di wajah Briana. Briana menyerahkan kembali ponsel Vin tapi lelaki itu tak jua menerimanya.“Kasih aku nomor ponsel kamu. Aku gak tahu gimana besok. Tapi aku cuma janji tiga hari sama Enzo waktu mau ke sini. Kalau lebih, dia bisa ngambek. Kecuali aku bawa dia ke sini. Ikut sama aku.” Vin berucap panjang lebar. Entah kenapa, dia tidak ingi
Briana berteriak ketika letusan tembakan terdengar. Jemarinya reflek menekan tombol hijau pada ponselnya. Panggilan suara terhubung. Tanpa menunggu diangkat Briana sudah berteriak minta tolong lebih dulu.Briana asal menekan nomor ponsel, tanpa melihat siapa yang dia hubungi, dia langsung meneriakkan nama Vin tanpa ragu. Entah kenapa dia yakin sekali jika yang dia hubungi adalah Vin. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi Vin.Dia panik setengah mati ketika mendengar suara Briana minta tolong. “Bri ..., Briana! Apa yang terjadi?!” Vin berteriak panik. Tak ada jawaban dan panggilan gadis itu terputus.Vin menekan nomor Ian dengan cepat, tidak peduli di Jakarta baru pukul sebelas malam. Toh biasanya jam segitu Ian dan yang lainnya belum tidur. “What’s up, Bro? Gangguin aja.”Suara santai Ian membuat Vin mendengus. “Bodo amat elu lagi ngapain? Briana baru saja teriak minta tolong ke ponsel gue. Periksa cepat!” Ian seketika berubah serius.Dia yang sejatinya memang belum tidur segera meng
Helga melompat ke belakang, saat dia membuka pintu, dia disambut Vin yang tengah menunggunya. Duduk di sebuah sofa langsung menghadap pintu. Wajah pria itu dingin, datar tanpa ekspresi. Sungguh tak terbaca.Rasa terkejut Helga semakin menjadi, bercampur ketakutan, teringat Vin yang hampir menembaknya malam itu. Kali ini apa lagi yang akan Vin lakukan. Atau hanya perasaan Helga saja.Vin mungkin saja tengah menunggu orang lain. Helga berusaha menyingkirkan pikiran kepedeannya. Mengingat berkali-kali dia dipatahkan dan dijatuhkan oleh angannya sendiri.Mengambil keputusan yang kedua, Helga berlalu begitu saja melewati Vin. Berusaha acuh, meski Helga sadar kalau Vin adalah tuan rumahnya. “Dari mana saja kau?” Langkah Helga terhenti, bolehkah hatinya bersorak gembira, sebab untuk pertama kalinya Vin terdengar peduli pada Helga, setelah sekian lama mengabaikan kehadirannya.“Biasa bersenang-senang,” balas Helga. Berusaha terlihat tenang, tanpa ingin menunjukkan kalau dia sangat baha
Vin merasa resah, dua pekan berlalu sejak penyerangan pada Briana terjadi. Seminggu sejak Vin mengusir Helga dari rumahnya. Yang sesaat membuat Imelda meradang.Namun apa yang bisa dilakukan Imelda jika Vin sudah bertitah, andai Imelda tidak terima Helga diusir. Wanita itu boleh pergi menyusul Helga. Satu hal yang jelas tak bisa Imelda lakukan. Keluar dari rumah Vin, berarti wanita itu harus siap hidup di jalanan. Imelda yang sudah terlanjur hidup enak dan berkecukupan, tentu tidak mau kembali jadi miskin. Jadi dengan terpaksa dia tinggal di rumah Vin, meski rasanya sepi tanpa sekutu.Semua orang tampak acuh pada Imelda. Sebab sikapnya memang angkuh pada semua orang. Bahkan pada Enzo pun, wanita itu tak terlalu sayang. Padahal Enzo cucu satu-satunya.Beberapa hari berlalu, Ilario selalu kembali ke rumah Vin. Hal itu membuat Vin gerah. Karena itu Vin akhirnya mengusir paksa Ilario dari kediamannya. Awalnya Ilario menolak, tapi ketika Vin mengancam mengebom rumahnya, baru pria itu
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam