Ilario menatap layar monitor yang ditunjukkan oleh seorang staf IT-nya. Tracker yang mereka pasang menunjukkan koordinat lokasi rumah Vin. Senyum pria itu mengembang, dia sudah lama ingin melakukan ini, menghancurkan Vin di kediamannya sendiri. Sesuai saran Chen, dia harus menyiapkan rencana yang matang untuk bisa menyusup masuk tanpa diketahui The Eye. Dan hal itu diakui sulit oleh Ilario.“Kenapa kita tidak langsung menyerang mereka. Saya yakin kekuatan kita tidak akan kalah dengan mereka.” Baron, asisten Ilario yang lain memberi saran. Ada tampang kesal di wajah Baron. Kesal yang sudah lama dia tahan, hingga berubah jadi rasa tidak puas hati pada Ilario.“Apa yang diucapkan Chen benar. Kita harus ekstra hati-hati saat menyerbu Vin. Terlebih ini di wilayahnya. Sangat berbahaya jika kita meremehkan kekuatan mereka.” Ilario berucap sambil menanti staf IT mereka bekerja mencari alamat Vin. Setelahnya dia akan menyusun rencana. Di belakang Ilario, Baron tampak mengepalkan tangan, seja
Xuan berlari masuk ke dalam rumah ketika dia mendengar kabar Emma sakit. “Kamu tidak apa-apa?” Xuan buru-buru bertanya, melihat Emma duduk di meja makan sambil menyangga pelipisnya.“Gak sih, cuma masih pusing.” Xuan mengerutkan dahi, haruskah dia menyampaikan apa yang teman-temannya beritahu.“Em, berapa lama kamu disekap sama dia?” Xuan menarik kursi lalu duduk di sana. Emma terdiam, terlihat mengingat sesuatu.“Ada kali sebulan. Kenapa?”“Selama itu, maaf...apa kalian melakukan, you know-lah.” Xuan melengos, sambil membuat kode orang tengah bercinta. Rona merah merona di wajah dua orang itu. Xuan yang malu karena seumur hidup belum pernah melakukan aktivitas panas tersebut. Sementara Emma menahan amarah, karena memang itulah yang mereka lakukan tiap kali Ilario ada di kastilnya.Melihat paras Emma yang berubah canggung, Xuan jadi serba salah. “Oke, aku paham.” Lelaki itu buru-buru berucap. Hening, sesaat melingkupi tempat itu. Sampai ucapan Xuan membuat Emma merasa kesal.“Ad
Vin mengeraskan rahang, melihat bagaimana Ilario bisa menerobos masuk ke tempat tinggalnya. “Maaf, Vin. Sepertinya mereka sengaja menyabotaseku tadi.” The Eye memberi tahu Vin. Lelaki itu menggeleng pelan, tidak bisa menimpakan semua kesalahan pada sistem, bagaimanapun The Eye hanyalah alat yang diciptakan oleh manusia. Jelas ada kurang dan lebihnya.Vin berjalan menuruni anak tangga, satu demi satu. Dalam hati mengira kalau anak buahnya sudah lebih dulu dilumpuhkan oleh Ilario. Setidaknya Vin berharap, lelaki itu tidak membunuh mereka. Tatapan Vin terpusat pada Maria yang duduk sembari memeluk Enzo sang putra. Pandangan mereka bertemu, seolah tengah berkomunikasi. Ada binar ketakutan dalam netra Maria, tapi Vin tahu, sang istri berusaha menutupinya. Sementara Imelda dan Helga tampak menciut nyalinya di bawah todongan pistol anak buah Ilario.Vin mungkin punya secuil rasa cemas pada Imelda tapi tidak pada Helga. Satu pandangan mematikan Vin layangkan pada Tara, wanita yang kini berd
Ilario membalikkan badan, menatap tidak percaya pada Baron. “Sorry bos, saya tidak sengaja melakukannya.” Kata Baron dengan wajah bersalah. Ilario menggeram marah, di depan sana, tangis Vin dan Enzo tumpah bersamaan dengan Vin mendekap tubuh Maria. Darah mengalir deras dari punggung Maria yang tertembak. Wanita itu sama sekali tak bergerak dalam pelukan sang suami.“Maria...Maria....!” Teriak Vin mengguncang tubuh sang istri. Di sebelah Maria, Enzo bahkan sudah histeris, melihat tubuh sang mama berlumur cairan merah. Vin beberapa kali mencium kening Maria, hatinya takut bukan kepalang. Mata Maria terbuka, hal itu membuat Vin merasa lega. Tangan Maria mengusap wajah Vin, lalu beralih pada Enzo, memeluk tubuh mungil itu bersamanya. “Ma.....” lirih Enzo. “Panggilkan Andreas!” Teriak Vin kencang. Imelda yang masih shock segera sadar. Wanita itu mendekati telepon rumah, bermaksud menghubungi Andreas. Meski yang diperintah Vin sebenarnya adalah The Eye. Senyum Maria terukir tipis, tida
Vin sungguh tak percaya ketika dia sendiri menyaksikan tubuh Maria masuk ke peti mati untuk kemudian dikuburkan. Timbunan tanah mulai menutupi peti hingga tak terlihat sama sekali. Begitulah kini yang terjadi, tembok tinggi sudah memisahkan dirinya dan Maria. Tak sekedar jarak dan waktu yang masih bisa Vin kejar, tapi ini beda dunia. Dia ingin menyusul Maria dia harus ikut mati. Dan itu tak bisa dia lakukan. Dalam gendongan Vin ada Enzo yang menangis di bahu sang ayah. Vin tak mungkin meninggalkan Enzo sendiri, tidak setelah Maria pergi lebih dulu.Tak ada kata yang terucap ketika semua orang mulai pergi meninggalkan pemakaman. Menyisakan Vin, Andreas dan Miguel yang kini berganti menggendong Enzo yang tidur. Vin berjongkok sembari meletakkan kepalanya di nisan sang istri. Air matanya kembali meleleh, kali ini lebih pilu, tangis Vin yang harus merelakan Maria pergi untuk selamanya. Tak akan mungkin kembali.“Vin....” Lelaki itu menoleh, melihat Andreas mengangguk. “Maria, aku pergi
Sementara itu, Xuan yang beberapa waktu terakhir tidak terlalu memperhatikan perkembangan dunia luar, sebab saking sibuknya. Hari ini jantungnya merasa ingin berhenti berdetak. Karena ada waktu luang sembari menunggu masa panen wortel, kubis, dan yang lainnya, dia jadi punya waktu untuk mengulik laptopnya. Mata Xuan membulat tidak percaya membaca kabar terbaru mengenai kematian Maria Angela istri pengusaha terkenal Sebastian Vincent Arturo.Saking tidak percayanya, Xuan bahkan beberapa kali mengecek portal pemberitaan yang berbeda. Dengan hasil sama, Maria meninggal karena ditembak. Siapa pelakunya masih dirahasiakan. Pria itu buru-buru memberitahu Emma, mengenai kematian Maria. Mengingat wanita itu pernah memberitahu kalau dia berteman dengan istri Vin.Sesuai perkiraan Xuan, Emma langsung terduduk lemas, dia tidak membayangkan kalau Maria sudah meninggal. “Xuan, kita pulang. Aku ingin bertemu Maria. Aku ingin melihat Enzo.” Pinta wanita itu pada akhirnya. Yang terlintas di kepala
Andreas bangun dari posisi tiarapnya, disusul Vin juga Ilario. Ketiganya berjalan sembari menundukkan badan ke arah jendela. Vin memang menembak tapi ada tembakan lain yang mengarah pada Ilario, nyaris melukai bahkan menghabisi pria itu. Dan Vin memang tidak mengarahkan tembakannya pada Ilario. Tapi pada langit-langit ruang kerja Ilario yang sekarang ada peluru menancap di sana.“Kau punya musuh?” Pertanyaan Vin terdengar konyol di telinga Ilario. Ketiganya masih mengintip dari balik jendela yang kacanya sudah pecah berhamburan, menyebar ke seluruh lantai. “Kau ini sedang meledekku atau bagaimana? Musuhku jelas banyak. Bahkan sekarang saja ada satu yang tengah menodongkan pistolnya padaku.” Kekehan Ilario bahkan tak berhenti ketika Vin meletakkan pucuk senjatanya di kening lelaki tersebut.“Bersuara lagi, kau mati!” Desis Vin penuh peringatan.“Diamlah kalian!” Andreas yang berjongkok di antara dua orang itu menyela. Tingkah Vin dan Ilario malah lebih seperti anak kecil ketimbang
“Jangan memaksa kalau dia tidak mau.” Ilario hanya terdiam ketika moncong pistol Vin berada di belakang kepalanya. Ilario memejamkan mata, menahan diri untuk tidak menerjang Vin. Berapa kali lelaki itu menghalangi jalannya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bisa tidak, jangan mengganggu sekali saja. Semua orang siap dengan senjata masing-masing. Kecuali Emma dan Xuan. Jika terjadi baku tembak, bisa dipastikan kalau keduanya akan jadi yang pertama ambruk, jadi korban.“Pulang denganku, Em.” Ilario sekali lagi membujuk. Namun jawaban Emma sudah dipastikan tidak. Wanita itu tetap berada di belakang Xuan dengan anak buah Ilario mengelilingi mereka dan anak buah Vin, berada di sebelah luar, semua dalam posisi siap tembak.“Mampus aku! Sekalinya berlibur malah terjebak perang dua klan mafia. Sudah paling betul duduk manis di belakang meja.” Batin Xuan ketar ketir.Di belakang Xuan, Emma justru terlihat tenang. Entah kenapa, melihat Vin ada di sana membuat Emma merasa aman. Meski ad