Nyeri menyerang dada Maria, wanita itu sontak membuka mata. Nafasnya tersengal dengan keringat dingin keluar dari dahi. Sekelebat perasaan aneh ia rasakan dalam hati, ditambah rasa berdenyut di kepala. Apa yang terjadi sebenarnya? Wanita itu bertanya dalam benaknya. Serta perasaan tak menentu yang membisikkan sisa waktu yang tersisa untuknya.“Ada apa?” Vin bertanya setelah melihat Maria terjaga. Wanita itu memandang Vin keluar dari kamar mandi dengan tubuh topless. Maria segera memalingkan wajahnya. Menghindari panas yang tiba-tiba terasa di pipinya. Bayangan seksi Vin berlaga di atas tubuhnya membuat Maria panas dingin.“Dia benar-benar bisa membuatku gila!” Batin Maria. Vin lekas naik ke ranjangnya, menempatkan diri di samping Maria. Lantas merengkuh tubuh sang istri ke dalam dekapan. Aroma maskulin Vin seketika menenangkan otak Maria yang tengah dilanda kemelut.Vin mengecup puncak kepala Maria sebelum mengajak sang istri tidur. Maria yang mulai terbiasa dengan posisi tidur me
Emma memicingkan mata saat mengikuti langkah Xuan. Dua hari mereka menginap di motel murah tersebut. Hari ini Xuan mengajaknya check out. Meski tak paham cara berpikir Xuan, Emma lebih memilih menuruti rencana Xuan. Dua orang itu kini duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Menikmati sarapan mereka sebelum melanjutkan perjalanan, tanpa tujuan. Dua hari bersama Xuan, Emma merasa nyaman. Pria itu tipe berisik dan konyol. Logat negeri khatulistiwa tak hilang sama sekali meski darah oriental mengalir deras dalam tubuh Xuan. “Makan, jangan gak makan.” Itu salah satu bukti betapa cerewetnya Xuan. Emma yang terbiasa hidup dalam disiplin tinggi, semua serba straight ikut aturan. Gadis itu seperti masuk ke dunia lain saat bersama Xuan. Dunia bebas tanpa aturan.“Ini juga lagi makan.” Balas Emma santai. Gadis itu mulai terbiasa dengan cara hidup yang Xuan tawarkan. Emma tampak menikmati roti croissant yang jadi sarapannya. Padahal Xuan sejak kemarin protes, seharusnya Emma makan nasi. S
Emma meledakkan tawa, sementara Xuan memanyunkan bibir. Dua orang itu kini berada di dalam mobil pick up. Mereka sedang menumpang pada seorang kakek tua yang baru saja menyetorkan hasil panennya ke kota. Sayuran dan beberapa hasil kebun, juga telur ayam. Xuan dan Emma tertangkap bersembunyi di gudang juragan tempat pria tersebut menjual hasil bumi.Emma memegangi perutnya yang hampir kram karena terus tertawa. Hidup Emma yang serius seketika berubah saat bertemu Xuan. Lelaki itu menawarkan kehidupan baru pada Emma. ”Suami apaan?!” Xuan mengulangi ucapan si bapak tua. Dengan Emma terus terbahak. Mereka berdua dituduh sebagai pasangan suami istri. Hanya karena terlihat berduaan dengan posisi yang sangat intim. Namun dari semua rangkaian kejadian buruk hari ini. Terselip hal baik, mereka bisa pergi ke tempat yang lebih jauh. Menghindar untuk sementara dari keramaian adalah hal bagus sekarang. Si kakek tua menawarkan pekerjaan pada Xuan dan Emma. Dua orang itu mengaku kehabisan uang s
Vin memijat pelipisnya, serangan yang terjadi di depan sekolah Enzo adalah ulah Ilario. Pria itu mulai berani melakukan serangan terbuka pada anggota keluarganya. Vin mencemaskan orang terdekatnya, terutama Maria dan Enzo. Dua orang yang telah berbagi hidup dengannya. Meski untuk Maria, Vin masih memantau keadaan wanita itu.Kecurigaan Vin semakin tinggi saat The Eye melaporkan kalau Maria ketahuan mem-browsing informasi soal dirinya. Jika Maria yang sekarang masih sama dengan Maria yang dulu, seharusnya wanita itu tak perlu mencari informasi apapun soal dirinya. Maria tahu benar siapa Vin, baik sebagai pengusaha maupun mafia.Sebuah saran dari Andreas turut membuat Vin tambah pusing. “Memangnya kenapa kalau dia orang lain. Toh fisiknya adalah istrimu, jadi anggap saja dia Maria.” Vin merenggut rambutnya. Dia bingung, sangat bingung. Bagaimana bisa Andreas berucap begitu enteng. Jelas saja semua berbeda. Kalau yang sekarang bukan istrinya, lalu di mana Maria yang sebenarnya. Apakah
Ilario menatap layar monitor yang ditunjukkan oleh seorang staf IT-nya. Tracker yang mereka pasang menunjukkan koordinat lokasi rumah Vin. Senyum pria itu mengembang, dia sudah lama ingin melakukan ini, menghancurkan Vin di kediamannya sendiri. Sesuai saran Chen, dia harus menyiapkan rencana yang matang untuk bisa menyusup masuk tanpa diketahui The Eye. Dan hal itu diakui sulit oleh Ilario.“Kenapa kita tidak langsung menyerang mereka. Saya yakin kekuatan kita tidak akan kalah dengan mereka.” Baron, asisten Ilario yang lain memberi saran. Ada tampang kesal di wajah Baron. Kesal yang sudah lama dia tahan, hingga berubah jadi rasa tidak puas hati pada Ilario.“Apa yang diucapkan Chen benar. Kita harus ekstra hati-hati saat menyerbu Vin. Terlebih ini di wilayahnya. Sangat berbahaya jika kita meremehkan kekuatan mereka.” Ilario berucap sambil menanti staf IT mereka bekerja mencari alamat Vin. Setelahnya dia akan menyusun rencana. Di belakang Ilario, Baron tampak mengepalkan tangan, seja
Xuan berlari masuk ke dalam rumah ketika dia mendengar kabar Emma sakit. “Kamu tidak apa-apa?” Xuan buru-buru bertanya, melihat Emma duduk di meja makan sambil menyangga pelipisnya.“Gak sih, cuma masih pusing.” Xuan mengerutkan dahi, haruskah dia menyampaikan apa yang teman-temannya beritahu.“Em, berapa lama kamu disekap sama dia?” Xuan menarik kursi lalu duduk di sana. Emma terdiam, terlihat mengingat sesuatu.“Ada kali sebulan. Kenapa?”“Selama itu, maaf...apa kalian melakukan, you know-lah.” Xuan melengos, sambil membuat kode orang tengah bercinta. Rona merah merona di wajah dua orang itu. Xuan yang malu karena seumur hidup belum pernah melakukan aktivitas panas tersebut. Sementara Emma menahan amarah, karena memang itulah yang mereka lakukan tiap kali Ilario ada di kastilnya.Melihat paras Emma yang berubah canggung, Xuan jadi serba salah. “Oke, aku paham.” Lelaki itu buru-buru berucap. Hening, sesaat melingkupi tempat itu. Sampai ucapan Xuan membuat Emma merasa kesal.“Ad
Vin mengeraskan rahang, melihat bagaimana Ilario bisa menerobos masuk ke tempat tinggalnya. “Maaf, Vin. Sepertinya mereka sengaja menyabotaseku tadi.” The Eye memberi tahu Vin. Lelaki itu menggeleng pelan, tidak bisa menimpakan semua kesalahan pada sistem, bagaimanapun The Eye hanyalah alat yang diciptakan oleh manusia. Jelas ada kurang dan lebihnya.Vin berjalan menuruni anak tangga, satu demi satu. Dalam hati mengira kalau anak buahnya sudah lebih dulu dilumpuhkan oleh Ilario. Setidaknya Vin berharap, lelaki itu tidak membunuh mereka. Tatapan Vin terpusat pada Maria yang duduk sembari memeluk Enzo sang putra. Pandangan mereka bertemu, seolah tengah berkomunikasi. Ada binar ketakutan dalam netra Maria, tapi Vin tahu, sang istri berusaha menutupinya. Sementara Imelda dan Helga tampak menciut nyalinya di bawah todongan pistol anak buah Ilario.Vin mungkin punya secuil rasa cemas pada Imelda tapi tidak pada Helga. Satu pandangan mematikan Vin layangkan pada Tara, wanita yang kini berd
Ilario membalikkan badan, menatap tidak percaya pada Baron. “Sorry bos, saya tidak sengaja melakukannya.” Kata Baron dengan wajah bersalah. Ilario menggeram marah, di depan sana, tangis Vin dan Enzo tumpah bersamaan dengan Vin mendekap tubuh Maria. Darah mengalir deras dari punggung Maria yang tertembak. Wanita itu sama sekali tak bergerak dalam pelukan sang suami.“Maria...Maria....!” Teriak Vin mengguncang tubuh sang istri. Di sebelah Maria, Enzo bahkan sudah histeris, melihat tubuh sang mama berlumur cairan merah. Vin beberapa kali mencium kening Maria, hatinya takut bukan kepalang. Mata Maria terbuka, hal itu membuat Vin merasa lega. Tangan Maria mengusap wajah Vin, lalu beralih pada Enzo, memeluk tubuh mungil itu bersamanya. “Ma.....” lirih Enzo. “Panggilkan Andreas!” Teriak Vin kencang. Imelda yang masih shock segera sadar. Wanita itu mendekati telepon rumah, bermaksud menghubungi Andreas. Meski yang diperintah Vin sebenarnya adalah The Eye. Senyum Maria terukir tipis, tida