“Jangan membuat keributan di sini, Bung.” Xuan berjalan mendekat ke arah Emma dan seorang pria bermata abu-abu. Ilario del Munthe secara mengejutkan berani menunjukkan diri di hadapan banyak orang.Ilario langsung menoleh mendengar suara Xuan. Wajah Ilario berubah kesal. Terlebih ketika Xuan langsung berdiri di hadapan Emma, memberi jarak antara wanita itu dan Ilario.“Jangan ikut campur!” Ilario memperingatkan. Netra pria itu menyorot tajam pada Emma yang berada di balik punggung Xuan. Sama kesalnya dengan dirinya. Xuan sendiri tampak begitu tenang, tidak terintimidasi sama sekali dengan Ilario yang diikuti dua pria berbadan besar.“Tenangkan Enzo,” pinta Xuan pada Emma yang bergegas pergi. Ilario ingin menyusul tapi Xuan menghalangi.“Ini sekolah, Rio. Jangan membuat rusuh dan jangan membuat anak-anak itu ketakutan. Jika ingin bicara jangan di tempat ini.” Tatapan mata Xuan santai tapi penuh permohonan.“Sialnya kenapa kau bisa lolos hari itu! Harusnya kau mati!” geram Ilario.
Ilario menggebrak meja begitu sampai di ruangannya. Chen yang kebetulan ada di sana melihat Ilario dengan tatapan tidak percaya. Baru kali ini Ilario dibuat kacau oleh seorang wanita. Ya, Chen tahu kalau Ilario baru saja bertemu Emma.“Kenapa? Apa dia menolakmu?” Pertanyaan Chen setengah bercampur ledekan. Ilario mendengus geram mendengar ucapan Chen. Nafasnya masih memburu dengan mata memerah. Dia sungguh marah. Bayangan Emma yang tertawa kala bersama Xuan, meningkatkan rasa tidak sukanya pada pria yang satu rupa dengan Chen. Tiba-tiba saja Ilario mendekat ke arah Chen dengan cepat menoyor kepala sang asisten. “Apaan sih,” protes Chen yang merasa tidak berbuat salah pada sang atasan. Bukannya berhenti karena protes Chen, gerakan Ilario justru semakin cepat dan mengganggu.“Aku benci sama kamu!” lirih Ilario sambil menambah intensitas siksaannya pada Chen. Sang asisten jelas kaget, salah apa dia, sampai Ilario seperti tengah menghukumnya. Sekarang bertambah dengan cubitan keras ya
Surya melempar satu dokumen tepat ke muka Dito. Pria itu gelagapan berusaha menangkap map yang ujung runcingnya hampir melukai wajahnya. Surya terlihat berang, marah luar biasa.“Apa sih, Pa?” Dito merasa tidak melakukan kesalahan. Semua yang diminta sang papa sudah dia lakukan, beres tanpa ada hambatan. Lalu kenapa sekarang Surya tampak murka padanya. “Kamu ini benar-benar goblok! Sekolah tinggi-tinggi tapi otaknya di dengkul! Oh salah, otakmu isinya cuma wanita-wanita yang tidak berguna,” sarkas Surya.Dito melotot mendengar makian ayahnya. “Jangan muter-muter, Pa. Katakan saja salah Dito apa?” Dito jelas tidak terima ketika dia dikatakan bodoh. Surya menggeram marah. Pria itu membuat kode untuk memeriksa dokumen yang sejak tadi di pegangnya. Dito melakukannya, membuka berkas yang dia kenal. Berkas pengalihan aset yang sudah bertanda tangan milik Briana. Apa yang salah? Bukankah tugasnya sudah dia laksanakan dengan baik.“Apa ada yang tidak beres? Ini kan jelas sudah diparaf
Emma berjalan mondar mandir di kamarnya, dua hari sejak dia melakukan test pack di hadapan Xuan. Pria itu tentu terkejut, tapi yang lebih mengejutkan adalah reaksi Xuan yang seolah tidak kaget dengan keadaan Emma.“Aku harus apa?” gumam Emma penuh kebingungan. Wanita itu menatap hampa pada langit malam yang bertabur bintang dengan bulan bersinar terang. Sangat indah, tapi semua keindahan itu berbanding terbalik dengan suasana hati Emma. Wanita itu bimbang akan nasibnya. Sebenarnya di banding rasa bingung dan cemas yang memenuhi hati Emma, ada berkas kemarahan dalam hati Emma. Amarahnya tertuju pada Ilario, siapa lagi. Pria yang sejak dulu dicap brengsek oleh Emma, kini nyatanya menambahkan torehan kebencian dalam diri Emma. Ilario-lah penyebab semua kesusahan yang Emma rasakan kini.Emma menoleh ke arah pintu saat terdengar ketukan dan tak lama pintu di buka. “Boleh aku masuk?” Xuan bertanya sopan. Satu anggukan menjadi jawaban. Di tangan pria tersebut ada sebuah paperbag. Tanpa k
“Apa yang terjadi dengannya?” Xuan bertanya panik pada Andreas yang selesai memeriksa Emma. Andreas sedang bicara melalui ponselnya, tapi kecemasan Xuan membuat lelaki itu tak sabar untuk bertanya.Melihat kepanikan Xuan, Andreas memicingkan mata. Pria berpakaian kasual itu menaruh curiga pada Xuan. “Bukannya kau tahu apa yang terjadi padanya.” Sebuah kalimat bernada tuduhan Andreas layangkan pada Xuan. Xuan tampak tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Andreas.“Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Enzo hanya bilang kalau Emma beli obat sakit kepala lalu meminumnya. Waktu aku ke sini dia sudah pingsan,” jelas Xuan.“Tapi kau tahu kan kalau dia hamil,” todong Andreas cepat. Bola mata Xuan melebar, tebakan Andreas tepat sasaran. Melihat reaksi Xuan, Andreas yakin kalau ucapannya benar. Xuan tahu mengenai kehamilan Emma.“Apa kau juga tahu kalau yang diminum Emma adalah obat penggugur kandungan,” beritahu Andreas. Kali ini rasa syok menyerang Xuan. “Kau tidak bohong kan?” teg
“Aku merindukanmu, Maria.” Kalimat itu terucap dari bibir Vin, tiap malam. Vin akan berdiri di depan foto pernikahannya lalu menuangkan wine favoritnya. Hal itu dia lakukan setelah memeriksa Enzo. Memastikan sang putra sudah tidur dalam kamarnya. Wine adalah teman yang cocok untuk menemani kegalauan dan kerinduan tak berujung pada sang istri. Rindu yang tidak akan pernah bertemu obatnya. Rindu yang tak bertepi. Rasa cinta Vin pada Maria masih terlalu besar, hingga pria itu terkadang sampai merasakan sesak. Dia tahu, tak seharusnya dia berkubang terlalu lama dari rasa kehilangan yang nyaris melumpuhkan hidupnya. Vin sadar dia seharusnya mulai berdamai dan bernegosiasi dengan kata move on. Tapi bagaimana caranya. Jika Vin sendiri lebih suka menikmati cinta tak bertuan miliknya.“Aku harus bagaimana?” lirih Vin, menatap penuh cinta pada potret Maria yang tersenyum sangat cantik dalam pelukannya.“Katakan, aku harus bagaimana? Jika kamu ingin aku pergi, berikan aku jalan. Tuntun aku
Agam mengemudikan mobilnya seperti orang gila ketika Briana menghubunginya perihal dia dan Kartika yang diserang orang yang tidak mereka kenal. Motifnya apa, dua gadis itu juga tidak tahu.Tapi begitu sampai ke klinik pusat perbelanjaan tersebut, Agam melihat Dito yang tengah menolong Kartika untuk pindah ke sofa yang lebih nyaman.“Kamu datang?” Suara Briana menyapa. Agam tersenyum, melihat Briana yang sepertinya menjaga jarak dengan Dito. Sementara di depan sana, terlihat Kartika yang manyun karena ulah Briana.“Sorry-lah. Kalau dia gak disibukin, nanti dia mepet aku terus,” bisik Briana pada Kartika yang terus mempertahankan sikap sok marahnya.“Dan aku yang jadi tumbal. Yang benar saja,” protes Kartika ketika Dito diminta keluar dengan alasan Agam yang seorang dokter ingin memeriksa Kartika.Kartika semakin cemberut, dia enggan disentuh oleh Dito, yang kata Kartika bekas banyak perempuan. Hiii, gadis itu bergidik ngeri. Tingkah Kartika membuat Agam mengulum senyumnya.“Entar
Vin memicingkan mata melihat Emma yang tampak pucat. Makan pagi hari itu, sikap pria itu tampak biasa. Setelah semalam nyaris meledakkan kepala Helga dengan Glock yang sebelumnya melukai Baron.Helga sendiri tampak kesal melihat Vin. Bukannya tergoda, dia malah hampir kehilangan nyawa. Sial sekali dia malam tadi. Berharap nikmat justru teror yang Helga dapat.Vin sendiri, setelah berhasil membuat Helga lari tunggang langgang dari kamarnya dengan wajah ketakutan, lelaki itu langsung keluar menuju balkon kamarnya. Ada hal yang mengusik pikirannya, setelah kejadian tadi. Dia ingin menemukan sosok gadis yang mengenakan cincin Maria. Karena itulah siang ini dia ke kantor untuk menyelesaikan semua pekerjaannya. Sebelum dia akan terbang ke kota Xuan. Dia melimpahkan semua tanggung jawab pada Miguel. “Kamu yakin? Atau sekedar penasaran?” Andreas adalah orang yang dihubungi oleh Vin selanjutnya, untuk memberitahukan rencananya. Selain Miguel yang lebih dulu tahu mengenai hal itu.“Yang