Vin melajukan mobilnya setelah menerima panggilan dari Miguel. “Vin, ada pergerakan dari Ilario.” Sempat merasa ragu waktu harus meninggalkan Maria yang terlelap dalam tidurnya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Meski ini hampir tengah malam.
“Berikan aku posisi terakhir Ilario.” Vin berucap melalui head set bluetoot-nya, selagi Vin memacu kuda besi sport-nya. Sebuah koordinat segera Vin dapat. Pria itu menyalakan layar komputer yang ada di dash board.Vin sejenak menunggu terhubung dengan Miguel. Setengah mata Vin terfokus pada jalanan di depan, yang lain mencermati satu titik yang ada di layar. Satu pertanyaan dari Vin dijawab dengan ketidakpastian oleh Miguel. Vin menggeleng pelan, lantas mematikan sambungan pada Miguel.Suami Maria itu menyentuh satu icon pada layar mini tersebut. “Connect to The Eye.” Perintah Vin, dengan sistem segera merespon.Connecting....Processing....Welcome to The EyeEnter your passwordVin memasukkan sederet kombinasi angka, juga melakukan scan retina. Hingga satu suara yang familiar menyapa Vin, pria itu mengembangkan senyum. “Welcome tuan Vin.”“Gak usah basa basi, tunjukkan tempat Ilario del Munthe!”Terdengar kekehan fitur AI yang disetting dengan suara perempuan, terkadang membuat Vin jengkel dengan penemunya. Vin mengemudikan mobilnya sesuai petunjuk Miguel. Hingga suara The Eye, membuat Vin berdecih pelan. Pria itu memutar kemudinya sampai mentok.Seperti dugaannya, Miguel masuk jebakan Ilario. Miguel terkecoh. Vin mengumpat, dia menghabiskan lima belas menit percuma tanpa hasil. Sepuluh menit berkendara, Vin menarik sudut bibirnya, dia menemukan Ilario sesuai petunjuk The Eye.“Ilario del Munthe, wajah dikenali.” The Eye mengkonfirmasi temuannya. Vin segera memecut mobilnya, mendekati target yang sudah dikunci oleh The Eye.“Bersihkan jalur. Aku ingin berhadapan dengannya face to face, one by one.”Satu perintah kembali terucap dari bibir Vin, dengan The Eye merespon kilat. Menyingkirkan beberapa mobil yang ada di sepanjang jalan, entah bagaimana cara The Eye bekerja, tapi mobil yang berlalu lalang, satu persatu menghilang dari pandangan Vin. Hingga tinggal mobil Vin dan Ilario. Begitu juga dengan lampu pengatur lalu lintas, juga kamera pengawas, semua sudah disabotase oleh sistem The Eye.“Siapa penciptamu?” gurau Vin, sembari meningkatkan kecepatan mobilnya hingga bisa menyusul mobil Ilario.“Penciptaku tentu saja tuan Fao tersayang.” Vin mencebik kesal mendengar The Eye yang memorinya sama sekali tidak diubah oleh pencetusnya. The Eye sistem peretas paling canggih yang digadang-gadang sejauh ini. Diciptakan oleh seorang white hacker berjuluk The Guardian from the west, atau nama aslinya Fao. The Eye terus dikembangkan menjadi sebuah sistem yang tidak hanya mampu meretas data paling rahasia sekalipun. Namun juga mampu mencari tahu keberadaan seseorang, menyabotase banyak hal tanpa terdeteksi oleh pihak lawan, menyusup masuk ke berbagai sistem. The Eye bekerja menggunakan satelit Icarus milik Rusia yang disabotase diam-diam oleh Fao.Meski terdengar begitu sempurna, The Eye tentu saja punya kekurangan. “Tuan selanjutnya Tuan Ian. Lalu tuan Vin.” Vin menyunggingkan senyum. Hanya tiga orang itu yang diberi kuasa untuk menggunakan The Eye.Vin menurunkan kaca mobilnya sedikit. “Hai Rio!” Sapa Vin sok kenal.Ilario membulatkan mata melihat siapa yang menyapanya. Sederet umpatan segera meluncur dari bibir Ilario. Vin menutup kembali kaca mobilnya kala Ilario melesatkan peluru ke arah mobilnya. Peluru itu hanya menggores mobil Vin, tanpa meninggalkan baret yang berarti. Yess, mobil Vin seluruhnya terbuat dari metal anti peluru.“Mau kubantu membalasnya?” The Eye bertanya.“Kacaukan sistem mobilnya.” The Eye meretas masuk ke sistem komputer yang terhubung ke mobil Ilario. Mobil lelaki itu seketika bergerak tak terkendali. Zig zag, beberapa kali juga terlihat oleng. Namun begitu, The Eye hanya sebatas itu mengganggu, tidak berani melebihi batas. Kecuali atas perintah tiga orang yang sudah ditetapkan sebagai pemegang kendali tertinggi sistem tersebut.Vin sesaat tersenyum, tapi tak lama lengkung bibir Vin memudar hingga pria itu kembali memacu mobil, memburu mangsanya. Mobil Ilario rupanya mampu mengatasi sabotase The Eye. Aksi kejar-kejaran ala Too Fast Too Furious pun terjadi. Vin geram, saat Ilario beberapa kali bisa menjauhkan jarak mobil mereka.Ilario yang kini tersenyum, merasa di atas angin. Staf IT-nya lumayan berkembang. Bisa mengatasi gangguan The Eye itu sudah kemajuan, apa lagi jika mereka bisa mengacaukan sistem tersebut, ini pasti akan menyenangkan.Suara tembakan terdengar, Ilario rupanya mulai menargetkan Vin. Pria itu gencar menghujani mobil Vin dengan tembakan random, asal. Sepertinya Ilario telah menyiapkan semua ini.Beberapa tembakan mengenai mobil Vin, tapi itu tidak berarti untuk mobil sport berbalut materi tahan peluru. Vin membiarkan aksi Ilario untuk sesaat, hingga dia merasa jengah. Pria itu menyambar Revolver miliknya, disusul dengan suara tembakan teredam. Kemudi mobil diserahkan pada The Eye, dengan Vin sepenuhnya meladeni ajakan adu tembak yang Ilario mulai.“Bisakah kamu melacak keberadaan Emma, selagi dia ada di sini?” Vin mendesis lirih dengan ekor mata membidik Ilario. The Eye bekerja, satelit Icarus berputar 360°, menjelajah dunia sampai tempat tersembunyi sekalipun.Tanpa mereka tahu, tim IT Ilario rupanya telah melakukan terobosan baru akhir-akhir ini. Kastil Ilario kini punya sistem kamuflase yang bisa menyembunyikan koordinat keberadaan tempat itu. Hingga The Eye gagal memindai lokasi persembunyian lelaki yang jadi incaran kepolisian Italia tersebut.“No result.” Vin menggeram marah. Sebagai pelampiasan, Vin menembaki mobil Ilario membabi buta, pria itu dengan cepat mengganti slot peluru yang telah habis dengan yang baru. Perlu skill tingkat dewa untuk melakukan hal itu.Adu tembak itu semakin seru, dengan bunyi lesatan peluru teredam, tak banyak yang tahu akan kejadian di tengah malam. Vin dan Ilario sama-sama tidak mau mengalah. Sampai akhirnya Vin meminta The Eye mencegat mobil Ilario. Bunyi decitan rem, meninggalkan bekas sepanjang aspal jalanan.“SIA*L!! Ilario memaki, tapi tak lama senyum lelaki itu kembali mengembang. “Katakan di mana Emma?” Satu pertanyaan membuat Ilario tertawa puas. Kecemasan Vin adalah nilai plus buatnya, dengan begitu dia tahu kalau Emma salah satu titik lemah Vin selain keluarganya, istri dan anaknya.“Kau ingin tahu di mana dia?” Ilario sungguh senang melihat panik yang tersirat di wajah Vin.“Aku tidak akan mengampunimu jika kau menyakitinya!” teriak Vin kesetanan. Bayangan Emma yang sudah dia anggap adik sendiri muncul, apa reaksi Maria jika tahu kalau Ilario menawan Emma, mengingat dua wanita itu sangat dekat sebelumnya.Tawa Ilario meledak, diiringi raut kepuasan di wajahnya, “Apa yang akan kau lakukan jika aku memberitahumu kalau Emma sudah jadi milikku!” Balas Ilario yang langsung disambut sebuah ledakan hebat saat Ilario menembaki mobil Vin dengan sebuah bom.“Brengsekk!!” Dalam kepulan asap yang membumbung tinggi, Vin melihat Ilario berlalu melewatinya, satu kalimat tanpa suara membuat hati Vin semakin kacau dibuatnya. “Emma akan berada dalam pengawasanku. Bye...aku masih punya urusan!” Begitulah kira-kira ucapan Ilario yang hanya berupa gerak bibir, diiringi sebuah kode 1-1.Vin memukul kemudi mobilnya dengan amarah berkecamuk di dada. Dia tidak bisa membayangkan keadaan Emma sekarang. Bagaimana jika Ilario menyiksanya tanpa ampun. “Sorry,” suara The Eye membuyarkan kemarahan Vin. Pria itu menarik nafas berkali-kali.“It’s okay, tetaplah mencari,” perintah Vin. Tak berapa lama, mobil Vin melaju meninggalkan tempat itu, dengan keadaan kembali dipulihkan seperti sedia kala. Untuk beberapa waktu, Vin hanya bisa memijat pelan pelipisnya. Kendali mobil masih dipegang oleh The Eye.♧♧♧“Apa maksudmu melakukan itu pada Kenzo?!” suara Maria terdengar tenang tapi penuh intimidasi. Satu perasaan yang Maria sadari, dirinya begitu menyayangi Enzo.“Mama, dia maksa Enzo. Kan Enzo mandi dulu baru sarapan.” Adu si bocah dengan mata berkaca-kaca. Pergelangan tangan Enzo memerah, tarikan Helga ternyata cukup kuat, hingga Enzo berteriak kencang tadi.Mata Maria berkilat marah. “Alah jangan sok perhatian! Bukankah selama ini kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Sampai kau lupa pada anakmu sendiri!” Cibiran Helga seketika meremat hati Maria. Wanita itu langsung menoleh pada sang putra. Apa seperti ini harinya dulu sebelum dia sakit? Apa benar ucapan Helga? Kalau dia begitu acuh dan tak peduli pada putra tunggalnya.“Enzo sayang, maafkan Mama. Mulai sekarang Mama akan lebih memperhatikan kamu.” Tidak tahu kenapa mulut Maria lancang mengucapkan hal itu.“Enzo gak apa-apa, Ma. Asal Mama gak ninggalin Enzo, asal Mama pulang tiap hari. Enzo sudah seneng banget.” Bocah kecil itu tampak menangis, hingga Maria spontan reflek memeluk Enzo.“Mama gak akan ninggalin Enzo.” Bisik Maria lirih.“Alah jangan sok baik di depan Enzo. Kau lupa siapa yang tiap hari ngurusin semua kebutuhan Enzo?” Satu ucapan membuat Mario menoleh, mencari tahu sumber suara.“Ingat! Saya tidak pernah menyetujui pernikahanmu dengan Vin. Kau harusnya tahu kalau sejak dulu, menantu saya adalah Helga. Karena itu, sejak hari ini Helga akan tinggal di rumah ini.”Serangkaian kalimat yang membuat Maria sesak. Apa yang telah terjadi pada dirinya sebelumnya? Kenapa wanita yang ia duga sebagai ibu Vin alias mama mertuanya terlihat begitu membenci Maria, dirinya.“Cobaan apa lagi ini ya Tuhan?” Padahal beberapa menit yang lalu, Maria baru saja meyakinkan diri, kalau dia akan coba bertahan dengan keadaannya yang sekarang. Tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.Maria menatap pantulan dirinya melalui cermin. Lagi, ini kali kedua wanita itu menatap dirinya lekat-lekat. Mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Perlahan Maria yakin kalau raga ini memang bukan miliknya. Namun kenapa ini semua bisa terjadi? Pertanyaan itu yang kini bercokol di kepala Maria. Juga soal siapa dirinya yang sesungguhnya.Wanita itu menghela nafas, banyak hal yang kini memenuhi benaknya. Dan sebagian besar menuntut sebuah jawaban. Belum rampung masalah satu, muncul lagi masalah lain. Dirinya belum sepenuhnya berdamai dengan raga baru ini. Kini sang mertua sudah menunjukkan raut wajah tidak suka akan kehadirannya. Mama Vin yang akhirnya dia tahu bernama Imelda, terang-terangan menginginkan wanita lain untuk menjadi istri Vin. Lebih parahnya lagi, perempuan bernama Helga itu sekarang tinggal di rumah Vin, sang suami.“Jangan terlalu memikirkan ucapan Mama,” perkataan Vin seolah ingin membuat Maria tidak berpikir macam-macam. Namun hal itu jelas tidak bisa Maria abai
Suara tembakan terdengar diiringi teriakan teredam. Ilario baru saja melesatkan tembakan ke paha seorang pria yang terduduk di kursi, dalam keadaan terikat. Pria itu tersenyum remeh, melihat korban merintih akibat aksinya. “Jadi kau tetap tidak mau mengatakan di mana dia?” Tanya Ilario dengan wajah tersenyum mengerikan.Pria itu menggeleng, hingga satu perintah keluar dari bibir Ilario. “Bunuh dia!” Dua orang sigap menarik kasar tubuh pria yang dari pahanya mengalir banyak darah. “Aku ingatkan Ilario, kau harus pastikan membunuhku dengan benar. Atau kau akan menyesal. Aku akan memberitahu Vin di mana tempat persembunyianmu juga tempat kau menyekap Emma!” teriak pria itu.Ilario mendengus geram mendengar ancaman lelaki tadi. “Apa yang kau dapat?” Ilario bertanya pada sang asisten. “Orion memalsukan data dirinya juga keluarganya!” Ilario mengeratkan rahangnya. Selain Vin, sasaran balas dendam Ilario yang lain adalah Orion Harasya Alexander. Gara-gara Orion lah, semua kejahatannya terb
Vin mengusap dagunya pelan, sebuah pesan masuk ke nomor ponsel pribadinya. Nomor yang sudah di-secure, diamankan oleh sistem The Eye. Hingga tak sembarangan orang bisa menghubunginya. Satu pesan dari Xuan yang sebenarnya membuat Vin was-was.“Aku sedang berada di negeri ini. Berita buruknya, aku baru saja ditangkap oleh Ilario, tapi aku bisa meloloskan diri. Jangan mencariku untuk sementara ini, karena aku ingin mencari Emma. Aku tahu di mana Ilario menyekapnya. Hubungi Orion, bilang padanya kalau aku liburan di tempatmu. Terima kasih. Xuan”Sejujurnya Vin sangat cemas dengan keadaan Xuan. Namun lelaki itu tahu benar resikonya, jika dia memaksakan diri mencari Xuan. Yang ada Ilario akan curiga padanya, dan itu bisa membahayakan Xuan dan Emma.Emma disekap oleh Ilario? Vin tidak bisa membayangkan hal itu. Apa yang akan Ilario lakukan pada Emma? Ketakutan seketika menyergap hati Vin. Bagaimana jika Ilario melakukan hal buruk pada Emma? Otak Vin langsung panik. Jangan sampai Maria tah
Maria berada di kamar mandi, wanita itu baru saja membersihkan wajahnya. Sebuah ritual yang rasa-rasanya baru kali ini dia lakukan. Apakah pemilik jiwanya dulu tidak melakukan hal serupa. Maria menggelengkan kepala. Sepertinya dia memang jarang merawat diri dengan skin care, terbukti dia harus membaca dan mempelajari semua alat make up yang ada di meja rias Maria.Setelah selesai membersihkan wajah, begitu juga dengan acara pemakaian krim malam, Maria tertegun di depan lemari besar miliknya. Pikirannya kembali berkutat di seputar obrolan Imelda dan Helga. Bagaimana jika Helga benar-benar bergerak seperti perintah Imelda? Menggoda Vin, lalu menjerat suami Maria. Tidak! Dia tidak boleh membiarkan Helga merebut suami Maria.Lalu apa yang akan dia lakukan untuk mencegahnya? Apa giliran dia yang harus menyerahkan diri pada Vin? Maria seketika menoyor kepalanya sendiri. Menyerahkan diri bagaimana? Kan Maria memang istri Vin, jadi sah-sah saja jika mereka bercinta. “Tapi aku bukan Maria!”
Twinkle twinkle little starHow I wonder what you areUp above the world so highLike a diamond in the skyJiwa itu melayang, di antara ruang hampa tanpa batas. Tak ada apapun di sana, hanya kegelapan total yang melingkupi. Bunyi nyanyian sayup-sayup terdengar, membuat si jiwa membuka mata yang sejak awal terpejam. Tubuhnya ringan, seolah tak memiliki bobot sama sekali. Padahal dia merasa sebaliknya, susah sekali menggerakkan badan, baginya dirinya terasa berat.Suara tersebut membuat si jiwa ingin mencari sumber nyanyian. Hatinya merasa antusias, seolah nada tadi adalah favoritnya, kesukaannya. Bahkan ada suara berisik anak kecil yang terdengar mendayu di telinga, memanggil si jiwa untuk datang mendekat. Dia merasa menemukan jati dirinya, ingatannya, tapi semua itu terasa tidak nyata. Hanya seperti...mimpi.“Miss Ana, miss Ana....” si jiwa mengerutkan dahi, merasakan panggilan itu ditujukan untuknya.Maria membuka mata tiba-tiba. Jantungnya berdebar kencang. Sejak pulang dari
Ilario harap-harap cemas menunggu kabar dari mata-mata yang dia kirim masuk ke rumah Vin, sudah dua hari dan orang itu belum juga memberi kabar. Padahal alamat yang dia berikan jelas, tapi begitu mendekati kawasan rumah Vin, radar dan pelacak yang dipakai oleh anak buahnya langsung menghilang. Bahkan ponsel orang tersebut tidak bisa dihubungi.“Sepertinya semua alat komunikasi dan pendeteksi akan langsung disecure- amankan begitu masuk ke kawasan mereka,” info seorang staf Ilario. Ilario menggeram marah, sebenarnya seberapa canggih sistem The Eye ini. Kenapa alat tersebut mampu membuat area rumah Vin jadi steril dan tak kasat mata. Dia sungguh penasaran. “Apa ada kemungkinan dia akan ketahuan?” Ilario tak mencemaskan soal keselamatan anak buahnya, pria tanpa belas kasih itu juga tak peduli jika ada kemungkinan mata-matanya sudah mati di tangan Vin. Tidak ada yang menjawab pertanyaan lelaki itu.Ilario menghela nafas, dia tidak mungkin menantang Vin di tempat umum. Dia kalah posisi
Xuan membuka mata, hari masih gelap. Tengah malam baru saja datang. Tapi pria itu harus segera memulai misinya. Xuan lekas keluar dari biliknya, kamar dia beristirahat, ketika seruan datang dari pengawal yang bertugas di lantai atas. “EMMA KABUR!” Jantung Xuan berdegup kencang. Bagaimana bisa dia melewatkan hal ini. Pria itu menyelinap keluar, memisahkan diri dari para bodyguard yang seketika melakukan pencarian besar-besaran. Emma adalah tawanan pribadi Ilario, jika wanita itu sampai melarikan diri. Ada banyak orang yang akan kehilangan nyawa, karena kemarahan Ilario.“Hey, kau mau ke mana? Dia kabur ke hutan!” Teriak seorang pria berkepala plontos. Untuk sementara Xuan mengikuti lelaki itu. Berlari ke arah hutan sesuai intruksi yang terdengar melalui headset bluetooth-nya. Padahal Xuan tahu persis ke mana Emma lari. Gadis itu lari ke arah sebaliknya. Tanda itu hanyalah pengecoh yang dibuat oleh Emma.Xuan mengekor di belakang anak buah Ilario, sebelum berbelok ke arah semak b
“Bagaimana? Apa dia sudah ditemukan?” Ilario menerobos masuk ke ruang kontrol dengan wajah panik. Pria itu baru sadar dari pingsannya. Ilario ditemukan mengapung dalam keadaan tak sadarkan diri, dua puluh meter dari tempat lelaki itu terjatuh. Saat ditemukan, tak ada Emma di sekitar Ilario.“Kami belum menemukannya.” Asisten Ilario menjawab. Melihat ke arah Ilario yang seketika mendudukkan diri di sofa dengan wajah lesu. Lelaki itu bahkan belum mengenakan baju, tubuh kekar Ilario hanya dibalut jubah tidur.Ilario memejamkan mata, dia teringat bagaimana dia dan Emma tercebur ke laut. Harusnya Emma tak bisa kabur, jika saja dia tidak pingsan. Ilario membalik posisi saat Emma dan dirinya hampir menghantam permukaan air laut, hingga punggung Ilario yang lebih dulu berbenturan dengan air laut, yang jujur saja rasanya lebih sakit daripada dihantam balok kayu. “Temukan dia. Aku mau dia kembali!” perintah Ilario mutlak. Sang asisten dan yang lainnya membungkukkan badan sebelum undur diri
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam