Xuan membuka mata, hari masih gelap. Tengah malam baru saja datang. Tapi pria itu harus segera memulai misinya. Xuan lekas keluar dari biliknya, kamar dia beristirahat, ketika seruan datang dari pengawal yang bertugas di lantai atas. “EMMA KABUR!” Jantung Xuan berdegup kencang. Bagaimana bisa dia melewatkan hal ini. Pria itu menyelinap keluar, memisahkan diri dari para bodyguard yang seketika melakukan pencarian besar-besaran. Emma adalah tawanan pribadi Ilario, jika wanita itu sampai melarikan diri. Ada banyak orang yang akan kehilangan nyawa, karena kemarahan Ilario.“Hey, kau mau ke mana? Dia kabur ke hutan!” Teriak seorang pria berkepala plontos. Untuk sementara Xuan mengikuti lelaki itu. Berlari ke arah hutan sesuai intruksi yang terdengar melalui headset bluetooth-nya. Padahal Xuan tahu persis ke mana Emma lari. Gadis itu lari ke arah sebaliknya. Tanda itu hanyalah pengecoh yang dibuat oleh Emma.Xuan mengekor di belakang anak buah Ilario, sebelum berbelok ke arah semak b
“Bagaimana? Apa dia sudah ditemukan?” Ilario menerobos masuk ke ruang kontrol dengan wajah panik. Pria itu baru sadar dari pingsannya. Ilario ditemukan mengapung dalam keadaan tak sadarkan diri, dua puluh meter dari tempat lelaki itu terjatuh. Saat ditemukan, tak ada Emma di sekitar Ilario.“Kami belum menemukannya.” Asisten Ilario menjawab. Melihat ke arah Ilario yang seketika mendudukkan diri di sofa dengan wajah lesu. Lelaki itu bahkan belum mengenakan baju, tubuh kekar Ilario hanya dibalut jubah tidur.Ilario memejamkan mata, dia teringat bagaimana dia dan Emma tercebur ke laut. Harusnya Emma tak bisa kabur, jika saja dia tidak pingsan. Ilario membalik posisi saat Emma dan dirinya hampir menghantam permukaan air laut, hingga punggung Ilario yang lebih dulu berbenturan dengan air laut, yang jujur saja rasanya lebih sakit daripada dihantam balok kayu. “Temukan dia. Aku mau dia kembali!” perintah Ilario mutlak. Sang asisten dan yang lainnya membungkukkan badan sebelum undur diri
Vin melesatkan satu tembakan ke kerumunan orang, yang tengah memindahkan barang dari sebuah mobil box ke satu mobil MPV berwarna hitam. Tindakan Vin seketika membuat semua orang waspada. Kini mereka siap dengan senjata di tangan masing-masing. Waspada dengan gerakan sekecil apapun. “Show time.” Vin menarik sudut bibirnya, menyambungkan penglihatan The Eye dengan dirinya yang terhubung melalui ear phone kecil di telinganya.Serangan balasan bertubi-tubi menyambut Vin kala pria itu kembali menembakkan timah panas dari moncong pistolnya. Vin mengalihkan kemarahannya menjadi fokus dan waspada tingkat tinggi. Seluruh pikiran lelaki itu kini berpusat pada tembakan yang datang dari segala arah.Vin melompat, berguling, menghindar bahkan tak jarang harus beradu dengan tanah berdebu untuk menghindari terjangan proyektil yang mengarah padanya. Meski Vin satu dua kali menembak, tapi target pria itu tak pernah meleset. Dalam hal ini kemampuan menembak Vin memang tak ada duanya. Tak perlu meliri
Nyeri menyerang dada Maria, wanita itu sontak membuka mata. Nafasnya tersengal dengan keringat dingin keluar dari dahi. Sekelebat perasaan aneh ia rasakan dalam hati, ditambah rasa berdenyut di kepala. Apa yang terjadi sebenarnya? Wanita itu bertanya dalam benaknya. Serta perasaan tak menentu yang membisikkan sisa waktu yang tersisa untuknya.“Ada apa?” Vin bertanya setelah melihat Maria terjaga. Wanita itu memandang Vin keluar dari kamar mandi dengan tubuh topless. Maria segera memalingkan wajahnya. Menghindari panas yang tiba-tiba terasa di pipinya. Bayangan seksi Vin berlaga di atas tubuhnya membuat Maria panas dingin.“Dia benar-benar bisa membuatku gila!” Batin Maria. Vin lekas naik ke ranjangnya, menempatkan diri di samping Maria. Lantas merengkuh tubuh sang istri ke dalam dekapan. Aroma maskulin Vin seketika menenangkan otak Maria yang tengah dilanda kemelut.Vin mengecup puncak kepala Maria sebelum mengajak sang istri tidur. Maria yang mulai terbiasa dengan posisi tidur me
Emma memicingkan mata saat mengikuti langkah Xuan. Dua hari mereka menginap di motel murah tersebut. Hari ini Xuan mengajaknya check out. Meski tak paham cara berpikir Xuan, Emma lebih memilih menuruti rencana Xuan. Dua orang itu kini duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Menikmati sarapan mereka sebelum melanjutkan perjalanan, tanpa tujuan. Dua hari bersama Xuan, Emma merasa nyaman. Pria itu tipe berisik dan konyol. Logat negeri khatulistiwa tak hilang sama sekali meski darah oriental mengalir deras dalam tubuh Xuan. “Makan, jangan gak makan.” Itu salah satu bukti betapa cerewetnya Xuan. Emma yang terbiasa hidup dalam disiplin tinggi, semua serba straight ikut aturan. Gadis itu seperti masuk ke dunia lain saat bersama Xuan. Dunia bebas tanpa aturan.“Ini juga lagi makan.” Balas Emma santai. Gadis itu mulai terbiasa dengan cara hidup yang Xuan tawarkan. Emma tampak menikmati roti croissant yang jadi sarapannya. Padahal Xuan sejak kemarin protes, seharusnya Emma makan nasi. S
Emma meledakkan tawa, sementara Xuan memanyunkan bibir. Dua orang itu kini berada di dalam mobil pick up. Mereka sedang menumpang pada seorang kakek tua yang baru saja menyetorkan hasil panennya ke kota. Sayuran dan beberapa hasil kebun, juga telur ayam. Xuan dan Emma tertangkap bersembunyi di gudang juragan tempat pria tersebut menjual hasil bumi.Emma memegangi perutnya yang hampir kram karena terus tertawa. Hidup Emma yang serius seketika berubah saat bertemu Xuan. Lelaki itu menawarkan kehidupan baru pada Emma. ”Suami apaan?!” Xuan mengulangi ucapan si bapak tua. Dengan Emma terus terbahak. Mereka berdua dituduh sebagai pasangan suami istri. Hanya karena terlihat berduaan dengan posisi yang sangat intim. Namun dari semua rangkaian kejadian buruk hari ini. Terselip hal baik, mereka bisa pergi ke tempat yang lebih jauh. Menghindar untuk sementara dari keramaian adalah hal bagus sekarang. Si kakek tua menawarkan pekerjaan pada Xuan dan Emma. Dua orang itu mengaku kehabisan uang s
Vin memijat pelipisnya, serangan yang terjadi di depan sekolah Enzo adalah ulah Ilario. Pria itu mulai berani melakukan serangan terbuka pada anggota keluarganya. Vin mencemaskan orang terdekatnya, terutama Maria dan Enzo. Dua orang yang telah berbagi hidup dengannya. Meski untuk Maria, Vin masih memantau keadaan wanita itu.Kecurigaan Vin semakin tinggi saat The Eye melaporkan kalau Maria ketahuan mem-browsing informasi soal dirinya. Jika Maria yang sekarang masih sama dengan Maria yang dulu, seharusnya wanita itu tak perlu mencari informasi apapun soal dirinya. Maria tahu benar siapa Vin, baik sebagai pengusaha maupun mafia.Sebuah saran dari Andreas turut membuat Vin tambah pusing. “Memangnya kenapa kalau dia orang lain. Toh fisiknya adalah istrimu, jadi anggap saja dia Maria.” Vin merenggut rambutnya. Dia bingung, sangat bingung. Bagaimana bisa Andreas berucap begitu enteng. Jelas saja semua berbeda. Kalau yang sekarang bukan istrinya, lalu di mana Maria yang sebenarnya. Apakah
Ilario menatap layar monitor yang ditunjukkan oleh seorang staf IT-nya. Tracker yang mereka pasang menunjukkan koordinat lokasi rumah Vin. Senyum pria itu mengembang, dia sudah lama ingin melakukan ini, menghancurkan Vin di kediamannya sendiri. Sesuai saran Chen, dia harus menyiapkan rencana yang matang untuk bisa menyusup masuk tanpa diketahui The Eye. Dan hal itu diakui sulit oleh Ilario.“Kenapa kita tidak langsung menyerang mereka. Saya yakin kekuatan kita tidak akan kalah dengan mereka.” Baron, asisten Ilario yang lain memberi saran. Ada tampang kesal di wajah Baron. Kesal yang sudah lama dia tahan, hingga berubah jadi rasa tidak puas hati pada Ilario.“Apa yang diucapkan Chen benar. Kita harus ekstra hati-hati saat menyerbu Vin. Terlebih ini di wilayahnya. Sangat berbahaya jika kita meremehkan kekuatan mereka.” Ilario berucap sambil menanti staf IT mereka bekerja mencari alamat Vin. Setelahnya dia akan menyusun rencana. Di belakang Ilario, Baron tampak mengepalkan tangan, seja
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam