Seminggu berlalu, Maria diizinkan pulang. Setelah menjalani serangkaian tes, untuk memastikan kalau dirinya benar-benar sembuh dari kanker yang dia derita. Maria tampak seperti orang lain saat masuk ke rumahnya sendiri. Ada sedikit rasa heran dalam diri Vin.
Namun pria itu tidak terlalu menghiraukannya. Pasalnya Andreas sudah lebih dulu memperingatkan. Maria mungkin akan sedikit berbeda pasca dia hidup kembali. Ini wajar terjadi, sebab beberapa detik otak Maria kekurangan pasokan oksigen, jadi bisa saja terjadi miss pada saraf otak Maria, yang mengakibatkan Maria kehilangan sedikit memori soal beberapa hal.Bahkan tatapan Maria pada Vin tampak berbeda. Wanita itu seolah tidak mengenali dirinya. Meski begitu, Maria tidak menolak maupun menghindari Vin. Dan menurut Vin itu sudah bagus. Maria tidak mengacuhkannya.Enzo langsung berlari memeluk sang mama begitu wanita itu masuk ke ruang tamu. Lagi-lagi sikap Maria seperti orang yang baru pertama kali datang ke rumah itu. Hanya saat melihat Enzo, tatapan Maria melembut. Bisa Vin lihat kalau Maria sangat menyayangi putra mereka. Hal ini cukup melegakan Vin, setidaknya sikap Maria tidak berubah pada sang putra.Wanita itu menggendong Enzo yang tubuhnya cukup berat. Enzo tumbuh tinggi seperti sang ayah.“Enzo, jangan merepotkan mama dulu ya, kan mama baru sembuh.” Kata Vin sembari mengusap lembut kepala Enzo. Bocah kecil itu mengangguk paham. Setelah mencium pipi sang mama, Enzo turun dari gendongan Maria. Bocah itu melanjutkan acara mewarnainya. Enzo terlihat sangat senang, sang mama sudah sembuh.“Istirahatlah dulu di kamar,” pinta Vin. Pria itu sesaat terdiam, melihat Maria yang menatap foto pernikahan mereka yang terpampang di dinding ruangan itu.“Sayang....” Maria berjingkat saat Vin menyentuh tangannya. Vin sedikit terkejut melihat reaksi Maria. Biasanya sang istri sangat menyukai sentuhannya.“Ah, maaf. Aku hanya kaget.” Kilah Maria.“Bersabarlah menghadapi Maria. Ingat, dia baru saja lepas dari bahaya kematian.” Pesan dari Andreas.Vin menghembuskan nafasnya pelan, detik berikutnya senyum pria itu terbit. Jantung Maria seketika berdebar kencang. Apa ini? Kenapa dirinya seperti orang yang sedang jatuh cinta melihat ketampanan Vin.“Aku tidak ingat di mana kamar...kita.” Ucapan Maria terdengar penuh kehati-hatian. Seolah takut salah. Vin tidak menjawab, pria itu menyentuh tangan Maria lalu membawanya naik ke lantai dua, melalui tangga yang membuat Maria berdecak kagum dalam hati. Bahkan Maria seperti dibuat kehilangan kata-kata saat tadi masuk ke rumah Vin.Mata Maria melebar begitu mereka masuk ke kamar. Sebuah kamar tidur yang luas juga mewah. Ada satu set sofa di dekat jendela, dengan satu televisi super besar berada di seberang sofa, menempel pada tembok. Namun satu benda yang membuat Maria menelan ludahnya berkali-kali adalah ranjang king size yang berada di tengah ruangan.“Tidurlah dulu.” Vin melepas kardigan yang membalut tubuh Maria yang memakai dress selutut berwarna biru, warna kesukaan Maria. Perlahan Vin membimbing Maria naik ke atas kasur besar itu. Maria diam saja saat Vin membuka sepatunya, lalu menyelimuti tubuh sang istri.Jantung Maria kembali berpacu saat Vin mengecup keningnya. Pria itu lantas masuk ke kamar mandi, meninggalkan Maria yang kembali membuka mata. Wanita itu menoleh ke kiri. Di mana satu lagi foto dirinya dan Vin tengah berciuman saat pernikahan mereka. Maria dan Vin jelas sudah menikah.“Aku ada di mana sebenarnya? Dan apa yang terjadi sebetulnya?” lirih Maria dalam hati. Saat itulah sakit kepala menyerang kepala Maria. Wanita itu perlahan memejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran. Maria? Semua orang memanggilnya Maria. Itu seperti bukan namanya. Namun Maria tidak ingat namanya sendiri. Berkali-kali mencoba mengingat tapi Maria sama sekali tidak menemukan titik terang. Pada akhirnya wanita itu memilih tidur, siapa tahu setelah bangun dia bisa berpikir lebih baik.♧♧♧Maria menatap tak percaya pada cermin di hadapannya, benda persegi yang menampilkan pantulan bayangan dirinya. Tubuh siapa ini? Kenapa dia bisa berada di tubuh seorang wanita berparas bule dengan postur sangat seksi. Dada lumayan besar dengan bokong super padat. Gila! Dia saja sampai ngiler menatap tubuhnya sendiri. Apalagi suaminya dan pria di luar sana. Fix, bisa dipastikan kalau suami Maria senang sekali bercinta dengan Maria. Lihat saja tubuhnya yang menggiurkan dan menggoda. Meski wajah Maria terkesan imut dan innocent. Tapi tubuhnya bak gitar Spanyol.“Sayang, apa kamu sudah selesai? Kamu tidak apa-apa kan?” suara Vin terdengar dari luar kamar mandi.“Maria, sayang, jawablah atau aku masuk.” Vin cukup bersabar menghadapi Maria, biasanya mereka akan mandi bersama, dan sering kali berakhir dengan acara memadu kasih.Maria gelagapan mendengar ketukan pintu Vin, dia yang masih telanjang bulat, buru-buru memakai handuk kimononya. Cukup bingung sebab dia tidak membawa baju ganti.Senyum Vin mengembang melihat Maria keluar dari kamar mandi dengan malu-malu. Maria akui Vin sangat baik padanya. Sejak kemarin tidak memaksanya ini dan itu. Pria itu lebih menunjukkan rasa cemasnya.“Ayo kuantar ganti baju.” Vin menggandeng tangan Maria yang seketika panik. Hampir saja dia menepis pegangan tangan Vin, andai tidak ingat jika lelaki itu suami Maria. Sebuah walk in closet luas segera menyambut pemandangan mata Maria. Ruangan berisi jajaran lemari dan rak juga kabinet besar. Deretan pakaian dan gaun terlihat dari balik dinding kaca lemari tersebut.Maria terdiam saat Vin menuntunnya ke sisi sebelah kiri. Di mana banyak baju Maria berada. “A...aku bisa ganti baju sendiri.” Lirih Maria. Mereka bilang, dia dan Vin adalah suami istri, tapi malu untuk berganti baju di depan Vin.Vin mengalah, pria itu keluar dari sana. Terlebih tadi sang mama memberitahu ingin bicara padanya. Vin sebenarnya tahu apa yang sang mama ingin bicarakan. Apalagi jika bukan soal Helga, wanita yang sudah lama dijodohkan dengan Vin, meski dirinya sudah menikah.Sepeninggal Vin, Maria mulai memeriksa tempat itu. Semua gaun dengan model semi formal sampai seksi. Mata Maria membulat melihat satu almari berisi gantungan lingerie dengan berbagai model dan warna.“Astaga! Bagaimana ini? Semua orang tahu kalau aku istri Vin. Apa nanti aku harus melayaninya di ranjang?” Pikiran mengerikan itu berkecamuk di benak Maria. Dia jelas kebingungan sekarang ini. “Siapa aku?! Kenapa aku tidak ingat apapun soal kehidupan wanita ini!” Maria mulai menangis, di tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Kebingungan melanda Maria.Tangisan Maria didengar oleh Vin dari luar pintu. Sejenak pria itu mengerutkan dahi. Apa Maria tidak ingat siapa dirinya? Sesaat Vin terdiam, hingga dia teringat ucapan Andreas. “Sangat wajar untuk keadaan Maria, jika dia mengalami hilang ingatan. Ada kemungkinan memorinya terhapus saat pasokan oksigen ke otaknya terputus. Sekarang tugasmu untuk membimbingnya, mengingat semua. Tentangmu, tentang semua."Vin menghela nafas sebelum masuk ke ruang keluarga. Di sana sudah menunggu sang mama. Begitu Vin mendudukkan diri di depan ibunya, wajah Vin langsung berubah kelam.“Mama pikir sudah waktunya kamu memenuhi janjimu. Helga sama sekali tidak keberatan menjadi istri keduamu.”Dua tangan Vin terkepal mendengar ucapan mamanya. Tidak pernah terbersit dalam benak Vin untuk menduakan sang istri. Apa lagi saat keadaan Maria seperti sekarang ini. Vin sangat mencintai Maria.“Jawabanku tetap sama Ma, aku tidak mau menikahi Helga!” Vin menyahut penuh penekanan. Pria itu tahu kalau tindakannya akan memicu kemarahan sang mama. Dan benar saja, tak menunggu waktu lama, amarah mama Vin meledak.“Apa kamu lupa soal pertolongan yang Helga lakukan pada Enzo. Jika Helga tidak ada di sana, Enzo bisa mati.”Vin memejamkan mata, dia tentu tidak lupa dengan apa yang sudah Helga lakukan untuk menyelamatkan putra tercintanya. Namun bukankah ada banyak cara untuk membalas budi seseorang, tidak harus dengan menikahinya.“Hutang nyawa Enzo pada Helga akan jadi urusanku. Tapi menikah dengannya, I will say no!” Vin meninggalkan sang mama yang hanya diam tak bersuara menahan amarah. Dia tidak akan tinggal diam. Mama Vin akan mencari cara untuk membuat Helga naik menjadi nyonya rumah, menggantikan Maria yang dinilainya tidak pantas menjadi pendamping sang putra.Vin baru saja masuk kembali ke dalam kamarnya, saat dia dikejutkan dengan aksi Maria.“Apa yang kamu lakukan?! Jauhkan itu darimu!” Vin berteriak panik melihat apa yang terjadi pada Maria.Vin memindai tiap monitor yang ada di hadapannya. Lima layar komputer cukup besar berjajar rapi di depannya. Semua tampilan saling terhubung, menunjukkan sebuah peta. “Terakhir kali kita terhubung dengannya saat dia memberitahu lokasi Ilario.” Miguel menjawab pelan, tangan sang asisten bergerak lincah di atas keyboard. Mencari sesuatu yang beberapa hari terakhir hilang dari jangkauan mereka.Ada kecemasan tersendiri saat Vin mengingat siapa yang tengah mereka khawatirkan. “Emma, ini salahku. Aku tidak seharusnya membiarkanmu masuk ke sarang Ilario, ini sangat berbahaya.” Gumam Vin setengah putus asa. Sejak jejak Ilario hilang, Emma turut menghilang. “Apa jangan-jangan Ilario sudah menyadari siapa Emma?” Pertanyaan Miguel membuat ratio kecemasan Vin semakin tinggi. Jika sampai terjadi apa-apa pada Emma, dia tidak bisa memaafkan dirinya.“Terus mencari, meski aku khawatir padanya. Tapi aku yakin kalau dia bisa menjaga diri.” Miguel mengangguk menyetujui ucapan Vin. Dia tahu benar
Vin melajukan mobilnya setelah menerima panggilan dari Miguel. “Vin, ada pergerakan dari Ilario.” Sempat merasa ragu waktu harus meninggalkan Maria yang terlelap dalam tidurnya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Meski ini hampir tengah malam.“Berikan aku posisi terakhir Ilario.” Vin berucap melalui head set bluetoot-nya, selagi Vin memacu kuda besi sport-nya. Sebuah koordinat segera Vin dapat. Pria itu menyalakan layar komputer yang ada di dash board. Vin sejenak menunggu terhubung dengan Miguel. Setengah mata Vin terfokus pada jalanan di depan, yang lain mencermati satu titik yang ada di layar. Satu pertanyaan dari Vin dijawab dengan ketidakpastian oleh Miguel. Vin menggeleng pelan, lantas mematikan sambungan pada Miguel.Suami Maria itu menyentuh satu icon pada layar mini tersebut. “Connect to The Eye.” Perintah Vin, dengan sistem segera merespon.Connecting....Processing....Welcome to The EyeEnter your passwordVin memasukkan sederet kom
Maria menatap pantulan dirinya melalui cermin. Lagi, ini kali kedua wanita itu menatap dirinya lekat-lekat. Mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Perlahan Maria yakin kalau raga ini memang bukan miliknya. Namun kenapa ini semua bisa terjadi? Pertanyaan itu yang kini bercokol di kepala Maria. Juga soal siapa dirinya yang sesungguhnya.Wanita itu menghela nafas, banyak hal yang kini memenuhi benaknya. Dan sebagian besar menuntut sebuah jawaban. Belum rampung masalah satu, muncul lagi masalah lain. Dirinya belum sepenuhnya berdamai dengan raga baru ini. Kini sang mertua sudah menunjukkan raut wajah tidak suka akan kehadirannya. Mama Vin yang akhirnya dia tahu bernama Imelda, terang-terangan menginginkan wanita lain untuk menjadi istri Vin. Lebih parahnya lagi, perempuan bernama Helga itu sekarang tinggal di rumah Vin, sang suami.“Jangan terlalu memikirkan ucapan Mama,” perkataan Vin seolah ingin membuat Maria tidak berpikir macam-macam. Namun hal itu jelas tidak bisa Maria abai
Suara tembakan terdengar diiringi teriakan teredam. Ilario baru saja melesatkan tembakan ke paha seorang pria yang terduduk di kursi, dalam keadaan terikat. Pria itu tersenyum remeh, melihat korban merintih akibat aksinya. “Jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana dia?” Tanya Ilario dengan wajah tersenyum mengerikan.Pria itu menggeleng, hingga satu perintah keluar dari bibir Ilario. “Bunuh dia!” Dua orang sigap menarik kasar tubuh pria yang dari pahanya mengalir banyak darah. “Aku ingatkan Ilario, kau harus pastikan membunuhku dengan benar. Atau kau akan menyesal. Aku akan memberitahu Vin di mana tempat persembunyianmu juga tempat kau menyekap Emma!” teriak pria itu.Ilario mendengus geram mendengar ancaman lelaki tadi. “Apa yang kau dapat?” Ilario bertanya pada sang asisten. “Orion memalsukan data dirinya juga keluarganya!” Ilario mengeratkan rahangnya. Selain Vin, sasaran balas dendam Ilario yang lain adalah Orion Harasya Alexander. Gara-gara Orion lah, semua kejahatannya terb
Vin mengusap dagunya pelan, sebuah pesan masuk ke nomor ponsel pribadinya. Nomor yang sudah di-secure, diamankan oleh sistem The Eye. Hingga tak sembarangan orang bisa menghubunginya. Satu pesan dari Xuan yang sebenarnya membuat Vin was-was.“Aku sedang berada di negeri ini. Berita buruknya, aku baru saja ditangkap oleh Ilario, tapi aku bisa meloloskan diri. Jangan mencariku untuk sementara ini, karena aku ingin mencari Emma. Aku tahu di mana Ilario menyekapnya. Hubungi Orion, bilang padanya kalau aku liburan di tempatmu. Terima kasih. Xuan”Sejujurnya Vin sangat cemas dengan keadaan Xuan. Namun lelaki itu tahu benar resikonya, jika dia memaksakan diri mencari Xuan. Yang ada Ilario akan curiga padanya, dan itu bisa membahayakan Xuan dan Emma.Emma disekap oleh Ilario? Vin tidak bisa membayangkan hal itu. Apa yang akan Ilario lakukan pada Emma? Ketakutan seketika menyergap hati Vin. Bagaimana jika Ilario melakukan hal buruk pada Emma? Otak Vin langsung panik. Jangan sampai Maria tah
Maria berada di kamar mandi, wanita itu baru saja membersihkan wajahnya. Sebuah ritual yang rasa-rasanya baru kali ini dia lakukan. Apakah pemilik jiwanya dulu tidak melakukan hal serupa. Maria menggelengkan kepala. Sepertinya dia memang jarang merawat diri dengan skin care, terbukti dia harus membaca dan mempelajari semua alat make up yang ada di meja rias Maria.Setelah selesai membersihkan wajah, begitu juga dengan acara pemakaian krim malam, Maria tertegun di depan lemari besar miliknya. Pikirannya kembali berkutat di seputar obrolan Imelda dan Helga. Bagaimana jika Helga benar-benar bergerak seperti perintah Imelda? Menggoda Vin, lalu menjerat suami Maria. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan Helga merebut suami Maria.Lalu apa yang akan dia lakukan untuk mencegahnya? Apa giliran dia yang harus menyerahkan diri pada Vin? Maria seketika menoyor kepalanya sendiri. Menyerahkan diri bagaimana? Kan Maria memang istri Vin, jadi sah-sah saja jika mereka bercinta. “Tapi aku bukan Maria!”
Twinkle twinkle little starHow I wonder what you areUp above the world so highLike a diamond in the skyJiwa itu melayang, di antara ruang hampa tanpa batas. Tak ada apapun di sana, hanya kegelapan total yang melingkupi. Bunyi nyanyian sayup-sayup terdengar, membuat si jiwa membuka mata yang sejak awal terpejam. Tubuhnya ringan, seolah tak memiliki bobot sama sekali. Padahal dia merasa sebaliknya, susah sekali menggerakkan badan, baginya dirinya terasa berat.Suara tersebut membuat si jiwa ingin mencari sumber nyanyian. Hatinya merasa antusias, seolah nada tadi adalah favoritnya, kesukaannya. Bahkan ada suara berisik anak kecil yang terdengar mendayu di telinga, memanggil si jiwa untuk datang mendekat. Dia merasa menemukan jati dirinya, ingatannya, tapi semua itu terasa tidak nyata. Hanya seperti...mimpi.“Miss Ana, miss Ana....” si jiwa mengerutkan dahi, merasakan panggilan itu ditujukan untuknya.Maria membuka mata tiba-tiba. Jantungnya berdebar kencang. Sejak pulang dari
Ilario harap-harap cemas menunggu kabar dari mata-mata yang dia kirim masuk ke rumah Vin, sudah dua hari dan orang itu belum juga memberi kabar. Padahal alamat yang dia berikan jelas, tapi begitu mendekati kawasan rumah Vin, radar dan pelacak yang dipakai oleh anak buahnya langsung menghilang. Bahkan ponsel orang tersebut tidak bisa dihubungi.“Sepertinya semua alat komunikasi dan pendeteksi akan langsung disecure- amankan begitu masuk ke kawasan mereka,” info seorang staf Ilario. Ilario menggeram marah, sebenarnya seberapa canggih sistem The Eye ini. Kenapa alat tersebut mampu membuat area rumah Vin jadi steril dan tak kasat mata. Dia sungguh penasaran. “Apa ada kemungkinan dia akan ketahuan?” Ilario tak mencemaskan soal keselamatan anak buahnya, pria tanpa belas kasih itu juga tak peduli jika ada kemungkinan mata-matanya sudah mati di tangan Vin. Tidak ada yang menjawab pertanyaan lelaki itu.Ilario menghela nafas, dia tidak mungkin menantang Vin di tempat umum. Dia kalah posisi