Vin sungguh tak percaya ketika dia sendiri menyaksikan tubuh Maria masuk ke peti mati untuk kemudian dikuburkan. Timbunan tanah mulai menutupi peti hingga tak terlihat sama sekali. Begitulah kini yang terjadi, tembok tinggi sudah memisahkan dirinya dan Maria. Tak sekedar jarak dan waktu yang masih bisa Vin kejar, tapi ini beda dunia. Dia ingin menyusul Maria dia harus ikut mati. Dan itu tak bisa dia lakukan. Dalam gendongan Vin ada Enzo yang menangis di bahu sang ayah. Vin tak mungkin meninggalkan Enzo sendiri, tidak setelah Maria pergi lebih dulu.Tak ada kata yang terucap ketika semua orang mulai pergi meninggalkan pemakaman. Menyisakan Vin, Andreas dan Miguel yang kini berganti menggendong Enzo yang tidur. Vin berjongkok sembari meletakkan kepalanya di nisan sang istri. Air matanya kembali meleleh, kali ini lebih pilu, tangis Vin yang harus merelakan Maria pergi untuk selamanya. Tak akan mungkin kembali.“Vin....” Lelaki itu menoleh, melihat Andreas mengangguk. “Maria, aku pergi
Sementara itu, Xuan yang beberapa waktu terakhir tidak terlalu memperhatikan perkembangan dunia luar, sebab saking sibuknya. Hari ini jantungnya merasa ingin berhenti berdetak. Karena ada waktu luang sembari menunggu masa panen wortel, kubis, dan yang lainnya, dia jadi punya waktu untuk mengulik laptopnya. Mata Xuan membulat tidak percaya membaca kabar terbaru mengenai kematian Maria Angela istri pengusaha terkenal Sebastian Vincent Arturo.Saking tidak percayanya, Xuan bahkan beberapa kali mengecek portal pemberitaan yang berbeda. Dengan hasil sama, Maria meninggal karena ditembak. Siapa pelakunya masih dirahasiakan. Pria itu buru-buru memberitahu Emma, mengenai kematian Maria. Mengingat wanita itu pernah memberitahu kalau dia berteman dengan istri Vin.Sesuai perkiraan Xuan, Emma langsung terduduk lemas, dia tidak membayangkan kalau Maria sudah meninggal. “Xuan, kita pulang. Aku ingin bertemu Maria. Aku ingin melihat Enzo.” Pinta wanita itu pada akhirnya. Yang terlintas di kepala
Andreas bangun dari posisi tiarapnya, disusul Vin juga Ilario. Ketiganya berjalan sembari menundukkan badan ke arah jendela. Vin memang menembak tapi ada tembakan lain yang mengarah pada Ilario, nyaris melukai bahkan menghabisi pria itu. Dan Vin memang tidak mengarahkan tembakannya pada Ilario. Tapi pada langit-langit ruang kerja Ilario yang sekarang ada peluru menancap di sana.“Kau punya musuh?” Pertanyaan Vin terdengar konyol di telinga Ilario. Ketiganya masih mengintip dari balik jendela yang kacanya sudah pecah berhamburan, menyebar ke seluruh lantai. “Kau ini sedang meledekku atau bagaimana? Musuhku jelas banyak. Bahkan sekarang saja ada satu yang tengah menodongkan pistolnya padaku.” Kekehan Ilario bahkan tak berhenti ketika Vin meletakkan pucuk senjatanya di kening lelaki tersebut.“Bersuara lagi, kau mati!” Desis Vin penuh peringatan.“Diamlah kalian!” Andreas yang berjongkok di antara dua orang itu menyela. Tingkah Vin dan Ilario malah lebih seperti anak kecil ketimbang
“Jangan memaksa kalau dia tidak mau.” Ilario hanya terdiam ketika moncong pistol Vin berada di belakang kepalanya. Ilario memejamkan mata, menahan diri untuk tidak menerjang Vin. Berapa kali lelaki itu menghalangi jalannya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bisa tidak, jangan mengganggu sekali saja. Semua orang siap dengan senjata masing-masing. Kecuali Emma dan Xuan. Jika terjadi baku tembak, bisa dipastikan kalau keduanya akan jadi yang pertama ambruk, jadi korban.“Pulang denganku, Em.” Ilario sekali lagi membujuk. Namun jawaban Emma sudah dipastikan tidak. Wanita itu tetap berada di belakang Xuan dengan anak buah Ilario mengelilingi mereka dan anak buah Vin, berada di sebelah luar, semua dalam posisi siap tembak.“Mampus aku! Sekalinya berlibur malah terjebak perang dua klan mafia. Sudah paling betul duduk manis di belakang meja.” Batin Xuan ketar ketir.Di belakang Xuan, Emma justru terlihat tenang. Entah kenapa, melihat Vin ada di sana membuat Emma merasa aman. Meski ad
“Jadi yang satu kehilangan kelemahan, yang lain menampakkan kelemahannya. Begitu?”Baron mengangguk di depan seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya sudah memutih. Meski begitu tubuhnya masih terawat dengan baik. Tubuh kencang tanpa tumpukan lemak. Meski terlihat tak lagi muda. Namun kharisma pria tersebut masih terpancar. Di sebelahnya ada seorang pria yang usianya jauh lebih muda, sepertinya putra dari lelaki tadi.Baron kembali melanjutkan laporannya. Rupa-rupanya dia adalah double agen. Seorang mata-mata yang menyusup masuk ke klan Inferno milik Ilario. Hebatnya lagi, Baron berhasil menduduki posisi yang cukup kuat di tempat Ilario, asisten sekaligus tangan kanan sang pemimpin klan.“Jadi, apa aku perlu melakukannya lagi?” Baron bertanya. Sementara pria di hadapan Baron tampak tak bisa berpikir. Bagaimana dia bisa berpikir, jika di kiri kanan lelaki tersebut ada dua perempuan seksi berpakaian terbuka, yang tangannya sibuk bergerilya ke mana-mana. Bahkan pria yang ada di sampi
Suara benda jatuh menggema di seantero ruang makan. Tubuh Helga terjatuh karena dia gagal menubruk tubuh Emma, dan berakhir dengan dirinya tersungkur di lantai marmer yang keras. Wanita itu meringis, merasakan sakit pada lututnya. Namun tak seorang pun berniat menolong. Bahkan Imelda pun seolah acuh pada Helga. Sementara si biang kerok justru terbahak melihat keberhasilan aksinya.Emma tampak puas memandang Helga yang sibuk mengumpat. Helga sungguh tak menyangka jika Emma adalah wanita bar-bar. Berbeda dengan Maria yang lemah lembut. “Rasakan kau!” Desis Emma penuh tawa. Helga sendiri bisa dipastikan kesal setengah mati. Berniat mengerjai Emma, justru dia yang dia kena padahnya.“Awas kau!” Ancam Helga penuh emosi.“Ada apa ini?” Tanya Vin yang turun bersama Enzo. Emma langsung tersenyum manis melihat Enzo. Bocah lelaki itu langsung duduk di sebelah Emma menggunakan kursi khusus. “Tidak ada apa-apa?” Imelda menjawab manis. Perempuan itu masih sibuk dengan usahanya untuk mendapatk
“Jangan membuat keributan di sini, Bung.” Xuan berjalan mendekat ke arah Emma dan seorang pria bermata abu-abu. Ilario del Munthe secara mengejutkan berani menunjukkan diri di hadapan banyak orang.Ilario langsung menoleh mendengar suara Xuan. Wajah Ilario berubah kesal. Terlebih ketika Xuan langsung berdiri di hadapan Emma, memberi jarak antara wanita itu dan Ilario.“Jangan ikut campur!” Ilario memperingatkan. Netra pria itu menyorot tajam pada Emma yang berada di balik punggung Xuan. Sama kesalnya dengan dirinya. Xuan sendiri tampak begitu tenang, tidak terintimidasi sama sekali dengan Ilario yang diikuti dua pria berbadan besar.“Tenangkan Enzo,” pinta Xuan pada Emma yang bergegas pergi. Ilario ingin menyusul tapi Xuan menghalangi.“Ini sekolah, Rio. Jangan membuat rusuh dan jangan membuat anak-anak itu ketakutan. Jika ingin bicara jangan di tempat ini.” Tatapan mata Xuan santai tapi penuh permohonan.“Sialnya kenapa kau bisa lolos hari itu! Harusnya kau mati!” geram Ilario.
Ilario menggebrak meja begitu sampai di ruangannya. Chen yang kebetulan ada di sana melihat Ilario dengan tatapan tidak percaya. Baru kali ini Ilario dibuat kacau oleh seorang wanita. Ya, Chen tahu kalau Ilario baru saja bertemu Emma.“Kenapa? Apa dia menolakmu?” Pertanyaan Chen setengah bercampur ledekan. Ilario mendengus geram mendengar ucapan Chen. Nafasnya masih memburu dengan mata memerah. Dia sungguh marah. Bayangan Emma yang tertawa kala bersama Xuan, meningkatkan rasa tidak sukanya pada pria yang satu rupa dengan Chen. Tiba-tiba saja Ilario mendekat ke arah Chen dengan cepat menoyor kepala sang asisten. “Apaan sih,” protes Chen yang merasa tidak berbuat salah pada sang atasan. Bukannya berhenti karena protes Chen, gerakan Ilario justru semakin cepat dan mengganggu.“Aku benci sama kamu!” lirih Ilario sambil menambah intensitas siksaannya pada Chen. Sang asisten jelas kaget, salah apa dia, sampai Ilario seperti tengah menghukumnya. Sekarang bertambah dengan cubitan keras ya