Emma meledakkan tawa, sementara Xuan memanyunkan bibir. Dua orang itu kini berada di dalam mobil pick up. Mereka sedang menumpang pada seorang kakek tua yang baru saja menyetorkan hasil panennya ke kota. Sayuran dan beberapa hasil kebun, juga telur ayam. Xuan dan Emma tertangkap bersembunyi di gudang juragan tempat pria tersebut menjual hasil bumi.Emma memegangi perutnya yang hampir kram karena terus tertawa. Hidup Emma yang serius seketika berubah saat bertemu Xuan. Lelaki itu menawarkan kehidupan baru pada Emma. ”Suami apaan?!” Xuan mengulangi ucapan si bapak tua. Dengan Emma terus terbahak. Mereka berdua dituduh sebagai pasangan suami istri. Hanya karena terlihat berduaan dengan posisi yang sangat intim. Namun dari semua rangkaian kejadian buruk hari ini. Terselip hal baik, mereka bisa pergi ke tempat yang lebih jauh. Menghindar untuk sementara dari keramaian adalah hal bagus sekarang. Si kakek tua menawarkan pekerjaan pada Xuan dan Emma. Dua orang itu mengaku kehabisan uang s
Vin memijat pelipisnya, serangan yang terjadi di depan sekolah Enzo adalah ulah Ilario. Pria itu mulai berani melakukan serangan terbuka pada anggota keluarganya. Vin mencemaskan orang terdekatnya, terutama Maria dan Enzo. Dua orang yang telah berbagi hidup dengannya. Meski untuk Maria, Vin masih memantau keadaan wanita itu.Kecurigaan Vin semakin tinggi saat The Eye melaporkan kalau Maria ketahuan mem-browsing informasi soal dirinya. Jika Maria yang sekarang masih sama dengan Maria yang dulu, seharusnya wanita itu tak perlu mencari informasi apapun soal dirinya. Maria tahu benar siapa Vin, baik sebagai pengusaha maupun mafia.Sebuah saran dari Andreas turut membuat Vin tambah pusing. “Memangnya kenapa kalau dia orang lain. Toh fisiknya adalah istrimu, jadi anggap saja dia Maria.” Vin merenggut rambutnya. Dia bingung, sangat bingung. Bagaimana bisa Andreas berucap begitu enteng. Jelas saja semua berbeda. Kalau yang sekarang bukan istrinya, lalu di mana Maria yang sebenarnya. Apakah
Ilario menatap layar monitor yang ditunjukkan oleh seorang staf IT-nya. Tracker yang mereka pasang menunjukkan koordinat lokasi rumah Vin. Senyum pria itu mengembang, dia sudah lama ingin melakukan ini, menghancurkan Vin di kediamannya sendiri. Sesuai saran Chen, dia harus menyiapkan rencana yang matang untuk bisa menyusup masuk tanpa diketahui The Eye. Dan hal itu diakui sulit oleh Ilario.“Kenapa kita tidak langsung menyerang mereka. Saya yakin kekuatan kita tidak akan kalah dengan mereka.” Baron, asisten Ilario yang lain memberi saran. Ada tampang kesal di wajah Baron. Kesal yang sudah lama dia tahan, hingga berubah jadi rasa tidak puas hati pada Ilario.“Apa yang diucapkan Chen benar. Kita harus ekstra hati-hati saat menyerbu Vin. Terlebih ini di wilayahnya. Sangat berbahaya jika kita meremehkan kekuatan mereka.” Ilario berucap sambil menanti staf IT mereka bekerja mencari alamat Vin. Setelahnya dia akan menyusun rencana. Di belakang Ilario, Baron tampak mengepalkan tangan, seja
Xuan berlari masuk ke dalam rumah ketika dia mendengar kabar Emma sakit. “Kamu tidak apa-apa?” Xuan buru-buru bertanya, melihat Emma duduk di meja makan sambil menyangga pelipisnya.“Gak sih, cuma masih pusing.” Xuan mengerutkan dahi, haruskah dia menyampaikan apa yang teman-temannya beritahu.“Em, berapa lama kamu disekap sama dia?” Xuan menarik kursi lalu duduk di sana. Emma terdiam, terlihat mengingat sesuatu.“Ada kali sebulan. Kenapa?”“Selama itu, maaf...apa kalian melakukan, you know-lah.” Xuan melengos, sambil membuat kode orang tengah bercinta. Rona merah merona di wajah dua orang itu. Xuan yang malu karena seumur hidup belum pernah melakukan aktivitas panas tersebut. Sementara Emma menahan amarah, karena memang itulah yang mereka lakukan tiap kali Ilario ada di kastilnya.Melihat paras Emma yang berubah canggung, Xuan jadi serba salah. “Oke, aku paham.” Lelaki itu buru-buru berucap. Hening, sesaat melingkupi tempat itu. Sampai ucapan Xuan membuat Emma merasa kesal.“Ad
Vin mengeraskan rahang, melihat bagaimana Ilario bisa menerobos masuk ke tempat tinggalnya. “Maaf, Vin. Sepertinya mereka sengaja menyabotaseku tadi.” The Eye memberi tahu Vin. Lelaki itu menggeleng pelan, tidak bisa menimpakan semua kesalahan pada sistem, bagaimanapun The Eye hanyalah alat yang diciptakan oleh manusia. Jelas ada kurang dan lebihnya.Vin berjalan menuruni anak tangga, satu demi satu. Dalam hati mengira kalau anak buahnya sudah lebih dulu dilumpuhkan oleh Ilario. Setidaknya Vin berharap, lelaki itu tidak membunuh mereka. Tatapan Vin terpusat pada Maria yang duduk sembari memeluk Enzo sang putra. Pandangan mereka bertemu, seolah tengah berkomunikasi. Ada binar ketakutan dalam netra Maria, tapi Vin tahu, sang istri berusaha menutupinya. Sementara Imelda dan Helga tampak menciut nyalinya di bawah todongan pistol anak buah Ilario.Vin mungkin punya secuil rasa cemas pada Imelda tapi tidak pada Helga. Satu pandangan mematikan Vin layangkan pada Tara, wanita yang kini berd
Ilario membalikkan badan, menatap tidak percaya pada Baron. “Sorry bos, saya tidak sengaja melakukannya.” Kata Baron dengan wajah bersalah. Ilario menggeram marah, di depan sana, tangis Vin dan Enzo tumpah bersamaan dengan Vin mendekap tubuh Maria. Darah mengalir deras dari punggung Maria yang tertembak. Wanita itu sama sekali tak bergerak dalam pelukan sang suami.“Maria...Maria....!” Teriak Vin mengguncang tubuh sang istri. Di sebelah Maria, Enzo bahkan sudah histeris, melihat tubuh sang mama berlumur cairan merah. Vin beberapa kali mencium kening Maria, hatinya takut bukan kepalang. Mata Maria terbuka, hal itu membuat Vin merasa lega. Tangan Maria mengusap wajah Vin, lalu beralih pada Enzo, memeluk tubuh mungil itu bersamanya. “Ma.....” lirih Enzo. “Panggilkan Andreas!” Teriak Vin kencang. Imelda yang masih shock segera sadar. Wanita itu mendekati telepon rumah, bermaksud menghubungi Andreas. Meski yang diperintah Vin sebenarnya adalah The Eye. Senyum Maria terukir tipis, tida
Vin sungguh tak percaya ketika dia sendiri menyaksikan tubuh Maria masuk ke peti mati untuk kemudian dikuburkan. Timbunan tanah mulai menutupi peti hingga tak terlihat sama sekali. Begitulah kini yang terjadi, tembok tinggi sudah memisahkan dirinya dan Maria. Tak sekedar jarak dan waktu yang masih bisa Vin kejar, tapi ini beda dunia. Dia ingin menyusul Maria dia harus ikut mati. Dan itu tak bisa dia lakukan. Dalam gendongan Vin ada Enzo yang menangis di bahu sang ayah. Vin tak mungkin meninggalkan Enzo sendiri, tidak setelah Maria pergi lebih dulu.Tak ada kata yang terucap ketika semua orang mulai pergi meninggalkan pemakaman. Menyisakan Vin, Andreas dan Miguel yang kini berganti menggendong Enzo yang tidur. Vin berjongkok sembari meletakkan kepalanya di nisan sang istri. Air matanya kembali meleleh, kali ini lebih pilu, tangis Vin yang harus merelakan Maria pergi untuk selamanya. Tak akan mungkin kembali.“Vin....” Lelaki itu menoleh, melihat Andreas mengangguk. “Maria, aku pergi
Sementara itu, Xuan yang beberapa waktu terakhir tidak terlalu memperhatikan perkembangan dunia luar, sebab saking sibuknya. Hari ini jantungnya merasa ingin berhenti berdetak. Karena ada waktu luang sembari menunggu masa panen wortel, kubis, dan yang lainnya, dia jadi punya waktu untuk mengulik laptopnya. Mata Xuan membulat tidak percaya membaca kabar terbaru mengenai kematian Maria Angela istri pengusaha terkenal Sebastian Vincent Arturo.Saking tidak percayanya, Xuan bahkan beberapa kali mengecek portal pemberitaan yang berbeda. Dengan hasil sama, Maria meninggal karena ditembak. Siapa pelakunya masih dirahasiakan. Pria itu buru-buru memberitahu Emma, mengenai kematian Maria. Mengingat wanita itu pernah memberitahu kalau dia berteman dengan istri Vin.Sesuai perkiraan Xuan, Emma langsung terduduk lemas, dia tidak membayangkan kalau Maria sudah meninggal. “Xuan, kita pulang. Aku ingin bertemu Maria. Aku ingin melihat Enzo.” Pinta wanita itu pada akhirnya. Yang terlintas di kepala
“Ibu mengaku salah untuk urusan Helga di masa lalu. Ibu buta, sungguh tidak bisa membedakan baik dan buruk saat itu. Tapi sekarang, Ibu akan menerima semua keputusan Vin termasuk soal pasangan hidup. Ibu akan mendukungnya. Maafkan Ibu, Ibu sungguh ingin memperbaiki kesalahan Ibu. Jadi tolong beri Ibu kesempatan.” Briana menghela nafas, penjelasan dari Imelda cukup dia mengerti. Wanita itu tentu paham konsep tiap manusia pernah melakukan kesalahan. Akan terasa tidak adil jika kesempatan untuk berubah jadi lebih baik tidak diberikan. Briana sendiri memang tak terlalu memikirkan soal Helga, sebab Vin memang tidak pernah memberikan celah sedikit pun untuk Helga masuk dalam hidupnya. Oke, semua masalah sudah clear. Imelda akan membuktikan kalau dia menerima Briana sebagai pilihan Vin serta menantunya. “Kenapa Boy?” Briana bertanya ketika melihat sang putra tengah menatap foto sang mama yang tengah memeluknya, ada Vin juga di sana. Potret keluarga bahagia nan sempurna. Cemburukah Briana?
“Wait, wait, tunggu. Amore mio ada apa?” Vin mencegat Briana yang melewatinya begitu saja setelah makan malam usai. Lelaki itu menghadang di pintu kamarnya. Sejak pulang tadi wajah Briana sudah menunjukkan ekspresi tidak sedap.Briana tahu, kalau kejengkelannya seharusnya tidak ditujukan untuk sang suami. Hanya saja dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Vin, hingga ketika dia berhadapan dengan Vin, rasa itu otomatis keluar begitu saja.“Maaf, aku gak marah sama kamu,” ujar Briana terus terang.“Lalu? Coba deh bicara yang benar. Aku gak masalah kamu mau marah atau bagaimana ke aku. Yang aku minta jangan pernah menutupi apa pun dari aku. Aku ingin tahu.” Vin memegang dua bahu Briana, meyakinkan wanita itu.Ohh beginikah rasanya menikah dengan duda yang sudah expert soal pernikahan. Sikap terbuka Vin dan seluruh pengertian lelaki itu membuat Briana meleleh meski sedang marah. Act of service-nya memang lain ya duda yang satu ini.Begitulah Vin, lelaki itu bahkan tak segan mengaj
“Siapa dia?” bisik Briana bertanya pada sang adik yang memindai penampilan seorang perempuan berambut pirang di hadapannya.“Coba Kakak tebak?” Jeff justru bertanya balik pada Briana. Giliran Briana yang memberikan atensinya pada si wanita. Cantik sih, langsing, dan errr seksi.“Salah satu teman tidurmu?” Briana kembali bertanya dengan raut wajah sedikit jijik pada Jeff. Sang adik langsung merengut mendapati ekspresi wajah Briana seperti itu padanya.“Kan aku sudah bilang mau berhenti dan mau berteman sama sabun saja.” Meringis, Jeff mendapat balasan kontan dari bibirnya yang lemes. Cubitan Briana mendarat di pinggang Jeff.Sementara wanita yang berdiri di depan kakak beradik itu mengepalkan tangan karena geram, merasa diabaikan oleh Jeff dan Briana. “Sialan! Aku dikacangin!” maki sang wanita dalam hati.“Jadi benar dia pacar barumu?” tanya si perempuan.“Emm, gimana ya? Emang kamu pantas jadi pacarku Kak?” Briana mendelik sama dengan si tamu tak diundang. Kak? Jeff memanggil wa
Vin berusaha menetralkan hatinya, menenangkan degup jantungnya. Kala Imelda melangkah masuk ke ruang kerjanya. Menuruti kata hati. Vin akhirnya meluangkan waktu untuk bicara pada sang ibu. Hari ini setelah dia pulang dari kantor.Meninggalkan Briana dan Enzo di ruang keluarga, bercanda bersama Emma yang kebetulan mampir setelah cek up kandungan seusai melalui perjalanan panjang Jakarta-Milan.Sementara Ilario tengah berkoordinasi dengan Miguel dan Chen di ruang meeting mini di lantai dua. “Jadi apa yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?” Imelda membuka percakapan. Dua hari ini interaksinya dengan Briana cukup baik. Dua orang itu sama-sama menyesuaikan diri satu sama lain. Tak menampik kemungkinan mereka akan hidup berdampingan untuk waktu yang lama, karena itu adaptasi diperlukan.“Ini soal sikap Ibu pada Briana. Apa Ibu sungguh-sungguh dengan semua ini? Maksudku, Ibu berubah. Apa ini hanya pura-pura atau bagaimana?” ujar Vin terus terang.Imelda menatap sang putra, sedikit gusar
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam