Seminggu berlalu, Maria diizinkan pulang. Setelah menjalani serangkaian tes, untuk memastikan kalau dirinya benar-benar sembuh dari kanker yang dia derita. Maria tampak seperti orang lain saat masuk ke rumahnya sendiri. Ada sedikit rasa heran dalam diri Vin.
Namun pria itu tidak terlalu menghiraukannya. Pasalnya Andreas sudah lebih dulu memperingatkan. Maria mungkin akan sedikit berbeda pasca dia hidup kembali. Ini wajar terjadi, sebab beberapa detik otak Maria kekurangan pasokan oksigen, jadi bisa saja terjadi miss pada saraf otak Maria, yang mengakibatkan Maria kehilangan sedikit memori soal beberapa hal.Bahkan tatapan Maria pada Vin tampak berbeda. Wanita itu seolah tidak mengenali dirinya. Meski begitu, Maria tidak menolak maupun menghindari Vin. Dan menurut Vin itu sudah bagus. Maria tidak mengacuhkannya.Enzo langsung berlari memeluk sang mama begitu wanita itu masuk ke ruang tamu. Lagi-lagi sikap Maria seperti orang yang baru pertama kali datang ke rumah itu. Hanya saat melihat Enzo, tatapan Maria melembut. Bisa Vin lihat kalau Maria sangat menyayangi putra mereka. Hal ini cukup melegakan Vin, setidaknya sikap Maria tidak berubah pada sang putra.Wanita itu menggendong Enzo yang tubuhnya cukup berat. Enzo tumbuh tinggi seperti sang ayah.“Enzo, jangan merepotkan mama dulu ya, kan mama baru sembuh.” Kata Vin sembari mengusap lembut kepala Enzo. Bocah kecil itu mengangguk paham. Setelah mencium pipi sang mama, Enzo turun dari gendongan Maria. Bocah itu melanjutkan acara mewarnainya. Enzo terlihat sangat senang, sang mama sudah sembuh.“Istirahatlah dulu di kamar,” pinta Vin. Pria itu sesaat terdiam, melihat Maria yang menatap foto pernikahan mereka yang terpampang di dinding ruangan itu.“Sayang....” Maria berjingkat saat Vin menyentuh tangannya. Vin sedikit terkejut melihat reaksi Maria. Biasanya sang istri sangat menyukai sentuhannya.“Ah, maaf. Aku hanya kaget.” Kilah Maria.“Bersabarlah menghadapi Maria. Ingat, dia baru saja lepas dari bahaya kematian.” Pesan dari Andreas.Vin menghembuskan nafasnya pelan, detik berikutnya senyum pria itu terbit. Jantung Maria seketika berdebar kencang. Apa ini? Kenapa dirinya seperti orang yang sedang jatuh cinta melihat ketampanan Vin.“Aku tidak ingat di mana kamar...kita.” Ucapan Maria terdengar penuh kehati-hatian. Seolah takut salah. Vin tidak menjawab, pria itu menyentuh tangan Maria lalu membawanya naik ke lantai dua, melalui tangga yang membuat Maria berdecak kagum dalam hati. Bahkan Maria seperti dibuat kehilangan kata-kata saat tadi masuk ke rumah Vin.Mata Maria melebar begitu mereka masuk ke kamar. Sebuah kamar tidur yang luas juga mewah. Ada satu set sofa di dekat jendela, dengan satu televisi super besar berada di seberang sofa, menempel pada tembok. Namun satu benda yang membuat Maria menelan ludahnya berkali-kali adalah ranjang king size yang berada di tengah ruangan.“Tidurlah dulu.” Vin melepas kardigan yang membalut tubuh Maria yang memakai dress selutut berwarna biru, warna kesukaan Maria. Perlahan Vin membimbing Maria naik ke atas kasur besar itu. Maria diam saja saat Vin membuka sepatunya, lalu menyelimuti tubuh sang istri.Jantung Maria kembali berpacu saat Vin mengecup keningnya. Pria itu lantas masuk ke kamar mandi, meninggalkan Maria yang kembali membuka mata. Wanita itu menoleh ke kiri. Di mana satu lagi foto dirinya dan Vin tengah berciuman saat pernikahan mereka. Maria dan Vin jelas sudah menikah.“Aku ada di mana sebenarnya? Dan apa yang terjadi sebetulnya?” lirih Maria dalam hati. Saat itulah sakit kepala menyerang kepala Maria. Wanita itu perlahan memejamkan mata, mencoba menjernihkan pikiran. Maria? Semua orang memanggilnya Maria. Itu seperti bukan namanya. Namun Maria tidak ingat namanya sendiri. Berkali-kali mencoba mengingat tapi Maria sama sekali tidak menemukan titik terang. Pada akhirnya wanita itu memilih tidur, siapa tahu setelah bangun dia bisa berpikir lebih baik.♧♧♧Maria menatap tak percaya pada cermin di hadapannya, benda persegi yang menampilkan pantulan bayangan dirinya. Tubuh siapa ini? Kenapa dia bisa berada di tubuh seorang wanita berparas bule dengan postur sangat seksi. Dada lumayan besar dengan bokong super padat. Gila! Dia saja sampai ngiler menatap tubuhnya sendiri. Apalagi suaminya dan pria di luar sana. Fix, bisa dipastikan kalau suami Maria senang sekali bercinta dengan Maria. Lihat saja tubuhnya yang menggiurkan dan menggoda. Meski wajah Maria terkesan imut dan innocent. Tapi tubuhnya bak gitar Spanyol.“Sayang, apa kamu sudah selesai? Kamu tidak apa-apa kan?” suara Vin terdengar dari luar kamar mandi.“Maria, sayang, jawablah atau aku masuk.” Vin cukup bersabar menghadapi Maria, biasanya mereka akan mandi bersama, dan sering kali berakhir dengan acara memadu kasih.Maria gelagapan mendengar ketukan pintu Vin, dia yang masih telanjang bulat, buru-buru memakai handuk kimononya. Cukup bingung sebab dia tidak membawa baju ganti.Senyum Vin mengembang melihat Maria keluar dari kamar mandi dengan malu-malu. Maria akui Vin sangat baik padanya. Sejak kemarin tidak memaksanya ini dan itu. Pria itu lebih menunjukkan rasa cemasnya.“Ayo kuantar ganti baju.” Vin menggandeng tangan Maria yang seketika panik. Hampir saja dia menepis pegangan tangan Vin, andai tidak ingat jika lelaki itu suami Maria. Sebuah walk in closet luas segera menyambut pemandangan mata Maria. Ruangan berisi jajaran lemari dan rak juga kabinet besar. Deretan pakaian dan gaun terlihat dari balik dinding kaca lemari tersebut.Maria terdiam saat Vin menuntunnya ke sisi sebelah kiri. Di mana banyak baju Maria berada. “A...aku bisa ganti baju sendiri.” Lirih Maria. Mereka bilang, dia dan Vin adalah suami istri, tapi malu untuk berganti baju di depan Vin.Vin mengalah, pria itu keluar dari sana. Terlebih tadi sang mama memberitahu ingin bicara padanya. Vin sebenarnya tahu apa yang sang mama ingin bicarakan. Apalagi jika bukan soal Helga, wanita yang sudah lama dijodohkan dengan Vin, meski dirinya sudah menikah.Sepeninggal Vin, Maria mulai memeriksa tempat itu. Semua gaun dengan model semi formal sampai seksi. Mata Maria membulat melihat satu almari berisi gantungan lingerie dengan berbagai model dan warna.“Astaga! Bagaimana ini? Semua orang tahu kalau aku istri Vin. Apa nanti aku harus melayaninya di ranjang?” Pikiran mengerikan itu berkecamuk di benak Maria. Dia jelas kebingungan sekarang ini. “Siapa aku?! Kenapa aku tidak ingat apapun soal kehidupan wanita ini!” Maria mulai menangis, di tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Kebingungan melanda Maria.Tangisan Maria didengar oleh Vin dari luar pintu. Sejenak pria itu mengerutkan dahi. Apa Maria tidak ingat siapa dirinya? Sesaat Vin terdiam, hingga dia teringat ucapan Andreas. “Sangat wajar untuk keadaan Maria, jika dia mengalami hilang ingatan. Ada kemungkinan memorinya terhapus saat pasokan oksigen ke otaknya terputus. Sekarang tugasmu untuk membimbingnya, mengingat semua. Tentangmu, tentang semua."Vin menghela nafas sebelum masuk ke ruang keluarga. Di sana sudah menunggu sang mama. Begitu Vin mendudukkan diri di depan ibunya, wajah Vin langsung berubah kelam.“Mama pikir sudah waktunya kamu memenuhi janjimu. Helga sama sekali tidak keberatan menjadi istri keduamu.”Dua tangan Vin terkepal mendengar ucapan mamanya. Tidak pernah terbersit dalam benak Vin untuk menduakan sang istri. Apa lagi saat keadaan Maria seperti sekarang ini. Vin sangat mencintai Maria.“Jawabanku tetap sama Ma, aku tidak mau menikahi Helga!” Vin menyahut penuh penekanan. Pria itu tahu kalau tindakannya akan memicu kemarahan sang mama. Dan benar saja, tak menunggu waktu lama, amarah mama Vin meledak.“Apa kamu lupa soal pertolongan yang Helga lakukan pada Enzo. Jika Helga tidak ada di sana, Enzo bisa mati.”Vin memejamkan mata, dia tentu tidak lupa dengan apa yang sudah Helga lakukan untuk menyelamatkan putra tercintanya. Namun bukankah ada banyak cara untuk membalas budi seseorang, tidak harus dengan menikahinya.“Hutang nyawa Enzo pada Helga akan jadi urusanku. Tapi menikah dengannya, I will say no!” Vin meninggalkan sang mama yang hanya diam tak bersuara menahan amarah. Dia tidak akan tinggal diam. Mama Vin akan mencari cara untuk membuat Helga naik menjadi nyonya rumah, menggantikan Maria yang dinilainya tidak pantas menjadi pendamping sang putra.Vin baru saja masuk kembali ke dalam kamarnya, saat dia dikejutkan dengan aksi Maria.“Apa yang kamu lakukan?! Jauhkan itu darimu!” Vin berteriak panik melihat apa yang terjadi pada Maria.Vin memindai tiap monitor yang ada di hadapannya. Lima layar komputer cukup besar berjajar rapi di depannya. Semua tampilan saling terhubung, menunjukkan sebuah peta. “Terakhir kali kita terhubung dengannya saat dia memberitahu lokasi Ilario.” Miguel menjawab pelan, tangan sang asisten bergerak lincah di atas keyboard. Mencari sesuatu yang beberapa hari terakhir hilang dari jangkauan mereka.Ada kecemasan tersendiri saat Vin mengingat siapa yang tengah mereka khawatirkan. “Emma, ini salahku. Aku tidak seharusnya membiarkanmu masuk ke sarang Ilario, ini sangat berbahaya.” Gumam Vin setengah putus asa. Sejak jejak Ilario hilang, Emma turut menghilang. “Apa jangan-jangan Ilario sudah menyadari siapa Emma?” Pertanyaan Miguel membuat ratio kecemasan Vin semakin tinggi. Jika sampai terjadi apa-apa pada Emma, dia tidak bisa memaafkan dirinya.“Terus mencari, meski aku khawatir padanya. Tapi aku yakin kalau dia bisa menjaga diri.” Miguel mengangguk menyetujui ucapan Vin. Dia tahu benar
Vin melajukan mobilnya setelah menerima panggilan dari Miguel. “Vin, ada pergerakan dari Ilario.” Sempat merasa ragu waktu harus meninggalkan Maria yang terlelap dalam tidurnya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Meski ini hampir tengah malam.“Berikan aku posisi terakhir Ilario.” Vin berucap melalui head set bluetoot-nya, selagi Vin memacu kuda besi sport-nya. Sebuah koordinat segera Vin dapat. Pria itu menyalakan layar komputer yang ada di dash board. Vin sejenak menunggu terhubung dengan Miguel. Setengah mata Vin terfokus pada jalanan di depan, yang lain mencermati satu titik yang ada di layar. Satu pertanyaan dari Vin dijawab dengan ketidakpastian oleh Miguel. Vin menggeleng pelan, lantas mematikan sambungan pada Miguel.Suami Maria itu menyentuh satu icon pada layar mini tersebut. “Connect to The Eye.” Perintah Vin, dengan sistem segera merespon.Connecting....Processing....Welcome to The EyeEnter your passwordVin memasukkan sederet kom
Maria menatap pantulan dirinya melalui cermin. Lagi, ini kali kedua wanita itu menatap dirinya lekat-lekat. Mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Perlahan Maria yakin kalau raga ini memang bukan miliknya. Namun kenapa ini semua bisa terjadi? Pertanyaan itu yang kini bercokol di kepala Maria. Juga soal siapa dirinya yang sesungguhnya.Wanita itu menghela nafas, banyak hal yang kini memenuhi benaknya. Dan sebagian besar menuntut sebuah jawaban. Belum rampung masalah satu, muncul lagi masalah lain. Dirinya belum sepenuhnya berdamai dengan raga baru ini. Kini sang mertua sudah menunjukkan raut wajah tidak suka akan kehadirannya. Mama Vin yang akhirnya dia tahu bernama Imelda, terang-terangan menginginkan wanita lain untuk menjadi istri Vin. Lebih parahnya lagi, perempuan bernama Helga itu sekarang tinggal di rumah Vin, sang suami.“Jangan terlalu memikirkan ucapan Mama,” perkataan Vin seolah ingin membuat Maria tidak berpikir macam-macam. Namun hal itu jelas tidak bisa Maria abai
Suara tembakan terdengar diiringi teriakan teredam. Ilario baru saja melesatkan tembakan ke paha seorang pria yang terduduk di kursi, dalam keadaan terikat. Pria itu tersenyum remeh, melihat korban merintih akibat aksinya. “Jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana dia?” Tanya Ilario dengan wajah tersenyum mengerikan.Pria itu menggeleng, hingga satu perintah keluar dari bibir Ilario. “Bunuh dia!” Dua orang sigap menarik kasar tubuh pria yang dari pahanya mengalir banyak darah. “Aku ingatkan Ilario, kau harus pastikan membunuhku dengan benar. Atau kau akan menyesal. Aku akan memberitahu Vin di mana tempat persembunyianmu juga tempat kau menyekap Emma!” teriak pria itu.Ilario mendengus geram mendengar ancaman lelaki tadi. “Apa yang kau dapat?” Ilario bertanya pada sang asisten. “Orion memalsukan data dirinya juga keluarganya!” Ilario mengeratkan rahangnya. Selain Vin, sasaran balas dendam Ilario yang lain adalah Orion Harasya Alexander. Gara-gara Orion lah, semua kejahatannya terb
Vin mengusap dagunya pelan, sebuah pesan masuk ke nomor ponsel pribadinya. Nomor yang sudah di-secure, diamankan oleh sistem The Eye. Hingga tak sembarangan orang bisa menghubunginya. Satu pesan dari Xuan yang sebenarnya membuat Vin was-was.“Aku sedang berada di negeri ini. Berita buruknya, aku baru saja ditangkap oleh Ilario, tapi aku bisa meloloskan diri. Jangan mencariku untuk sementara ini, karena aku ingin mencari Emma. Aku tahu di mana Ilario menyekapnya. Hubungi Orion, bilang padanya kalau aku liburan di tempatmu. Terima kasih. Xuan”Sejujurnya Vin sangat cemas dengan keadaan Xuan. Namun lelaki itu tahu benar resikonya, jika dia memaksakan diri mencari Xuan. Yang ada Ilario akan curiga padanya, dan itu bisa membahayakan Xuan dan Emma.Emma disekap oleh Ilario? Vin tidak bisa membayangkan hal itu. Apa yang akan Ilario lakukan pada Emma? Ketakutan seketika menyergap hati Vin. Bagaimana jika Ilario melakukan hal buruk pada Emma? Otak Vin langsung panik. Jangan sampai Maria tah
Maria berada di kamar mandi, wanita itu baru saja membersihkan wajahnya. Sebuah ritual yang rasa-rasanya baru kali ini dia lakukan. Apakah pemilik jiwanya dulu tidak melakukan hal serupa. Maria menggelengkan kepala. Sepertinya dia memang jarang merawat diri dengan skin care, terbukti dia harus membaca dan mempelajari semua alat make up yang ada di meja rias Maria.Setelah selesai membersihkan wajah, begitu juga dengan acara pemakaian krim malam, Maria tertegun di depan lemari besar miliknya. Pikirannya kembali berkutat di seputar obrolan Imelda dan Helga. Bagaimana jika Helga benar-benar bergerak seperti perintah Imelda? Menggoda Vin, lalu menjerat suami Maria. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan Helga merebut suami Maria.Lalu apa yang akan dia lakukan untuk mencegahnya? Apa giliran dia yang harus menyerahkan diri pada Vin? Maria seketika menoyor kepalanya sendiri. Menyerahkan diri bagaimana? Kan Maria memang istri Vin, jadi sah-sah saja jika mereka bercinta. “Tapi aku bukan Maria!”
Twinkle twinkle little starHow I wonder what you areUp above the world so highLike a diamond in the skyJiwa itu melayang, di antara ruang hampa tanpa batas. Tak ada apapun di sana, hanya kegelapan total yang melingkupi. Bunyi nyanyian sayup-sayup terdengar, membuat si jiwa membuka mata yang sejak awal terpejam. Tubuhnya ringan, seolah tak memiliki bobot sama sekali. Padahal dia merasa sebaliknya, susah sekali menggerakkan badan, baginya dirinya terasa berat.Suara tersebut membuat si jiwa ingin mencari sumber nyanyian. Hatinya merasa antusias, seolah nada tadi adalah favoritnya, kesukaannya. Bahkan ada suara berisik anak kecil yang terdengar mendayu di telinga, memanggil si jiwa untuk datang mendekat. Dia merasa menemukan jati dirinya, ingatannya, tapi semua itu terasa tidak nyata. Hanya seperti...mimpi.“Miss Ana, miss Ana....” si jiwa mengerutkan dahi, merasakan panggilan itu ditujukan untuknya.Maria membuka mata tiba-tiba. Jantungnya berdebar kencang. Sejak pulang dari
Ilario harap-harap cemas menunggu kabar dari mata-mata yang dia kirim masuk ke rumah Vin, sudah dua hari dan orang itu belum juga memberi kabar. Padahal alamat yang dia berikan jelas, tapi begitu mendekati kawasan rumah Vin, radar dan pelacak yang dipakai oleh anak buahnya langsung menghilang. Bahkan ponsel orang tersebut tidak bisa dihubungi.“Sepertinya semua alat komunikasi dan pendeteksi akan langsung disecure- amankan begitu masuk ke kawasan mereka,” info seorang staf Ilario. Ilario menggeram marah, sebenarnya seberapa canggih sistem The Eye ini. Kenapa alat tersebut mampu membuat area rumah Vin jadi steril dan tak kasat mata. Dia sungguh penasaran. “Apa ada kemungkinan dia akan ketahuan?” Ilario tak mencemaskan soal keselamatan anak buahnya, pria tanpa belas kasih itu juga tak peduli jika ada kemungkinan mata-matanya sudah mati di tangan Vin. Tidak ada yang menjawab pertanyaan lelaki itu.Ilario menghela nafas, dia tidak mungkin menantang Vin di tempat umum. Dia kalah posisi
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam